Share

bab dua

Author: naftalenee
last update Huling Na-update: 2021-12-10 00:00:44

Seharian ini, hampir semua stasiun TV lokal ramai memberitakan tentang vonis hukuman 10 tahun penjara yang dijatuhkan hakim kepada terpidana korupsi Armandio Jati. Tak berbeda dengan tayangan di layar TV LED berukuran 32 inch di ruangan Pak Rudi–kepala jaksa di salah satu kejaksaan negeri di Jakarta. Ya, setelah kembali dari pengadilan, Pak Rudi langsung menyalakan TV bahkan sebelum mempersilakan jaksa juniornya, Sena, yang ikut masuk ke ruangannya itu duduk.

“Kamu sudah bekerja dengan sangat keras di kasus ini, Sena. Saya bangga sekali sama kamu!”

Kalimat yang dilontarkan oleh Pak Rudi itu tak begitu Sena perhatikan. Jaksa muda itu sedang fokus menatap layar TV yang menayangkan gambar Armandio Jati dalam balutan baju napi berwarna oranye diboyong polisi menuju ke rumah tahanan setelah persidangan berakhir.

Ada kepuasan tersendiri yang Sena rasakan melihat si koruptor yang sempat menjadi buronan selama tiga tahun karena melakukan korupsi asuransi jiwa dan telah menjalani persidangan sebanyak 12 kali itu, akhirnya mendapatkan hukuman dan mendekam di penjara. Ya, Sena adalah jaksa penanggung jawab kasus korupsi yang dilakukan Armandio Jati. Kerja kerasnya setahun terakhir, lembur berbulan-bulan yang membuat tubuhnya nyaris rontok itu terbayar. Ia akan bisa tidur nyenyak setelah ini.

“Banyusena, ada kasus baru yang perlu kamu tangani.” Pak Rudi si kepala jaksa kembali bersuara.

“Korupsi lagi?” Mata Sena masih terpaku ke layar yang kini menayangkan breaking news, tentang korupsi dana pembangunan jalan tol yang dilakukan oleh para pejabat tinggi.

“Bukan. Sesekali kamu juga perlu mengurus kasus lain.”

“Kasus apa, Pak?”

“Kasus KDRT.”

Sena akhirnya menoleh. Menatap atasannya dengan kernyitan di kening. Karena tak biasanya Pak Rudi memberikan kasus yang berkaitan dengan masalah rumah tangga kepadanya. Dan ia tampak tak senang.

“Kenapa bukan Reiga saja yang mengurus kasus itu, Pak?” protes Sena dengan membawa nama salah satu rekan kerjanya di kejaksaan.

“Reiga sudah terlalu banyak memegang kasus yang belum terselesaikan. Dia juga baru saja saya minta menangani kasus yang itu.” Pak Rudi memberi isyarat melalui gerakan mata dan dagu yang mengarah ke TV.

Sena kembali menatap ke layar TV yang masih menayangkan breaking news. Ia langsung menggerutu kecil. Rupanya kasus korupsi dana pembangunan tol yang melibatkan beberapa mantan pejabat tinggi negara yang sedang mengguncang negeri itu sudah diserahkan ke Reiga. Bukan berarti ia tak terima kalau kasus itu diserahkan ke rekan kerjanya yang memang cukup kompeten melebihi dirinya. Bukan pula ia ingin mengurus kasus korupsi besar secara berturut-turut dan menenggelamkan diri dalam setumpuk berkas-berkas yang membuat dirinya lupa bagaimana rasanya tidur nyenyak. Namun, ia juga tidak suka mengurus prahara rumah tangga orang lain di meja hijau. Menurutnya sangat merepotkan karena seringkali akan timbul banyak drama.

“Berkas perkaranya sudah ada di meja kamu,” ucap Pak Rudi kemudian karena tak mendapat respons dari Sena.

“Apa tidak ada kasus lain yang lebih penting daripada ini, Pak?” keluh Sena. Ia menatap atasannya dengan sorot keberatan.

