Home / Romansa / REPLACEMENT (Perempuan Pengganti) / Bab 6 - Menjemput Sebuah Maaf

Share

Bab 6 - Menjemput Sebuah Maaf

last update Last Updated: 2024-06-12 17:16:29

Aku terjaga dengan rasa pusing yang teramat sangat. Samar bisa kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kuraba perlahan ke arah samping, dan cepat beralih pada posisi duduk saat tak kutemukan Muffin di sebelahku. Rasa panik mendera seketika, tetapi langsung sirna saat tersadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah Dipta.

 

Aku ingat, malam tadi sebelum tidur Bunda mengambil Muffin dari dekapanku. Beliau mempersilahkanku menangis semalaman tanpa harus memikirkan Muffin. Kata Bunda, biasanya setelah air mata tumpah ruah, hati kita akan terasa lebih cerah.

Seminggu lalu, setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan dalam taksi online yang kupesan, akhirnya kuputuskan untuk kembali saja ke rumah Ayah. Ide untuk melaju ke bandara dan terbang ke Palembang terpaksa kusingkirkan. Muffin masih terlampau kecil, aku pun tidak yakin bisa mengurusnya sendirian dalam kondisi labil.

Aku tidak sedekat Livia pada Bunda, tetapi beliau segera tahu apa yang terjadi saat aku datang dengan menenteng sebuah tas besar. Aku jelas melihat Bunda memberi isyarat pada Ayah agar tidak menanyaiku apa pun. Ibu sambungku itu mengalihkan situasi dengan menyambut Muffin semeriah mungkin, seolah-oleh memang kedatangan kami telah ditunggu-tunggu sejak lama. Padahal baru sepuluh hari lalu aku dan Muffin berkunjung ke rumah ini saat Dipta berangkat tugas ke Jogja.

Seminggu berlalu dan Dipta tidak sama sekali mencariku. Tidak satu pesan pun ia kirimkan untukku. Aku tahu yang kulakukan ini salah. Namun, tidak ada salahnya pula lelaki itu diberi pelajaran. Setidaknya ia tahu bahwa aku tidak bahagia selama menikah dengannya. Bisa jadi Livia juga tidak bahagia sehingga mempengaruhi kondisi kehamilannya.

Bunda masuk ke kamarku setelah kutuntaskan salat dan dzikir subuh, menggendong Muffin dalam dekapan beliau. Bayi kecil itu sedang merengek, terus menolak botol susu yang diberikan Bunda.

“Mungkin ia mencarimu,” ucap Bunda seraya menyerahkan Muffin padaku.

 

“Ia rewel semalaman?” tanyaku sungkan. Kasihan Bunda jika tidurnya sampai terganggu.

“Sedikit.” Bunda tersenyum sendu. “Tapi ia langsung tenang saat digendong Ayah.”

Malam tadi, setelah enam hari aku pura-pura bersikap tidak terjadi apa-apa atas pernikahanku dengan Dipta, Bunda menemuiku menjelang tidur. Tidak pernah sebelumnya kami berbicara sedekat itu. Bunda membesarkan hatiku untuk tetap menjalani hubungan tanpa cinta.

Dulu, saat baru menikah dengan Ayah, Bunda juga mengakui belum terbit perasaan suka di hati keduanya. Kondisi itu jelas tidak sama denganku. Aku sepenuh hati mencintai Dipta, sampai rela merendahkan egoku selama tiga bulan terakhir demi tetap bisa hidup bersamanya.

Tangis yang kutahan berhari-hari, akhirnya pecah malam itu. Untuk pertama kalinya sejak Bunda memasuki kehidupan kami, kubiarkan perempuan itu memelukku, seperti dulu Ibu selalu mendekapku untuk menghibur saat aku dan Livia berselisih. 

“Dipta menelepon Bunda semalam,” ujar beliau sambil mengusap rambut Muffin yang sedang lahap menyusu dari botolnya. “Dia menanyakanmu.”

“Bunda bilang apa?” tanyaku sedikit penasaran.

“Bunda bilang kamu ada di sini.”

Setelah hampir satu minggu dan ia baru menanyakan keberadaanku sekarang? Ke mana perginya Mahesa Dipta yang dulu selalu gigih  mencari setiap aku bolos latihan basket di lapangan komplek?

