Sebelum berangkat, Jeremy sempat memasak semangkuk mi untuk dirinya sendiri. Perutnya masih kenyang, jadi dia pun mengeluarkan sebuah buku dari tas dan mulai membacanya dengan asyik.Dua puluh menit kemudian, pengumuman dari pengeras suara menginformasikan bahwa proses pemeriksaan tiket sudah dimulai.Irene dan Nadine hanya membawa sedikit barang, jadi mereka berjalan lebih dulu. Dengan cepat, mereka memindai kartu identitas mereka dan melewati gerbang pemeriksaan, lalu berdiri di dalam sambil menunggu Jeremy.Jeremy menyusul di belakang mereka. Satu tangannya menarik koper, sementara tangan satunya lagi membawa tas Irene. Saat hendak mengambil kartu identitasnya untuk dipindai, dia tiba-tiba menyadari bahwa dompetnya hilang!Jeremy langsung teringat kejadian saat sedang mengantre tadi. Seseorang menabraknya cukup keras dari belakang dan hampir membuatnya terjatuh. Tidak salah lagi, pasti saat itulah dompetnya dicuri dari dalam tas!"Ayah, cepat!" seru Nadine dari balik gerbang.Jeremy
Stendy menatap Jeremy, lalu melirik Nadine dengan tenang. Dua orang ini ...."Ayah, kamu kenal dia?" Nadine berjalan mendekat dengan nada terkejut.Ayah?Sudut bibir Stendy sedikit terangkat.Kebetulan, Stendy datang ke kota ini untuk urusan bisnis selama tiga hari dan hari ini adalah jadwal kepulangannya. Namun, karena cuaca buruk, penerbangannya dibatalkan. Akhirnya, dia meminta sekretarisnya untuk memesan tiket kereta cepat pagi ini.Tak disangka .... Dia justru mendapat kejutan yang lebih menarik!"Tadi anak muda ini yang bantu aku nangkap pencuri. Gerakannya cepat dan luar biasa!" kata Jeremy penuh semangat.Nadine sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya merespons, "Terima kasih, Pak Stendy.""Nadine, kamu terlalu sopan. Kalau ada orang lain di posisiku, mereka pasti juga nggak akan ragu untuk membantu."Irene terkejut. "Kalian saling kenal?"Nadine dan Stendy menjawab serempak, "Kenal."Namun, bagaimana tepatnya mereka saling mengenal ... jelas bukan sesuatu yang tepat untuk dibah
Nadine akhirnya menerima buku itu. Godaan ini terlalu besar, sulit untuk ditolak."Terima kasih.""Panggil aku Kak Stendy."Nadine terdiam.Ketika mereka tiba di Kota Juanin, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Nadine dan keluarganya tidak berada di gerbong yang sama dengan Stendy.Begitu keluar dari stasiun, Nadine baru saja hendak membuka aplikasi untuk memesan mobil, tetapi kemudian dia melihat Stendy berdiri tak jauh dari mereka. Sosoknya yang tinggi dan tegap sangat mencolok di antara kerumunan.Stendy tersenyum dan berjalan menghampiri Jeremy. "Paman, mobilku sudah ada di luar. Biar aku antar kalian pulang?"Jeremy ragu sejenak. "Ah, nggak usah, terlalu merepotkan. Kami bisa pesan mobil sendiri.""Nggak merepotkan, searah kok." Selesai berkata demikian, Stendy langsung mengambil koper dari tangan Jeremy dan berjalan ke luar."Wah, kalau begitu, terima kasih banyak!""Sama sekali nggak merepotkan."Nadine diam-diam menutup aplikasi pemesanan mobil dan menyimpan ponselnya kemb
Irene tidak menyangka bahwa Stendy pernah membaca bukunya. "Kamu tahu kalau Seven Days itu karyaku?"Stendy melirik sekilas ke arah Nadine sebelum menjawab, "Ya, aku tahu."Mengenai dari mana dia mengetahuinya .... Stendy tidak menjelaskan. Irene pun tidak bertanya lebih lanjut.Sialnya, Nadine justru menjadi sasaran dari dua pasang yang mata penuh penasaran itu selama beberapa saat. Sungguh melelahkan ...."Jadi, pelakunya benar-benar si guru fisika yang polos itu?"Irene sedikit terkejut. "Kenapa kamu tanya seperti itu?"Dalam novel, semua petunjuk akhirnya mengarah pada guru fisika tersebut. Dia menggunakan keahliannya dalam ilmu pengetahuan untuk menyusun kejahatan yang nyaris sempurna. Semua bukti jelas-jelas mengarah padanya. Kasusnya sudah tertutup rapat.Namun, Stendy justru mempertanyakan, apakah dia benar-benar pelakunya? Tatapan Irene terhadapnya menjadi semakin dalam."Aku ingat ada beberapa detail yang agak tersembunyi dalam cerita ini ...." Stendy mulai menjelaskan.Perta
