Di sebuah kota asing yang eksotis, Elena terjebak dalam kehidupan rumah bordil, setelah suaminya menghilang tanpa jejak. Kehidupan tragis ini memaksa Elena menjual putri tirinya, Merry, terjerat dalam lingkaran prostitusi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun, nasib mempertemukan Merry dengan Damian. Seorang pria dingin, kasar, yang membuatnya hamil di luar nikah akibat ulah ibunya dalam percintaan semalam. Perasaan yang tumbuh di antara mereka mengingatkan Merry pada sebuah perjalanan yang mencari jati diri aslinya dan dan mengungkap misteri di balik hilangnya sang Ayah. Sepanjang perjalanan, Merry terbagi antara cinta yang semakin tumbuh terhadap buah hati dan keinginannya mencari Ayah kandungnya. Sementara itu ia harus dihadapkan dengan rentetan masalah ketika Damian tahu Merry memiliki anak darinya, dan juga harus lari dari kejaran ibu tirinya yang kejam. Dalam suasana memikat, "Takdir Cinta Wanita Malam" membawa emosi kita dalam rollercoaster saat Merry berusaha keras mencari cinta, dan pencarian jati diri. Akankah ia jatuh cinta pada pria yang selama ini dibencinya? Saksikanlah perjalanan menarik dan penuh kejutan dalam kisah cinta memikat ini.
Lihat lebih banyakRintik gerimis masih terlihat deras membasahi teras sebuah rumah besar bergaya eropa kuno. Terdapat banyak penghuni di dalamnya. Tak sekedar wanita dewasa, tapi beberapa gadis juga terpaksa ikut tinggal mengikuti ibu mereka di sana.
“Merry, lekas ganti pakaianmu! Ini sudah saatnya!” perintah wanita paruh baya tapi masih terlihat cantik bernama Elena.
Elena berteriak sekaligus melempar sepasang pakaian hingga mengenai wajah seorang gadis belia yang diajaknya bicara.
“Tapi pakaian ini terlalu ketat, bahkan ukurannya terlalu minim, Bu! Aku tidak bisa,” tolak gadis belia bernama Merry yang kini rautnya berubah menjadi pucat pasi.
Takut. Tentu saja.
Geram, tentu saja Elena geram bukan kepalang. Ia tak suka perintahnya dibantah. Seketika tangannya yang semula gemetar langsung melayang menyambar rambut Merry dan menariknya kasar, hingga membuat Merry memekik kesakitan.
“Aduh, Ibu … sakit, tolong lepaskan,” rengeknya sambil terisak-isak sementara kedua tangannya berusaha menahan rambutnya yang dijambak.
Bukannya melepaskan, tapi Elena justru mendorong tubuh ramping dan mungil Merry hingga terdesak ke sisi tembok kamar. Tatapan matanya yang tajam tak berkedip sekalipun, mirip elang yang siap menerkam mangsanya. Sontak saja membuat Merry langsung menundukkan kepala ketakutan.
“Hei, gadis kecil! Kau ini ditinggal Ayahmu begitu saja padaku, tanpa uang sepeserpun. Dasar tidak tahu balas budi! Tidak mau uang kau!” teriak Elena sambil terus mendorong hingga tubuh mungil itu sedikit melesat hingga terdesak.
“Aku harus apa, Bu?” Merry menurunkan tatapannya sambil menangis.
“Ganti saja pakaianmu! Jangan menolak, lepas kaca matamu itu. Dasar kutu buku! Kau tahu, menjadi pelacur tak harus belajar, Merry!”Merry mengagguk dalam ketakutan. Pipinya basah oleh air mata yang semakin deras luruhnya, sementara matanya terlihat sembab.Terlalu menurut, memang. Mungkin semua itu ia lakukan karena takut.
Melihat gadis itu mulai setuju barulah Elena melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu si gadis yang sebenarnya menahan rasa sakitnya sembari menggigit bibirnya sendiri.
Kemudian, dengan kasar, Elena merebut paksa, dan melempar kaca mata Merry hingga terjatuh ke lantai lalu menginjaknya.
KREK!“Jangan!” teriak Merry yang tertahan serasa percuma.Kaca mata itu terlanjur remuk di lantai ubin, sementara itu Merry menangis sambil berusaha memungutnya dengan pandangan nanar.
Akan tetapi, menyadari Elena berbalik badan dan melotot ke arahnya, membuat Merry segera melangkah mendekati meja rias, meninggalkan pecahan kacamata yang berserak. Lalu Elena pun perlahan keluar dari kamar itu serta menutup pintu dengan keras, hingga menyisakan suara menggelegar dan mengagetkan siapapun yang berada di tempat itu.