“Ia juga bilang akan datang menjemputmu pagi ini.” Bunda meraih kembali Muffin dari dekapanku.

“Mandi dan berbedaklah sedikit. Wajahmu kelihatan muram sekali.”

Aku melompat menuju cermin begitu Bunda keluar. Beliau benar, kelopak mataku hampir tidak terlihat tertutupi sembap. Area mataku membengkak seperti baru saja digigit serangga beracun. Bagaimana mungkin aku berhadapan dengan Dipta dengan wajah berantakan begini. Bahkan dalam penampilan paling sempurna pun aku masih kurang percaya diri saat berada di depannya.

 

Akh, ke mana perginya rasa marahku kemarin, mengapa aku justru lebih mempermasalahkan perihal penampilan. Aku akan menemuinya dengan wajah apa adanya. Biar saja Dipta melihat hasil ulahnya.

***

Bunda benar. Setelah selesai mandi dan berpakaian, kudapati Dipta sudah duduk di meja makan bersama Ayah sambil menyantap sarapannya. Lelaki itu mengobrol santai seperti tidak sedang punya masalah denganku. Ia dan Ayah membahas seru hasil pertandingan bola Liga Eropa yang berlangsung tadi malam.

Aku mengambil nasi gorengku langsung dari wajan, lalu duduk menyuap di bangku kecil di dapur. Bunda memberi isyarat agar aku ikut bergabung dengan Dipta dan Ayah di meja makan, tetapi cepat kugelengkan kepala. Aku tidak ingin berbincang dengannya sebelum ia yang lebih dulu menegurku dan minta maaf.

Dipta membawaku pulang tak lama setelahnya. Ia bilang pada Ayah ada seorang temannya yang berjanji akan berkunjung, sehingga tidak bisa tinggal lebih lama. Kalimat pertama yang Dipta ucapkan untukku hanya pada saat ia mengingatkanku untuk memakai sabuk pengaman di dalam mobil. Ia membantuku sejenak saat aku sedikit kesulitan untuk menarik tali dan mengancingnya. Sisanya aku hanya diam sepanjang perjalanan dalam jarak tempuh tak sampai lima kilometer itu. Dipta juga diam tak berusaha mengobrol apa pun denganku.

 

Sekilas aku melihat meja kerja Dipta telah berpindah ke samping penyekat ruangan saat telah tiba di rumah. Padahal, kemarin aku berniat meletakkan satu buah pot tanaman di lokasi yang sama untuk memberi kesan ramai. Hanya saja pot itu telalu berat untuk diangkat seorang diri, dan aku terlampau sungkan untuk meminta bantuan Dipta.

Rasa sedih menderaku saat melihat tak ada sehelai pun lagi pakaian Livia tersimpan di dalam lemari. Dipta benar-benar telah menyingkirkannya. Aku memutuskan untuk tidak lagi mempermasalahkan itu. Pertengkaran seminggu lalu benar-benar menyiksa batinku. Segera kuraih tas besar yang kubawa kemarin dan mulai menyusun ulang pakaianku dan pakaian Muffin ke dalam lemari yang menjadi sangat lapang ini.

 

Suara dehaman di depan pintu membuatku menoleh. Dipta sudah berdiri bersandar dengan tangan bersedekap. Raut wajahnya sedikit terlihat serba salah. Beberapa saat kami hanya berpandangan sampai akhirnya dia berbicara.

“Jangan pernah memakai pakaian Livia lagi,” ucapnya. “Itu akan membuatmu terlihat seperti dia.”

Jadi, benar tebakanku. Dalam hati Dipta masih bersarang kenangan indah mereka. Aku mengangguk menyanggupi sambil terus menyusun. Andai kemarin Dipta menjelaskan dengan baik, pasti pertengkaran itu tak perlu terjadi.

“Dan jangan lagi susun baju-bajumu di lemari itu,” lanjut Dipta datar. “Mulai hari ini kamu pindah ke kamarku.”

Aku tertegun dengan pandangan tak percaya. Dipta mengabaikan keterkejutanku dan segera berlalu. Aku masih duduk bersimpuh di lantai sambil berusaha meyakini bahwa yang kudengar memang benar. Baru kuberanikan diri untuk beranjak keluar saat suara mobil Dipta terdengar menjauh dari halaman.