"Stendy, apa maksudmu ini?" Reagan berjalan mendekat ke meja teh."Maksud yang mana?""Kenapa kamu menghentikan proyek di kawasan pengembangan?"Dengan santai, Stendy menyesap tehnya. "Nggak mau kerja sama, jadi aku hentikan. Ada masalah?""Kamu pikir bisa seenaknya begitu saja?!" Reagan mendengus. "Kamu tahu berapa banyak kerugian yang terjadi setiap harinya?""Kurang lebih, aku tahu.""Tahu, tapi tetap melakukannya?!"Tanpa tergesa-gesa, Stendy menuangkan teh untuk dirinya sendiri dengan lancar. Reagan kehilangan kesabaran dan menekan teko teh dengan kuat. "Kamu sudah menghindar selama tiga hari, sekarang masih tetap diam saja. Mau sampai kapan kamu terus menunda ini?"Baru saat itu Stendy mengangkat pandangannya. "Siapa bilang aku menghindar?""Sekretarismu bilang kamu lagi dalam perjalanan bisnis. Itu cuma alasan agar bisa menghindar dariku, 'kan?""Heh, menghindar darimu?" Stendy tertawa kecil. "Aku pergi ke kota sebelah untuk survei. Jadwalnya sudah ditetapkan sejak dua minggu la
"Kamu nggak mungkin sebodoh itu mengira kalau kita benar-benar memutus semua hubungan, Nadine nggak akan peduli sama masa lalu kita dan langsung menerima kamu, 'kan?""Bodoh!" Dengan amarah yang meledak, Reagan meraih cangkir teh dari tangan Stendy dan melemparkannya ke lantai.Prang!Suara pecahan cangkir bergema di ruangan."Dulu aku nggak pernah tahu kalau kamu ternyata seorang bucin sialan, Stendy!"Philip dan Teddy langsung melangkah mundur beberapa langkah, menghindari pecahan kaca yang mungkin melukai mereka. Mereka saling bertukar pandangan, diam-diam terkejut dengan arah pembicaraan ini.Stendy benar-benar bersikeras memutus hubungan bisnisnya dengan Reagan. Dia menggunakan strategi yang merugikan kedua belah pihak hanya untuk menciptakan jarak di antara mereka?Dulu, meskipun mereka berselisih paham, urusan bisnis tetap berjalan. Uang tetap dicari bersama, keuntungan tetap dibagi. Tidak peduli seberapa buruk hubungan pribadi mereka, selama proyek menguntungkan, mereka tetap b
Stendy berkata, "Dia tumbuh dalam keluarga yang penuh cinta. Kamu tahu apa artinya?"Reagan berbalik dan menatapnya tajam.Stendy mengucapkan setiap kata dengan jelas, "Itu berarti, dia punya keberanian untuk mencintai sepenuh hati dan juga keberanian untuk meninggalkan ketika semuanya berantakan. Mungkin itulah kenapa saat dia bersamamu dulu, dia begitu teguh pada pilihannya, bahkan rela melawan dunia.""Sayang sekali, kamu menyia-nyiakan itu semua.""Mungkin, bagi kamu dan orang lain, tindakan Nadine saat itu, serta kesabarannya yang tanpa batas setelahnya, hanyalah wujud dari seorang wanita yang terlalu larut dalam perasaan.""Tapi aku tahu, dia bukan seperti itu. Dia cuma ingin mempertahankan keputusannya, berjuang sekuat tenaga tanpa menyisakan penyesalan. Pada akhirnya, yang dia inginkan hanyalah satu hal. Menyelesaikan sesuatu dengan baik, sebagaimana semuanya dimulai."Stendy tahu betul cara menusuk tepat di jantung seseorang. Langkah Reagan goyah, matanya sedikit memerah. "Kam
