'Anggap saja ini suatu mimpi, yang hanya datang untuk menguji diri kita. Meski aku tahu kamu setia, tapi semua ini tidak seperti nyata. Carilah gadis yang ada di depan matamu dan bukan hanya sebuah semu yang bisa kamu tatap lewat mimpi. Kamu pemuda yang baik, karena itu dapatkanlah kebahagianmu dengan merelakanku, aku berterima kasih ketika kamu mau hadir dalam hidupku. Namun, aku merasa bersalah karena seperti memberi sebuah harapan palsu yang tidak akan pernah kamu dapatkan.'
Napasnya terdengar memburu, rongga dadanya terasa terhimpit ketika mengingat chat terakhir yang ia terima dari mantan kekasih yang berada di daratan berbeda. Cinta jarak jauh memang tidak mudah, dia diputuskan sehari setelah hari kelulusannya tepatnya sekitar dua tahun yang lalu.
Arkan Hardiwijaya umur dua puluh tiga tahun, Direktur muda di Hardiwijaya Group. Sebagai pemuda yang sudah terlanjur menjadi budak cinta, ia masih tidak terima dengan pemutusan sepihak sang kekasih yang sudah ia pacari secara online selama empat tahun. Bahkan dirinya sampai terbang ke Australia untuk mencari keberadaan gadis yang sudah membuatnya tergila-gila. Lah, dia pikir Australia itu kota kecil? Itu Benua, Astaga!
Frustasi karena selama satu minggu di sana dia tidak mendapatkan apapun, akhirnya Arkan memilih mundur. Memang mungkin gadis itu bukanlah jodohnya meski dia sudah mencintainya sepenuh jiwa dan raga.
Arkan sedang berlari di atas Treedmill seraya membayangkan setiap kata yang terus terngiang di telinganya selama dua tahun tapi tidak bisa terhapus. Sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi setelah bangun tidur dengan wajah tertekuk karena mimpi buruk diputuskan sang kekasih, membuatnya melampiaskan rasa yang menghimpit rongga dadanya dengan berlari, mengeluarkan peluh untuk menghilangkan rasa frustasinya.
"Kenapa mimpi bodoh itu tidak bisa hilang!" gerutunya.
Pintu apartemennya terbuka, sang kakak tiri masuk membawa rantang susun yang sudah pasti isinya pasti makanan.
"Ya ampun, Ar! Ini jam berapa? Ish ... Direktur nggak bisa jadi suri tauladan bagi karyawan!" gerutu Alesha kakak tiri Arkan.
Setelah kejadian enam tahun lalu, di mana Alesha tahu siapa sebenarnya Arkan, akhirnya wanita itu memilih untuk menerima. Lagi pula memang sejak awal dia juga sudah menyayanginya seperti adik kandung, kalau sekarang memang benar adik, sama ayah beda ibu lalu kenapa? Bukankah lebih baik dari pada adik sepupu.
Alesha menaruh rantang yang ia bawa ke meja, lantas menyambar handuk kecil di sofa dan mendekat ke arah Arkan yang tidak memperdulikan ucapannya.
Menekan tombol off pada alat kontrol Treedmill, Alesha menatap sang adik yang sudah bermandikan peluh, ia kemudian melempar handuk yang ada di tangannya.
"Mimpi buruk lagi?" tanyanya yang sepertinya tahu betul dengan kebiasaan dan sifat adik tirinya itu.
Arkan mengusap peluh di wajah, kemudian menatap kakaknya dengan seutas senyum. "Kakak kok pinter banget, sih!"
Pemuda itu turun dari Treedmill kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil air dari dispenser. Menenggak cairan bening yang ada di gelas hingga tandas.
"Mandi sana! Udah jam berapa ini, hah! Bagaimana perusahaan bisa maju kalau Direkturnya saja pemalas!" omel Alesha seraya membuka rantang makanan yang ia bawa.
