Share

bab dua

Seharian ini, hampir semua stasiun TV lokal ramai memberitakan tentang vonis hukuman 10 tahun penjara yang dijatuhkan hakim kepada terpidana korupsi Armandio Jati. Tak berbeda dengan tayangan di layar TV LED berukuran 32 inch di ruangan Pak Rudi–kepala jaksa di salah satu kejaksaan negeri di Jakarta. Ya, setelah kembali dari pengadilan, Pak Rudi langsung menyalakan TV bahkan sebelum mempersilakan jaksa juniornya, Sena, yang ikut masuk ke ruangannya itu duduk.

“Kamu sudah bekerja dengan sangat keras di kasus ini, Sena. Saya bangga sekali sama kamu!”

Kalimat yang dilontarkan oleh Pak Rudi itu tak begitu Sena perhatikan. Jaksa muda itu sedang fokus menatap layar TV yang menayangkan gambar Armandio Jati dalam balutan baju napi berwarna oranye diboyong polisi menuju ke rumah tahanan setelah persidangan berakhir.

Ada kepuasan tersendiri yang Sena rasakan melihat si koruptor yang sempat menjadi buronan selama tiga tahun karena melakukan korupsi asuransi jiwa dan telah menjalani persidangan sebanyak 12 kali itu, akhirnya mendapatkan hukuman dan mendekam di penjara. Ya, Sena adalah jaksa penanggung jawab kasus korupsi yang dilakukan Armandio Jati. Kerja kerasnya setahun terakhir, lembur berbulan-bulan yang membuat tubuhnya nyaris rontok itu terbayar. Ia akan bisa tidur nyenyak setelah ini.

“Banyusena, ada kasus baru yang perlu kamu tangani.” Pak Rudi si kepala jaksa kembali bersuara.

“Korupsi lagi?” Mata Sena masih terpaku ke layar yang kini menayangkan breaking news, tentang korupsi dana pembangunan jalan tol yang dilakukan oleh para pejabat tinggi.

“Bukan. Sesekali kamu juga perlu mengurus kasus lain.”

“Kasus apa, Pak?”

“Kasus KDRT.”

Sena akhirnya menoleh. Menatap atasannya dengan kernyitan di kening. Karena tak biasanya Pak Rudi memberikan kasus yang berkaitan dengan masalah rumah tangga kepadanya. Dan ia tampak tak senang.

“Kenapa bukan Reiga saja yang mengurus kasus itu, Pak?” protes Sena dengan membawa nama salah satu rekan kerjanya di kejaksaan.

“Reiga sudah terlalu banyak memegang kasus yang belum terselesaikan. Dia juga baru saja saya minta menangani kasus yang itu.” Pak Rudi memberi isyarat melalui gerakan mata dan dagu yang mengarah ke TV.

Sena kembali menatap ke layar TV yang masih menayangkan breaking news. Ia langsung menggerutu kecil. Rupanya kasus korupsi dana pembangunan tol yang melibatkan beberapa mantan pejabat tinggi negara yang sedang mengguncang negeri itu sudah diserahkan ke Reiga. Bukan berarti ia tak terima kalau kasus itu diserahkan ke rekan kerjanya yang memang cukup kompeten melebihi dirinya. Bukan pula ia ingin mengurus kasus korupsi besar secara berturut-turut dan menenggelamkan diri dalam setumpuk berkas-berkas yang membuat dirinya lupa bagaimana rasanya tidur nyenyak. Namun, ia juga tidak suka mengurus prahara rumah tangga orang lain di meja hijau. Menurutnya sangat merepotkan karena seringkali akan timbul banyak drama.

“Berkas perkaranya sudah ada di meja kamu,” ucap Pak Rudi kemudian karena tak mendapat respons dari Sena.

“Apa tidak ada kasus lain yang lebih penting daripada ini, Pak?” keluh Sena. Ia menatap atasannya dengan sorot keberatan.

“Setiap kasus yang masuk itu penting. Tugas kita membantu masyarakat mendapatkan keadilan.” Pak Rudi menjawab dengan tegas. “Kalau hal seperti ini menimpa salah satu keluarga kamu, saya

“Bukan berarti saya meremehkan kasus KDRT, Pak Rudi. Saya cuma berpikir kalau jaksa lain bisa menangani kasus ini. Biarkan saya menangani kasus yang lain.”