Reagan langsung meneliti kembali semua dokumen di mejanya sebelum menelepon manajer proyek. "Semua ini, hentikan.""A ... a ... apa?" Manajer proyek hampir mengira dirinya salah dengar.Semua proyek ini adalah tulang punggung perusahaan, bahkan beberapa di antaranya hampir menghasilkan keuntungan dalam waktu dekat. Sekarang dia tiba-tiba disuruh menghentikannya?!Reagan bertanya, "Apa ucapanku kurang jelas?""T-tidak, Pak ....""Atau sulit dimengerti?""Nggak juga ....""Lalu, apa masalahnya?"Keringat dingin mengalir di pelipis manajer proyek. "Pak Reagan, saya cuma nggak mengerti ....""Kamu nggak perlu mengerti. Lakukan saja."Menghentikan lebih dari 20 proyek bukanlah perkara mudah. Bagaimana cara meminimalisir kerugian?Bagaimana menyusun strategi agar dampaknya tidak menghancurkan perusahaan? Semuanya harus diperhitungkan dengan sangat hati-hati.Saat Reagan menyelesaikan pekerjaannya, langit sudah gelap. Dia berdiri di depan jendela kaca besar kantornya sambil menatap pemandanga
Bahkan, Jinny tidak panik meskipun nilai rata-rata ujian akhirnya hanya 70 dan ada beberapa mata kuliah yang nilainya pas-pasan. Toh dia memang tidak ambil pusing soal itu. Untuk apa capek-capek mikirin hal yang bukan prioritas?Sebagai perempuan, kuliah tinggi-tinggi, mengejar gelar dari kampus top, pada akhirnya tujuannya hanya untuk menikah dengan pria mapan dan hidup enak.Saat ini, dia duduk di antara Nella dan Clarine. Wajahnya tenang, tidak terburu-buru, seolah-olah dia hanya penonton yang tidak terlibat.Nella tahu Jinny punya pacar tajir dan sekarang tidak peduli lagi pada urusan akademik. Wanita ini hanya ingin menikah dengan pria kaya.Nella paling jijik dengan tipe-tipe perempuan yang hanya mengandalkan pria kaya dan ingin hidup sebagai istri manja.Namun, yang membuatnya bingung adalah Eden juga terlihat santai seperti Jinny. Laboratorium mereka sedang dalam masa perbaikan. Selain Diana, orang yang paling panik seharusnya adalah Eden!Beberapa topik riset penting yang dita
Diana menantang, "Pergi saja! Kalau aku kena masalah, kamu juga bakal kena batunya!"Clarine membalas, "Siapa takut ...."Diana menyipitkan mata. "Clarine, kayaknya kamu lupa gimana dulu bisa keterima S2?"Langkah kaki Clarine langsung terhenti.Diana tertawa kecil. "Aslinya kamu itu nggak lulus tes. Kalau bukan karena aku buka jalan untukmu, kamu pikir kamu bisa berdiri di sini hari ini?""Silakan saja kalau kamu mau lapor, aku nggak akan halangi. Pokoknya kalau harus jatuh, kita jatuh bareng. Kalau aku dipecat, kamu yang masuk pakai cara kotor dengan sogok sana sini juga bakal kena. Bagus, 'kan?"Clarine sampai gemetar karena marah. "Dasar nenek sihir jahat!""Jahat?" Diana mendengus. "Kita sama saja."Tanpa nilai tambahan dari proyek, nilai akhir semester Clarine benar-benar menyedihkan. Dia gagal di tiga mata kuliah. Nilai mata kuliah lainnya pun rata-rata cuma 70-an. Kalau orang lain tahu, dia bisa ditertawakan. Bahkan nilai Kaeso si penjilat itu pun lebih bagus dari dia!Setiap k
Selain itu, laboratorium atas nama Diana dilaporkan karena tidak memenuhi standar keselamatan kebakaran dan terpaksa menjalani perbaikan.Sampai sekarang pun perbaikannya belum juga disetujui. Selama masa itu, sudah pasti tidak mungkin ada hasil akademik apa pun. Jadi, dalam rapat kali ini, tim Diana jauh lebih sunyi dibanding sebelumnya.Kaeso yang biasanya setiap rapat selalu menyeringai sinis, kali ini justru diam seperti ayam di kandang.Wajah Clarine pun tampak masam. Karena laboratorium sedang dalam proses perbaikan, proyek riset yang sebelumnya susah payah dia rebut dari Diana juga ikut menguap.Saat dia mencoba meminta Diana mengaturkan proyek lain, dia malah langsung disemprot habis-habisan."Proyek! Proyek! Aku juga ingin proyek! Sekarang labku harus diperbaiki, semua proyek mandek. Terus, aku harus cari di mana buat kamu?""Lagi pula, kalaupun aku punya proyek, kamu yakin sanggup mengikuti ritmenya dan menghasilkan sesuatu yang konkret?""Jangan serakah kalau nggak sanggup!