“Setiap kasus yang masuk itu penting. Tugas kita membantu masyarakat mendapatkan keadilan.” Pak Rudi menjawab dengan tegas. “Kalau hal seperti ini menimpa salah satu keluarga kamu, saya

“Bukan berarti saya meremehkan kasus KDRT, Pak Rudi. Saya cuma berpikir kalau jaksa lain bisa menangani kasus ini. Biarkan saya menangani kasus yang lain.”

“Lakukan saja, Sena. Hanya karena kamu memenangkan sidang besar satu kali dan bisa memenjarakan seorang koruptor yang pernah menjadi buron, lalu kamu merasa di atas angina, besar kepala, dan sesumbar. Saya benci sekali dengan jenis manusia semacam itu. Ingat di mana kamu berpijak, Banyusena. Kamu hanya pegawai di sini dan saya bisa dengan mudah memindahkan kamu ke pelosok kalau kamu memilih membangkang.”

Sena cukup kaget dengan gertakan Pak Rudi yang keras terhadapnya. Hal tersebut sangat menyinggung egonya. Padahal ia hanya sedikit memprotes dan Pak Rudi langsung menggertaknya dengan ancaman mutasi. Sena bisa saja melawan dan membalas ucapan atasannya itu, tetapi yang dilakukan Sena hanyalah mengangguk dengan setengah terpaksa.

“Kalau kamu sudah selesai dengan rengekan kamu. Silakan keluar dari ruangan saya,” kata Pak Rudi beberapa saat kemudian.

Sena tak berkata apa-apa lagi. Suasana Pak Rudi yang dengan cepat berubah itu membuat Sena enggan mengusik. Ia tak mau membuat atasannya semakin marah atau ia benar-benar akan dimutasi ke kota atau kabupaten di luar ibu kota atau malah parahnya lagi di luar Jawa.

Ia bertemu dengan Reiga saat membuka pintu masuk ke ruang kerjanya, yang kebetulan sedang mengulurkan tangan untuk meraih kenop pintu. Sena dan laki-laki berkacamata itu satu ruangan.

“Udah mau balik lo?” tanya Sena.

Reiga mundur dua langkah untuk membiarkan Sena masuk dan menggelengkan kepala. “Belum berniat balik, sih. Gue mau ke TKP.”

Sena manggut-manggut. “Sore-sore gini mau ke TKP?”

Rekan kerja Sena itu mengendikkan bahu, kemudian berkata, “Btw, congrats! Akhirnya kelar juga kasus yang bikin lo jadi zombie.”

Sena mendengkus malas. Namun, sedetik kemudian senyum terpatri di wajah. “Thanks, man! Akhirnya bisa bernapas lega gue.”

Mereka berdua melakukan tos. Rega menepuk bahu Sena dengan bangga.

“Abis ini ke mana lo? Langsung balik?” Reiga gantian bertanya.

“Iya, balik bentar lagi. Mau bayar utang tidur,” jawab Sena disusul tawa. “Tapi gue masih mau urus sesuatu dulu, sih. Kasus baru dari Pak Rudi.”

Reiga geleng-geleng kepala. “Lo jangan terlalu ambisius gitu. Santai dikit. Jangan lupa senang-senang. Pacaran atau apa gitu, kek.”

Kedua laki-laki itu menyemburkan tertawa. Lebih tepatnya menertawakan Sena yang sudah menjomlo selama beberapa tahun karena terlalu sibuk bekerja. Ia tak punya waktu untuk berkencan. Lebih tepatnya ia malas dan tidak berminat menjalin hubungan romansa dalam waktu dekat.

“Dah, sono pergi aja lo. Nggak usah sok menggurui gue. Lo nyuruh gue nggak usah terlalu rajin kerja. Lah lo sendiri juga sama aja. Ngapain sore-sore begini mau ke TKP?” gerutu Sena kemudian.

“Cewek gue lembur, sih. Gue juga mau lembur aja daripada kesepian di apartemen.” Reiga mengucapkannya dengan nada jail. Ia sengaja pamer. “Atau lo mau gue temenin nongkrong? Itung-itung buat ngerayain kerja keras lo.”