“Lakukan saja, Sena. Hanya karena kamu memenangkan sidang besar satu kali dan bisa memenjarakan seorang koruptor yang pernah menjadi buron, lalu kamu merasa di atas angina, besar kepala, dan sesumbar. Saya benci sekali dengan jenis manusia semacam itu. Ingat di mana kamu berpijak, Banyusena. Kamu hanya pegawai di sini dan saya bisa dengan mudah memindahkan kamu ke pelosok kalau kamu memilih membangkang.”

Sena cukup kaget dengan gertakan Pak Rudi yang keras terhadapnya. Hal tersebut sangat menyinggung egonya. Padahal ia hanya sedikit memprotes dan Pak Rudi langsung menggertaknya dengan ancaman mutasi. Sena bisa saja melawan dan membalas ucapan atasannya itu, tetapi yang dilakukan Sena hanyalah mengangguk dengan setengah terpaksa.

“Kalau kamu sudah selesai dengan rengekan kamu. Silakan keluar dari ruangan saya,” kata Pak Rudi beberapa saat kemudian.

Sena tak berkata apa-apa lagi. Suasana Pak Rudi yang dengan cepat berubah itu membuat Sena enggan mengusik. Ia tak mau membuat atasannya semakin marah atau ia benar-benar akan dimutasi ke kota atau kabupaten di luar ibu kota atau malah parahnya lagi di luar Jawa.

Ia bertemu dengan Reiga saat membuka pintu masuk ke ruang kerjanya, yang kebetulan sedang mengulurkan tangan untuk meraih kenop pintu. Sena dan laki-laki berkacamata itu satu ruangan.

“Udah mau balik lo?” tanya Sena.

Reiga mundur dua langkah untuk membiarkan Sena masuk dan menggelengkan kepala. “Belum berniat balik, sih. Gue mau ke TKP.”

Sena manggut-manggut. “Sore-sore gini mau ke TKP?”

Rekan kerja Sena itu mengendikkan bahu, kemudian berkata, “Btw, congrats! Akhirnya kelar juga kasus yang bikin lo jadi zombie.”

Sena mendengkus malas. Namun, sedetik kemudian senyum terpatri di wajah. “Thanks, man! Akhirnya bisa bernapas lega gue.”

Mereka berdua melakukan tos. Rega menepuk bahu Sena dengan bangga.

“Abis ini ke mana lo? Langsung balik?” Reiga gantian bertanya.

“Iya, balik bentar lagi. Mau bayar utang tidur,” jawab Sena disusul tawa. “Tapi gue masih mau urus sesuatu dulu, sih. Kasus baru dari Pak Rudi.”

Reiga geleng-geleng kepala. “Lo jangan terlalu ambisius gitu. Santai dikit. Jangan lupa senang-senang. Pacaran atau apa gitu, kek.”

Kedua laki-laki itu menyemburkan tertawa. Lebih tepatnya menertawakan Sena yang sudah menjomlo selama beberapa tahun karena terlalu sibuk bekerja. Ia tak punya waktu untuk berkencan. Lebih tepatnya ia malas dan tidak berminat menjalin hubungan romansa dalam waktu dekat.

“Dah, sono pergi aja lo. Nggak usah sok menggurui gue. Lo nyuruh gue nggak usah terlalu rajin kerja. Lah lo sendiri juga sama aja. Ngapain sore-sore begini mau ke TKP?” gerutu Sena kemudian.

“Cewek gue lembur, sih. Gue juga mau lembur aja daripada kesepian di apartemen.” Reiga mengucapkannya dengan nada jail. Ia sengaja pamer. “Atau lo mau gue temenin nongkrong? Itung-itung buat ngerayain kerja keras lo.”

“Besok-besok aja, deh. Gue lagi males nongkrong.”

“Emang dasarnya nggak asyik idup lo.”

Setelah berdebat tak penting, Reiga pamit pergi. Sena pun masuk akhirnya masuk ke ruang kerjanya. Mencari berkas yang dimaksud Pak Rudi dan mempelajarinya.

