Dipta sama sekali tidak keluar kamar setelah kemarin sore ia membanting pintu dengan kerasnya. Padahal aku sudah menunggunya di meja makan. Terpaksa kusimpan kembali dalam lemari pendingin sepanci sup ayam yang susah payah kusiapkan seharian tadi. Kerupuk emping yang sudah terlanjur digoreng, kuhabiskan semuanya sambil memandangi televisi. Kapan lagi bisa kukuasai benda itu tanpa harus berbagi tayangan dengan pemiliknya yang hanya gemar memutar siaran berita.
Pagi ini aku berdiri di depan pintu kamar Dipta dengan jemari kanan yang siap mengetuk. Sinar matahari sudah hampir mencapai jendela dapur dan ia belum juga bangun. Biasanya lelaki itu sudah duduk untuk sarapan bahkan sebelum pukul tujuh.Wajah Dipta muncul setelah kuputuskan untuk membangunkannya dengan resiko apa pun. Hanya ada dua kemungkinan yang akan kuhadapi. Jika aku tidak membangunkannya, kemungkinan besar ia akan marah karena pasti terlambat untuk berangkat kerja. Jika aku membangunkannya, kemungkinan besar ia juga akan marah karena aku mengganggu tidurnya. Seperti saat ini, jantungku sudah berdebar kencang saat melihat wajah kusutnya memandangku datar. Meskipun bukan hanya karena takut, kuyakin percepatan detak jantungku juga disebabkan oleh penampilan Dipta yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku cepat-cepat menunduk saat menyadari lelaki itu hanya bertelanjang dada. Sialnya mataku malah berantuk dengan kaki panjang Dipta yang hanya dibalut celana piyama yang tergantung di bawah pusar.“Hari ini Minggu, Lira,” ucapnya dengan suara yang pasti masih mengantuk. “Aku tidur larut tadi malam.”“Maaf, Kak,” ujarku cepat. “Aku lupa ini hari Minggu.” Setelah lama tidak beraktivitas di luar rumah, kuakui aku sering lupa hari jika tidak melihat kalender. Mungkin aku harus memasang alarm khusus hari libur di ponselku agar tidak salah lagi seperti ini. Aku berdiri memandangi Dipta yang masuk kembali ke kamarnya. Tak lama kemudian lelaki itu keluar setelah memakai kaus putih tipis tanpa kerah. Aroma tubuhnya menguar samar-samar saat ia begitu saja melewatiku. Aku mengutuk diri sendiri mengapa selalu saja terpaku setiap merasa canggung di hadapannya.Dipta lalu duduk di meja makan dan membuka tudung saji. Pagi ini aku berhasil memasak nasi uduk beroma pandan beserta krecek tempe dari resep yang kudapat dari situs masak di internet. Sebenarnya aku ingin membanggakan pencapaianku ini pada Dipta. Namun, saat melihat ekspresinya terlampau biasa pada suapan pertama, kuputuskan untuk menyelesaikan cucian piring sebelum Muffin terbangun. Pikiranku ikut mengalir mengikuti derasnya air keran. Sudah tiga bulan berlalu dan hubunganku dengan Dipta tidak mengalami perkembangan yang baik. Padahal dulu, kami terbiasa mengobrol dan bertukar pikiran. Dipta memang lebih sering memilihku sebagai teman diskusi. Meskipun ia akan memilih Livia saat hendak memamerkan permainan gitarnya, atau menceritakan film baru yang ia tonton lebih dulu. Mungkin aku yang terlalu menutup diri. Karena sejak Dipta resmi menjadi suami Livia, kuputuskan untuk menjaga jarak dan tidak lagi bertukar pesan dengannya seperti sebelumnya.