“Besok-besok aja, deh. Gue lagi males nongkrong.”

“Emang dasarnya nggak asyik idup lo.”

Setelah berdebat tak penting, Reiga pamit pergi. Sena pun masuk akhirnya masuk ke ruang kerjanya. Mencari berkas yang dimaksud Pak Rudi dan mempelajarinya.

***

Sena mengemudikan mobilnya menuju apartemen dua jam kemudian setelah ia keluar dari ruangan Pak Rudi. Ia sudah sempat membaca sekilas berkas perkara KDRT yang kata Pak Rudi harus segera diproses. Kepalanya pening dan emosinya teraduk-aduk setelah membaca pernyataan penggugat tentang kebejatan suaminya. Ditambah lagi melihat bukti kekerasan dan lebam-lebam di tubuh korban, emosinya memuncak. Ia merutuki manusia-manusia kejam yang tak punya hati itu. 

Shit!!!” umpat Sena seraya menginjak rem mendadak dan membuat tubuhnya tersentak ke depan.

Sena begitu kaget hingga jantungnya hampir keluar dari sarangnya karena tiba-tiba seseorang melintas di depan mobilnya. Untung saja, mobilnya melaju tak terlalu kencang sehingga ia bisa menghentikan mobil tepat sebelum menabrak ‘orang gila’ yang tak menghargai nyawa sendiri.

Ia langsung mematikan mesin mobil dan melompat keluar dari dalam mobil. Sebelum umpatan kesal terlontar, Sena lebih dulu terpaku karena pemandangan di hadapannya.

Berjarak lima puluhan sentimeter dari bemper depan mobilnya, seorang wanita yang tampak begitu berantakan–rambut acak-acakan seperti bekas jambakan kasar, baju sobek di beberapa bagian, memar-memar di pergelangan tangan dan kaki, telapak kaki yang lecet dan berdarah karena tak terbungkus alas kaki–tersungkur di jalanan. Di dekatnya teronggok tas selempang kecil yang terbuka, menghamburkan barang-barangnya keluar.

“Mbak, nggak papa?” Sena langsung mendekat setelah tersadar dari keterpakuannya. Ia berjongkok dan bertanya dengan hati-hati.

Wanita yang hampir tertabrak mobilnya itu terlihat linglung. Hati Sena teriris melihatnya.

Suara klakson yang bersahutan mengagetkan Sena. Saking paniknya ia tadi hingga lupa kalau mobilnya berada di tengah jalan dan menciptakan sedikit kemacetan.

Sena tak punya waktu banyak untuk menatap wanita di depannya dalam belas kasihan. Dengan cekatan ia membantu wanita yang mengenakan terusan putih yang sudah lusuh itu berdiri dan membimbingnya untuk menyingkir dari tengah jalan raya.

Sena tak sengaja melihat identitas diri wanita itu saat membantu memasukkan barang-barang milik si wanita yang bercecer di jalanan ke dalam tasnya. Nama Winena Kusuma Jati tertera di KTP.

“Saya pinggirin mobil saya dulu, Mbak. Mbaknya di sini dulu, ya. Jangan ke mana-mana,” ucap Sena buru-buru. Sebelum mendapat respons, Sena sudah meluncur pergi, memindahkan mobilnya ke tepian.

“Mbak nggak papa?” tanya Sena untuk yang kedua kalinya dengan hati-hati setelah meminggirkan mobilnya dan mendekat ke arah wanita yang hampir ia tabrak itu.

Pertanyaan yang sungguh bodoh. Karena dilihat dari kondisi wanita di depannya itu, jelas menunjukkan kalau ia sedang tidak baik-baik saja.

“Saya nggak papa,” jawabnya lirih sekali. Jawaban yang juga sama bodohnya.

Entah mengapa rasanya Sena ingin marah. Kepada siapa pun itu yang menyebabkan wanita malang di depannya babak belur. Kenapa semesta begitu kejam?

