Damian menatap geram ke arah Oliver. Tak lama kemudian tatapannya sudah berpindah pada Merry, mata gadis itu terlihat sayu. Menyedihkan. "Ambil barang-barang pentingmu saja, tetap di dekatku, ayo kita keluar!" perintah Damian tiba-tiba. Merry biasanya akan berontak, terlebih jika mengingat siapa yang sedang memberinya perintah kali ini. Namun, ini bukan tentang saling menyalahkan seseorang. Dalam situasi genting seperti ini, gadis itu tidak akan pikir panjang untuk menentukan sikap. Ia memang sempat menoleh ke arah Tuan Sameer dan juga Eric. Keduanya bahkan tidak bisa mencegah kerumunan wartawan yang semakin lama semakin ramai. Tak mau buang waktu, Merry langsung mengemas ponsel, dompet, dan juga botol susu Dave ke tas samping yang biasa ia kenakan. Setelahnya, ia menuruti perintah Damian. Ia bahkan tidak lagi peduli dengan detak jantungnya yang berdegup kencang, ketika pemuda itu menggenggam erat tangannya sembari menggendong Dave membiak kerumunan wartawan. "Damian, apakah dia
Damian dan Merry saling diam. Suasana di dalam mobil pun menjadi hening. Tak ada sapa di sepanjang perjalanan mereka. Apalagi Dave sedang terlelap dalam pelukan Merry.Saat itu, Merry dipaksa duduk bersebelahan oleh Damian. Tentu saja alasannya adalah untuk berjaga-jaga, karena situasi mereka buruk akibat ulah Oliver.Di sudut jalan, dekat minimarket, mendadak Damian menghentikan mobilnya."Kau butuh apa, Nona? Setelah ini tidak ada pertokoan. Bisa jadi, Sameer dan anak buahnya akan datang terlambat. Mungkin besok mereka baru bisa menemui kita," ujar Damian.Kali itu, ia berbicara dengan nada rendah. Tak ada ekspresi amarah di wajahnya."Belikan saja susu, botol, dan juga pokok untuk Dave. Jika mungkin, tolong belikan pakaian ganti untuk anak ini," pinta Merry.Damian menatap Dave yang sedang terlelap sesaat."Dia sangat tampan, bahkan meski sedang terlelap. Baiklah, tunggu di sini. Aku akan belanja sebentar. Jangan pergi meninggalkan mobil, atau ke manapun tanpa aku. Kecuali kamu suk
Eric yang sejak tadi mengamati, merasa sangat geram dengan perlakuan Damian."Damian, aku tahu kau adalah pemilik agency di mana tempatku bekerja. Untuk itu, dengan segala hormat, seharusnya tidak sekeji itu kau bersikap kepada Merry," ungkap Eric.Damian tersenyum kecut."Wah, ada pahlawan kesiangan rupanya. Kenapa tidak kau nikahi saja dia. Jadilah ayah bagi anak haram itu!"Damian menunjuk ke arah wajah anak kecil yang sedang digendong Merry itu."Anak haram? Oke, Eric. Tidak ada alasan bagiku untuk tinggal di agency bedebah yang kau rekomendasikan." Merry bahkan berbicara dengan suara bergetar.Awalnya, ia pun tak menginginkan anak. Tapi, seiring berjalannya waktu ia jatuh cinta pada anak kecil yang kini telah menjadi bagian hidupnya itu."Kau tidak boleh berhenti! Kau harus bertanggung atas rumor yang tercipta di luar sana!" bentak Damian dengan rahang mengeras.Merry tersenyum samar."Aku tidak peduli."Gadis itu mengakhiri perdebatannya, lalu segera berkemas. Ia mengangkat kope
Satu minggu telah berlalu. Merry masih ditahan di villa pribadi milik Damian. Sekeliling bangunannya dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Merry sempat mencoba keluar saat sore hari, ia bahkan memiliki niat kabur dari tempat itu, nyatanya nyaris tak ada kesempatan. Entah sejak kapan, Sameer meminta anak buahnya melakukan pengawalan yang ketat. "Sampai kapan aku akan menjadi tawananmu di tempat ini, Damian? Aku sudah tidak tahan, biarkan aku pergi!" Merry mendengus kesal. Sesekali mata lentiknya menatap ke arah kereta dorong, di mana di sana Dave sedang duduk dan bermain. "Kau tidak akan pernah pergi. Aku sudahbtahu semua tentangmu dari Sameer, Merry. Tidak baik bagimu berada di luar," sahut Damian. Tentu saja ia bersikap lebih menjengkelkan dari hari-hari sebelumnya. Ia bukan lagi sekedar dingin dan angkuh. Tapi ia juga kerap menunjukkan sikap kasarnya dan juga selalu menatap tajam kepada siapapun lawan bicaranya. Mendengar penuturan Damian, Merry semakin kesal. "Aku harus berte