“Kopiku, Lira.” Ucapan Dipta membuat lamunanku buyar. Kumatikan keran dan mulai menyeduh kopinya. Kini aku sudah hapal mati takarannya. Satu sendok kopi dan setengah sendok gula dalam satu cangkir. Di awal dulu, Dipta pernah sampai tiga kali memintaku menyeduh ulang. Meskipun permintaan itu datang dari lelaki yang amat kucintai, tetapi terkadang kala rasa kesal bisa mengalahkan gelora cinta. Terutama untuk cinta yang cuma bergetar searah seperti milikku.“Sudah selesai kamu kemas semua barang-barang Livia?” Dipta bertanya sembari menyesap kopi yang baru saja kuhidang. Pandangannya bahkan tidak mengarah padaku. “Akan aku bawa sekalian keluar.”Aku pikir Dipta sudah melupakan perihal kemarin. Semalaman aku mencoba berpikir positif bahwa amarah Dipta kemunginan besar hanya terpicu oleh rasa kehilangan yang tak mampu dibendung. Namun, ini sudah lewat tiga bulan. Semestinya seorang lelaki tidak terus berlarut dalam kesedihan. Lagi pula apa gunanya aku di sini. Bukankah ia menikahiku untuk menggantikan Livia.“Kenapa harus dibawa?” Kuberanikan bertanya. “Apa akan disumbangkan?”Dipta bangkit sambil membawa cangkir kopi di tangannya. “Kemarin, kan, aku sudah bilang. Barang-barang itu akan aku bakar.”Entah dari mana asalnya, tiba-tiba aku merasa ada sebuah amarah yang menggelegak di ubun-ubun kepala. Kuabaikan tumpukan piring yang belum sempat terbilas, dan kuikuti langkah Dipta dengan cepat. Tanpa ragu aku berdiri di depan televisi yang baru saja ia nyalakan. Tak kuhiraukan saat Dipta menengadah dan memandangku tajam. “Lebih baik kamu duduk di sini dari pada berdiri menghalangi pandanganku seperti itu, Lira.” Dipta menggeser duduknya sambil menepuk sofa di sampingnya, seperti ingin menyediakan tempat untukku. “Kenapa harus dibakar?” cecarku tanpa memedulikan tawaran Dipta barusan.“Itu urusanku.” Dipta tertawa sinis. Tangannya mengarahkan remote televisi ke depan untuk mematikan siaran. “Kamu tidak perlu tahu.”“Aku perlu tahu.” Kuusahakan sekuat tenaga agar suaraku tidak gentar. “Kita tinggal dalam satu rumah. Aku ingin semua hal bisa dibicarakan.”“Livia istriku. Urusannya akan menjadi urusanku.” Dipta seperti sengaja menekankan kata terakhir.“Aku istri Kak Dipta sekarang,” ucapku tak mau kalah. “Livia kembaranku. Urusannya juga urusanku.”Dipta tertawa keras kali ini. Ia mengubah posisi duduknya menjadi berbaring, sehingga kakinya menjuntai melewati lengan sofa. Ia sengaja mengabaikanku. Aku tidak boleh menyerah begitu saja seperti sebelumnya. Jika Dipta bisa terdengar mengintimidasi, aku akan membuat pembicaraan ini lebih mengancam untuknya.“Aku tidak akan mengemasi barang-barang Livia. Semua akan aku simpan untuk Muffin,” tegasku. “Saat Muffin sudah cukup mengerti, aku akan menjelaskan perihal Livia. Aku ingin Muffin tahu bahwa Livialah ibu kandungnya. Aku ingin Muffin—““Stop calling him Muffin.” Dipta sengaja memotong ucapanku. “He’s not a cake.”Suara Dipta terdengar cukup mengejek di telingaku. Darahku semakin mendidih. Serbet kotak-kotak yang sejak tadi kugenggam erat, kulemparkan begitu saja ke arah sofa. “Then you better give him a name!” hardikku sebelum berlalu dari hadapannya.Sengaja kubanting pintu kamar sekuat mungkin. Muffin sontak menangis. Kuraih tubuh mungilnya dan mulai menggendonnya sebelah tangan. Sebelah tangan lagi kupakai untuk meraih tas besar di atas lemari. Aku tidak mengemas pakaian Livia, tetapi pakaianku sendiri, juga baju-baju