Share

10 Tahun Kemudian

last update Last Updated: 2025-09-05 22:00:45

Siang hari yang panas. Adrianna sedang memeriksa laporan file-file orang hilang di laptopnya. Kini dia mendirikan organisasi yang membantu pencarian orang hilang, agar kembali berkumpul bersama keluarganya.

Satu persatu setiap kasus ditelusuri. Bekerja sama dengan Kepolisian dan Yayasan Perlindungan Anak, waktunya dicurahkan dalam setiap kasus kehilangan.

"Done!" Adrianna menandai kasus yang sudah selesai dan menekan tombol enter.

Beberapa dari mereka sudah kembali kepada keluarganya melalui penyelidikan dan pencarian yang alot. Begitu juga pencarian tentang putranya, Brian Antonio Zimmer. Kedua bajingan yang menculik putranya, masih tidak ditemukan jejaknya.

Bertahun-tahun penyelidikan, Adrianna sudah ke berbagai tempat untuk menelusuri kedua penculik dan keberadaan bayinya. Video viral tentang peristiwa itu tidak banyak membantu. Hanya menambah pedih di hatinya.

Ben tumbang di ujung pencarian. Dia sudah tidak sanggup lagi hidup dengan seorang wanita pemburu yang hanya berfokus pada "Menemukan anaknya!".

Atas desakan kedua orang tuanya pula, pada akhirnya Ben menceraikan Adrianna.

Sejenak pekerjaannya terhenti. Kejadian lama itu terbayang lagi. Adrianna masih ingat ketika malam itu Ben pulang mengajaknya bicara serius.

"Aku ingin bicara!" Ben menghampiri meja kerja Adrianna yang penuh oleh tumpukan kertas, potongan surat kabar dan serpihan abu rokok.

"Ada apa?" Adrianna menyipitkan matanya.

"Kita bicara di ruang tengah!" Ujar Ben dan berbalik meninggalkan ruang kerja.

Adrianna agak heran, tapi dia menurut, melepas kacamatanya dan mengikuti suaminya.

Ben mengeluarkan dua kaleng bir dari kulkas. Menyerahkan satu pada Adrianna dan membuka kalengnya sendiri. Ben menyeruput bir dingin. Berharap rasa dinginnya akan menenangkan hatinya yang berkecamuk.

"Sayang, maaf! Mungkin ini terlalu tiba-tiba. Tapi sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi!" Ben menghela nafas panjang.

"Maksudnya?" Adrianna belum paham.

"Kita harus berpisah!" Ben

dengan berat hati mengatakan yang sebenarnya.

Bang!

Adrianna bagaikan tersambar petir mendengarnya. Dia bertanya sekali lagi untuk meyakinkannya.

"Berpisah? Maksudmu bercerai?" Tanyanya meyakinkan pendengarannya.

"Iya, itu benar." Ben memejamkan matanya yang terasa perih.

Hening sejenak.

"Jadi kau akan menceraikan aku? bahkan sebelum anak kita ditemukan?" Adrianna bertanya dan menahan emosinya.

"Tidak ada harapan lagi, Adrianna!"

Ben berkata dengan putus asa.

"Apa kau bilang? Tidak ada harapan lagi? Apa kau berharap anak kita sudah mati?" Adrianna berteriak putus asa.

"Bukan begitu! Aku tidak pernah berharap begitu. Berpikir seperti itu pun aku tidak sanggup. Siapa tahu, di suatu tempat, entah dimana, anak kita aman bersama orang yang menyayanginya!"

"Aku juga berharap begitu, walau kadang itu seperti angan-angan bodoh!" Adrianna menimpali, walaupun berharap kemungkinan terakhir benar.

"Ini sudah lima tahun, Adrianna!" Ben mengingatkan.

"Berapa lama pun aku tidak peduli. Aku akan tetap mencari anakku!" tegas Adrianna.

Ben menghela nafas panjang.

"Aku tidak sanggup lagi hidup seperti ini. Aku juga manusia, aku seorang suami, aku laki-laki yang butuh perhatian juga! Tapi kau sudah tidak peduli lagi padaku!" Ben beralasan.