Nadine sempat termangu, lalu tertawa geli. "Ada! Tentu saja ada! Aku kasih ke kamu, kamu bantu kasihkan ke dia ya?""Oke, oke!"Nadine mengambil beberapa kaleng lagi dan meletakkannya di mobilnya."Hehe. Kak Nad, kamu baik banget!""Aku rasa kamu dan Darius cocok juga." Usai mengatakan itu, Nadine turun dari mobil, lalu menarik koper dan berjalan menuju gedung apartemen.Mikha sama sekali tidak menyadari nada menggoda dalam ucapan tadi. Dia mengeluarkan ponselnya dengan gembira."Halo! Darius! Kamu di apartemen nggak? Aku bawain dendeng dan saus daging sapi buat kamu! Ya, dari Kak Nadine."Di seberang sana, Darius menyahut, "Ya, aku di apartemen. Kamu datang saja.""Oke deh! Aku bakal sampai dalam 20 menit.""Hm, hm."Setelah menutup telepon, Darius segera berlari turun, mengenakan jaket, dan mengganti sepatu. "Nenek, siang ini aku nggak makan di rumah, malam ... malam juga nggak pulang!""Kamu mau ke mana?""Balik ke apartemen!""Eh? Bukannya sudah janji makan di sini hari ini?"Dariu
Terutama Safir, selama dua hari ini tinggal di vila, matanya sudah membaik, pinggang juga tidak sakit lagi. Sepanjang hari dia tersenyum, makannya juga lahap sekali.Corwin sampai memanggil dokter pribadi, sopir, serta pengawal kemari. Sepertinya, mereka sudah siap untuk tinggal lama di sini.Irene sempat khawatir Jeremy tidak terbiasa. Hasilnya ...."Terbiasa dong! Kenapa nggak? Ibu bisa tanam bunga dan sayur bareng aku, Ayah juga bisa main catur sama aku."Sebelumnya, dia justru bingung apa yang harus dilakukannya selama liburan musim dingin. Irene kebanyakan menghabiskan waktu di ruang kerja untuk mengetik. Namun, sekarang Jeremy bukan hanya punya partner bercocok tanam, tetapi juga teman bermain catur.Irene hanya bisa tersenyum. Sepertinya dia yang berpikir terlalu jauh.Jeremy pun terkekeh-kekeh melihat istrinya. "Hehehe."Nadine hanya tinggal dua hari. Hari ketiga, dia langsung balik ke Kota Juanin. Eksperimen belum selesai, tesis juga harus dikejar sebelum tahun baru.Seperti o
Rebut? Stendy langsung tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, harus yakin bisa direbut juga."Paulus berkata, "Kalau nggak coba, bagaimana bisa tahu nggak bisa direbut?""Kenapa? Kamu ingin merebut Bibi Irene? Hah. Kamu harus bisa melewati Kakek dan Nenek dulu," kata Stendy.Paulus yang tidak tahu harus bagaimana menanggapinya pun langsung menatap Stendy dengan tajam. "Wanita mana yang sebenarnya sudah meninggalkanmu? Coba ceritakan."Stendy pun terdiam."Bukankah tadi kamu begitu pandai melawan? Kenapa tiba-tiba jadi diam?" sindir Paulus."Kamu juga nggak kenal," jawab Stendy.Paulus juga tidak bertanya lebih lanjut lagi, melainkan mengangkat gelasnya. "Sini. Kita jarang bisa bertemu seperti ini, ayo kita minum."Klang.Setelah mengatakan itu, keduanya bersulang dan menelan kembali kekhawatiran masing-masing.Saat malam makin larut. Stendy yang sudah minum cukup banyak pun pandangannya mulai kabur. Sebaliknya, Paulus yang sudah minum banyak pun ekspresinya tetap terlihat sadar dan tang