Kini aku tahu mengapa meja kerjanya Dipta letakkan di samping kayu penyekat ruangan. Sebuah tempat tidur bayi telah menggantikan meja itu. Berikut rak kecil yang Dipta sediakan untukku meletakkan perkakas Muffin.

 

Meski tidak terucap, semua ini telah melebihi sebuah permintaan maaf dari seorang Mahesa Dipta. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • REPLACEMENT (Perempuan Pengganti)   Bab 35 - Berdamai Akan Kenangan

    Malam yang sama setelah aku kembali pada Mahesa Dipta, lelaki itu tetap mengantarku pulang ke rumah Ayah. Dipta mengajakku berbicara di depan Ayah dan Bunda, meluruskan apa yang selama ini kusut di antara kami. Dipta dengan sopan menanyakan pada Ayah apakah ia boleh membawaku pulang setelahnya. Ayah mengatakan bahwa aku masih sepenuhnya tanggung jawab Dipta, karena tidak pernah sekali pun lelaki itu mengembalikanku pada Ayah.Mobil Ayah kami kembalikan sehari setelahnya. Tidak ada yang rusak, hanya bensinnya yang habis karena memang jarum petunjuk level bahan bakarnya sudah tidak berfungsi baik. Dipta sudah lama mengetahui permasalahan itu. Ia sengaja mengelabui agar bisa mengajakku mampir di rumahnya malam itu.Dipta tidak terlalu mengekangku kali ini. Hidupku terasa jauh lebih ringan. Bahkan ia tidak mempermasalahkan saat aku memanggilnya dengan sebutan lama kami. Juga tidak keberatan saat aku masih sering berdebat dengannya tentang banyak hal. Ia bilang tak mengapa selama akhir dar

  • REPLACEMENT (Perempuan Pengganti)   Bab 34 - Sepakat Kembali Bersama

    “Harus ado kabar baik dari kau, Lira.” Pria itu menjabat tanganku erat-erat saat ia akan masuk ke lajur check-in. “Aku idak mau dengar kagek kau balik ke Palembang.”“Terima kasih untuk semuanya, Fahmi.” Kulambaikan tangan sampai ia benar-benar menghilang di balik pintu kaca. Sejenak aku hanya berdiri terpaku di antara ramainya lalu lalang manusia di bandara. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Menemui Dipta dan menyerahkan diri, mengaku kalah karena tidak berhasil melupakannya setelah enam bulan lamanya?Mobil Kijang milik Ayah yang kukemudikan melaju lambat seolah ikut merasakan galaunya hatiku. Entah sudah sejauh apa lamunanku, dua jam kemudian tanpa sadar aku mendapati diri telah menghentikan kendaraan itu di depan rumah Dipta. Mataku menatap penuh rindu pada garasi tempat mobil lelaki itu diparkirkan. Banyak kenangan tertinggal di garasi itu. Di dalam mobil di tempat itu pula pertama kalinya Dipta meminta kesediaanku untuk menyerahkan jiwa ragaku padanya. Di sana pula setia

  • REPLACEMENT (Perempuan Pengganti)   Bab 33 - Jarak Semakin Rapuh

    Bunyi notifikasi dari ponselku membuyarkan lamunan. Kulirik dengan malas untuk memeriksa apakah ada pesan penting yang mungkin dikirimkan Pak Kemas. Atasanku itu masih juga tidak bisa benar-benar pensiun. Hampir setiap saat Pak Kemas menanyaiku mengenai perkembangan Fahmi. Padahal menurutku Fahmi termasuk kompeten menggantikan beliau dalam urusan pekerjaan. Dan ini sudah masuk bulan keenam, aneh saja jika Pak Kemas masih meremehkan puteranya.Dadaku berdesir saat melihat tampilan pop-up pada layar ponselku. Sudah lewat enam bulan juga lelaki itu masih rutin mengirimiku. Setelah dengan sangat pengecut aku meninggalkannya tanpa penjelasan, Dipta selalu mengabariku setiap hari tentang apa yang ia lakukan di Jakarta melalui pesan singkat. Sesekali ia menanyakan kabarku, tentu saja aku tidak pernah membalas. Lalu frekuensi pesannya berkurang saat memasuki bulan kedua, dan hilang sama sekali saat memasuki bulan ketiga. Dipta pasti lelah. Aku sengaja membuatnya menyerah.Hanya satu yang tida

