Home / Romansa / Takdir Cinta Khairunnisa / BAB. 5 MENGABDI PADA KELUARGA BAIK HATI

Share

BAB. 5 MENGABDI PADA KELUARGA BAIK HATI

last update Last Updated: 2023-06-13 17:31:10

Selain Pak Kyai dan Bu Nyai, ada sepasang suami istri separuh baya yang sehari-hari membantu di rumah ini. Mereka menempati rumah kecil di belakang rumah besar ini. Kang Sarman dan Yu Girah nama suami istri itu. Kang Sarman bertugas membantu membersihkan masjid dan pekarangan sekitar rumah. Sedang Yu Girah membantu Bu Nyai di dapur dan membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya.

Sedikit cerita dari Yu Girah, katanya keluarganya sudah turun temurun bekerja pada keluarga ini. Pak Kyai dan Bu Nyai memperlakukan mereka dengan sangat baik, hingga mereka betah bertahun-tahun bekerja di sini. Padahal anak-anak mereka semua sudah hidup berkecukupan dan berkali-kali menawari untuk ikut bersamanya, namun mereka tetap bersikukuh tinggal di sini.

Beruntung sejak kecil aku terbiasa bangun sebelum subuh, hingga tidak kaget saat awal-awal tinggal di rumah ini. Sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan seluruh penghuni rumah harus menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid.

Setelah salat Subuh, tugasku menyapu dan mengepel rumah serta membersihkan perabotan yang dianggap kotor. Saat awal-awal tinggal di sini aku kaget juga, membersihkan rumah sebesar ini terasa sekali capeknya, maklumlah rumah ini lima kali lebih luas dari rumahku. Namun, lama-lama terbiasa, menganggap sebagai olah raga pagi.

Sesuai yang Yu Girah ajarkan waktu itu, aku dianjurkan mengepel lantai teras terlebih dahulu, lalu mundur melewati sepasang pintu kayu jati dengan ukiran yang sangat artistik. Kemudian masuk ke ruang tamu. Ada dua stel kursi tamu di ruang ini, dengan dua bufet dari kayu yang ditempatkan berhadapan di samping kanan dan kiri ruangan, menempel dinding rumah.

Setelah ruang tamu, yang harus dibersihkan berikutnya adalah ruang keluarga. Antara ruang tamu dan ruang keluarga ada gebyok kayu jati sebagai pembatas, di sisi kanan ruang keluarga terdapat jendela lebar. Di bagian kiri ada pintu yang menghubungkan dengan tempat wudu wanita.

Di sini biasanya kami berkumpul, ngobrol ringan sambil minum teh atau nonton TV ditemani camilan buatan Bu Nyai. Di sini pula, tiga bulan yang lalu aku melihat ibu terbujur di dipan setelah jatuh terpeleset di tempat wudu. Astaghfirullahaladzim ... ternyata air mata ini tetap saja mengalir setiap teringat ibu, meskipun hampir seratus hari ibu meninggalkanku. Ada deheman yang membuatku kaget dan secepat kilat kuhapus bulir bening di sudut netraku.

"Kalo capek istirahat dulu Nis, nanti dilanjut lagi." Ternyata ada Pak Kyai di ambang pintu yang menghubungkan dengan tempat wudhu.

"Tidak, Pak Kyai ... cuma berkeringat," dalihku sambil mencelupkan alat pel ke dalam ember berisi air yang sudah diberi cairan pembersih lantai.

"Ujian kelulusanmu kapan, Nis?" tanya Pak Kyai mengalihkan topik pembicaraan.

Sepertinya beliau tahu apa yang sedang aku rasakan, dan berharap bisa sejenak melupakan rasa itu.

"Satu minggu lagi, Pak Kyai. Nisa mohon doanya, ya ..." Aku menjawab pertanyaan abah dengan bahasa Jawa halus.

Sejak kecil, aku dilatih untuk selalu menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil bila berbicara dengan orang yang lebih tua. Ini memudahkanku saat bergaul dengan keluarga Pak Kyai, yang sangat mengedepankan sopan-santun dan unggah-ungguh dalam kehidupan sehari-hari.

"Oh ... ya .... Semoga lancar semuanyaa, ya , Nis. Jangan lupa berdoa, supaya Gusti Allah mengabulkan keinginanmu." Abah mengamini permintaanku.

"Matur nuwun, Pak Kyai, semoga permohonan saya terkabul, maaf saya melanjutkan mengepel lagi." Lelaki berpeci putih itu mengangguk-angguk mengiyakan ucapanku.

Masih ada beberapa ruangan yang belum aku pel. Kamar tidur utama yang bersebelahan dengan ruang makan, dan berikutnya ada tiga kamar berjejer dengan ukuran dan posisi pintu yang semua menghadap ke arah depan. Di sebelah kanan adalah kamar Mas Iqbal, yang tengah kamar Mbak Ainun dan berikutnya kamar Mas Irsyad. Kamar Mbak Ainun inilah yang sekarang aku tempati.

