Seharian ini, hampir semua stasiun TV lokal ramai memberitakan tentang vonis hukuman 10 tahun penjara yang dijatuhkan hakim kepada terpidana korupsi Armandio Jati. Tak berbeda dengan tayangan di layar TV LED berukuran 32 inch di ruangan Pak Rudi–kepala jaksa di salah satu kejaksaan negeri di Jakarta. Ya, setelah kembali dari pengadilan, Pak Rudi langsung menyalakan TV bahkan sebelum mempersilakan jaksa juniornya, Sena, yang ikut masuk ke ruangannya itu duduk.
“Kamu sudah bekerja dengan sangat keras di kasus ini, Sena. Saya bangga sekali sama kamu!”
Kalimat yang dilontarkan oleh Pak Rudi itu tak begitu Sena perhatikan. Jaksa muda itu sedang fokus menatap layar TV yang menayangkan gambar Armandio Jati dalam balutan baju napi berwarna oranye diboyong polisi menuju ke rumah tahanan setelah persidangan berakhir.
Ada kepuasan tersendiri yang Sena rasakan melihat si koruptor yang sempat menjadi buronan selama tiga tahun karena melakukan korupsi asuransi jiwa dan telah menjalani persidangan sebanyak 12 kali itu, akhirnya mendapatkan hukuman dan mendekam di penjara. Ya, Sena adalah jaksa penanggung jawab kasus korupsi yang dilakukan Armandio Jati. Kerja kerasnya setahun terakhir, lembur berbulan-bulan yang membuat tubuhnya nyaris rontok itu terbayar. Ia akan bisa tidur nyenyak setelah ini.
“Banyusena, ada kasus baru yang perlu kamu tangani.” Pak Rudi si kepala jaksa kembali bersuara.
“Korupsi lagi?” Mata Sena masih terpaku ke layar yang kini menayangkan breaking news, tentang korupsi dana pembangunan jalan tol yang dilakukan oleh para pejabat tinggi.
“Bukan. Sesekali kamu juga perlu mengurus kasus lain.”
“Kasus apa, Pak?”
“Kasus KDRT.”
Sena akhirnya menoleh. Menatap atasannya dengan kernyitan di kening. Karena tak biasanya Pak Rudi memberikan kasus yang berkaitan dengan masalah rumah tangga kepadanya. Dan ia tampak tak senang.
“Kenapa bukan Reiga saja yang mengurus kasus itu, Pak?” protes Sena dengan membawa nama salah satu rekan kerjanya di kejaksaan.
“Reiga sudah terlalu banyak memegang kasus yang belum terselesaikan. Dia juga baru saja saya minta menangani kasus yang itu.” Pak Rudi memberi isyarat melalui gerakan mata dan dagu yang mengarah ke TV.
Sena kembali menatap ke layar TV yang masih menayangkan breaking news. Ia langsung menggerutu kecil. Rupanya kasus korupsi dana pembangunan tol yang melibatkan beberapa mantan pejabat tinggi negara yang sedang mengguncang negeri itu sudah diserahkan ke Reiga. Bukan berarti ia tak terima kalau kasus itu diserahkan ke rekan kerjanya yang memang cukup kompeten melebihi dirinya. Bukan pula ia ingin mengurus kasus korupsi besar secara berturut-turut dan menenggelamkan diri dalam setumpuk berkas-berkas yang membuat dirinya lupa bagaimana rasanya tidur nyenyak. Namun, ia juga tidak suka mengurus prahara rumah tangga orang lain di meja hijau. Menurutnya sangat merepotkan karena seringkali akan timbul banyak drama.
“Berkas perkaranya sudah ada di meja kamu,” ucap Pak Rudi kemudian karena tak mendapat respons dari Sena.
“Apa tidak ada kasus lain yang lebih penting daripada ini, Pak?” keluh Sena. Ia menatap atasannya dengan sorot keberatan.
“Setiap kasus yang masuk itu penting. Tugas kita membantu masyarakat mendapatkan keadilan.” Pak Rudi menjawab dengan tegas. “Kalau hal seperti ini menimpa salah satu keluarga kamu, saya
“Bukan berarti saya meremehkan kasus KDRT, Pak Rudi. Saya cuma berpikir kalau jaksa lain bisa menangani kasus ini. Biarkan saya menangani kasus yang lain.”