"Kau pikir bagiku mudah, Ben? Tahukah kau seperti apa perasaannku? Tahukah seperti apa penderitaanku? Adrianna bertanya menatap tajam suaminya.

"Aku paham!"

"No! Tidak! Kau sama sekali tidak paham, Ben! Kau egois! Sangat egois!" bantah Adrianna.

"Tahukah kau selama sembilan bulan aku mengandung seluruh tubuhku rusak dan sakit? Ketika aku melahirkan rasanya tulang-tulang tubuhku dipatahkan bersamaan, bahkan ketika Brian sudah lahir aku tidak bisa tidur? Menyusuinya setiap saat, mengganti popoknya bahkan ketika saat itu kau tertidur lelap. Bagaimana bisa kau mengatakan tidak ada harapan setelah bajingan-bajingan itu merebutnya dari kita? Kau pikir seperti apa perasaanku?" Adrianna berteriak putus asa.

Ben terdiam.

"Pernahkah kau bertanya? Bagaimana keadaan Brian? Apa dia kesakitan? Bagaimana jika Brian kelaparan dan ingin menyusu? Karena Demi Tuhan, aku tidak bisa melupakannya?" Lanjut Adrianna.

Ben tenggelam dalam pikirannya.

"Kau yang paling tahu sulitnya saat aku melahirkan. Lalu baru sebentar saja Brian bersama kita, bajingan-bajingan tengik itu menculiknya! Bagaimana aku bisa lupa?" Adrianna menangis.

"Bahkan aku kehilangan salah satu ginjalku ketika berjuang menyelamatkan putra kita. Belum lagi luka ini sembuh, sekarang kau ingin lepas tanggung jawab?" Adrianna tertawa sinis.

Ben masih terdiam. Bingung harus menjawabnya.

"Katakan padaku, apakah perceraian ini keinginanmu sendiri? Atau keluargamu juga punya andil?"

Adrianna menatap tajam dengan marah.

Ben mengangguk lemah.

"Sudah kuduga!" Adrianna tertawa sinis.

Keluarga besar Zimmer. Ibunya Ben tidak pernah menyetujui pernikahan putra sulungnya dengan Adrianna yang berasal dari keluarga biasa. Menyandang nama besar Zimmer, tentu saja mereka menginginkan menantu yang sama kelasnya. Bukan keluarga terkaya, tapi cukup punya pengaruh di negeri ini.

Itulah sebabnya ketika menikah, Ben membawa Adrianna ke kota kecil jauh dari orang tuanya. Berharap hidup tenang dengan keluarganya sendiri. Tetapi semenjak peristiwa itu, ketika fokus Adrianna hanya menemukan anaknya. Orang tua Ben menjadikan hal ini kesempatan untuk merebut lagi putra mereka. Segera setelah bercerai Ben dijodohkan dan akan menikahi gadis cantik putri rekan Ayahnya.

"Maaf!" Hanya itu yang sanggup Ben katakan.

Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Adrianna bersuara.

"Baiklah, silakan ajukan perceraiannya! Tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk kita. Karena satu-satunya keinginanku, adalah menemukan anakku!" Adrianna tegas pada pendiriannya.

Sesaat Ben terkejut. Sesungguhnya rasa cintanya begitu besar pada Adrianna. Dia pun kaget dengan kesanggupan Adeianna berpisah darinya begitu saja. Tetapi semua ini sudah tidak bisa ditanggungnya lagi.

Ben putus asa. Dalam keputusasaan itu dirinya menyetujui keinginan orang tuanya.

"Besok Pengacara-ku yang akan mengurusnya!" Kata Ben.

"Terserah! Aku tidak peduli!" jawab Adrianna dengan kesan merendahkan.

"Aku tidak akan mengabaikanmu. Setiap bulan aku akan mengirim uang ke rekeningmu, untuk bekalmu mencari anak kita. Aku juga sudah membeli rumah kecil di tengah kota agar memudahkan pergerakanmu. Sekali lagi mohon maafkan aku, tidak mampu berjuang bersamamu sampai akhir!" Ben tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.

