Selama beberapa detik, Sena tidak mengatakan apa-apa selain memandangi wanita di depannya dengan berusaha untuk tetap menunjukkan ekspresi normal.
“Mbaknya mau pergi ke mana? Saya antar,” kata Sena dengan sangat hati-hati.
“Pergi, saya harus pergi jauh dari sini.” Wanita bernama Winena–berdasarkan identitas diri yang sempat Sena lihat–itu menggeleng panik. Matanya memancarkan ketakutan dan perlahan air mata menggenang di pelupuk. Suaranya terbata-bata saat kembali berkata, “Dia mengusir saya pergi. Saya nggak tahu harus ke mana. Saya … saya nggak punya tempat untuk pulang.”
Sena menahan napas. Tenggorokannya tiba-tiba seperti tersumbat sesuatu hingga rasanya seperti tercekik. Dadanya pun sesak.
Sena tidak perlu diberitahu dua kali. Ia merasa ada sesuatu hal yang berbahaya yang tengah mengancam wanita di depannya. Bukannya ia ingin berasumsi, tetapi Sena bisa melihat tanda-tanda perlawanan dari memar-memar yang membiru di pergelangan tangan. Sena seketika teringat foto-foto di berkas perkara kasus KDRT yang belum lama ini ia baca.
“Berengsek,” geram Sena tanpa sadar.
Laki-laki itu seketika teringat akan kakak sepupunya yang dulu pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangganya dan sampai sekarang masih belum pulih luka psikisnya. Sena menjadi sangat marah saat menghadapi situasi seperti ini. Hasrat ingin melindungi setiap orang yang mengalami kemalangan dalam hidup menghantam dada. Inilah salah satu alasan ia agak keberatan menangani kasus KDRT. Ia terlalu mudah terbawa perasaan hingga sulit mengedepankan logika.
Sena tak akan pernah lupa kala dulu dirinya sempat melampiaskan amarahnya dengan memukuli mantan suami kakak sepupunya hingga laki-laki bangsat itu babak belur.
“Ada keluarga atau kerabat dekat yang bisa dihubungi, Mbak? Ini sudah malam dan nggak aman buat Mbak−”
Wanita itu menggeleng. “Boleh saya menginap di tempat Anda?”
Selama beberapa detik Sena hanya memandangi wanita di depannya dengan mulut terbuka karena permintaan barusan terlalu mengejutkan. “Maaf, saya kira−”
“Anda kelihatannya bukan orang jahat.” Wanita itu kembali memotong ucapan Sena. “Kalaupun Anda ternyata orang jahat, saya nggak akan melaporkan Anda ke polisi−toh mereka tidak akan banyak membantu,” sambung wanita itu lirih, seperti berbicara untuk dirinya sendiri. “Saya cuma mau menumpang semalam saja. Saya mohon.”
Sena sampai tak dapat berkata-kata. Laki-laki itu memaksa otaknya untuk berpikir dengan cepat. Terlalu berisiko menampung seorang wanita di apartemennya yang hanya ia huni seorang diri. Bukan, bukan berarti Sena tidak mau menolong. Namun, jika ada tempat yang lebih nyaman untuk wanita itu selain di apartemen Sena, maka Sena tidak akan berpikir dua kali untuk membawanya ke sana. Dan satu-satunya tempat yang terpikir di kepala Sena adalah hotel.
“Nama saya Winena,” ujar wanita berpakaian compang-camping itu lagi tanpa ditanya. “Saya … saya cuma butuh tempat untuk istirahat malam ini saja.” Wanita bernama Winena itu menunjuk pakaiannya. “Dengan penampilan seperti ini, saya nggak bisa ke hotel untuk sewa kamar. Saya nggak bisa ke toko untuk beli pakaian. Karena semua mata yang memandang ke arah saya menganggap saya orang gila yang harus dijauhi.”
Hati Sena kembali teriris. Waras atau tidak. Normal atau tidak. Bagi Sena tidak sepantasnya manusia-manusia yang terlihat ‘tak normal’ di mata mereka dipandang lebih rendah dan dijauhi layaknya virus mematikan. Namun, begitulah dunia yang Sena tinggali. Ada orang-orang yang baik dan peduli. Ada orang-orang yang abai terhadap sekitar. Dan ada orang-orang jahat yang tak memanusiakan manusia.