"Oke, Kak! Ih ... tambah tua tambah bawel!" selorohnya yang langsung berlari ke kamar sebelum rantang yang ada di tangan sang kakak meluncur ke arahnya.
"Heh ... dasar bocah!" seru Alesha yang disusul dengan sebuah tawa.
Setengah jam berlalu, Alesha sudah menata sarapan untuk Arkan di meja makan. Selama ini Arkan memilih tinggal di apartemen ketimbang ikut Alesha di rumah sang suami, ayahnya meninggal karena sakit dan ibu kandung Arkan pergi entah ke mana.
Arkan keluar dari kamarnya dengan setelan jas yang tentu saja membuatnya terlihat lebih dewasa, selama ini Alesha selalu menyempatkan membawakan makanan untuk Arkan setiap pagi karena ia tahu jika tidak ada yang mengurus adiknya itu. Satu tahun lalu, Alesha melepas jabatan direkturnya kepada Arkan untuk bisa fokus merawat putrinya dengan Alvin yang kini berusia empat tahun.
"Ar! Cari istri napa? Masa iya, aku suruh kesini tiap pagi hanya buat nganterin kamu makanan sama mbenerin dasimu!" protes Alesha.
Wanita itu merapikan dasi adiknya yang belum rapi, kemudian mengusap dasi itu agar tidak kusut setelah selesai. "Hah ... serasa punya dua suami kalau gini!" kelakar wanita satu anak itu.
"Dih ... Kak! Kak kira cari istri kayak beli cabe di pasar, tinggal bilang cabe lima ribu langsung dapet!" seloroh pemuda itu yang kemudian langsung mendudukan diri di kursi makan.
"Hahahah. Jangan salah, Ar! Cabe kalau lagi mahal, juga perlu tawar menawar!" Jiwa pelit emak-emak muncul ketika membahas masalah harga sembako meski sudah pasti mampu beli walau harga cabe sekilo dua ratus ribu.
"Nah! Itu tahu, cari calon istri nggak mudah, apalagi kalau belum bisa melupakan tambatan hati yang pergi!" Jujur Arkan pada sang kakak.
Alesha mendesah kasar, ia teringat dua tahun lalu saat Arkan datang padanya dan meminta izin dengan setengah memaksa seperti orang gila harus hari itu pergi ke Australia karena ingin mencari tambatan hatinya yang memutus hubungan jarak jauh mereka, membuat patah hati pemuda itu. Sampai Alesha tidak habis pikir, pemuda itu kira mengurus visa dan lain-lain satu jam jadi, sampai-sampai pemuda itu ngotot harus terbang ke benua itu hari itu juga. Alvin sampai ikut mencak-mencak kesal karena Alesha gantian memaksa suaminya untuk mengurus visa dan pasport Arkan secepat yang ia bisa.