******
“Di mana gadisnya?” tanya seorang pria bertubuh tegap dan berkulit gelap yang terlihat tak sabar menunggu.
Tergambar jelas dari gerak-geriknya yang mondar-mandir sejak ia datang tanpa henti. Dari tatapan matanya saja, bisa diterka jika ia bukanlah pria baik-baik. Sorot mata tajam itu terlihat menyeramkan bagi siapa saja yang ditatap.
“Sebentar lagi pasti siap,” sahut Elena mencoba menenangkan.
Benar saja, tak lama kemudian Merry melangkah pelan, mendekati mereka di ruang tengah. Gadis yang terbiasa berkaca mata itu, tampak ragu menapakkan kakinya ke lantai ubin.
Dari kakinya yang gemetar, bisa diduga ia tidak terbiasa menggunakan heels. Sang pria bertubuh kekar seketika tersenyum menyeringai menatapnya. Entah apa arti senyuman seringai menyeramkan itu. Seolah itu ejekan, atau justru ia anggap sebagai keberuntungan. Entah.
“Bawalah dia, seperti perjanjian kita, jangan lupa bayar aku dengan kontan!” perintah sekaligus seruan Elena yang mengejutkan Merry.
Seketika pipi mulusnya terasa tertampar mendengar dirinya sedang diperjual belikan. Sementara Elena, ia terlihat senang. Bibir mungilnya bahkan sempat tersenyum miring, menggambarkan betapa sinisnya wanita itu.
“Bu,” panggil Merry yang tak lagi berlanjut melihat tatapan Elena yang tajam mengiris.
“Jangan panggil aku Ibu lagi mulai sekarang! Kau ini hanya anak tiriku, tahu!” hardik Elena.Ia bahkan tak lagi peduli meski sepasang iris mata hazel itu mulai dipenuhi embun yag nyaris banjir dan luruh.
“Aku akan mengingat hari ini,” sahut Merry pelan diiringi dengan derai tangis dan tubuh gemetar.
Elena tidak menjawab, tapi ia malah merespon dengan suara tawa ejekan terbahak-bahak. Terdengar menyakitkan di telinga Merry, bahkan mata gadis itu yang semula berembun seketika bulir bening mulai luruh membasahi pipinya.
Tak lama kemudian, disusul oleh hentakan kasar dari pria tadi yang langsung mencengkeram pergelangan Merry usai melemparkan sekoper uang kepada Elena yang entah berapa jumlahnya. Ia bahkan tak peduli dengan rengekan Merry yang terus meronta, brusaha agar pria menyeramkan itu memiliki belas kasihan dan melepaskannya.
******
Setelah sekitar dua puluh menit berlalu, pria menakutkan berkulit legam itu mendorong Merry ke sebuah ranjang berukuran king size, kamar yang tampak mewah berseprei putih berumbai di sekeliling sisinya.
Merry hanya mengerang kesakitan, karena ia tak bisa mengeluhkan apapun akibat bibirnya ditutup dengan lakban hitam, sementara kedua tangannya terikat ke belakang.“Jangan berulah, dengar! Jika kamu bisa membuat Tuanku senang dan puas, aku akan membayarmu satu miliar. Lalu kau bisa bebas pergi ke manapun kamu mau. Ingat, turuti saja maunya, dan kau akan baik-baik saja!” ancam pria bertubuh kekar dan legam itu.
Merry tak menjawab akibat bibirnya masih tertutup rapat. Hanya bulir kristal yang terlihat masih mengalir membanjiri pipinya yang mulus, tapi anggukan kepalanya seolah mengisyaratkan mengerti dengan ucapan pria menakutkan di hadapannya. Bukan berarti pasrah, lebih ke rasa takut untuk melawan.
Tak lama berselang setelah pria itu pergi, sementara Merry masih terbaring dalam posisi tubuh miring dengan kedua tangan masih terikat, suara dentuman sepatu menyentuh lantai ubin terdengar mendekat. Membuat jantung Merry semakin berdebar bercampur rasa takut yang menggelayutinya sekaligus membayangkan kengerian yang akan terjadi setelahnya.
CEKLEK!
Knop pintu berhasil diputar, diikuti langkah pemilik sepatu hitam mengkilap mulai masuk perlahan. Dari setelan jas mahal yang ia kenakan, bisa diterka jika pemuda itu bukan dari kalangan biasa. Tampaknya ia adalah bos muda dari orang yang berhasil membeli Merry dari tempat lokalisasi.
'Dia terlihat berkelas, tidak memiliki satu kekurangan apapun, untuk apa ia memilih menjamah wanita sepertiku? Bukankah jika ia mau, bisa mendapatkan yang jauh lebih cantik dariku dan dari kalangan terhormat?'