Sena melihat ke sekeliling. Dan matanya menemukan sebuah ruko yang menjual pakaian wanita. Dan kebetulan sekali di samping ruko ada apotek.
“Mbak Winena, bisa tunggu saya di mobil?” pinta Sena setelah memutuskan untuk membantu Winena bagaimana pun caranya.
“Saya boleh menginap?” Winena menatap Sena dalam harap.
Sena tersenyum tipis seraya menunjuk ruko yang ada di seberang jalan. “Saya belikan pakaian baru untuk Mbak Winena dulu. Setelah itu saya antar Mbak Winena ke hotel yang ada di dekat apartemen saya. Bagaimana?”
Pancaran kesedihan di mata Winena memekat. Entah murni karena rasa peri kemanusiaan, di mana Sena ikut merasakan kepedihan hingga mampu bersimpati terhadap seseorang yang tidak ia kenal atau karena alasan lain yang belum Sena ketahui sebabnya.
Dan Sena pun buru-buru menambahkan dengan yakin, “Lebih aman di sana daripada di apartemen saya, Mbak. Saya akan pastikan kalau tidak akan ada lagi yang memandang Mbak dengan pandangan merendahkan dan Mbak bisa tidur di hotel dengan nyaman.”
Winena memandangi Sena lekat-lekat. “Sudah lama sekali saya nggak diperlakukan sebaik ini, bahkan oleh keluarga saya sendiri.”
Lagi, Sena tertohok. Sudah seberapa banyak rasa sakit yang ditelan paksa oleh wanita di depannya ini? Bagaimana wanita itu bertahan dengan rasa sakit yang menggerogotinya? Sena tidak tahu. Yang Sena tahu adalah kenyataan bahwa ia paling tidak bisa berdiam diri melihat kemalangan menimpa orang lain.
“Mari, Mbak.” Sena mempersilakan Winena untuk masuk ke dalam mobil dan kemudian laki-laki itu melajukan mobilnya ke arah toko baju.
Tak hanya membelikan Winena baju baru dan alas kaki yang lebih dari layak pakai, Sena juga membantu mengobati luka-luka di lengan dan kaki Winena. Kemudian, Sena benar-benar memesankan kamar hotel yang cukup nyaman untuk Winena. Sebelumnya, Sena pun tak lupa untuk terlebih dahulu mengajak Winena untuk makan.
Winena sempat menolak saat diajak makan, namun Sena sedikit memaksa dengan berkata, “Ibu saya pernah memberi saya sebuah nasihat. Apa pun yang sedang terjadi dalam hidup, meski hal itu menghancurkan kita begitu dalam, satu hal yang tetap harus kita lakukan adalah makan. Mungkin memang nggak banyak membantu menyelesaikan masalah kita, tapi setidaknya kita bisa mendapatkan energi untuk bertahan.”
Bukan nasihat yang mengharukan. Namun, berhasil membangkitkan nafsu makan Winena yang sempat hilang.
“Boleh saya tahu nama kamu?” tanya Winena sebelum keduanya berpisah di lobi hotel.
Sena baru sadar kalau dalam satu jam kebersamaannya dnegan Winena, ia belum memberitahukan namanya. Sena mengulurkan tangan dan berkata, “Nama saya Banyusena.”
Winena tersenyum samar dan menjabat tangan Sena. “Terima kasih banyak, Banyusena. Saya nggak akan pernah melupakan kebaikan kamu untuk saya.”
Sena dan juga wanita bernama Winena itu tak pernah tahu kalau pertemuan mereka malam itu akan membawa takdir pahit untuk keduanya di masa depan.
***
Sena yang masih terbuai oleh mimpi indahnya itu dibangunkan dengan cara yang tidak begitu menyenangkan oleh suara keras dari ponselnya yang berdering meraung-raung. Sena mengerang kesal karena ia merasa baru tidur sebentar, tetapi dipaksa bangun oleh pengganggu yang ternyata adalah atasannya.
Masih jam setengah enam pagi, dan nama Pak Rudi sudah terpampang di layar ponselnya. Sena bangkit dari posisi tengkurapnya dengan susah payah lalu duduk bersandar di headboard. Ia menguap lebar sekali sebelum mengangkat panggilan dari atasannya.
“Ha−”
Dan ia tidak diberi waktu untuk sekadar mengucapkan ‘halo’ oleh Pak Rudi yang langsung berkata dengan setengah berteriak panik, “Armandio Jati bunuh diri di tahanan semalam.”