Muffin. Air mataku sudah mengalir sejak tadi. Kami berlomba menangis, dan Muffin yang berhenti lebih dulu untuk lanjut tertidur. Kuletakkan bayi itu kembali dan mulai fokus memikirkan apa saja yang harus kubawa pergi. Suami macam apa kamu, Mahesa Dipta. Dulu sebelum mengajakku menikah, katamu kita berdua akan bergantian mengurus Muffin. Kini, bahkan untuk berada dalam satu kamar pun kamu tidak bersedia.Aku memang mencintaimu, tapi cinta saja tidak cukup untuk membuat hatiku bertahan lebih lama lagi.Malam yang sama setelah aku kembali pada Mahesa Dipta, lelaki itu tetap mengantarku pulang ke rumah Ayah. Dipta mengajakku berbicara di depan Ayah dan Bunda, meluruskan apa yang selama ini kusut di antara kami. Dipta dengan sopan menanyakan pada Ayah apakah ia boleh membawaku pulang setelahnya. Ayah mengatakan bahwa aku masih sepenuhnya tanggung jawab Dipta, karena tidak pernah sekali pun lelaki itu mengembalikanku pada Ayah.Mobil Ayah kami kembalikan sehari setelahnya. Tidak ada yang rusak, hanya bensinnya yang habis karena memang jarum petunjuk level bahan bakarnya sudah tidak berfungsi baik. Dipta sudah lama mengetahui permasalahan itu. Ia sengaja mengelabui agar bisa mengajakku mampir di rumahnya malam itu.Dipta tidak terlalu mengekangku kali ini. Hidupku terasa jauh lebih ringan. Bahkan ia tidak mempermasalahkan saat aku memanggilnya dengan sebutan lama kami. Juga tidak keberatan saat aku masih sering berdebat dengannya tentang banyak hal. Ia bilang tak mengapa selama akhir dar
“Harus ado kabar baik dari kau, Lira.” Pria itu menjabat tanganku erat-erat saat ia akan masuk ke lajur check-in. “Aku idak mau dengar kagek kau balik ke Palembang.”“Terima kasih untuk semuanya, Fahmi.” Kulambaikan tangan sampai ia benar-benar menghilang di balik pintu kaca. Sejenak aku hanya berdiri terpaku di antara ramainya lalu lalang manusia di bandara. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Menemui Dipta dan menyerahkan diri, mengaku kalah karena tidak berhasil melupakannya setelah enam bulan lamanya?Mobil Kijang milik Ayah yang kukemudikan melaju lambat seolah ikut merasakan galaunya hatiku. Entah sudah sejauh apa lamunanku, dua jam kemudian tanpa sadar aku mendapati diri telah menghentikan kendaraan itu di depan rumah Dipta. Mataku menatap penuh rindu pada garasi tempat mobil lelaki itu diparkirkan. Banyak kenangan tertinggal di garasi itu. Di dalam mobil di tempat itu pula pertama kalinya Dipta meminta kesediaanku untuk menyerahkan jiwa ragaku padanya. Di sana pula setia
Bunyi notifikasi dari ponselku membuyarkan lamunan. Kulirik dengan malas untuk memeriksa apakah ada pesan penting yang mungkin dikirimkan Pak Kemas. Atasanku itu masih juga tidak bisa benar-benar pensiun. Hampir setiap saat Pak Kemas menanyaiku mengenai perkembangan Fahmi. Padahal menurutku Fahmi termasuk kompeten menggantikan beliau dalam urusan pekerjaan. Dan ini sudah masuk bulan keenam, aneh saja jika Pak Kemas masih meremehkan puteranya.Dadaku berdesir saat melihat tampilan pop-up pada layar ponselku. Sudah lewat enam bulan juga lelaki itu masih rutin mengirimiku. Setelah dengan sangat pengecut aku meninggalkannya tanpa penjelasan, Dipta selalu mengabariku setiap hari tentang apa yang ia lakukan di Jakarta melalui pesan singkat. Sesekali ia menanyakan kabarku, tentu saja aku tidak pernah membalas. Lalu frekuensi pesannya berkurang saat memasuki bulan kedua, dan hilang sama sekali saat memasuki bulan ketiga. Dipta pasti lelah. Aku sengaja membuatnya menyerah.Hanya satu yang tida