Merry hanya bisa menatap dan bergumam dalam hatinya. Pria itu tampak dingin, belum sepatah katapun yang terucap dari bibirnya.
Hanya pergerakan yang ia tunjukkan, setelah mengunci rapat pintu kamar, ia langsung mendekati Merry. Dengan cekatan tangannya membuka ikatan tangan gadis itu, lalu menarik kasar lakban yang semula menutupi bibir ranumnya.
“Arrrrgh ….” Merry mengerang kesakitan.
“Sssst, jangan berisik! Aku tidak suka suaramu yang serak, merusak telinga!” Pria itu mengumpat sambil menampakkan wajah kesalnya sekaligus membekap kembali bibir mungil Merry dengan telapak tangannya sejenak.
Ingin rasanya Merry berontak, tapi ingatannya kepada Elena membuatnya kehilangan akal warasnya. Dipikirnya, ia tak mungkin selamanya ikut tinggal bersama wanita kejam itu lagi. Mungkin ada benarnya juga tawaran pria yang membawanya ke sini. Hanya itu harapan satu-satunya agar Merry bisa terlepas dari cengkraman Elena selamanya.
Sejenak, kedua pasang mata itu sempat saling bertemu pandang, entah berapa lama, mungkin hanya sepersekian detik saja lamanya.
Gadis itu masih tercenung memikirkan banyak hal yang berlalu-lalang di otaknya, akan tetapi ia sudah dikagetkan dengan sentuhan buku jemari pemuda di hadapannya. Anehnya terasa lembuh bahkan menimbulkan getaran aneh.
“Kau menangis? Apakah Pak Sameer menyakitimu?” tanyanya, sembari mengusap kasar bekas air mata yang belum mengering.
Bukannya menjawab, tapi Merry justru menggeleng. Seolah menepis kenyataan pahit yang belum lama ini menimpanya.
'Jadi nama pria menakutkan itu adalah Pak Sameer? Lalu siapa nama pria di hadapanku ini?'
“Siapa namamu?” tanyanya, seolah mencecar tapi semakin membuat dada Merry berdebar akibat didesak.
“Nama perempuan sepertiku tidaklah penting, Tuan. Katakan yang kau mau dariku, lalu izinkan aku menemui Pak Sameermu itu dan pergi,” sahut Merry terdengnar ketus dan menyebalkan.
Namun, anehnya entah mengapa sikap Merry justru membuat pemuda itu penasaran.
“Sombong sok punya nyali sekali kamu! Berdiri!” perintah yang terdengar membentak membuat pemilik tubuh rambing itu segera bangkit meski kakinya tak mampu berdiriu tegap.
‘Sepertinya, dari aroma bibirnya yang menguar, Tuan Muda ini sedang mabuk parah.’ Batin Merry sembari mulai beranjak bangkit.
Namun, siapa sangka jika Merry yang tak mahir mengenakan heels justru terpelanting kesamping, beruntungnya pemuda itu langsung reflek bangkit dan berhasil menangkapnya.
Ya. Pinggang ramping itu berhasil didekapnya. Kedua pasang mata mereka saling bertemu pandang. Entah sepersekian detik lamanya, mereka tampak saling mengamati satu sama lainnya.
Seolah mengisyaratkan saling kekaguman meski tak ada yang mengnakuinya. Sementara sepasang lengan kekar itu entah sejak kapan telah melingkari pinggang seksi Merry.
“Bodoh, pakai heels saja tidak pecus apa lagi membuatku senang! Entah dari mana Pak Sameer menemukan wanita sepertimu!” teriaknya setengah mengejek.
Akibat mulai tersadar, Merry seketika berontak, hingga berakhir membuatnya justru jatuh di ranjang. Membuat pria itu menerkam dan menindih tubuhnya yang ramping dengan cepat.
Naasnya akibat ia terus bergerak meronta membuat pakaian area dada setengah terbuka, hingga mempertontonkan setengah bagian dadanya yang kenyal.
Seketika mata pemuda itu membelalak lebar, melihat kulit seputih pualam di hadapannya.
“Tuan, jangan kasar. Saya perempuan baik-baik, tolong lepaskan saya, ini kesalah pahaman,” rengek Merry.
Pemuda itu tersenyum getir.
“Perempuan baik-baik tidak akan dibawa Pak Sameer untuk menyenangkanku. Perempuan malam tetaplah perempuan malam, jalani saja takdirmu dan terima bayaranmu setelahnya!”
Seketika kepala Merry terasa berat, lalu semua menjadi gelap.
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen