Kosong. Hanya itu yang dapat Winena rasakan setelah ia menguras habis air matanya karena berita tentang kematian ayahnya. Winena menatap pantulan bayangan dirinya di depan cermin yang ada di kamar mandi kamar hotelnya dengan tatapan nanar. Rambutnya berantakan. Matanya merah dan bengkak. Bekas air mata mengering di pipi dan mungkin bercampur ingus dan keringat. Rupa wajahnya sudah tidak karuan.
Winena menanggalkan pakaiannya satu per satu. Hingga tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Dengan tangan yang agak gemetar, Winena menyentuh bekas memar yang membiru, luka lama dan luka baru yang seolah berkelindan menampakkan diri di setiap jengkal tubuhnya. Memar-memar biru itu yang selalu ia dapat setiap hari. Seolah menjadikan tubuhnya sebagai samsak adalah hal paling memuaskan untuk Faris.
Namun, itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diingat untuk saat ini. Winena terlalu terluka karena ayahnya pergi begitu saja setelah menorehkan banyak derita pada keluarganya. Dan Winena merasa bahwa ia akan bisa menghalau rasa sakit itu dengan pukulan demi pukulan yang selalu ia dapat dari Faris. Gila memang. Rasanya semenyakitkan itu hingga Winena memilih kembali dilukai fisiknya ketimbang harus meratapi batinnya yang tercabik-cabik.
Setelah puas memandangi tubuhnya yang tidak pernah mulus lagi, Winena berjalan terseok ke bawah shower. Ia mengatur suhu air sedingin mungkin, kemudian memutar keran hingga maksimal. Air mengguyur deras tubuhnya, yang langsung menggeletar karena sentuhan air dingin. Sambil memejamkan mata untuk meresapi sentuhan air yang jatuh membelai tubuhnya, Winena berdiri di bawah pancuran air itu tanpa bergerak. Lama sekali. Hingga tubuhnya mulai keriput karena terus-terusan terguyur air.
Lalu, seolah tenaganya habis tersapu bersama air yang mengguyur tubuhnya, Winena merosot jatuh hingga terduduk di lantai. Wanita itu kembali menangis seperti orang kesetanan. Ia memukul-mukul dadanya yang seperti ditusuk-tusuk ribuan pisau. Sakitnya sangat tak tertahankan. Napasnya seperti ditelan habis-habis oleh dunia. Winena merasa kecil sekali. Seolah keberadaannya di dunia hanya untuk disakiti oleh kejamnya kenyataan. Kemudian ia meringkuk seperti bayi dan menjerit keras-keras hingga dadanya seperti akan meledak, masih dalam dinginnya guyuran air dari shower.
***
Winena bangkit dari bawah kucuran air shower setelah satu jam meringkuk menyedihkan di sana. Setelah mematikan keran—entah berapa banyak air yang telah terbuang sia-sia dalam satu jam mengalir tanpa henti itu—Winena berjalan keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan handuk. Membiarkan tubuh polosnya tereskpos dan air menetes dari tubuhnya membasahi lantai.
Wanita itu meraih paper bag berisi pakaian baru yang semalam dibelikan oleh orang baik bernama Banyusena untuknya. Winena punya uang untuk menggantinya, namun laki-laki baik itu menolak.
Dengan pandangan kosong, dan dalam kondisi rambut dan tubuh masih basah, Winena mengenakan pakaiannya mulai dari bra, celana dalam, kemudian disusul kaus panjang berwarna putih dan rok yang panjangnya sampai di bawah lutut berwarna cokelat susu.
Rambut panjang Winena yang masih basah tergerai begitu saja, membasahi belakang tubuhnya. Sekali lagi, Winena tidak repot mengeringkannya. Ia tidak peduli dengan penampilannya. Ia tidak peduli dengan hidupnya lagi.
Winena baru akan beranjak keluar dari kamar hotel setelah selesai berpakaian, saat ponsel yang berada di dalam tas kecilnya bergetar.
.
.
Tante Elis
Win, kamu di mana?
Tante di rumah sakit untuk mengurus ayahmu
.
.
Winena menatap nyeri pada pesan yang dikirimkan oleh adik kandung Ibu. Saat keluarga besar Winena yang lain mulai meninggalkan Winena dan Ibu setelah ayahnya terlibat kasus korupsi, hanya Tante dan suaminya yang masih menerima Winena dengan tangan terbuka.
Winena belum membalas pesan dari Tante Elis saat satu deret pesan dari adik kandung ibunya itu kembali masuk.
.
.
Tante Elis
Kamu yang kuat ya, Nak
Tante tunggu di sini
.
.