Sementara kamar Mas Iqbal dan Mas Irsyad lebih sering kosong. Selama di sini aku sama sekali belum pernah masuk ke dalam dua kamar itu, walaupun tidak dikunci, tetapi aku tidak berani membersihkan tanpa perintah Bu Nyai.

Tiga kamar yang berjejer tadi merupakan bagian belakang rumah, sedangkan untuk dapur ada pada bagian bangunan yang menjorok keluar, yang biasa disebut gandok dalam bahasa daerahku. Letak gandok ada di sebelah kanan bangunan utama, sejajar dengan ketiga kamar tadi, gandok terbagi menjadi dua ruang, yang depan sebagai dapur dan bagian belakang sebagai tempat menyimpan padi.

Sementara untuk sumur dan kamar mandi serta WC ada di belakang, terpisah dari bangunan rumah. Sebenarnya masih ada paviliun di samping kanan rumah besar ini, lengkap dengan kamar mandi di dalamnya, tetapi hanya dibersihkan sesekali saja, terutama jika akan ada tamu yang menginap.

Hari ini adalah hari terakhir ujian kelulusan. Aku pulang lebih awal dari biasanya karena hanya ada mata pelajaran muatan lokal yang diujikan. Arloji di pergelangan tangan kiri, baru menunjukan jam sepuluh, tetapi matahari sudah bersinar dengan teriknya. Kukayuh pedal sepeda dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang hampir tiga tahun aku lalui, saat pergi dan pulang sekolah. Tidak lama lagi aku akan lulus, itu berarti tidak akan rutin lagi melewati jalan ini.

Sebenarnya ada berbagai tawaran beasiswa untuk melanjutkan kuliah, tetapi tidak aku ambil kesempatan itu. Bisa menyelesaikan sekolah hingga SMK saja sudah sangat senang. Beruntung masih ada orang-orang baik dan peduli di sekitar, hingga aku tidak sampai putus sekolah. Allah masih menyayangiku melalui uluran tangan Pak Kyai dan Bu Nyai. Dalam hati berjanji akan selalu mengingat jasa-jasa mereka dan sebisa mungkin tidak akan membuat mereka kecewa. Aku sangat berhutang budi pada mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Cinta Khairunnisa    BAB. 41 TERSINGKAPNYA TABIR RAHASIA

    POV IrsyadHari ini adalah jadwalku untuk terapi. Meski Nisa sudah sembuh, tapi ia tidak kuperbolehkan mengantar ke rumah sakit. Aku tidak ingin ia terlalu capek dan jatuh sakit lagi seperti kemarin."Mas Irsyad yakin, nggak mau aku antar? "Iya, Nis ... kamu di rumah saja ya, biar Iqbal yang mengantar. Semalam, aku sudah minta tolong, paling sebentar lagi dia menjemputku. Kamu baik-baik di rumah, ya!" Kuelus lembut punggungnya."Suntuk kalau di rumah sendiri, Nisa ke toko saja ya? Ndak papa kan, Mas Irsyad aku tinggal sekarang?""Aduh ... kamu baru sembuh, Nis. Kalau di toko pasti ndak bisa istirahat." "Nisa sudah sehat, Mas. Janji deh di toko ndak ngapa-ngapain, cuma_""Cuma apa? Ketahuan nih, cuma ... cuma ... kangen sama Syarif, ya?" godaku yang membuat Nisa memajukan bibir beberapa centi."Iiih ... Mas Irsyad tega banget sih! Boleh, ya Nisa ke toko?" rajuknya dengan bergelayut di lenganku, kalau sudah begini rasanya tak tega untuk tidak menuruti keinginannya."Ok ... boleh ke

  • Takdir Cinta Khairunnisa    BAB. 40 SULITNYA MENGUBAH RASA

    Segera kututup panggilan, dan bergegas pamit pada Syarif. Kukayuh pedal dengan cepat. Saat seperti ini, jarak antara toko ke rumah yang tak sampai satu kilometer tiba-tiba terasa begitu jauh. Dari pintu pagar, kulihat mobil Abah sudah di halaman rumahku. Setelah memarkir sepeda, aku bergegas masuk ke rumah. Di kamar, sudah ada Mas Iqbal bersama kedua temannya, bersiap menggotong Mas Irsyad. "Mas Irsyad ...," pekikku tertahan. Mak Dijah mendekat, mencoba menenangkanku, disusul Umi dengan lembut meraihku dalam pelukannya. Umi tergugu. Tiba-tiba kekhawatiran menyelimuti hati ini. Aku yakin, Mas Irsyad benar-benar pingsan, bukan sedang akting seperti dulu sesaat sebelum kami menikah. Abah memintaku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, agar ada yang menerima Mas Irsyad. Agak kerepotan memasukkan tubuh jangkungnya. Kini, kepala Mas Irsyad ada di pangkuanku. Hanya Abah, aku dan Mas Iqbal yang mengantar ke rumah sakit. Sementara Umi menunggu kabar selanjutnya di rumah. Dari dala

