Share

bab empat

Kosong. Hanya itu yang dapat Winena rasakan setelah ia menguras habis air matanya karena berita tentang kematian ayahnya. Winena menatap pantulan bayangan dirinya di depan cermin yang ada di kamar mandi kamar hotelnya dengan tatapan nanar. Rambutnya berantakan. Matanya merah dan bengkak. Bekas air mata mengering di pipi dan mungkin bercampur ingus dan keringat. Rupa wajahnya sudah tidak karuan.

Winena menanggalkan pakaiannya satu per satu. Hingga tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Dengan tangan yang agak gemetar, Winena menyentuh bekas memar yang membiru, luka lama dan luka baru yang seolah berkelindan menampakkan diri di setiap jengkal tubuhnya. Memar-memar biru itu yang selalu ia dapat setiap hari. Seolah menjadikan tubuhnya sebagai samsak adalah hal paling memuaskan untuk Faris.

Namun, itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diingat untuk saat ini. Winena terlalu terluka karena ayahnya pergi begitu saja setelah menorehkan banyak derita pada keluarganya. Dan Winena merasa bahwa ia akan bisa menghalau rasa sakit itu dengan pukulan demi pukulan yang selalu ia dapat dari Faris. Gila memang. Rasanya semenyakitkan itu hingga Winena memilih kembali dilukai fisiknya ketimbang harus meratapi batinnya yang tercabik-cabik.

Setelah puas memandangi tubuhnya yang tidak pernah mulus lagi, Winena berjalan terseok ke bawah shower. Ia mengatur suhu air sedingin mungkin, kemudian memutar keran hingga maksimal. Air mengguyur deras tubuhnya, yang langsung menggeletar karena sentuhan air dingin. Sambil memejamkan mata untuk meresapi sentuhan air yang jatuh membelai tubuhnya, Winena berdiri di bawah pancuran air itu tanpa bergerak. Lama sekali. Hingga tubuhnya mulai keriput karena terus-terusan terguyur air.

Lalu, seolah tenaganya habis tersapu bersama air yang mengguyur tubuhnya, Winena merosot jatuh hingga terduduk di lantai. Wanita itu kembali menangis seperti orang kesetanan. Ia memukul-mukul dadanya yang seperti ditusuk-tusuk ribuan pisau. Sakitnya sangat tak tertahankan. Napasnya seperti ditelan habis-habis oleh dunia. Winena merasa kecil sekali. Seolah keberadaannya di dunia hanya untuk disakiti oleh kejamnya kenyataan. Kemudian ia meringkuk seperti bayi dan menjerit keras-keras hingga dadanya seperti akan meledak, masih dalam dinginnya guyuran air dari shower.

***

Winena bangkit dari bawah kucuran air shower setelah satu jam meringkuk menyedihkan di sana. Setelah mematikan keran—entah berapa banyak air yang telah terbuang sia-sia dalam satu jam mengalir tanpa henti itu—Winena berjalan keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan handuk. Membiarkan tubuh polosnya tereskpos dan air menetes dari tubuhnya membasahi lantai.

Wanita itu meraih paper bag berisi pakaian baru yang semalam dibelikan oleh orang baik bernama Banyusena untuknya. Winena punya uang untuk menggantinya, namun laki-laki baik itu menolak.

Dengan pandangan kosong, dan dalam kondisi rambut dan tubuh masih basah, Winena mengenakan pakaiannya mulai dari bra, celana dalam, kemudian disusul kaus panjang berwarna putih dan rok yang panjangnya sampai di bawah lutut berwarna cokelat susu.

Rambut panjang Winena yang masih basah tergerai begitu saja, membasahi belakang tubuhnya. Sekali lagi, Winena tidak repot mengeringkannya. Ia tidak peduli dengan penampilannya. Ia tidak peduli dengan hidupnya lagi.

Winena baru akan beranjak keluar dari kamar hotel setelah selesai berpakaian, saat ponsel yang berada di dalam tas kecilnya bergetar. 

.

.

Tante Elis

Win, kamu di mana?

Tante di rumah sakit untuk mengurus ayahmu

.

.

Winena menatap nyeri pada pesan yang dikirimkan oleh adik kandung Ibu. Saat keluarga besar Winena yang lain mulai meninggalkan Winena dan Ibu setelah ayahnya terlibat kasus korupsi, hanya Tante dan suaminya yang masih menerima Winena dengan tangan terbuka.

Winena belum membalas pesan dari Tante Elis saat satu deret pesan dari adik kandung ibunya itu kembali masuk.