Arkan sedang dalam perjalanan bersama Dodi sang asisten. Dodi adalah temannya semasa kuliah, karena merasa hanya pemuda itu yang bisa ia percaya, Arlan pun mengajak Dodi bergabung sebagai asisten pribadinya.Dodi tampak membacakan jadwal Arkan pada siang hari, sedangkan Arkan sendiri fokus menyetir. Mengamati jalanan yang ramai dan sedikit macet, tatapan Arkan tertuju pada sesosok yang sepertinya tidak asing baginya. Tidak ingin kehilangan jejak, Arkan tanpa berpikir langsung menghentikan laju kendaraannya, membuat Dodi terkejut karena bosnya itu langsung saja keluar dari mobil.Tentu saja apa yang dilakukan Arkan membuat jalanan semakin macet karena ia memberhentikan mobilnya di tengah jalan."Arkan! Setdah tuh bos, ngapain berhenti di tengah jalan!" gerutu Dodi yang langsung berpindah ke belakang kemudi untuk menepikan mobil Arkan.Arkan berlari seperti orang gila, mengedarkan pandangan di tengah keramaian pusat p
Empat hari yang lalu, kota Adelaide, Australia. "Dad! Plis dong jangan!" Jessie terlihat memelas pada ayahnya. "Apanya jangan?" tanya Finlay—ayah Jessie. "Jangan kirim aku ke sana!" Finlay menatap putrinya itu, ia terlihat bingung karena putrinya menolak mengurus perusahaan cabang miliknya yang sedang tidak stabil kondisinya. "Daddy nggak bisa pergi, Jes! Kamu tega perusahaan Daddy bangkrut?" tanya Finlay sedikit mengangkat kedua alisnya. Jessie mencebik sebal, bibirnya sudah mengerucut dua centi meter. "Kirim aku ke mana pun, ke Afrika juga boleh asal jangan kesana!" kekehnya tak mau tahu alasan ayahnya mengirim dirinya. "Jessie sayang, hanya kamu yang bisa Daddy percaya. Tolong ya!" Kini gantian Finlay yang memelas pada putrinya. Jessie terperanjat bingung, hal yang paling tidak bisa ia lihat a
"Mas Feri! Kamu kerja sama Daddy sudah berapa tahun?" tanya Jessie yang masih duduk di kursi penumpang dengan menyangga dagu menatap jalanan."Sudah sekitar lima tahun, Non!" jawabnya.Jessie mendeham, tatapannya masih tertuju pada jalanan yang sangat ramai sore itu. "Jangan pangil aku 'Non', bisa nggak Jessie aja!" pintanya."Ya, tapi nggak sopan!" Feri terlihat kikuk."Nggak apa, kalau kamu manggil 'Non' aku malah merasa aneh saja, lagi pula kamu nggak terlalu cukup tua dari aku, coba 'ku tebak! Umurmu pasti dua puluh delapan, hanya lebih tua dua tahun dariku, 'kan," ucapnya menebak.Feri mengusap tengkuknya kikuk, ia nyengir kuda seraya melirik bayangan Jessie dari kaca spion.Mobil itu masih melaju, tatapan Jessie menajam ketika melewati Mall terbesar di kota itu, apalagi kalau bukan PG Mall. "Apa dia masih kerja di sana? Kalau iya, maka aku tidak akan pe
Dodi yang tersadar jika Jessie menanti bantuan apa yang ingin dia minta pun tersenyum canggung, ia kemudian bertanya pada Jessie, merk kopi mana di antara dua kemasan di tangannya yang lebih nikmat.Mendengar pertanyaan Dodi tentu saja membuat Jessie hampir meledakkan tawa. Ia pikir bantuan apaan karena pemuda itu terlihat begitu serius."Ini!" Jessie menunjuk pada kemasan yang ada di tangan kanan Dodi.Setelah membantu memilihkan kopi untuk Dodi, Jessie langsung mengambil beberapa bungkus kemasan kopi yang ia inginkan, kemudian pergi dari tempat di mana Dodi masih berdiri mematung.Tersadar jika gadis yang sempat mengalihkan dunianya berlalu, Dodi secepat kilat mengejarnya yang sudah berdiri di mesin kasir."Semuanya dua ratus empat puluh lima ribu," kata kasir itu seraya memasukkan barang Jessie ke kantong.Jessie membuka dompetnya hendak mengambil lembaran uang dari sana, tapi te