Adrianna masih terdiam menunduk. Bibirnya hanya tersenyum kecil dan sinis. Ben beranjak dari tempat duduknya.

"Mulai malam ini, aku kembai ke rumah orang tuaku. Jaga dirimu, makanlah yang teratur!"

Adrianna masih juga diam.

"Selamat Tinggal, Adrianna!" Tak terasa air mata menitik di pipi Ben

Adrianna mengangguk lemah. Hatinya merasa pedih dua kali lipat. Bohong jika Adrianna tidak terluka oleh peristiwa naas yang beruntun menimpanya.

Ben keluar dari rumah yang pernah menjadi tempat tinggal mereka ketika bersama dalam kebahagiaan.

"Aaarrrrrrghhhhhh!" Ben berteriak frustasi.

Ben memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Di persimpangan jalan tol Ben menepikan mobilnya. Menangis kencang putus asa dan memukul-mukul setir mobil.

"Ya Tuhan! Maafkan aku, Adrianna! Maafkan Ayah, Brian … !"

Sedangkan Adeianna larut dalam kesedihan yang meningkat beberapa kali lipat. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya.

Kenangan pahit itu buyar ketika Sonya Sekertarisnya datang menghadap dan membawakan makan siang.

"Permisi, Nyonya! Kau harus makan siang dulu!" katanya ramah.

"Ahh, terimakasih, Sonya!" Adrianna tersenyum.

Sonya membawakan sepiring Steak lengkap dengan kentang dan sayuran rebus. Tak lupa sebotol air mineral dan sekaleng bir melengkapinya.

"Kau sudah makan?" Tanya Adrianna.

"Aku juga hendak makan siang. Aku sudah menyiapkannya dari tadi!" Jawab Sonya.

"Ya Sudah, bawalah kemari! Kita makan bersama." ajak Adrianna.

"Baiklah, apakah Toni juga bisa ikut makan bersama?" Tanya Sonya.

Adrianna mengangguk.

Sambil menunggu Sekertarisnya, Adeianna menyemil keripik kentang yang renyah. Tak lama Sonya kembali ditemani staff bagian lapangan, Toni. Yang selalu menemani Adrianna dalam penyelidikan ke daerah-daerah rawan.

"Bu, keluarga Archangel tadi pagi mengabari saya, Jam dua siang mereka akan kemari bicara denganmu dan menyerahkan data-data penting!" Kata Toni.

"Begitukah? Semoga saja Tuan Archangel tidak berbuat konyol!" gumam Adrianna.

"Maksudnya apa itu, Bu?" Tanya Sonya.

"Nanti juga kau akan mengerti. Temani saja aku saat mereka datang!" Kata Adrianna.

Sonya mengangguk.

"Soal rencana nanti malam?" Toni bertanya lagi.

"Persiapkan saja seperti biasa. Aku akan berangkat jam delapan malam!"

"Aku akan akan menemanimu!" ujar Toni.

"Baiklah. Kau cukup paham seperti apa lokasi yang akan didatangi nanti!"

Mereka melanjutkan makan dengan diselingi obrolan-obrolan ringan.

Tepat jam dua siang. Seorang wanita paruh baya menemuinya. Seorang wanita yang masih nampak manis walaupun sudah beranjak tua. Memakai atasan blouse maroon lembut dengan bawahan kulot berwarna coklat muda. Sepasang flatshoes hitam melindungi kakinya yang sudah mulai lelah menopang berat tubuhnya. Rambut keriting wanita itu dipotong sebahu, nampak warna perak disana-sini. Secara keseluruhan penampilan wanita itu cukup trendi dan bersahaja. Menunjukan bahwa dia wanita dari kalangan atas. Tapi saat ini wajahnya nampak sedih. Sudah hampir satu bulan, suaminya Tuan Rudy Archangel menghilang dari rumah.

"Selamat siang, Nyonya! Saya Adrianna Miller Ketua Yayasan di sini!" Adrianna memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.

"Grace Archangel!" Wanita itu menyambut uluran tangan Adrianna.

