Laki-laki itu menatap nanar ponsel yang masih berada dalam genggamannya. Pemandangan yang barusan dilihatnya itu sungguh membuat hatinya trenyuh. Dia tak bisa membayangkan seandainya berada di sana, sarapan bersama mereka.
Sekilas kamera ponsel Naila berhasil menampilkan tiga buah piring berisi nasi dengan lauk irisan telur dadar dan tiga gelas teh. Hanya itu sarapan mereka, tapi Ammad bisa melihat betapa gembira mereka di pagi hari ini.
Laki-laki itu menghela nafas panjang. Ah, Naila. Dia tidak habis pikir dengan wanita itu. Di tengah keadaan ekonomi keluarganya yang serba keterbatasan, Naila selalu menolak tawaran bantuan darinya. Entah sudah berapa kali Naila menolak pemberiannya dan entah harus dengan cara apalagi supaya wanita itu mau menerima pemberiannya.
Padahal demi Tuhan, dia ikhlas memberikan semua itu untuk Naila. Bukan karena modus ingin menjadikannya sebagai kekasih, istri atau apapun istilahnya seba
Heran, di mana-mana selalu saja orang-orang mempertanyakan hubungannya dengan Naila. Rahman, Khairul, bahkan ibu Diana pun selalu bertanya masalah yang satu itu. "Tumben mukamu kusut, Mad. Ada apa?" tanya ibu Diana ketika Ammad baru saja memasuki warung makan itu. Ahmad menghela nafas panjang. Dia tersenyum kecut. "Gimana nggak kusut, Bu? Orang-orang di proyek pada membicarakan saya dengan Naila," keluhnya. Wanita separuh baya itu tertawa terpingkal-pingkal. Suaranya bahkan menarik perhatian orang-orang yang sedang asyik menikmati makanan siang ini. "Kamu sih terlalu malu-malu. Coba dong agresif sedikit. Dekatilah Naila, jujur dengan perasaan sendiri. Jangan bikin dirimu menyesal di kemudian hari, kalau akhirnya Naila menjalin hubungan dengan laki-laki lain," tutur ibu Diana. "Kalau Naila menjalin hubungan dengan laki-laki lain, apakah saya berhak untuk melarangnya? Bahkan sampai saat ini saya hanya mampu memberikan dia status sebagai
Ammad baru saja menyelesaikan shalat magrib di dalam kamarnya. Dia meraih ponsel dan menatap nanar kalender yang ada di layar ponselnya itu. Ya Allah, masih setahun lagi dia harus tinggal di sini. Masih setahun lagi kontraknya baru selesai. Bagaimana mungkin dia bisa menjauhi wanita itu? Sedangkan desakan di hatinya selalu menginginkan untuk bertemu dan berada di dekatnya. Apalagi jika mengingat Nayra. Gadis kecil itu begitu menyayanginya. Dia dan Naila mungkin bisa mengatur agar mereka tidak usah bertemu lagi. Komunikasi hanya sebatas lewat telepon. Pertemuan mungkin bisa dibatasi, hanya di warung ibu Diana saja. Dia dan Naila mungkin bisa mengatur semua itu, tapi bagaimana dengan Nayra? Gadis kecil itu tidak tahu apa-apa dengan masalah di antara mereka. Dia hanya tahu bahwa dia sekarang sudah memiliki seorang paman yang sangat menyayangi dan menjadi tempat dia mencurahkan kasih sayang seorang anak kepada ayahnya. Dia lagi senang-senangnya memiliki sesosok l
Naila menggelengkan kepala. "Bukan, Ma. Itu temannya Bang Ammad. Namanya Khairul," sahut Naila. "Kenalan baru lagi nih?" celetuk Syifa. Wanita itu rupanya menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Padahal dia tengah sibuk menggoreng bawang. "Iya, Kak Syifa. Dia temannya bang Ammad," ucap Naila. "Masih sendiri atau sudah berkeluarga?" tanyanya. "Tidak tahu, Kak. Soalnya ini juga baru kenal. Tidak sopan kan kalau langsung nanya, apakah dia masih sendiri atau sudah berkeluarga," jawab Naila. Dia menggelengkan kepala. "Bukannya kayak gitu, Nai. Siapa tahu aja dia suami orang. Kan repot." "Persahabatan itu tidak mengenal status, Kak. Lagian Naila juga tidak pernah berpikir macam-macam. Naila hanya ingin berteman. Itu aja," balas Naila "Kamu itu Nai, dasar keras kepala. Sudah sering di bilangin, tapi tidak pernah mau menerima nasehat. Kalau mau berteman dengan laki-laki itu carilah laki-laki yang masih sendiri bukan yang sudah berkelua