Hari ini Eric datang ke mansion tersembunyi dekat tebing, tempat Damian menyembunyikan Merry beberapa pekan ini.Saat bertemu dengan Sameer, langkah Eric mulai melambat. Terlebih ia melihat Dave mendapatkan pengasuh baru yang usianya masih muda."Di mana Tuanmu? Aku ada kepentingan pekerjaan," cetus Eric tanpa basa-basi.Eric berbicara sembari memasukkan sebelah tangannya ke kantung celana. Tentu saja hal itu ia lakukan untuk mengurai rasa takut yang mendadak mendera di hadapan Sameer. Tangannya gemetar.Sameer tersenyum simpul, ya pria menyeramkan itu memang tidak pernah ramah pada siapapun."Jika memang itu demi pekerjaan, temui Tuan Damian di sana! Jika demi Merry, jangan harap ada kesempatan!" seloroh Sameer membuat Eric menyembunyikan rasa kesalnya."Ummm, sebentar Sameer. Aku rasa akan lebih baik jika kamu tidak perlu terlalu ikut campur terlalu dalam," bisik Eric, kemudian pergi ke arah yang ditunjukkan oleh Sameer.Ia bahkan tidak ingin tahu bagaimana ekspresi Sameer setelah m
Merry segera berdiri saat melihat situasi di ruangan restoran mulai memanas. Lagi. Seharusnya Eric tidak mempertemukan Oliver dan Damian.Akan tetapi, kondisinya berbeda. Sebenarnya Eric berpihak pada siapa? Mengapa ia terkesan mengadu domba kedua belah pihak? Bahkan pemuda itu tidak berpikir apa akibat yang ditanggung Merry akibat ulahnya."Bibi, berikan Dave padaku. Aku ingin menggendongnya," tukas Merry seraya memperhatikan Damian dan Oliver yang sedang sibuk beradu argumen."Tapi, Nona ... bagaimana jika Tuan Damian marah padaku?""Tidak ada tapi, dia putraku! Hanya aku yang pantas memiliki hak atas Dave!" hardik Merry yang kemudian merebut paksa laki-laki mungil dari pelukan seorang maid.Mata Merry tidak terlepas sedikitpun dari Oliver dan juga Damian. Bukan tanpa sebab, tapi ia memang sedang menunggu momen yang tepat.Dan benar dugaan Merry. Tampak seorang pria tua sedang menuju tempat itu. Pria yang hanya bisa duduk di sebuah kursi roda dengan pengawalan ketat.Di sebelah pria
Hari telah sore. Oliver dan Sebastian terus mencoba menghubungi Damian. Mereka tidak mau menanggung kerugian dengan pembatalan kontrak kerja sama dengan beberapa brand ambassador ternama yang ingin menyewa Merry sebagai modelnya.Sementara itu, Damian tidak menganggap hal itu penting. Baginya yang utama saat ini adalah keselamatan Merry.Berulang kali ia menekan ponsel berusaha menghubungi Sameer. Naasnya, nomor yang ia hubungi terus menunjukkan nada sibuk. Tertera, nomor tujuan sedang berada dalam panggilan lain di layar.Nyatanya tulisan itu mampu membuat Damian frustrasi."Sial! Sameer, keterlaluan. Berani sekali kau mengabaikan teleponku!" teriaknya sambil melempar benda pipih persegi yang semula di genggamannya hingga terbanting di kasur empuk miliknya.Ia bahkan ikut menjatuhkan diri sambil menatap langit-langit kamar. Sesekali ia terduduk, kemudian mondar-mandir, tak lama kemudian kembali menatap layar ponselnya.Benar-benar hal yang tak biasa Damian lakukan. Belum pernah ia se
Situasi di dalam rumah bordil semakin tidak nyaman. Terlihat porak poranda akibat ulah anak buah Elena melawan Sameer.Sementara itu, Dave yang baru saja ditendang dengan posisi dimasukkan di dalam kardus hingga tergelincir di lantai, seketika menangis dengan suara keras.Membuat Sameer semakin marah, apalagi anak buah Elena dengan sengaja mendorong punggung Merry hingga gadis itu jatuh tersungkur."Sakit," keluhnya.Di waktu bersamaan, alih-alih ia menolong Merry, gerakan cepat Sameer tak terduga para gerombolan preman yang berada di sana. Pria bertubuh gempal itu justru bergerak cepat dan menyambar rambut panjang Elena yang kebetulan dikuncir ekor kuda, membuatnya menjerit-memekik kesakitan."Tidak!" teriak Elena.Tak mau berhenti, tiba-tiba saja dengan gerakan tangan cepat Sameer mengeluarkan belati dari balik jas hitam yang ia kenakan, kemudian ia tempelkan tepat di leher Elena."Diam, suruh anak buahmu melepaskan gadis itu! Atau kau akan membayar semua kekacauan ini. Kau sudah me