"Silakan duduk, Nyonya Grace. Mau minum apa?" Adrianna menawarkan minuman pada wanita yang nampak kelelahan.

"Air dingin saja!" jawabnya sambil mengangguk.

"Sonya, tolong bawakan air es!" Seru Adrianna.

"Baik, Bu!" Sonya segera meninggalkan ruangan menuju pantry.

"Apa ada yang bisa saya bantu?" Adrianna mulai bertanya.

"Suami saya ... Suami saya menghilang." Nyonya tua itu tergugu karena merasa sedih.

Adrianna dan Sonya saling berpandangan. Begitulah yang setiap hari terjadi di Yayasan pencarian orang hilang yang dipimpin oleh Adrianna.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Joe Mondego

    Ben menutup teleponnya. Suara yang sekian lama dirindukannya menghilang seketika.Senja berwarna jingga keemasan, menyilaukan sejauh mata memandang. Ben menghela nafasnya. Dia benar-benar jenuh dengan keadaan ini.Rumah tangganya baik-baik saja. Namun, tetap saja Ben selalu merasa ada yang kurang. Ada bagian kosong dalam hidupnya. Kehampaan yang lahir dari rasa kehilangan.Ben kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, Adrianna dan Brian putranya. Rasa bersalah selalu menghantuinya.Ben tenggelam dalam lamunannya. Sudah jam pulang, para karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Ben membereskan tasnya, kemudian bergegas keluar dari kantor.Jalanan ibukota selalu macet di jam pulang kantor. Ben menghentikan mobilnya di sebuah stadion olahraga, dia membeli minuman dingin dan menikmati senja seorang diri.Dulu, tempat ini jadi tempat favoritnya Adrianna yang senang nongkrong sambil bermain bersepeda. Masa muda mereka memang menyenangkan. Sederhana, namun mengesankan. Tidak pernah memb

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Joe Mondego

    Ben menutup teleponnya. Suara yang sekian lama dirindukannya menghilang seketika.Senja berwarna jingga keemasan, menyilaukan sejauh mata memandang. Ben menghela nafasnya. Dia benar-benar jenuh dengan keadaan ini.Rumah tangganya baik-baik saja. Namun, tetap saja Ben selalu merasa ada yang kurang. Ada bagian kosong dalam hidupnya. Kehampaan yang lahir dari rasa kehilangan.Ben kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, Adrianna dan Brian putranya. Rasa bersalah selalu menghantuinya.Ben tenggelam dalam lamunannya. Sudah jam pulang, para karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Ben membereskan tasnya, kemudian bergegas keluar dari kantor.Jalanan ibukota selalu macet di jam pulang kantor. Ben menghentikan mobilnya di sebuah stadion olahraga, dia membeli minuman dingin dan menikmati senja seorang diri.Dulu, tempat ini jadi tempat favoritnya Adrianna yang senang nongkrong sambil bermain bersepeda. Masa muda mereka memang menyenangkan. Sederhana, namun mengesankan. Tidak pernah memb

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Pengakuan Cinta

    Adrianna kaget ketika Ben menelepon. Matanya membelalak sempurna, mulutnya menganga. Toni yang melihatnya juga sama terkejutnya."Ya, hallo!" Adrianna gugup menyapa Ben. Matanya melirik kepada Toni yang sedang mengamatinya."Hallo Adrianna, bagaimana kabarmu?" tanya Ben. Pria itu berpura-pura tidak gugup dan berdebar, seolah-olah tidak terjadi apapun."Aku baik, ada apa kau meneleponku?" "Beberapa hari lagi aku ada keperluan ke dekat tempat tinggalmu. Aku ingin bertemu, ada yang harus kubicarakan secara langsung denganmu." kata Ben dari seberang sana.Adrianna, hatinya masih merasa marah dan kecewa pada Ben."Apa tidak bisa lewat telepon saja? Bukankah kita sepakat, bahwa kita akan bertemu ketika aku sudah menemukan Brian? tanya Adrianna. Baginya, berusaha menghindar sepertinya lebih baik untuk kebaikannya."Adrianna, jika aku bisa membicarakannya lewat telepon, maka aku tidak akan meminta bertemu denganmu." Ben menjelaskan alasannya."Euhh, baiklah. Kabari saja tempatnya jika kau su