Sesak itu kembali menghantam dada Winena. Ia mencengkeram dadanya dan memejamkan mata. Satu tetes air mata jatuh lagi.
***
Jika saja Sena tidak sedang kalut, ia tidak akan mengemudikan mobilnya dengan kesetanan di pagi hari yang bahkan belum menunjukkan pukul enam. Matahari pagi belum menampakkan diri. Langit tampak cukup mendung sangat mendukung suasana hati Sena sekarang. Jalanan sudah ramai dan Sena sudah nyaris gila karena sejak tadi ia kena lampu merah, seolah-olah semesta sedang tidak ingin berpihak padanya.
"Berengsek! Berengsek! Berengsek!" erang Sena sambil memukul-mukul setir. Ia marah sekali kepada Armandio Jati yang dengan lancang bunuh diri.
Ia semakin kesal saat radio di mobilnya yang menyala saat ini memberitakan tentang Armandio Jati.
"Laki-laki sialan itu tidak pantas mati sekarang, Berengsek!" umpat Sena lagi saat mobilnya akhirnya kembali bergerak setelah terjebak di lampu merah.
Kabar tentang kematian Armando Jati yang pertama didengar Sena dari kepala jaksa kepadanya tadi sungguh seperti pecutan keras yang membuat kepala Sena pening. Otaknya sulit diajak berpikir. Kasus yang menyeret Armandio Jati hingga dijatuhi vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar 8 miliar rupiah itu adalah kasus yang cukup besar. Selama berbulan-bulan terakhir ini menjadi bahan pembicaraan yang tiada habisnya. Sena yang bertanggung jawab atas kasus itu tentu saja bekerja sekeras mungkin hingga tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang juga terlibat dalam kasus itu untuk menjatuhkannya. Sena pun mengerahkan performa terbaiknya agar masyarakat percaya bahwa kasus yang berada di tangannya itu terselesaikan dengan baik dan Armandio Jati mendapat hukuman yang setimpal.
Sampai semalam, Sena benar-benar yakin bahwa dirinya memang telah bekerja dengan sangat baik—belum ada satu hari ia dipuji kepala jaksa bahwa ia telah melakukan yang terbaik. Dan pagi ini, semuanya buyar. Sena merasa gagal.
"Bangsat!" Sena sekali lagi mengumpat.
Kenapa semua menjadi seperti ini? Apa salahnya? Apa yang telah ia lakukan hingga Armandio Jati harus bunuh diri? Padahal, Sena hanya melakukan tugasnya dengan semaksimal mungkin. Padahal, Sena hanya berpegang pada hukum yang berlaku. Namun, saat kematian seseorang menjadi buntut dari putusan yang dilayangkan hakim atas tuntutan yang ia ajukan, bukankah itu artinya ia tidak melakukan yang terbaik? Bukankah itu justru yang terburuk dari segala hal yang terburuk yang pernah ada?
Sena sudah akan kembali mengumpat saat ponselnya berdering. Nama Pak Rudi kembali memenuhi layar ponselnya yang menyala.
Sena menjawabnya dengan menyalakan loud speaker.
"Di mana kamu?!" Pak Rudi bertanya dengan nada keras dan tak sabaran.
"Maaf, Pak, saya masih di jalan."
Pak Rudi berdecak marah. "Kamu bisa lebih cepat atau tidak, sih? Di sini sangat kacau sekarang gara-gara kamu!"
Sena membuang napas pelan. "Sebentar lagi saya sampai, Pak," jawabnya. Berusaha untuk tidak menunjukkan kegusaran yang sama seperti kepala jaksanya.
"Banyak wartawan di sini. Usahakan untuk menghindar dari mereka," kata Pak Rudi kemudian.
Sena menggeram. Tentu saja kasus ini menjadi topik terhangat yang akan diburu wartawan. Mereka pasti berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi terkini. Dan dalam keadaan yang begitu panas itu, tentu saja akan sangat kacau jika Sena muncul di depan wartawan. Terlebih saat ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Armandio Jati.
Panggilan itu diputus dengan cepat bahkan sebelum Sena sempat menjawab apa-apa lagi.
Setelah dari Pak Rudi, ada panggilan masuk yang lain. Ada salah satunya dari wartawan. Sena mengabaikannya. Ia memilih untuk berkonsentrasi menyetir agar segera cepat-cepat sampai ke rumah sakit.