“Lakukan saja, Sena. Hanya karena kamu memenangkan sidang besar satu kali dan bisa memenjarakan seorang koruptor yang pernah menjadi buron, lalu kamu merasa di atas angina, besar kepala, dan sesumbar. Saya benci sekali dengan jenis manusia semacam itu. Ingat di mana kamu berpijak, Banyusena. Kamu hanya pegawai di sini dan saya bisa dengan mudah memindahkan kamu ke pelosok kalau kamu memilih membangkang.”
Sena cukup kaget dengan gertakan Pak Rudi yang keras terhadapnya. Hal tersebut sangat menyinggung egonya. Padahal ia hanya sedikit memprotes dan Pak Rudi langsung menggertaknya dengan ancaman mutasi. Sena bisa saja melawan dan membalas ucapan atasannya itu, tetapi yang dilakukan Sena hanyalah mengangguk dengan setengah terpaksa.
“Kalau kamu sudah selesai dengan rengekan kamu. Silakan keluar dari ruangan saya,” kata Pak Rudi beberapa saat kemudian.
Sena tak berkata apa-apa lagi. Suasana Pak Rudi yang dengan cepat berubah itu membuat Sena enggan mengusik. Ia tak mau membuat atasannya semakin marah atau ia benar-benar akan dimutasi ke kota atau kabupaten di luar ibu kota atau malah parahnya lagi di luar Jawa.
Ia bertemu dengan Reiga saat membuka pintu masuk ke ruang kerjanya, yang kebetulan sedang mengulurkan tangan untuk meraih kenop pintu. Sena dan laki-laki berkacamata itu satu ruangan.
“Udah mau balik lo?” tanya Sena.
Reiga mundur dua langkah untuk membiarkan Sena masuk dan menggelengkan kepala. “Belum berniat balik, sih. Gue mau ke TKP.”
Sena manggut-manggut. “Sore-sore gini mau ke TKP?”
Rekan kerja Sena itu mengendikkan bahu, kemudian berkata, “Btw, congrats! Akhirnya kelar juga kasus yang bikin lo jadi zombie.”
Sena mendengkus malas. Namun, sedetik kemudian senyum terpatri di wajah. “Thanks, man! Akhirnya bisa bernapas lega gue.”
Mereka berdua melakukan tos. Rega menepuk bahu Sena dengan bangga.
“Abis ini ke mana lo? Langsung balik?” Reiga gantian bertanya.
“Iya, balik bentar lagi. Mau bayar utang tidur,” jawab Sena disusul tawa. “Tapi gue masih mau urus sesuatu dulu, sih. Kasus baru dari Pak Rudi.”
Reiga geleng-geleng kepala. “Lo jangan terlalu ambisius gitu. Santai dikit. Jangan lupa senang-senang. Pacaran atau apa gitu, kek.”
Kedua laki-laki itu menyemburkan tertawa. Lebih tepatnya menertawakan Sena yang sudah menjomlo selama beberapa tahun karena terlalu sibuk bekerja. Ia tak punya waktu untuk berkencan. Lebih tepatnya ia malas dan tidak berminat menjalin hubungan romansa dalam waktu dekat.
“Dah, sono pergi aja lo. Nggak usah sok menggurui gue. Lo nyuruh gue nggak usah terlalu rajin kerja. Lah lo sendiri juga sama aja. Ngapain sore-sore begini mau ke TKP?” gerutu Sena kemudian.
“Cewek gue lembur, sih. Gue juga mau lembur aja daripada kesepian di apartemen.” Reiga mengucapkannya dengan nada jail. Ia sengaja pamer. “Atau lo mau gue temenin nongkrong? Itung-itung buat ngerayain kerja keras lo.”
“Besok-besok aja, deh. Gue lagi males nongkrong.”
“Emang dasarnya nggak asyik idup lo.”
Setelah berdebat tak penting, Reiga pamit pergi. Sena pun masuk akhirnya masuk ke ruang kerjanya. Mencari berkas yang dimaksud Pak Rudi dan mempelajarinya.
***
Sena mengemudikan mobilnya menuju apartemen dua jam kemudian setelah ia keluar dari ruangan Pak Rudi. Ia sudah sempat membaca sekilas berkas perkara KDRT yang kata Pak Rudi harus segera diproses. Kepalanya pening dan emosinya teraduk-aduk setelah membaca pernyataan penggugat tentang kebejatan suaminya. Ditambah lagi melihat bukti kekerasan dan lebam-lebam di tubuh korban, emosinya memuncak. Ia merutuki manusia-manusia kejam yang tak punya hati itu.