"Apa? Pria berengsek ini begitu hebat? Datang ke bar untuk mabuk pun sampai bawa pengawal?" kata gadis itu."Mana tahu," jawab temannya.....Stendy sengaja meminta dua pengawal untuk mendekat. Setelah telinganya akhirnya tenang, dia kembali menuangkan segelas minuman untuk dirinya lagi. Namun, kali ini dia tidak minum dengan liar seperti semalam lagi, melainkan meminumnya perlahan-lahan dan ekspresinya datar. Pada saat itu, pandangannya tiba-tiba berhenti dan fokus pada tempat duduk yang tidak jauh darinya.Saat menyadari ada orang yang mengamatinya, Paulus melihat ke arah yang sama dan ternyata matanya bertemu dengan mata anaknya. Suasananya menjadi hening sejenak dan keduanya langsung mengalihkan pandangan mereka.Setelah berpikir sejenak, Stendy membawa botol minuman dan mendekati tempat duduk Paulus. Dia langsung duduk di samping ayahnya dan bertanya, "Wah, datang buat minum ya?"Paulus melihat ke sekeliling sekilas dan berkata, "Omong kosong."Jika datang ke bar bukan untuk minum
Kini, Paulus dan Aileen bukan pasangan masa kecil seperti sebelumnya lagi. Mereka sudah memiliki pasangan masing-masing dan kehidupan yang berbeda."Kamu masih ingat saat masih kecil kita berdoa akan menjadi apa kalau sudah besar?" tanya Paulus yang memecah keheningan.Irene menganggukkan kepala. "Ingat. Kamu suka astronomi, jadi kamu ingin masuk ke Badan Antariksa Nasional."Paulus tersenyum pahit. "Kalau sekarang dipikir-pikir lagi, dulu kita benar-benar bodoh dan polos. Kita selalu merasa impian bukan impian, tapi kehidupan yang bisa dicapai. Pada akhirnya, aku tetap mengambil alih bisnis Keluarga Sanjaya dan menjadi pewaris yang diharapkan orang tua."Irene tersenyum. "Aku lihat di berita, sekarang bisnis Keluarga Sanjaya berkembang pesat. Nggak seperti 20 tahun yang lalu lagi, kamu sangat sukses sekarang."Mendengar perkataan itu, Paulus ingin berkata dia kehilangan Irene. Dia sudah membuka mulut, tetapi akhirnya memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Setelah itu, dia mulai me
Paulus melambaikan tangannya. "Nggak perlu, aku ambil sendiri saja ....""Nggak perlu sungkan, kita ini sekeluarga," kata Jeremy yang langsung menyendokkan dua sendok besar nasi putih sebelum Paulus sempat selesai berbicara."Sayang, lihatlah, Adik Ipar begitu perhatian. Pantas saja Irene bisa jatuh cinta pada dia," kata Inez.Inez tetap tersenyum saat mengatakan itu, tetapi menatap suaminya dengan tatapan menyindir. Namun, Paulus hanya menundukkan kepala dan makan, sama sekali tidak peduli dengan ucapannya. Dia marah sampai menggertakkan giginya, tetapi dia tetap tidak bisa menunjukkan emosinya dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam untuk menahan dirinya.....Setelah makan siang, Jeremy membereskan mejanya dan mencuci piring bersama Nadine.Irene juga tidak bisa tinggal diam saat suami dan anaknya mencuci piring, sehingga dia mengelap meja dan mengupas buah.Sementara itu, kedua orang tua duduk di sofa dan menonton TV. Stendy sudah pamit terlebih dahulu setelah selesai makan, sehin