Sena memproses ucapan Pak Rudi dengan sedikit lambat hingga Pak Rudi harus mengulangi ucapannya sekali lagi. Dan Sena hanya bisa termangu di tempat selama beberapa saat. Dalam perjalanan karirnya tidak ada yang lebih buruk dari ini. Mendengar kabar bahwa seseorang yang baru kemarin ia pidanakan dalam keadaan sehat dan hari ini orang tersebut sudah tak bernyawa.
“Jasad Armandio Jati sudah dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi,” terang Pak Rudi yang tak terlalu digubris oleh Sena.
Hingga sambungan terputus, Sena masih belum beranjak dari atas tempat tidur. Dengan tangan gemetar Sena membuka portal berita di internet. Ia sempat berharap atasannya hanya berhalusinasi. Namun, harapan hanyalah harapan. Apa yang disampaikan Pak Rudi benar-benar terjadi. Karena saat ini tajuk berita ‘Armandio Kusuma Jati Bunuh Diri di Sel Tahanan’ memenuhi kolom berita di internet.
“This can’t be happening. He can’t be dead,” lirih Sena tak berdaya.
***
Di lain tempat, pada waktu yang hampir bersamaan, Winena berdiri di depan jendela kaca. Sedang menatap pemandangan kota Jakarta di pagi hari melalui kamar hotelnya di lantai sembilan. Seperti yang Sena katakan semalam, Winena bisa tidur dengan nyaman. Bahkan ia begitu lelap hingga paginya ia merasa cukup segar. Sungguh ironis memang. Saat ibunya di rumah sakit-sakitan, ayahnya dikurung di penjara yang mustahil mendapatkan ruang yang nyaman, dan kenyataan bahwa kemarin ia baru saja digugat cerai oleh suaminya, ia masih bisa tidur nyenyak di tempat yang aman dan nyaman.
Namun, kemalangan tak senantiasa membiarkan Winena merasakan kenyamanan itu dalam waktu lama. Karena tepat saat ia baru akan menikmati kenyamanan itu, suara jernih dari pewara berita pagi mengabarkan berita terburuk yang Winena alami dalam 28 tahun hidupnya.
“Terpidana korupsi Armandio Jati mengakhiri hidupnya di dalam sel tahanan, satu hari setelah dipidana 10 tahun penjara atas kasus penggelapan dana. Diduga penyebab bunuh diri yang dilakukan Armandio Jati karena depresi atas vonis yang dijatuhkan hakim. Ditemukan sebuah surat untuk anak tunggal Armandio Jati yang ditulis sebelum terpidana mengakhiri hidup dengan….”
Winena tidak sanggup mendengarkan kata demi kata sang pewara yang seakan menguliti dirinya hidup-hidup.
“Ayah,” bisik Winena saat nama ayahnya berkali-kali disebut dalam berita itu.
Winena meraih remote TV dan memencet-mencet tombolnya hingga berpindah ke saluran lain. Namun, berita itu disiarkan hampir seluruh saluran televisi lokal. Tidak ada tayangan lain.
“Ayah,” Winena kembali menggumam lirih.
Tidak ada kekuatan yang tersisa untuk menopang tubuhnya. Winena ambruk. Menatap layar televisi dengan nanar. Ia menolak untuk percaya kalau ayahnya sudah meninggalkan dunia tanpa pamit.
“Kenapa Ayah tega melakukan ini?”
Di detik selanjutnya Winena menjerit dalam tangis. Meluapkan kesedihan dan rasa sakit yang berjejalan masuk ke setiap sel tubuhnya.
