Butuh tempat yang cukup tenang bagi Winena untuk menenangkan diri. Karena tidak membawa apa-apa—ponsel dan dompet tertinggal di kamar inap Ibu—Winena tidak bisa pergi meninggalkan rumah sakit begitu saja. Winena berniat untuk duduk-duduk di taman rumah sakit saja. Semalam, saat ia dan Tante Elis selesai makan malam di luar, mereka melewati taman rumah sakit yang meski tidak cukup luas tetapi sepertinya rindang karena ada beberapa pohon besar yang ditanam di sana. Memang pemandangannya tidak terlalu jelas karena sudah malam hari yang hanya mengandalkan cahaya lampu yang tidka terlalu terang, tetapi Winena ingat jika di taman itu disediakan beberapa kursi untuk duduk. Dari gedung di mana kamar inap Ibu berada, Winena berbelok ke kanan, menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran kusut yang membuat kepalanya berdenyut sakit. Lalu tanpa sadar Winena menyentuh pipi yang masih terasa menyengat panas karena tamparan Tante Elis. Winena tidak terlalu ingat seberapa keras tamparan itu, tetap
Namun, sayangnya, tiga puluh menit kemudian setelah keduanya duduk di sebuah kedai kopi di dekat rumah sakit, ada sesuatu yang menyentak Winena. Untuk ukuran orang yang masih asing, Winena seakan bisa merasakan keakraban di antara mereka. Namun, segera ia tepis pemikiran itu. Ini bukan saatnya menjalin pertemanan atau apa pun itu namanya dengan orang lain. Hidupnya sedang kacau, tetapi bisa-bisanya Winena malah duduk-duduk manis dengan seseorang yang baru dikenalnya dan mengobrolkan tentang hal-hal random. "Saya... harus segera kembali. Tadi saya pamit ke keluarga saya cuma mau keluar sebentar." "Saya mengerti, Winena. Nggak usah panik begitu," ucap Sena dengan sorot teduh di mata. Astaga... Mendadak saja Winena hanyut dalam tatapan itu. Sebab, sudah lama sekali Winena tidak ditatap dengan begitu hangat. Tatapan yang menenangkan gemuruh riuh di hati dan kepalanya. Sayang sekali, tatapan itu justru Winena dapatkan dari orang asing yang kemungkinan tidak pernah Winena temui lagi. A
Berpisah dari Winena, ekspresi di wajah Sena kembali merengut. Sebab, dengan mudahnya ia kembali teringat Nindi yang mencampakkan dirinya sehari semalam. Sena marah. Sebab ia yakin Nindi hanya memanfaatkan masalah yang terjadi kepada Sena sebagai alasan agar tidak dituding sebagai si antagonis dalam hubungan mereka. Masuk ke dalam mobil, Sena menyalakan radio yang memang setaip saat menemani perjalanannya. Ketimbang mendengarkan musik, Sena lebih suka mendengarkan berita. Sayangnya, saat radio menyala, bukan berita terkini yang langsung mengudara, melainkan gosip tentang Nindi Fahrani. "Sial," umpat Sena kesal. Segera saja Sena mengganti saluran radio, mendengarkan apa saja selain gosip tidak penting tentang Nindi yang hanya akan memperburuk hari Sena. Sena tidak sedang meratapi kandasnya kisah cintanya bersama Nindi yang sudah terjalin dua tahun. Ia memang sedih dan patah hati, tetapi tidak seputus asa itu. Sena hanya menyayangkan cara Nindi memutuskan dirinya hanya untuk membe
Rasanya terlalu sakit hingga Winena yakin bahwa dirinya tidak akan pernah lagi merasakan kesakitan yang jauh lebih parah dari yang ia rasakan sekarang. Hanya dalam kurun waktu satu hari sejak ayahnya dimakamkan, Winena dan keluarganya sudah harus kembali menggelar upacara pemakaman di rumah. Para pelayat yang ikut berbela sungkawa atas kepergian Armandio Jati bahkan masih banyak yang berdatangan. Sebagian dari mereka mengaku sebagai teman lama Armandio Jati, dan sebagian lainnya hanya kenal sepintas saat berada di satu bidang pekerjaan yang sama. Sementara itu, pelayat yang datang untuk mengantarkan Ibu ke tempat peristirahatan terakhirnya tidak sebanyak dengan saat ayah Winena yang berpulang. Namun, tetap saja ada banyak wajah-wajah asing yang tidak Winena kenali. Dan Winena tidak punya tenaga untuk sekadar menutup telinga dari omongan-omongan jahat yang lagi-lagi terlontar dari mulut para pelayat. "Kasihan sekali istrinya. Pasti terpukul sekali karena suami yang bermasalah." "K