Terhitung tiga hari sejak rahimku dilakukan kuretase, hari ini dokter kandungan memberiku izin untuk pulang. Dipta tidak datang menjemput karena aku yang memintanya untuk itu. Setelah pertengkaran kami yang terakhir, aku sudah mengatakan pada Dipta agar diberikan kesempatan untuk menetap di rumah Ayah sementara waktu. Aku butuh ruang untuk sebentar menjauh dari Dipta, juga dari rencana-rencana hidupnya.Aku sudah membuat janji dengan Dokter Pratiwi -spesialis anak yang menangani Muffin- sebelum pulang hari ini. Setelah kejadian itu, aku semakin tidak bisa menjauhkan diriku dari rasa bersalah. Aku jelas bertanggung jawab atas Muffin. Aku ibunya, seharusnya bisa menjaganya dengan segenap jiwa dan ragaku.“Sebagai tenaga medis yang selalu berurusan dengan nyawa orang lain, saya juga manusia yang percaya pada takdir Tuhan.” Dokter Pratiwi memulai kalimat itu untuk menjawab pertanyaanku. “Apa yang kita upayakan maksimal, jika memang sudah sampai pada janjinya, semua tetap akan pulang."“Bu
Kehamilanku sudah mulai memasuki minggu ke dua belas saat suatu hari Muffin demam. Dipta patuh saat kuminta untuk membawa Muffin agar diperiksa oleh Dokter Pratiwi. Tidak ada masalah serius, hanya demam biasa menurut sang dokter. Obat yang diberikan pun juga sama dengan stok obat penurun panas yang kusimpan di lemari obat. Kondisi rahimku tidak terlalu sehat sehingga Dipta memutuskan untuk memakai bantuan asisten rumah tangga selama aku tidak bisa beraktivitas normal. Dipta mengurusiku dengan sangat baik, bahkan terlalu protektif sehingga aku merasa kurang nyaman. Ia melarangku mengerjakan apa pun, bahkan ia marah jika aku kedapatan sedang menggendong Muffin. Muffin tidak pernah terlalu rewel jika sakit. Ia akan tenang jika dipeluk. Kudekap Muffin erat-erat saat Dipta ingin mengambilnya kembali untuk diserahkan pada asisten rumah tangga kami pagi ini. Perempuan paruh baya itu berdiri di samping Dipta dengan serba salah. Mungkin ia segan harus melihat kami berdebat seperti itu. “Bi
Bab 30 - Kala Ikatan MerenggangSudah lewat tiga minggu sejak pertengkaranku dengan Dipta yang dipicu karena kedatangan Reno. Aku sungguh tidak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Dipta. Harusnya aku diam-diam merekam isi percakapanku dengan Reno agar Dipta percaya. Sekarang aku tidak punya bukti yang kuat untuk mempertahankan argumenku agar tes DNA Muffin tidak perlu dilakukan.Hubunganku dengan Dipta menjadi dingin. Lelaki itu hanya menegurku seperlunya saat sedang berada di rumah, persis seperti dulu di saat awal pernikahan kami. Tidak ada lagi ucapan sayang, pelukan mesra, apalagi sentuhan-sentuhan yang intim layaknya dua insan yang sedang kasmaran. Aku masih tidak mengerti apa salahku. Tepatnya tidak bisa menerima jika Dipta menuduh aku akan tertarik pada Reno seperti layaknya Livia. Pendapat itu terlalu kekanakan. Mustahil rasanya terbit dari kepala seorang Mahesa Dipta yang biasanya bisa berpikir realistis. Aku tidak ingat kapan terakhir kali makan dengan benar. Seminggu ini