***
Kosong. Hanya itu yang dapat Winena rasakan setelah ia menguras habis air matanya karena berita tentang kematian ayahnya. Winena menatap pantulan bayangan dirinya di depan cermin yang ada di kamar mandi kamar hotelnya dengan tatapan nanar. Rambutnya berantakan. Matanya merah dan bengkak. Bekas air mata mengering di pipi dan mungkin bercampur ingus dan keringat. Rupa wajahnya sudah tidak karuan.Winena menanggalkan pakaiannya satu per satu. Hingga tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Dengan tangan yang agak gemetar, Winena menyentuh bekas memar yang membiru, luka lama dan luka baru yang seolah berkelindan menampakkan diri di setiap jengkal tubuhnya. Memar-memar biru itu yang selalu ia dapat setiap hari. Seolah menjadikan tubuhnya sebagai samsak adalah hal paling memuaskan untuk Faris.Namun, itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diingat untuk saat ini. Winena terlalu terluka karena ayahnya pergi begitu saja setelah menorehkan banyak derita pada keluar
Winena meninggalkan kamar hotel hanya membawa tas selempang kecilnya yang berisi ponsel dan dompet. Pakaian bekas yang Winena kenakan semalam ia tinggalkan teronggok di lantar kamar mandi kamar hotelnya. Sudah tidak ia butuhkan lagi. Saat mencapai luar gedung hotel 50 lantai itu, kebetulan sekali ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Winena langsung masuk ke dalam taksi dan meminta supir taksi itu untuk mengantarkannya ke rumah sakit di mana jasad ayahnya sedang diautopsi. Membayangkan bagaimana tubuh ayahnya yang sudah tidak bernyawa dibedah demi mencari tahu pasti akibat kematian pria itu memberikan sensasi mengerikan pada tubuh Winena. Bulu kuduknya merinding, bukan karena kedinginan, melainkan karena dunianya yang sudah hancur itu dihentakkan hingga runtuh. Satu per satu rasa sakit yang membuat tubuhnya koyak itu menghantamnya terus-menerus. Saat tinggal setengah perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Winena kemudian melayang ke momen-momen saat keluarganya masih utuh da
"KAMU DI MANA, SENA?! MUTERIN INDONESIA DULU KAMU, HA? KENAPA NGGAK SAMPAI-SAMPAI?! KATANYA TADI SUDAH DEKAT?!" Gendang telinga Sena berdenging perih karena teriakan dari Pak Rudi. Belum ada sepuluh menit sejak Pak Rudi menghubunginya tadi, tidak bisakah atasannya itu bersabar sedikit? Sena juga bukannya sedang mengulur-ulur waktu untuk datang. Ia hanya sedang terjebak kemacetan lalu lintas. "Di jalan agak macet, Pak." "Jangan banyak alasan, Sena! Cepatlah datang dan selesaikan kekacauan yang sudah kamu perbuat! Tinggalkan mobilmu dan lari ke sini, Anak bodoh!" Sena menjambaki rambutnya dengan kasar. Pak Rudi yang benar-benar menunjukkan sisi terburuknya sebagai atasan. Sena nyaris lupa bahwa Pak Rudi selama ini selalu mengayomi anak-anak buahnya. Kali ini, Sena tidak melihat itu. Pak Rudi melimpahkan semuanya kepada Sena. Menyalahkan anak buahnya yang selama ini hanya tahu bagaimana caranya bekerja keras dan bekerja dengan baik. Bertanggung jawab pada setiap kasus yang diberikan k
Sena sudah tidak peduli lagi meski ia masih punya kewajiban untuk memantau proses investigasi atas kematian Armandio Jati. Sena terlalu marah dan muak kepada orang-orang yang dengan mudahnya menumpahkan semua kesalahan kepada dirinya sehingga ia langsung meninggalkan rumah sakit bahkan sebelum melihat jasad Armandi Jati dengan mata kepalanya sendiri. Ia mendengar suara salah satu rekan kerjanya yang memanggil-manggil namanya, tetapi Sena pura-pura tidak mendengar. Sena melangkah dengan langkah lebar-lebar menuju ke tempat mobilnya ia parkirkan beberapa saat yang lalu. Tanpa membuang waktu, Sena meninggalkan rumah sakit dengan mengemudikan mobilnya pada kecepatan tinggi hingga mendapat makian dan klakson beruntun dari kendaraan lain yang mau tidak mau harus mengalah jika tidak ingin terjadi kecelakaan. Pada momen ini, Sena benar-benar tidak peduli jika dirinya ditilang oleh polisi karenma melanggar peraturan lalu lintas. Yang ingin Sena lakukan sekarang adalah menjauh dari semua hal ya