Satu-satunya yang kemudian terpikir di kepalanya adalah rumah sakit. Ya, ia harus segera membawa wanita di depannya itu ke rumah sakit.

“Mbak, saya antar ke rumah sakit dulu, bagaimana? Luka Mbak perlu diobati,” tawar Sena dengan suara pelan.

“Jangan! Saya … saya harus pergi jauh dari sini. Saya ….” Ucapan wanita itu tak selesai. Wanita itu menggeleng dengan cepat. Raut kebingungan dan kesedihan yang tercetak di wajahnya membuat jantung Sena mencelus.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   Epilog

    Anakku tersayang, WinenaSaat kamu menerima surat ini, mungkin Ayah sudah tidak ada di dunia lagi. Melalui surat ini, Ayah ingin mengatakan betapa besar rasa syukur dan rasa bangga Ayah bisa memiliki kamu sebagai anak. Kamu sudah berkali-kali mendengar dari Ibu kalau dulu kami sangat menanti-nantikan kehadiran anak dalam pernikahan kami yang sudah bertahun-tahun. Saat kami sudah nyaris menyerah, kamu hadir melengkapi kebahagiaan kami. Kamu selalu menjadi kebahagiaan kami, Win.Bahkan, saat hubungan Ayah dan Ibu sudah tidak seperti dulu lagi, kami selalu mencintai kamu sama besarnya seperti saat kamu masih berada di rahim ibumu.Tentang keadaan Ayah dan Ibu yang telah berubah dan akhirnya berimbas ke kamu, menyakiti kamu, Ayah minta maaf, Nak. Maaf, karena Ayah sudah merusak keluarga impian yang selalu kamu inginkan.Winena, Ayah sangat menyesal karena menciptakan dunia yang mengerikan untuk kamu tinggali. Tetapi Ayah yakin kalau kamu akan bisa menemukan dunia yang lebih indah daripada

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh tujuh - takdir cinta sang anak koruptor

    "Kamu ingat nggak sih, Win, kalau kamu masih punya utang ke aku yang belum kamu bayar?" Sena memainkan rambut panjang Winena. Ujung-ujung jarinya perlahan turun, menyentuh tulang selangka Winena yang tidak tertutup apa-apa. Setelah pergumulan Sena dan Winena di atas tempat tidur beberapa saat yang lalu, mereka masih bergelung di balik selimut tanpa mengenakan pakaian kembali. Bukan karena malas bergerak, tetapi Winena tidak cukup puas jika hanya satu ronde. Mereka hanya istirahat sejenak sebelum melanjutkan kesenangan bersama. "Utang apa? Es krim?" Winena mengernyit. Sena berdecak, tetapi tak urung terkekeh. Soal cemilan, mereka punya selera yang berbeda sehingga mereka tak pernah mengusik cemilan milik masing-masing. Tetapi semuanya berubah begitu saja saat Winena hamil. Segala jenis cemilan yang dulu tidak disukainya, kini semuanya masuk ke perut. Terutama cemilan-cemilan milik Sena yang dulunya selalu dihindari Winena. "Bukan, Sayang. Tapi soal renang. Udah berapa kama sejak kam

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh enam - happy ending

    Dua tahun kemudian.....Rasanya, seperti mimpi.Tujuh tahun yang lalu, saat Winena menikah dengan Faris rasanya tidak seperti ini. Saat itu, Winena hanya melewatinya dengan hati yang berbunga-bunga dan perasaan yang menggebu-gebu ingin segera menyambut kehidupan rumah tangganya bersama Faris.Bersama Sena, Winena terus-menerus menemukan perjalanan yang benar-benar baru yang menantang dan penuh kejutan. Segalanya terasa berbeda. Dan Winena tidka punya waktu untuk membandingkan dengan pernikahan pertamanya dahulu. Sebab, Winena terlalu bahagia karena akhirnya bisa mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan bersama Seba setelah lika-liku hubungan mereka selama dua tahun terakhir.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena mendengar namanya disebutkan dengan merdu dalam ijab qabul. Winena menangis terisak saat haru menyelebungi seluruh sel dalam tubuhnya yang meneriakkan kebahagiaan.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena merasakan jantungnya berdebar keras saat akan menyambut malam