"Ji, putramu mana?" tanya Jessie."It's time for me, tentu saja dia sama neneknya. Hahahaha." Jihan tertawa lepas, ia memang sengaja menitipkan putranya kepada sang nenek."Kita udah nikah, dapat bonus juga. Kamu kapan? Umur udah matang, jangan sampai nunggu perawan tua baru nikah!" cibir Shelly."Hei, hei! Mulut ibu-ibu ternyata lebih pedas dari sambal setan!" cibir Jessie balik."Ingat, kamu lagi hamil jadi jangan banyak marah-marah. Nanti darting, terus kata orang jawa kalau lagi hamil lalu benci sama orang, anaknya bakal mirip yang kamu benci. Mau anakmu mirip aku," timpal Jessie. "Eh, kayak aku tak apa, aku 'kan cantik," imbuh Jessie memuji diri sendiri."Cih, amit-amit mirip kamu, yang ada nanti anakku nggak laku kayak kamu meski cantik," cibir Shelly sedikit mendecih dengan mengusap perutnya yang besar."Ih ... kamu ya, suka banget doain aku nggak laku, ucapan adalah doa, kam
Diruang tempat bertemunya bagian penanggung jawab pinjaman, karyawan Arkan sedang melakukan diskusi dengan perwakilan Smith Company."Tidak bisa Nona, perusahaan Anda sedang tidak stabil dan kami lihat kalau harga saham saja sedang mengalami penurunan yang signifikan. Jadi kami tidak berani memberikan pinjaman dengan jumlah yang perusahaan Anda ajukan,"ujar karyawan itu."Tapi harga saham kami masih di atas rata-rata meski mengalami penurunan, bagaimana bisa kalian tidak mempertimbangkannya juga?""Tapi ini sudah peraturan, kami hanya bisa memberikan pinjaman antara lima puluh hingga tujuh puluh milyar saja," tandas karyawan itu.Jessie mendesah kasar, biaya operasional juga gaji karyawan yang sudah menunggak sebulan harus segera dibayarkan. Jika pinjaman yang diajukan kurang dari seratus, maka ia khawatir jika itu tidak bisa mencukupi mengingat kalau kas anak cabang perusahaan ayahnya itu sudah benar-benar me
"Kenapa?" tanyanya membuka percakapan mereka."kenapa apanya?" tanya Jessie balik mengalihkan tatapannya ke arah lain untuk menghindari tatapan Arkan.Arkan mengurai kedua tangannya, mengalihkannya ke kedua sisi kursi, bertumpu untuk mengunci Jessie di kursi yang diduduki. Ia menatap tajam mata gadis itu yang terus menghindari tatapannya."Jessie! Kenapa minta putus?!" Arkan menanyakan pertanyaan yang terus mengganjal di hatinya selama dua tahun ini."Tidak bisakah kita mengesampingkan urusan pribadi? Kita sedang di kantor, kenapa tidak membicarakan masalah bisnis!" kilah Jessie masih mencoba menghindar."Jangan mengalihkan pembicaraan, aku tidak akan membahas masalah bisnis sebelum tahu jawaban tentang pertanyaan yang tidak pernah kamu jawab!" paksanya.Jessie memejamkan mata sekilas, tidak ada alasan kenapa dirinya meminta putus. Hanya rasa bersalah karena terus memberi mimpi pada
Dodi langsung masuk ketika Feri pergi mengikuti Jessie. Ia terkejut ketika melihat Arkan sedang kesakitan karena kakinya terkena injakan sepatu fantofel milik Jessie."Kamu kenapa? Dan apa yang kamu lakukan, Ar!" Dodi menyelidik."Ahh ... bukan urusanmu!" Arkan masih dalam mode kesal.Arkan kembali ke kursinya, sungguh ia tidak menyangka kalau Jessie akan sampai sedikit kasar padanya. Arkan menyentuh bibirnya dengan jemari, ia bisa merasakan dinginnya bibir Jessie. "Apa sebegitu takutnya dia denganku sampai tubuhnya terlihat gemetar," gumamnya dalam hati."Ar! Kamu nggak melakukan pelecehan, 'kan! Tadi aku lihat dia keluar seraya menutup mulutnya," tuduh Dodi menatap curiga pada Arkan.Arkan hanya diam, ia enggan menanggapi perkataan Dodi, pikirannya masih tertuju pada Jessie. Beribu pertanyaan terus berputar di otaknya, kenapa dia tidak ingin kembali? Kenapa dia menolak?"Apa dia sudah menikah?" Arkan bertanya-tanya dalam hati. "Jika iya, lalu ak