Masih sangat membekas di ingatan Winena saat ayahnya memberikan banyak sekali wejangan dan pelajaran hidup yang harus Winena terapkan saat dewasa nanti. Saat itu umur Winena baru memasuki 14 tahun. Ada banyak prinsip yang Winena pegang teguh karena nasihat dari ayah tercintanya itu. "Cinta pertama? Cinta pertamaku ayah! Nanti kalau sudah besar, aku mau menikah dengan ayah!" Terbersit dengan sangat jelas bayangan Armandio Jati yang tertawa hingga matanya menyipit kala mendengar anaknya berkata demikian. "Ayah sudah menikah dengan Ibu, Win. Kamu nggak bisa menikah sama Ayah. Nanti Ibu cemburu dan sedih." "Terus aku nikahnya sama siapa, Yah? Aku maunya yang kayak Ayah!" "Nanti, Win. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan bertemu dengan laki-laki yang baik. Laki-laki yang jauh lebih baik dari Ayah." Armandio Jati adalah satu orang dewasa paling favorit dalam hidup Winena saat masa kecil dulu. Setiap ucapan dan tindakan pria itu selalu membuat Winena kagum. Bahkan, meski ibunya juga
Meski Tante Elis sudah memberitahu Winena jika keluarga besarnya sudah dikabari tentang meninggalnya Armandio Jati, Winena masih mengira bahwa rumah akan tetap sepi.Sebab, tetangga dan kerabat dekat keluarganya, bahkan keluarga besarnya satu per satu berpaling saat Armandio Jati beralih status dari tersangka menjadi terdakwa sejak berbulan-bulan lalu atas kasus korupsi yang menjeratnya. Namun, kematian Armandio Jati rupanya berhasil mengumpulkan mereka semua kembali di sini, di rumah Ibu, yang sudah beberapa bulan ini tidak Winena sambangi dengan alasan sibuk bekerja dan mengurus suami, juga karena Winena tidak sanggup melihat Ibu sedih. Menghindar dari Ibu terasa jauh lebih mudah baginya. Masih terdengar bisik-bisik tidak menyenangkan saat Winena melewati halaman rumah yang luas dan kemudian memasuki rumah yang sudah ramai dengan pelayat. Tentu saja tak ada yang bisa Winena lakukan. Penghakiman orang-orang itu valid dan bukan tanpa alasan. Armandio Jati memang bersalah, mempunyai t
Winena tahu ini bukan saatnya bernostalgia. Namun, berada di kamar yang sudah jarang dihuni sejak ia menikah dengan Faris itu mendadak membawa Winena kepada kenangan-kenangan yang lagi-lagi menbuat Winena semakin punya alasan untuk tidak terlalu larut dalam duka lara karena ditinggal pergi ayahnya dengan cara yang mengenaskan. Yang Winena ingat, hampir seluruh kenangan yang terjadi di kamarnya adalah hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Tentu saja kenangan-kenangan itu tercipta sebelum Winena tahu bahwa ayahnya tidak sesempurna yang wanita itu kira. Setelah mengetahui ayahnya mendua, kamar ini yang selalu menjadi saksi bisu saat Winena menangis diam-diam. Di kamar ini pula Winena berkali-kali mengutuk ayahnya yang menduakan Ibu. Jika dulu kamar dengan dinding bercat putih bersih itu menjadi tempat paling favorit bagi Winena, makin lama kamarnya terasa seperti tempat pengasingan. Di sini, Winena membentengi diri dari rasa sakit menyaksikan keretakan keluarga kecilnya. Winena t
Melayat ke rumah duka Armandio Jati bersama rekan-rekan kantornya, Sena memilih untuk duduk di deretan kursi terluar yang akan memudahkan laki-laki itu beranjak pergi setelah upacara pemakaman berakhir. Sena juga menjaga jarak dari Pak Rudy, atasan sekaligus mentor yang membuat Sens kecewa sekali hari ini. Meski sudah berusaha menerima keputusan yang telah dijatuhkan, kemarahan di dalam dadanya masih belum mereda. Diperlakukan seperti sampah benar-benar membuat ego Sena terluka. Sena membuang muka saat rombongan keluarga Armandio Jati satu per satu masuk ke dalam mobil, sebagian ikut ambulans untuk berangkat ke tempat pemakaman. Dari yang Sena ketahui, Armandio Jati mempunyai satu istri dan anak semata wayang yang menolak diekspos ke media. Sena tidak tahu orangnya yang mana, tetapi Sena tetap berusaha sekeras mungkin untuk mengalihkan tatapan. Tak sanggup Sena menatap satu per satu wajah keluarga Armandio Jati yang sedang berduka. "Kasihan anak dan istrinya harus nanggung aib." "Ma