Malam yang sama setelah aku kembali pada Mahesa Dipta, lelaki itu tetap mengantarku pulang ke rumah Ayah. Dipta mengajakku berbicara di depan Ayah dan Bunda, meluruskan apa yang selama ini kusut di antara kami. Dipta dengan sopan menanyakan pada Ayah apakah ia boleh membawaku pulang setelahnya. Ayah mengatakan bahwa aku masih sepenuhnya tanggung jawab Dipta, karena tidak pernah sekali pun lelaki itu mengembalikanku pada Ayah.Mobil Ayah kami kembalikan sehari setelahnya. Tidak ada yang rusak, hanya bensinnya yang habis karena memang jarum petunjuk level bahan bakarnya sudah tidak berfungsi baik. Dipta sudah lama mengetahui permasalahan itu. Ia sengaja mengelabui agar bisa mengajakku mampir di rumahnya malam itu.Dipta tidak terlalu mengekangku kali ini. Hidupku terasa jauh lebih ringan. Bahkan ia tidak mempermasalahkan saat aku memanggilnya dengan sebutan lama kami. Juga tidak keberatan saat aku masih sering berdebat dengannya tentang banyak hal. Ia bilang tak mengapa selama akhir dar
“Harus ado kabar baik dari kau, Lira.” Pria itu menjabat tanganku erat-erat saat ia akan masuk ke lajur check-in. “Aku idak mau dengar kagek kau balik ke Palembang.”“Terima kasih untuk semuanya, Fahmi.” Kulambaikan tangan sampai ia benar-benar menghilang di balik pintu kaca. Sejenak aku hanya berdiri terpaku di antara ramainya lalu lalang manusia di bandara. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Menemui Dipta dan menyerahkan diri, mengaku kalah karena tidak berhasil melupakannya setelah enam bulan lamanya?Mobil Kijang milik Ayah yang kukemudikan melaju lambat seolah ikut merasakan galaunya hatiku. Entah sudah sejauh apa lamunanku, dua jam kemudian tanpa sadar aku mendapati diri telah menghentikan kendaraan itu di depan rumah Dipta. Mataku menatap penuh rindu pada garasi tempat mobil lelaki itu diparkirkan. Banyak kenangan tertinggal di garasi itu. Di dalam mobil di tempat itu pula pertama kalinya Dipta meminta kesediaanku untuk menyerahkan jiwa ragaku padanya. Di sana pula setia
Bunyi notifikasi dari ponselku membuyarkan lamunan. Kulirik dengan malas untuk memeriksa apakah ada pesan penting yang mungkin dikirimkan Pak Kemas. Atasanku itu masih juga tidak bisa benar-benar pensiun. Hampir setiap saat Pak Kemas menanyaiku mengenai perkembangan Fahmi. Padahal menurutku Fahmi termasuk kompeten menggantikan beliau dalam urusan pekerjaan. Dan ini sudah masuk bulan keenam, aneh saja jika Pak Kemas masih meremehkan puteranya.Dadaku berdesir saat melihat tampilan pop-up pada layar ponselku. Sudah lewat enam bulan juga lelaki itu masih rutin mengirimiku. Setelah dengan sangat pengecut aku meninggalkannya tanpa penjelasan, Dipta selalu mengabariku setiap hari tentang apa yang ia lakukan di Jakarta melalui pesan singkat. Sesekali ia menanyakan kabarku, tentu saja aku tidak pernah membalas. Lalu frekuensi pesannya berkurang saat memasuki bulan kedua, dan hilang sama sekali saat memasuki bulan ketiga. Dipta pasti lelah. Aku sengaja membuatnya menyerah.Hanya satu yang tida
Terhitung tiga hari sejak rahimku dilakukan kuretase, hari ini dokter kandungan memberiku izin untuk pulang. Dipta tidak datang menjemput karena aku yang memintanya untuk itu. Setelah pertengkaran kami yang terakhir, aku sudah mengatakan pada Dipta agar diberikan kesempatan untuk menetap di rumah Ayah sementara waktu. Aku butuh ruang untuk sebentar menjauh dari Dipta, juga dari rencana-rencana hidupnya.Aku sudah membuat janji dengan Dokter Pratiwi -spesialis anak yang menangani Muffin- sebelum pulang hari ini. Setelah kejadian itu, aku semakin tidak bisa menjauhkan diriku dari rasa bersalah. Aku jelas bertanggung jawab atas Muffin. Aku ibunya, seharusnya bisa menjaganya dengan segenap jiwa dan ragaku.“Sebagai tenaga medis yang selalu berurusan dengan nyawa orang lain, saya juga manusia yang percaya pada takdir Tuhan.” Dokter Pratiwi memulai kalimat itu untuk menjawab pertanyaanku. “Apa yang kita upayakan maksimal, jika memang sudah sampai pada janjinya, semua tetap akan pulang."“Bu
Kehamilanku sudah mulai memasuki minggu ke dua belas saat suatu hari Muffin demam. Dipta patuh saat kuminta untuk membawa Muffin agar diperiksa oleh Dokter Pratiwi. Tidak ada masalah serius, hanya demam biasa menurut sang dokter. Obat yang diberikan pun juga sama dengan stok obat penurun panas yang kusimpan di lemari obat. Kondisi rahimku tidak terlalu sehat sehingga Dipta memutuskan untuk memakai bantuan asisten rumah tangga selama aku tidak bisa beraktivitas normal. Dipta mengurusiku dengan sangat baik, bahkan terlalu protektif sehingga aku merasa kurang nyaman. Ia melarangku mengerjakan apa pun, bahkan ia marah jika aku kedapatan sedang menggendong Muffin. Muffin tidak pernah terlalu rewel jika sakit. Ia akan tenang jika dipeluk. Kudekap Muffin erat-erat saat Dipta ingin mengambilnya kembali untuk diserahkan pada asisten rumah tangga kami pagi ini. Perempuan paruh baya itu berdiri di samping Dipta dengan serba salah. Mungkin ia segan harus melihat kami berdebat seperti itu. “Bi
Bab 30 - Kala Ikatan MerenggangSudah lewat tiga minggu sejak pertengkaranku dengan Dipta yang dipicu karena kedatangan Reno. Aku sungguh tidak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Dipta. Harusnya aku diam-diam merekam isi percakapanku dengan Reno agar Dipta percaya. Sekarang aku tidak punya bukti yang kuat untuk mempertahankan argumenku agar tes DNA Muffin tidak perlu dilakukan.Hubunganku dengan Dipta menjadi dingin. Lelaki itu hanya menegurku seperlunya saat sedang berada di rumah, persis seperti dulu di saat awal pernikahan kami. Tidak ada lagi ucapan sayang, pelukan mesra, apalagi sentuhan-sentuhan yang intim layaknya dua insan yang sedang kasmaran. Aku masih tidak mengerti apa salahku. Tepatnya tidak bisa menerima jika Dipta menuduh aku akan tertarik pada Reno seperti layaknya Livia. Pendapat itu terlalu kekanakan. Mustahil rasanya terbit dari kepala seorang Mahesa Dipta yang biasanya bisa berpikir realistis. Aku tidak ingat kapan terakhir kali makan dengan benar. Seminggu ini