  • REPLACEMENT (Perempuan Pengganti)   Bab 32 - Saat Memilih Pergi

    Terhitung tiga hari sejak rahimku dilakukan kuretase, hari ini dokter kandungan memberiku izin untuk pulang. Dipta tidak datang menjemput karena aku yang memintanya untuk itu. Setelah pertengkaran kami yang terakhir, aku sudah mengatakan pada Dipta agar diberikan kesempatan untuk menetap di rumah Ayah sementara waktu. Aku butuh ruang untuk sebentar menjauh dari Dipta, juga dari rencana-rencana hidupnya.Aku sudah membuat janji dengan Dokter Pratiwi -spesialis anak yang menangani Muffin- sebelum pulang hari ini. Setelah kejadian itu, aku semakin tidak bisa menjauhkan diriku dari rasa bersalah. Aku jelas bertanggung jawab atas Muffin. Aku ibunya, seharusnya bisa menjaganya dengan segenap jiwa dan ragaku.“Sebagai tenaga medis yang selalu berurusan dengan nyawa orang lain, saya juga manusia yang percaya pada takdir Tuhan.” Dokter Pratiwi memulai kalimat itu untuk menjawab pertanyaanku. “Apa yang kita upayakan maksimal, jika memang sudah sampai pada janjinya, semua tetap akan pulang."“Bu

  • REPLACEMENT (Perempuan Pengganti)   Bab 31 - Ujian Hati Bertubi

    Kehamilanku sudah mulai memasuki minggu ke dua belas saat suatu hari Muffin demam. Dipta patuh saat kuminta untuk membawa Muffin agar diperiksa oleh Dokter Pratiwi. Tidak ada masalah serius, hanya demam biasa menurut sang dokter. Obat yang diberikan pun juga sama dengan stok obat penurun panas yang kusimpan di lemari obat. Kondisi rahimku tidak terlalu sehat sehingga Dipta memutuskan untuk memakai bantuan asisten rumah tangga selama aku tidak bisa beraktivitas normal. Dipta mengurusiku dengan sangat baik, bahkan terlalu protektif sehingga aku merasa kurang nyaman. Ia melarangku mengerjakan apa pun, bahkan ia marah jika aku kedapatan sedang menggendong Muffin. Muffin tidak pernah terlalu rewel jika sakit. Ia akan tenang jika dipeluk. Kudekap Muffin erat-erat saat Dipta ingin mengambilnya kembali untuk diserahkan pada asisten rumah tangga kami pagi ini. Perempuan paruh baya itu berdiri di samping Dipta dengan serba salah. Mungkin ia segan harus melihat kami berdebat seperti itu. “Bi

  • REPLACEMENT (Perempuan Pengganti)   Bab 30 - Kala Ikatan Merenggang

    Bab 30 - Kala Ikatan MerenggangSudah lewat tiga minggu sejak pertengkaranku dengan Dipta yang dipicu karena kedatangan Reno. Aku sungguh tidak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Dipta. Harusnya aku diam-diam merekam isi percakapanku dengan Reno agar Dipta percaya. Sekarang aku tidak punya bukti yang kuat untuk mempertahankan argumenku agar tes DNA Muffin tidak perlu dilakukan.Hubunganku dengan Dipta menjadi dingin. Lelaki itu hanya menegurku seperlunya saat sedang berada di rumah, persis seperti dulu di saat awal pernikahan kami. Tidak ada lagi ucapan sayang, pelukan mesra, apalagi sentuhan-sentuhan yang intim layaknya dua insan yang sedang kasmaran. Aku masih tidak mengerti apa salahku. Tepatnya tidak bisa menerima jika Dipta menuduh aku akan tertarik pada Reno seperti layaknya Livia. Pendapat itu terlalu kekanakan. Mustahil rasanya terbit dari kepala seorang Mahesa Dipta yang biasanya bisa berpikir realistis. Aku tidak ingat kapan terakhir kali makan dengan benar. Seminggu ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status