Sena merasa dirinya adalah seorang pecundang yang dengan sangat sadar mengharapkan Winena menghubungi dirinya tak lama setelah mereka berpisah. Ini sangat salah, Sena tahu betul akan hal itu. Namun Sena tak bisa berhenti berharap.Padahal, ia hanya bertemu dua kali dengan Winena. Pertemuan pertama jelas tidak bisa disebut sebagai pertemuan yang bagus. Winena sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik-baik saja kala itu. Dan siang tadi, Sena bisa sedikit melihat kekalutan di wajah Winena. Sena tahu, bahwa Winena masih tidak baik-baik saja. Mengajak Winena mengobrol, berbagi tawa, membuat Sena merasa sedikit bangga karena bisa sedikit memberikan warna di hidup Winena yang sedang kelabu, meski Sena tidak tahu seberat apa masalah yang sedang dan harus ditanggung Winena saat ini.Hingga tengah malam, Sena masih menunggu Winena menghubungi dirinya untuk sekadar basa-basi menanyakan nomor rekening atau lebih baik lagi jika Winena mengirimkan pesan yang tidak ada hubungannya dengan membayar
Surat cerai itu akhirnya sampai di tangan Winena kemarin sore. Hingga pagi ini, begitu Winena membuka mata, surat itu yang terus Winena pandangi. Seolah jika Winena memandangi lama, maka tulisan di surat itu akan berganti. Bahwa dirinya tidak sedang menyandang status baru yang tidak pernah diinginkan wanita mana pun.Janda.Konotasi yang tidak begitu enak didengar. Winena membenci julukan itu. Namun, tak ada yang bisa Winena lakukan untuk bisa menghapus julukan yang sudah melekat pada dirinya. Winena akan hidup dengan julukan itu hingga ia menikah lagi. Itu pun jika Winena masih berniat untuk menjalin hubungan baru dengan orang lain. Sebab, detik ini, Winena hanya ingin lepas dari rasa sakit yang membelenggunya. Itu saja.Tatapan mata Winena menerawang menembus jendela kamarnya.Dua minggu setelah Ayah dan Ibu meninggal, pengacara Faris datang ke rumah Tante Elis untuk menyerahkan surat gugatan cerai kepada Winena.Tanah merah yang menimbun jasad kedua orang tua Winena bahkan masih ba
Fase tersulit yang harus dihadapi oleh Winena setelah menghadapi kehilangan adalah harus beradaptasi dengan hidup baru. Di mana di dunianya yang baru tidak ada lagi ibu, ayah, ataupun suami. Bagaimana caranya membiasakan diri dan melakukan sesuatu hanya untuk diri sendiri? "Harus hidup sendiri setelah terbiasa hidup dengan orang lain itu sulit, Win," kata Tante Elis beberapa waktu lalu saat membujuk Winena agar mengurungkan niatnya untuk pergi. Ada cukup alasan yang seharusnya bisa menahan Winena agar tidak melarikan diri dari Jakarta. Tetapi Winena tetap memilih pergi. Winena tidak tahu apakah pilihannya untuk pergi adalah solusi yang benar. Yang perlu Winena lakukan sekarang adalah mencoba. Benar atau salah, itu urusan belakangan. "Ingat ya, Win. Makan teratur, banyak-banyak istirahat, jangan terlalu memforsir diri untuk kerja—" "Mama udah ngomong gitu belasan kali sejak pagi tadi. Papa yakin Winena nggak akan lupa," sela Om Tirta, suami Tante Elis yang tampak geli melihat istri
Jika beberapa bulan lalu rutinitas Winena setiap akhir pekan adalah mengunjungi makam kedua orang tuanya, maka sejak pindah ke Yogyakarta Winena mencari rutinitas baru agar tidak hanya terjebak di kamar kosnya dan terpekur dalam kesedihan. Sebut saja, Winena butuh tempat untuk melarikan diri dari rasa sepi yang menggerogoti jiwanya. Akhir pekan pertamanya di Yogyakarta, Winena menghabiskan waktunya di kamar kos untuk tidur. Beradaptasi di lingkungan kerja yang baru setelah cukup lama tidak bekerja membuat tubuhnya protes minta diistirahatkan. Minggu itu, Winena tak punya banyak waktu untuk merenungi kesedihan. Akhir pekan kedua dan ketiga, setelah cukup menyesuaikan diri dengan ritme kerja, Winena memilih untuk jalan-jalan di sekitar Malioboro hingga kakinya pegal-pegal. Winena merasa cukup nyaman di tengah-tengah keramaian orang lalu lalang di sepanjang jalan Malioboro. Meski ia ke sana kemari sendiri, itu tetap jauh lebih baik ketimbang terkurung di kos tanpa melakukan apa-apa.