.

.

Tante Elis

Kamu yang kuat ya, Nak

Tante tunggu di sini

.

.

Sesak itu kembali menghantam dada Winena. Ia mencengkeram dadanya dan memejamkan mata. Satu tetes air mata jatuh lagi.

***

Jika saja Sena tidak sedang kalut, ia tidak akan mengemudikan mobilnya dengan kesetanan di pagi hari yang bahkan belum menunjukkan pukul enam. Matahari pagi belum menampakkan diri. Langit tampak cukup mendung sangat mendukung suasana hati Sena sekarang. Jalanan sudah ramai dan Sena sudah nyaris gila karena sejak tadi ia kena lampu merah, seolah-olah semesta sedang tidak ingin berpihak padanya.

"Berengsek! Berengsek! Berengsek!" erang Sena sambil memukul-mukul setir. Ia marah sekali kepada Armandio Jati yang dengan lancang bunuh diri.

Ia semakin kesal saat radio di mobilnya yang menyala saat ini memberitakan tentang Armandio Jati.

"Laki-laki sialan itu tidak pantas mati sekarang, Berengsek!" umpat Sena lagi saat mobilnya akhirnya kembali bergerak setelah terjebak di lampu merah.

Kabar tentang kematian Armando Jati yang pertama didengar Sena dari kepala jaksa kepadanya tadi sungguh seperti pecutan keras yang membuat kepala Sena pening. Otaknya sulit diajak berpikir. Kasus yang menyeret Armandio Jati hingga dijatuhi vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar 8 miliar rupiah itu adalah kasus yang cukup besar. Selama berbulan-bulan terakhir ini menjadi bahan pembicaraan yang tiada habisnya. Sena yang bertanggung jawab atas kasus itu tentu saja bekerja sekeras mungkin hingga tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang juga terlibat dalam kasus itu untuk menjatuhkannya. Sena pun mengerahkan performa terbaiknya agar masyarakat percaya bahwa kasus yang berada di tangannya itu terselesaikan dengan baik dan Armandio Jati mendapat hukuman yang setimpal.

Sampai semalam, Sena benar-benar yakin bahwa dirinya memang telah bekerja dengan sangat baik—belum ada satu hari ia dipuji kepala jaksa bahwa ia telah melakukan yang terbaik. Dan pagi ini, semuanya buyar. Sena merasa gagal.

"Bangsat!" Sena sekali lagi mengumpat.

Kenapa semua menjadi seperti ini? Apa salahnya? Apa yang telah ia lakukan hingga Armandio Jati harus bunuh diri? Padahal, Sena hanya melakukan tugasnya dengan semaksimal mungkin. Padahal, Sena hanya berpegang pada hukum yang berlaku. Namun, saat kematian seseorang menjadi buntut dari putusan yang dilayangkan hakim atas tuntutan yang ia ajukan, bukankah itu artinya ia tidak melakukan yang terbaik? Bukankah itu justru yang terburuk dari segala hal yang terburuk yang pernah ada?

Sena sudah akan kembali mengumpat saat ponselnya berdering. Nama Pak Rudi kembali memenuhi layar ponselnya yang menyala.

Sena menjawabnya dengan menyalakan loud speaker.

"Di mana kamu?!" Pak Rudi bertanya dengan nada keras dan tak sabaran.

"Maaf, Pak, saya masih di jalan."

Pak Rudi berdecak marah. "Kamu bisa lebih cepat atau tidak, sih? Di sini sangat kacau sekarang gara-gara kamu!"

Sena membuang napas pelan. "Sebentar lagi saya sampai, Pak," jawabnya. Berusaha untuk tidak menunjukkan kegusaran yang sama seperti kepala jaksanya.

"Banyak wartawan di sini. Usahakan untuk menghindar dari mereka," kata Pak Rudi kemudian.

Sena menggeram. Tentu saja kasus ini menjadi topik terhangat yang akan diburu wartawan. Mereka pasti berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi terkini. Dan dalam keadaan yang begitu panas itu, tentu saja akan sangat kacau jika Sena muncul di depan wartawan. Terlebih saat ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Armandio Jati.

Panggilan itu diputus dengan cepat bahkan sebelum Sena sempat menjawab apa-apa lagi.

Setelah dari Pak Rudi, ada panggilan masuk yang lain. Ada salah satunya dari wartawan. Sena mengabaikannya. Ia memilih untuk berkonsentrasi menyetir agar segera cepat-cepat sampai ke rumah sakit.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status