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh lima - be with me

    Nindi sontak kembali berbalik untuk menatap Sena dan langsung memberikan tatapan tajam dan sengit yang bisa diartikan sebagai, "Kenapa wanita itu ada di sini?" "Lho, Mas nggak bilang kalau lagi ada yang jenguk." Ibu masuk diikuti Winena yang sama sekali tidak menatap Sena. "Kalau tahu begitu tadi porsinya bisa Ibu lebihin biar kita bisa sekalian makan siang bersama." "Nindi udah mau balik kok, Bu," balas Sena dengan tatapan yang tidak lepas dari Winena yang sibuk mengeluarkan makanan dari kantong plastik yang tadi wanita itu bawa. "Cantik namanya. Persis seperti orangnya," puji Ibu. "Teman Sena di kejaksaan juga, Mbak Nindi?" Sena dapat melihat gerakan tangan Winena yang terhenti selama beberapa detik sebelum kembali melanjutkan kegiatannya. Wanita itu masih pura-pura tidak memedulikan Sena maupun Nindi. "Bukan, Tante." Nindi yang lebih dulu mendekat untuk menyalami tangan Ibu. Hanya jabat tangan singkat, tanpa mencium punggung tangan. "Saya public figure. Bekerja di dunia hibura

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh empat - harapan

    Sena termenung lama menatap ke luar jendela rumah sakit setelah rekan-rekan kerjanya yang menjenguknya satu per satu pamit undur diri. Sudah beberapa hari lalu Sena mendengar cerita singkat dari Tante Elis bahwa Winena sekarang ada di Jakarta. Bahwa Winena sudah keluar dari tempat kerjanya di Yogyakarta karena keadaan Om Tirta memburuk. Winena ada di dekatnya. Setelah tiga bulan lamanya Sena berjauhan dengan Winena, kini Sena bisa kembali berdekatan dengan wanita yang ia cintai dan rindukan dengan sangat. Sena sempat berharap setelah mengetahui bahwa wanita itu juga sempat menunggui dirinya selama operasi yang kedua. Namun, hingga satu minggu kemudian, saat Sena sudah diizinkan pulang, Winena tidak datang lagi. Sena sadar bahwa dirinya sekarang tampak sangat menyedihkan karena masih mengharapkan sosok yang telah mencampakkannya tanpa mau diajak kompromi sama sekali. Namun, harap itu benar-benar tak bisa dipupus, terutama setelah kunjungan Tante Elis yang tidak lagi menunjukkan kebe

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh tiga - titik balik?

    "Ibu mau minta maaf, Win," ucap Ibu setelah sepuluh menit menit awal hanya berbasa-basi.Pagi tadi, saat Winena sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ibu mengirim pesan. Mengingatkan Winena tentang rencana pertemuan mereka. Dan Winena pun langsung setuju untuk bicara di kantin rumah sakit saja sekalian makan siang."Minta maaf untuk apa, Bu?""Karena pernah melukai hati kamu dengan kata-kata menyakitkan dan membuat hubungan kamu dengan Sena rusak. Ibu sangat menyesal karena menempatkan kalian pada situasi sulit. Maafkan Ibu ya, Nak."Winena dihantam rasa sakit di dada karena ucapan Ibu yang terdengar begitu sedih. Membuat Winena ingin menangis. "Bukan salah, Ibu. Perpisahan saya dan Sena terjadi karena pilihan saya sendiri."Ibu tersenyum sedih. "Pilihan kamu itu ada karena penolakan demi penolakan keras Ibu terhadap kamu, kan? Ibu yang minta kalian berpisah. Ibu yang menginginkan kalian hanya berteman."Winena diam saja. Sebab, apa yang dikatakan Ibu benar adanya. Namun, Winena

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status