“Shit!!!” umpat Sena seraya menginjak rem mendadak dan membuat tubuhnya tersentak ke depan.
Sena begitu kaget hingga jantungnya hampir keluar dari sarangnya karena tiba-tiba seseorang melintas di depan mobilnya. Untung saja, mobilnya melaju tak terlalu kencang sehingga ia bisa menghentikan mobil tepat sebelum menabrak ‘orang gila’ yang tak menghargai nyawa sendiri.
Ia langsung mematikan mesin mobil dan melompat keluar dari dalam mobil. Sebelum umpatan kesal terlontar, Sena lebih dulu terpaku karena pemandangan di hadapannya.
Berjarak lima puluhan sentimeter dari bemper depan mobilnya, seorang wanita yang tampak begitu berantakan–rambut acak-acakan seperti bekas jambakan kasar, baju sobek di beberapa bagian, memar-memar di pergelangan tangan dan kaki, telapak kaki yang lecet dan berdarah karena tak terbungkus alas kaki–tersungkur di jalanan. Di dekatnya teronggok tas selempang kecil yang terbuka, menghamburkan barang-barangnya keluar.
“Mbak, nggak papa?” Sena langsung mendekat setelah tersadar dari keterpakuannya. Ia berjongkok dan bertanya dengan hati-hati.
Wanita yang hampir tertabrak mobilnya itu terlihat linglung. Hati Sena teriris melihatnya.
Suara klakson yang bersahutan mengagetkan Sena. Saking paniknya ia tadi hingga lupa kalau mobilnya berada di tengah jalan dan menciptakan sedikit kemacetan.
Sena tak punya waktu banyak untuk menatap wanita di depannya dalam belas kasihan. Dengan cekatan ia membantu wanita yang mengenakan terusan putih yang sudah lusuh itu berdiri dan membimbingnya untuk menyingkir dari tengah jalan raya.
Sena tak sengaja melihat identitas diri wanita itu saat membantu memasukkan barang-barang milik si wanita yang bercecer di jalanan ke dalam tasnya. Nama Winena Kusuma Jati tertera di KTP.
“Saya pinggirin mobil saya dulu, Mbak. Mbaknya di sini dulu, ya. Jangan ke mana-mana,” ucap Sena buru-buru. Sebelum mendapat respons, Sena sudah meluncur pergi, memindahkan mobilnya ke tepian.
“Mbak nggak papa?” tanya Sena untuk yang kedua kalinya dengan hati-hati setelah meminggirkan mobilnya dan mendekat ke arah wanita yang hampir ia tabrak itu.
Pertanyaan yang sungguh bodoh. Karena dilihat dari kondisi wanita di depannya itu, jelas menunjukkan kalau ia sedang tidak baik-baik saja.
“Saya nggak papa,” jawabnya lirih sekali. Jawaban yang juga sama bodohnya.
Entah mengapa rasanya Sena ingin marah. Kepada siapa pun itu yang menyebabkan wanita malang di depannya babak belur. Kenapa semesta begitu kejam?
Satu-satunya yang kemudian terpikir di kepalanya adalah rumah sakit. Ya, ia harus segera membawa wanita di depannya itu ke rumah sakit.
“Mbak, saya antar ke rumah sakit dulu, bagaimana? Luka Mbak perlu diobati,” tawar Sena dengan suara pelan.
“Jangan! Saya … saya harus pergi jauh dari sini. Saya ….” Ucapan wanita itu tak selesai. Wanita itu menggeleng dengan cepat. Raut kebingungan dan kesedihan yang tercetak di wajahnya membuat jantung Sena mencelus.