***
Winena meninggalkan kamar hotel hanya membawa tas selempang kecilnya yang berisi ponsel dan dompet. Pakaian bekas yang Winena kenakan semalam ia tinggalkan teronggok di lantar kamar mandi kamar hotelnya. Sudah tidak ia butuhkan lagi. Saat mencapai luar gedung hotel 50 lantai itu, kebetulan sekali ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Winena langsung masuk ke dalam taksi dan meminta supir taksi itu untuk mengantarkannya ke rumah sakit di mana jasad ayahnya sedang diautopsi. Membayangkan bagaimana tubuh ayahnya yang sudah tidak bernyawa dibedah demi mencari tahu pasti akibat kematian pria itu memberikan sensasi mengerikan pada tubuh Winena. Bulu kuduknya merinding, bukan karena kedinginan, melainkan karena dunianya yang sudah hancur itu dihentakkan hingga runtuh. Satu per satu rasa sakit yang membuat tubuhnya koyak itu menghantamnya terus-menerus. Saat tinggal setengah perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Winena kemudian melayang ke momen-momen saat keluarganya masih utuh da
"KAMU DI MANA, SENA?! MUTERIN INDONESIA DULU KAMU, HA? KENAPA NGGAK SAMPAI-SAMPAI?! KATANYA TADI SUDAH DEKAT?!" Gendang telinga Sena berdenging perih karena teriakan dari Pak Rudi. Belum ada sepuluh menit sejak Pak Rudi menghubunginya tadi, tidak bisakah atasannya itu bersabar sedikit? Sena juga bukannya sedang mengulur-ulur waktu untuk datang. Ia hanya sedang terjebak kemacetan lalu lintas. "Di jalan agak macet, Pak." "Jangan banyak alasan, Sena! Cepatlah datang dan selesaikan kekacauan yang sudah kamu perbuat! Tinggalkan mobilmu dan lari ke sini, Anak bodoh!" Sena menjambaki rambutnya dengan kasar. Pak Rudi yang benar-benar menunjukkan sisi terburuknya sebagai atasan. Sena nyaris lupa bahwa Pak Rudi selama ini selalu mengayomi anak-anak buahnya. Kali ini, Sena tidak melihat itu. Pak Rudi melimpahkan semuanya kepada Sena. Menyalahkan anak buahnya yang selama ini hanya tahu bagaimana caranya bekerja keras dan bekerja dengan baik. Bertanggung jawab pada setiap kasus yang diberikan k
Sena sudah tidak peduli lagi meski ia masih punya kewajiban untuk memantau proses investigasi atas kematian Armandio Jati. Sena terlalu marah dan muak kepada orang-orang yang dengan mudahnya menumpahkan semua kesalahan kepada dirinya sehingga ia langsung meninggalkan rumah sakit bahkan sebelum melihat jasad Armandi Jati dengan mata kepalanya sendiri. Ia mendengar suara salah satu rekan kerjanya yang memanggil-manggil namanya, tetapi Sena pura-pura tidak mendengar. Sena melangkah dengan langkah lebar-lebar menuju ke tempat mobilnya ia parkirkan beberapa saat yang lalu. Tanpa membuang waktu, Sena meninggalkan rumah sakit dengan mengemudikan mobilnya pada kecepatan tinggi hingga mendapat makian dan klakson beruntun dari kendaraan lain yang mau tidak mau harus mengalah jika tidak ingin terjadi kecelakaan. Pada momen ini, Sena benar-benar tidak peduli jika dirinya ditilang oleh polisi karenma melanggar peraturan lalu lintas. Yang ingin Sena lakukan sekarang adalah menjauh dari semua hal ya
Masih sangat membekas di ingatan Winena saat ayahnya memberikan banyak sekali wejangan dan pelajaran hidup yang harus Winena terapkan saat dewasa nanti. Saat itu umur Winena baru memasuki 14 tahun. Ada banyak prinsip yang Winena pegang teguh karena nasihat dari ayah tercintanya itu. "Cinta pertama? Cinta pertamaku ayah! Nanti kalau sudah besar, aku mau menikah dengan ayah!" Terbersit dengan sangat jelas bayangan Armandio Jati yang tertawa hingga matanya menyipit kala mendengar anaknya berkata demikian. "Ayah sudah menikah dengan Ibu, Win. Kamu nggak bisa menikah sama Ayah. Nanti Ibu cemburu dan sedih." "Terus aku nikahnya sama siapa, Yah? Aku maunya yang kayak Ayah!" "Nanti, Win. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan bertemu dengan laki-laki yang baik. Laki-laki yang jauh lebih baik dari Ayah." Armandio Jati adalah satu orang dewasa paling favorit dalam hidup Winena saat masa kecil dulu. Setiap ucapan dan tindakan pria itu selalu membuat Winena kagum. Bahkan, meski ibunya juga