Iya, nggak apa-apa, Nai. Lain kali aku akan ke warung bersama Pak Ammad untuk menemuimu. Boleh kan kalau kita berteman?] [Boleh sekali. Nai senang berteman dengan siapa aja, asalkan orangnya baik dan sopan. Oh ya, kamu dapat nomor Nai dari Bang Ammad ya?] [Iya nih. Maaf ya, Pak Ammad tidak bilang ke kamu kalau dia ngasih nomor kamu kepadaku] [Tidak apa-apa, Bang Khairul. Ya udah, Nai lagi sibuk nih di dapur. Nanti kita ngobrol lagi ya] [Ya Nai, Aku juga sambil kerja. Selamat beraktifitas ya] [Oke Bang Khairul, selamat bekerja juga. Jaga diri Abang baik-baik ya. Tetap semangat! 👍👍] Khairul menatap nanar layar ponselnya. Dia tak menyangka akan mendapat sambutan seperti itu dari Naila. Sambutan yang begitu manis dengan tutur kata yang sopan dan menunjukkan bahwa si empunya pesan merupakan pribadi yang sangat menari
Drrtt drrtt drrtt .... Nama ibunya tertera di layar ponsel. Khairul segera menekan tombol berwarna hijau, kemudian menempelkan benda pipih berbentuk segi empat panjang itu ke telinganya. "Assalamu alaikum, Ma," sapanya "Wa alaikum salam." Terdengar sahutan seorang wanita tua di seberang sana. "Apa kabar, Ma? Maaf Khairul belum bisa kirim uang untuk Mama dan Papa, karena Khairul belum gajian," ucapnya. "Alhamdulillah, Kami selalu sehat, Nak. Jangan dipikirkan soal gajian. Uang yang kamu kirimkan lebih dari cukup untuk menopang kebutuhan kami sehari-hari." Ibunya tertawa. "Alhamdulillah ... semoga Mama dan Papa selalu sehat," doa Khairul. "Kamu sendiri gimana? Bagaimana dengan pekerjaan kamu, Nak?" "Alhamdulillah ... selalu lancar, Ma. Itu berkat doa Mama dan Papa. Teman-teman disini semuanya baik terhadap Khairul." "Syukurlah, Nak. Semoga hidupmu selalu diberkahi. Oh, ya, Nak, boleh nggak Mama tanya ses
"Tidak ada apa-apa, Pak. Bapak mau ke mana pagi-pagi begini?" "Saya mau ke rumah Naila," ucapnya. "Kamu mau ikut?" Naila? Mendengar nama Naila di sebut, tiba-tiba matanya berbinar. "Oke." Dia segera menyahut. " Kita disana tidak lama kan?" "Iya, cuma sebentar saja. Pagi ini juga kita akan kembali ke sini untuk melanjutkan pekerjaan." Ammad terus melangkah menuju mobil. "Kamu saya tunggu di mobil ya," serunya. Pemuda itu mengangguk. Dia pun segera masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian dia sudah muncul kembali dengan mengenakan celana training dan kaus lengan pendek berwarna abu-abu. Ammad tersenyum. Ia mengacungkan jempolnya. ❣️❣️❣️ "Memangnya ada apa, Pak? Kenapa Bapak pagi-pagi begini mau ke rumah Naila? Seperti tidak ada waktu lain aja." tany
"Om pun kangen Nayra. Maafkan Om ya, baru sekarang bisa mengunjungi Nayra dan Mama," ucap Ammad. Laki-laki itu duduk di kursi dengan posisi memangku gadis kecil itu. "Tidak apa-apa, Om. Om kan sibuk kerja," sahut Nayra. Ia menatap laki-laki dewasa di hadapannya. Khairul terpaku menyaksikan keintiman itu. Bosnya yang terlihat begitu dekat dengan seorang gadis kecil, layaknya seorang ayah kepada anak perempuannya. Sekejap kemudian dia tersenyum simpul. "Pantas saja dia berhasil merebut hati anak perempuan Naila. Ternyata begini caranya," gumam laki-laki itu di dalam hatinya. "Om, paman ini siapa sih?" Nayra menunjuk Khairul yang berdiri di dekat mereka. "Oh ... kenalkan paman ini, namanya Khairul. Nayra boleh memanggilnya Paman Khairul, Om Khairul atau Pak cik Khairul juga boleh," jawab Ammad. "Panggil saja Om Khairul, Nayra," ucap Khairul. Khairul menyodorkan tangannya kepada gadis kecil itu. Nayla pun menyambutnya dengan sebuah
"Tidak, Rul. Hanya kepada saya saja Nayra bersikap seperti itu. Entahlah, saya juga tidak tahu. Saya rasa anak kecil itu memiliki perasaan yang peka. Hanya kepada orang yang benar-benar tulus menyayanginya, dia mau menyayangi orang itu. Anak kecil kan nggak bisa bohong, Rul." "Iya Pak, tapi apakah memang benar, Bapak cuma pengen yang begini-begini saja, tidak ada kelanjutannya yang lebih serius gitu?" tanya Khairul. "Kayaknya cuma cukup sampai sini saja, Rul. Saya cukup tahu diri dengan tidak menghinakan wanita yang saya sayang sebagai istri siri atau istri sementara saya selama disini. Naila terlalu mulia untuk itu, Rul." "Memangnya kamu ada solusi?" tanya Ammad. "Solusinya sih gampang, Pak. Serahkan saja Naila kepada saya," ucap Khairul sambil tertawa. "Macam-macam saja kamu, Rul. Naila itu bukan milik saya. Dia milik orang tuanya. Jadi mintalah kepada orang tuanya. Memangnya kamu benar-benar serius? Kalau kamu tidak serius, kamu akan