***
Selama beberapa detik, Sena tidak mengatakan apa-apa selain memandangi wanita di depannya dengan berusaha untuk tetap menunjukkan ekspresi normal.“Mbaknya mau pergi ke mana? Saya antar,” kata Sena dengan sangat hati-hati.“Pergi, saya harus pergi jauh dari sini.” Wanita bernama Winena–berdasarkan identitas diri yang sempat Sena lihat–itu menggeleng panik. Matanya memancarkan ketakutan dan perlahan air mata menggenang di pelupuk. Suaranya terbata-bata saat kembali berkata, “Dia mengusir saya pergi. Saya nggak tahu harus ke mana. Saya … saya nggak punya tempat untuk pulang.”Sena menahan napas. Tenggorokannya tiba-tiba seperti tersumbat sesuatu hingga rasanya seperti tercekik. Dadanya pun sesak.Sena tidak perlu diberitahu dua kali. Ia merasa ada sesuatu hal yang berbahaya yang tengah mengancam wanita di depannya. Bukannya ia ingin berasumsi, tetapi Sena bisa melihat tanda-tanda perlawanan dari memar-m
Kosong. Hanya itu yang dapat Winena rasakan setelah ia menguras habis air matanya karena berita tentang kematian ayahnya. Winena menatap pantulan bayangan dirinya di depan cermin yang ada di kamar mandi kamar hotelnya dengan tatapan nanar. Rambutnya berantakan. Matanya merah dan bengkak. Bekas air mata mengering di pipi dan mungkin bercampur ingus dan keringat. Rupa wajahnya sudah tidak karuan.Winena menanggalkan pakaiannya satu per satu. Hingga tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Dengan tangan yang agak gemetar, Winena menyentuh bekas memar yang membiru, luka lama dan luka baru yang seolah berkelindan menampakkan diri di setiap jengkal tubuhnya. Memar-memar biru itu yang selalu ia dapat setiap hari. Seolah menjadikan tubuhnya sebagai samsak adalah hal paling memuaskan untuk Faris.Namun, itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diingat untuk saat ini. Winena terlalu terluka karena ayahnya pergi begitu saja setelah menorehkan banyak derita pada keluar
Winena meninggalkan kamar hotel hanya membawa tas selempang kecilnya yang berisi ponsel dan dompet. Pakaian bekas yang Winena kenakan semalam ia tinggalkan teronggok di lantar kamar mandi kamar hotelnya. Sudah tidak ia butuhkan lagi. Saat mencapai luar gedung hotel 50 lantai itu, kebetulan sekali ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Winena langsung masuk ke dalam taksi dan meminta supir taksi itu untuk mengantarkannya ke rumah sakit di mana jasad ayahnya sedang diautopsi. Membayangkan bagaimana tubuh ayahnya yang sudah tidak bernyawa dibedah demi mencari tahu pasti akibat kematian pria itu memberikan sensasi mengerikan pada tubuh Winena. Bulu kuduknya merinding, bukan karena kedinginan, melainkan karena dunianya yang sudah hancur itu dihentakkan hingga runtuh. Satu per satu rasa sakit yang membuat tubuhnya koyak itu menghantamnya terus-menerus. Saat tinggal setengah perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Winena kemudian melayang ke momen-momen saat keluarganya masih utuh da
"KAMU DI MANA, SENA?! MUTERIN INDONESIA DULU KAMU, HA? KENAPA NGGAK SAMPAI-SAMPAI?! KATANYA TADI SUDAH DEKAT?!" Gendang telinga Sena berdenging perih karena teriakan dari Pak Rudi. Belum ada sepuluh menit sejak Pak Rudi menghubunginya tadi, tidak bisakah atasannya itu bersabar sedikit? Sena juga bukannya sedang mengulur-ulur waktu untuk datang. Ia hanya sedang terjebak kemacetan lalu lintas. "Di jalan agak macet, Pak." "Jangan banyak alasan, Sena! Cepatlah datang dan selesaikan kekacauan yang sudah kamu perbuat! Tinggalkan mobilmu dan lari ke sini, Anak bodoh!" Sena menjambaki rambutnya dengan kasar. Pak Rudi yang benar-benar menunjukkan sisi terburuknya sebagai atasan. Sena nyaris lupa bahwa Pak Rudi selama ini selalu mengayomi anak-anak buahnya. Kali ini, Sena tidak melihat itu. Pak Rudi melimpahkan semuanya kepada Sena. Menyalahkan anak buahnya yang selama ini hanya tahu bagaimana caranya bekerja keras dan bekerja dengan baik. Bertanggung jawab pada setiap kasus yang diberikan k