  • Takdir Cinta Khairunnisa    BAB. 39 KHAYALAN TABU

    POV. KhairunnisaAroma minyak kayu putih menusuk indra penciumanku. Susah payah aku membuka netra, tapi pening di kepala memaksa kembali memejamkannya. Samar terdengar orang berbicara. Setelah beberapa saat, akhirnya netra ini dapat terbuka sempurna. Aku seperti orang linglung, tak tahu apa yang terjadi. Ada Mas Irsyad duduk di sampingku. Umi dan Mak Dijah juga ada di dekatku. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nis,” ujar Mas Irsyad sambil menggenggam tanganku. “Aku kenapa, Mas?” tanyaku kemudian. Lelaki berbaju koko putih itu mengacuhkan pertanyaanku. Ia menerima segelas teh dari Umi lalu membantuku meminumnya. Hanya kucecap beberapa kali. Lidah ini terasa pahit, perut juga rasanya mual. “Tadi, saat pada asyik ngobrol di depan, kamu pingsan di ruang tengah, Nis. Untungnya Iqbal pas lewat, kebetulan dia mau ke belakang,” terang Umi yang membuat hatiku tak menentu. Kuhela napas panjang, sambil mengumpulkan serpihan memori yang berserakan. Perlahan dapat kuingat semuany

  • Takdir Cinta Khairunnisa    BAB. 38 INGIN HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

    Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah mengapa rasa kantukku hilang begitu saja, karena tiba-tiba teringat peristiwa dua hari yang laluaa--qbal membopong Nisa. Ingatanku merembet ketika aku melihat langsung Nisa terlihat begitu gugup menerima telepon dari Iqbal beberapa waktu lalu. Bahkan, dengan buru-buru ia menyerahkan ponsel padaku. Adakah kaitannya semua itu dengan kepindahan Nisa ke rumah ini yang terkesan terburu-buru? Tiba-tiba ada ketakutan menyelimuti perasaan. Jika sebelumnya aku takut, karena cepat atau lambat pasti akan meninggalkan Nisa. Kini sebaliknya, khawatir Nisa meninggalkanku.Kupandangi seraut wajah di sampingku, wajah yang mengingatkan akan peristiwa konyol di kamar mandi—saat aku opname di salah satu rumah sakit di Magelang. Wajah dengan semburat merah karena malu bercampur kesal yang menggiringku kembali ke rumah orang tuakuhal--ng sebelumnya tak kuinginkan sama sekali.Bukan tanpa alasan enggan pulang ke rumah, sejak terlibat penggunaan obat-obatan terlarang

  • Takdir Cinta Khairunnisa    BAB. 37 INSTUISI SUAMI

    POV Irsyad Dari ruang tengah terdengar Iqbal memekik, menyebut nama Nisa. Setengah berlari aku menuju ke arahnya, diikuti Abah Umi dan yang lain. "Nisa pingsan," ujar Iqbal ketika melihatku membuka pintu. Ada kecemasan pada nada suaranya. Aku tak percaya melihat Nisa tergolek di pelukkan Iqbal. Sebelumnya ia tak mengeluh apa pun. Hanya telapak tangannya kurasakan hangat, ketika tadi pagi kami bergandengan dari rumah sampai ke sini. Belum hilang rasa kagetku, kembali aku disuguhi pemandangan yang membuat diri ini tercengang. Tanpa kuduga, Iqbal membopong tubuh Nisa, lalu dengan hati-hati dibawanya masuk ke dalam kamar kamarnya, merebahkannya pelan-pelan di atas tempat tidur. Rasanya seperti ada silet yang tanpa ampun menyayat-nyayat hati, melihat Iqbal dengan sigap menolong Nisa. Ah, betapa kerdilnya pemikiranku. Bukankah Iqbal hanya membantu istriku, yang ambruk bersamaan saat dirinya akan masuk ke ruang tengah. Meski hati kecilku memihak pada Iqbal, tapi tetap saja ada sesuatu

  • Takdir Cinta Khairunnisa    BAB. 36 MENYEMBUHKAN LUKA LAMA

    Maaf, Nis ... Umi ada? Aku mau bicara sebentar." Seketika lamunanku buyar, saat suara Mas Iqbal terdengar kembali. "Eh, iya ... maaf, Mas ... Nisa yang terima, emm ... soalnya emm ... Umi sedang ke pasar." Aku terbata-bata menjawab pertanyaan lelaki yang pernah bertakhta di hati, tak bisa kusembunyikan rasa gugup. Ya Allah ... dosakah hamba? Jika cintaku pada Mas Iqbal masih tersisa. Sudah setahun lebih aku menikah dengan Mas Irsyad, tapi kenapa belum bisa lepas dari rasa itu? "Dari siapa, Nis? Kok grogi begitu, kayak ngobrol sama mantan saja ... hehehe ...?" Aku tersentak mendengar kata-kata Mas Irsyad yang ternyata sudah duduk di kursi makan. Mantan? Tentu dia hanya bercanda. Akan tetapi ucapannya seperti anak panah yang melesat tepat mengenai dada, tembus hingga ke jantungku. Masyaallah ... sudah berapa lama dia ada di sini? "Eh, Mas ... bukan ...! Ini dari Mas Iqbal,” jawabku salah tingkah. ”Maaf, dilanjutkan bicara sama Mas Irsyad saja ya, tiba-tiba perut N

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status