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Pria Yang Tepat Untukmu

    52"Iya, aku sekarang sendirian." jawab Duncan sambil menyeruput kopinya."Wanita itu meninggalkanku. Lagi pula, sudah terlalu banyak kejahatannya yang tidak bisa lagi kutolelir. Aku tidak sanggup lagi," sahut Duncan dengan suara getir."Aku turut berduka." ujar Adrianna."Yeah, is too bad." Toni ikut berkomentar.Jay hanya diam mendengarkan. Ponselnya berbunyi Bip. Jay membaca pesan yang masuk ke ponselnya."Aku harus pergi. Nanti kukabari lagi." katanya setelah mematikan ponsel. Jay beranjak dari kursi dan mengecup kening Adrianna."Baiklah. Hati-hati!" sahut Adrianna dengan wajah penasaran. Adrianna mengantarnya ke pintu. Dalam sekejap, Jay menghilang dengan meninggalkan suara bising motor dan asap knalpot."Terima kasih atas makanannya." kata Duncan."Senang rasanya bisa makan sama-sama. Aku bosan makan sendirian terus." keluh Duncan."Ya, aku paham soal itu. Aku juga pernah seperti itu," Adrianna mengangguk."Untung ada Toni dan Sonya, jadi aku tidak kesepian. Mereka berdua sudah

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Demi Keamanan

    "Ya Tuhan, Sonya! Toni!" Adrianna memeluk Sonya setelah Jay menemukan mereka dan membawanya ke rumah Adrianna."Madam, hwaaaa…!" Sonya tak kuat menahan tangis."Kami baik-baik saja sekarang." Toni menenangkan dan memeluk kedua wanita yang sudah dianggapnya keluarga sendiri itu."Aku benar-benar khawatir pada kalian. Hiks hiks." Adrianna masih terisak."Sudah, sudah! Ayo, kau istirahatlah! Aku akan membuatkan makanan untuk kalian. Kalian pasti lapar!" Adrianna memandang Tonk yang terlihat kuyu dan depresi.Mereka duduk di ruang tengah, Adrianna ke dapur dan menyiapkan bahan seadanya untuk di masak. Sonya mengikutinya. Wajah gadis itu masih pucat dan muran."Kubantu!" kata Sonya walau masih dengan suara yang serak karena habis menangis."Bikin kopi saja, biar aku yang masak. Cuma sedikit, kok!" ujar Adrianna sambil memasukan wortel dan kacang polong beku ke dalam panci, disusul potongan sosis dan daging ayam."Baiklah!" Sonya lalu membuat kopi memakai mesin yang ada. Dia juga memeriksa

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Berbanding Terbalik

    "Tenangkan dirimu!" Jay membujuk Toni yang frustasi dengan apa yang barusan terjadi pada Sonya dan dirinya."Kubilang aku akan membunuh bajingan itu!" mata Toni nyalang."Baik, aku tidak akan menghalangi!" Jay mengangkat kedua bahunya."Sonya, bersihkan dirimu, baru kita bicara!" Jay perlahan keluar dari kamar.Toni terhenyak. Noda darah memanjang ke pintu keluar. Collin sudah menyeret mayat Bob dan juga tubuh Mark. Entah orang itu masih hidup atau tidak.Cepat-cepat Sonya masuk kamar mandi dan menguncinya. Sonya menangis meratapi nasibnya. Berkali-kali Sonya mencuci muka dan mulutnya. Sonya merasa mual ingat bagaimana dia diperlakukan sebelumnya.Sebelumnya, Jay menjalankan mobilnya sesuai dengan petunjuk GPS. Jay mengejar penculik setelah Adrianna menghubunginya berkali-kali dan mengabarkan kejadian yang menimpa Toni dan Sonya.Saat mengangkat telepon, Jay mempersilakan Adrianna untuk menceritakan semuanya. Adrianna segera menceritakan yang terjadi, mulai dari kepergian Toni dan Son

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status