Meski Tante Elis sudah memberitahu Winena jika keluarga besarnya sudah dikabari tentang meninggalnya Armandio Jati, Winena masih mengira bahwa rumah akan tetap sepi.Sebab, tetangga dan kerabat dekat keluarganya, bahkan keluarga besarnya satu per satu berpaling saat Armandio Jati beralih status dari tersangka menjadi terdakwa sejak berbulan-bulan lalu atas kasus korupsi yang menjeratnya. Namun, kematian Armandio Jati rupanya berhasil mengumpulkan mereka semua kembali di sini, di rumah Ibu, yang sudah beberapa bulan ini tidak Winena sambangi dengan alasan sibuk bekerja dan mengurus suami, juga karena Winena tidak sanggup melihat Ibu sedih. Menghindar dari Ibu terasa jauh lebih mudah baginya. Masih terdengar bisik-bisik tidak menyenangkan saat Winena melewati halaman rumah yang luas dan kemudian memasuki rumah yang sudah ramai dengan pelayat. Tentu saja tak ada yang bisa Winena lakukan. Penghakiman orang-orang itu valid dan bukan tanpa alasan. Armandio Jati memang bersalah, mempunyai t
Winena tahu ini bukan saatnya bernostalgia. Namun, berada di kamar yang sudah jarang dihuni sejak ia menikah dengan Faris itu mendadak membawa Winena kepada kenangan-kenangan yang lagi-lagi menbuat Winena semakin punya alasan untuk tidak terlalu larut dalam duka lara karena ditinggal pergi ayahnya dengan cara yang mengenaskan. Yang Winena ingat, hampir seluruh kenangan yang terjadi di kamarnya adalah hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Tentu saja kenangan-kenangan itu tercipta sebelum Winena tahu bahwa ayahnya tidak sesempurna yang wanita itu kira. Setelah mengetahui ayahnya mendua, kamar ini yang selalu menjadi saksi bisu saat Winena menangis diam-diam. Di kamar ini pula Winena berkali-kali mengutuk ayahnya yang menduakan Ibu. Jika dulu kamar dengan dinding bercat putih bersih itu menjadi tempat paling favorit bagi Winena, makin lama kamarnya terasa seperti tempat pengasingan. Di sini, Winena membentengi diri dari rasa sakit menyaksikan keretakan keluarga kecilnya. Winena t
Melayat ke rumah duka Armandio Jati bersama rekan-rekan kantornya, Sena memilih untuk duduk di deretan kursi terluar yang akan memudahkan laki-laki itu beranjak pergi setelah upacara pemakaman berakhir. Sena juga menjaga jarak dari Pak Rudy, atasan sekaligus mentor yang membuat Sens kecewa sekali hari ini. Meski sudah berusaha menerima keputusan yang telah dijatuhkan, kemarahan di dalam dadanya masih belum mereda. Diperlakukan seperti sampah benar-benar membuat ego Sena terluka. Sena membuang muka saat rombongan keluarga Armandio Jati satu per satu masuk ke dalam mobil, sebagian ikut ambulans untuk berangkat ke tempat pemakaman. Dari yang Sena ketahui, Armandio Jati mempunyai satu istri dan anak semata wayang yang menolak diekspos ke media. Sena tidak tahu orangnya yang mana, tetapi Sena tetap berusaha sekeras mungkin untuk mengalihkan tatapan. Tak sanggup Sena menatap satu per satu wajah keluarga Armandio Jati yang sedang berduka. "Kasihan anak dan istrinya harus nanggung aib." "Ma
Meski berkali-kali sudah diminta unuk mengikhlaskan, tidak semerta-merta Ibu mau mendengarkan. Ibu berselimut duka dalam waktu yang lama. Tangis tak jua kunjung berhenti. Setelah tersadar dari pingsannya, Ibu kembali menangis. Meratapi kepergian suaminya yang pergi begitu saja tanpa pamit. Keadaan Ibu memburuk dan akhirnya drop hingga harus dilarikan ke rumah sakit malam itu juga. Lagi-lagi, ditemani Tante Elis, Winena menunggui ibunya yang harus menginap di rumah sakit. Sementara itu, di rumah tetap digelar acara tahlilan. "Tante... kalau Ibu pergi—" "Astaghfirullahal’azim, jangan bilang begitu, Win!" tegur Tante Elis menghentikan ucapan ngawur Winena. Wanita yang usianya sudah setengah abad, hanya terpaut beberapa tahun lebih muda dari Ibu, tetapi masih tampak seperti berusia pertengahan tiga puluh tahun itu menatap Winena dengan sedih. "Ibumu cuma lagi berduka, Win." "Tapi, Tante—" Tante Elis menggeleng. Meminta Winena berhenti mengatakan apa pun yang ia asumsikan di kepalan