***

Sena mengemudikan mobilnya menuju apartemen dua jam kemudian setelah ia keluar dari ruangan Pak Rudi. Ia sudah sempat membaca sekilas berkas perkara KDRT yang kata Pak Rudi harus segera diproses. Kepalanya pening dan emosinya teraduk-aduk setelah membaca pernyataan penggugat tentang kebejatan suaminya. Ditambah lagi melihat bukti kekerasan dan lebam-lebam di tubuh korban, emosinya memuncak. Ia merutuki manusia-manusia kejam yang tak punya hati itu. 

Shit!!!” umpat Sena seraya menginjak rem mendadak dan membuat tubuhnya tersentak ke depan.

Sena begitu kaget hingga jantungnya hampir keluar dari sarangnya karena tiba-tiba seseorang melintas di depan mobilnya. Untung saja, mobilnya melaju tak terlalu kencang sehingga ia bisa menghentikan mobil tepat sebelum menabrak ‘orang gila’ yang tak menghargai nyawa sendiri.

Ia langsung mematikan mesin mobil dan melompat keluar dari dalam mobil. Sebelum umpatan kesal terlontar, Sena lebih dulu terpaku karena pemandangan di hadapannya.

Berjarak lima puluhan sentimeter dari bemper depan mobilnya, seorang wanita yang tampak begitu berantakan–rambut acak-acakan seperti bekas jambakan kasar, baju sobek di beberapa bagian, memar-memar di pergelangan tangan dan kaki, telapak kaki yang lecet dan berdarah karena tak terbungkus alas kaki–tersungkur di jalanan. Di dekatnya teronggok tas selempang kecil yang terbuka, menghamburkan barang-barangnya keluar.

“Mbak, nggak papa?” Sena langsung mendekat setelah tersadar dari keterpakuannya. Ia berjongkok dan bertanya dengan hati-hati.

Wanita yang hampir tertabrak mobilnya itu terlihat linglung. Hati Sena teriris melihatnya.

Suara klakson yang bersahutan mengagetkan Sena. Saking paniknya ia tadi hingga lupa kalau mobilnya berada di tengah jalan dan menciptakan sedikit kemacetan.

Sena tak punya waktu banyak untuk menatap wanita di depannya dalam belas kasihan. Dengan cekatan ia membantu wanita yang mengenakan terusan putih yang sudah lusuh itu berdiri dan membimbingnya untuk menyingkir dari tengah jalan raya.

Sena tak sengaja melihat identitas diri wanita itu saat membantu memasukkan barang-barang milik si wanita yang bercecer di jalanan ke dalam tasnya. Nama Winena Kusuma Jati tertera di KTP.

“Saya pinggirin mobil saya dulu, Mbak. Mbaknya di sini dulu, ya. Jangan ke mana-mana,” ucap Sena buru-buru. Sebelum mendapat respons, Sena sudah meluncur pergi, memindahkan mobilnya ke tepian.

“Mbak nggak papa?” tanya Sena untuk yang kedua kalinya dengan hati-hati setelah meminggirkan mobilnya dan mendekat ke arah wanita yang hampir ia tabrak itu.

Pertanyaan yang sungguh bodoh. Karena dilihat dari kondisi wanita di depannya itu, jelas menunjukkan kalau ia sedang tidak baik-baik saja.

“Saya nggak papa,” jawabnya lirih sekali. Jawaban yang juga sama bodohnya.

Entah mengapa rasanya Sena ingin marah. Kepada siapa pun itu yang menyebabkan wanita malang di depannya babak belur. Kenapa semesta begitu kejam?

Satu-satunya yang kemudian terpikir di kepalanya adalah rumah sakit. Ya, ia harus segera membawa wanita di depannya itu ke rumah sakit.

“Mbak, saya antar ke rumah sakit dulu, bagaimana? Luka Mbak perlu diobati,” tawar Sena dengan suara pelan.

“Jangan! Saya … saya harus pergi jauh dari sini. Saya ….” Ucapan wanita itu tak selesai. Wanita itu menggeleng dengan cepat. Raut kebingungan dan kesedihan yang tercetak di wajahnya membuat jantung Sena mencelus.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status