Sena sudah tidak peduli lagi meski ia masih punya kewajiban untuk memantau proses investigasi atas kematian Armandio Jati. Sena terlalu marah dan muak kepada orang-orang yang dengan mudahnya menumpahkan semua kesalahan kepada dirinya sehingga ia langsung meninggalkan rumah sakit bahkan sebelum melihat jasad Armandi Jati dengan mata kepalanya sendiri. Ia mendengar suara salah satu rekan kerjanya yang memanggil-manggil namanya, tetapi Sena pura-pura tidak mendengar. Sena melangkah dengan langkah lebar-lebar menuju ke tempat mobilnya ia parkirkan beberapa saat yang lalu. Tanpa membuang waktu, Sena meninggalkan rumah sakit dengan mengemudikan mobilnya pada kecepatan tinggi hingga mendapat makian dan klakson beruntun dari kendaraan lain yang mau tidak mau harus mengalah jika tidak ingin terjadi kecelakaan. Pada momen ini, Sena benar-benar tidak peduli jika dirinya ditilang oleh polisi karenma melanggar peraturan lalu lintas. Yang ingin Sena lakukan sekarang adalah menjauh dari semua hal ya
Masih sangat membekas di ingatan Winena saat ayahnya memberikan banyak sekali wejangan dan pelajaran hidup yang harus Winena terapkan saat dewasa nanti. Saat itu umur Winena baru memasuki 14 tahun. Ada banyak prinsip yang Winena pegang teguh karena nasihat dari ayah tercintanya itu. "Cinta pertama? Cinta pertamaku ayah! Nanti kalau sudah besar, aku mau menikah dengan ayah!" Terbersit dengan sangat jelas bayangan Armandio Jati yang tertawa hingga matanya menyipit kala mendengar anaknya berkata demikian. "Ayah sudah menikah dengan Ibu, Win. Kamu nggak bisa menikah sama Ayah. Nanti Ibu cemburu dan sedih." "Terus aku nikahnya sama siapa, Yah? Aku maunya yang kayak Ayah!" "Nanti, Win. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan bertemu dengan laki-laki yang baik. Laki-laki yang jauh lebih baik dari Ayah." Armandio Jati adalah satu orang dewasa paling favorit dalam hidup Winena saat masa kecil dulu. Setiap ucapan dan tindakan pria itu selalu membuat Winena kagum. Bahkan, meski ibunya juga
Meski Tante Elis sudah memberitahu Winena jika keluarga besarnya sudah dikabari tentang meninggalnya Armandio Jati, Winena masih mengira bahwa rumah akan tetap sepi.Sebab, tetangga dan kerabat dekat keluarganya, bahkan keluarga besarnya satu per satu berpaling saat Armandio Jati beralih status dari tersangka menjadi terdakwa sejak berbulan-bulan lalu atas kasus korupsi yang menjeratnya. Namun, kematian Armandio Jati rupanya berhasil mengumpulkan mereka semua kembali di sini, di rumah Ibu, yang sudah beberapa bulan ini tidak Winena sambangi dengan alasan sibuk bekerja dan mengurus suami, juga karena Winena tidak sanggup melihat Ibu sedih. Menghindar dari Ibu terasa jauh lebih mudah baginya. Masih terdengar bisik-bisik tidak menyenangkan saat Winena melewati halaman rumah yang luas dan kemudian memasuki rumah yang sudah ramai dengan pelayat. Tentu saja tak ada yang bisa Winena lakukan. Penghakiman orang-orang itu valid dan bukan tanpa alasan. Armandio Jati memang bersalah, mempunyai t
Winena tahu ini bukan saatnya bernostalgia. Namun, berada di kamar yang sudah jarang dihuni sejak ia menikah dengan Faris itu mendadak membawa Winena kepada kenangan-kenangan yang lagi-lagi menbuat Winena semakin punya alasan untuk tidak terlalu larut dalam duka lara karena ditinggal pergi ayahnya dengan cara yang mengenaskan. Yang Winena ingat, hampir seluruh kenangan yang terjadi di kamarnya adalah hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Tentu saja kenangan-kenangan itu tercipta sebelum Winena tahu bahwa ayahnya tidak sesempurna yang wanita itu kira. Setelah mengetahui ayahnya mendua, kamar ini yang selalu menjadi saksi bisu saat Winena menangis diam-diam. Di kamar ini pula Winena berkali-kali mengutuk ayahnya yang menduakan Ibu. Jika dulu kamar dengan dinding bercat putih bersih itu menjadi tempat paling favorit bagi Winena, makin lama kamarnya terasa seperti tempat pengasingan. Di sini, Winena membentengi diri dari rasa sakit menyaksikan keretakan keluarga kecilnya. Winena t