Share

Takdir Cinta di Balik Peluru
Takdir Cinta di Balik Peluru
Author: Josephine Puri

Awal Bencana

last update Last Updated: 2025-09-05 21:59:45

Brian masih saja tertidur lelap setelah sebelumnya lama menyusu. Nampaknya keramaian pasar sama sekali tidak mempengaruhi bayi kecil yang sedang tidur nyaman di pelukan ibunya. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh kurang limabelas menit. Adrianna, seorang ibu muda berusia 25 tahun, harus segera mengakhiri acara belanjanya jika tidak ingin pulang kepanasan.

Sambil berjalan ke arah pulang, Adrianna mampir di sebuah kios buah untuk membeli jeruk pesanan Ben, suaminya.

"Tuan, aku mau membeli Jeruk Mandarin sekilo, ya!" Kata Adrianna sambil menunjuk Jeruk berwarna orange yang nampak manis menyegarkan.

"Tiga puluh ribu!" Kata Penjual Buah sambil menimbang.

"Baiklah!" Jawab Adrianna singkat sambil mengangguk dan kembali menoleh kepada putranya, Adrianna tersenyum pada bayinya.

"Ada yang lainnya, Nyonya?" tanya penjual.

"Sebentar, aku ingin melihat-lihat dulu." jawab Adrianna.

Tangan kirinya masih memeluk erat bayinya. Setelah memilih, Adrianna terpikirkan membeli pisang juga.

Ketika sedang asyik memilih-milih, tanpa disadarinya dua orang pria tak dikenal mendekatinya.

Aroma tidak enak dari tubuh pria tak dikenal mengungkung sekelilingnya. Reflek Adrianna mundur menjaga jarak.

Belanjaannya belum sempat di bayar. Adrianna hendak berbalik dan menjauh.

Salah satu pria bertubuh tinggi kurus dengan wajah bopengan mengeluarkan pisaunya, memblokir jalannya, menahan Adrianna yang hendak melarikan diri.

"Minggir!" teriak Adrianna.

Kedua pria itu hanya menyeringai sinis. Salah satunya tetap menggenggam tali gendongan bayinya, menahan supaya Adrianna tidak kabur.

"Kalian mau apa? Minggir, atau aku akan memanggil Polisi!" ancam Adrianna ketakutan sambil mengeluarkan ponselnya.

Pria yang bertubuh tinggi kurus merebut ponsel dan membantingnya.

Terdengar suara ponsel Adrianna remuk.

"Apa-apaan ini?" Adrianna marah sekaligus panik, makin erat memeluk bayinya.

Kedua pria itu berpandangan. Pria bertubuh gempal mendekati Adrianna,  tangannya mencengkeram tali gendongan kemudian memutus talinya dengan pisau.

Adrianna terkejut, tapi sigap melindungi diri dan bayinya sambil berteriak-teriak mengancam.

"Jangan sentuh!" teriaknya.

Pria-pria itu tidak mempedulikannya. Bahkan mengancam kerumunan orang-orang yang hendak melerai dengan menembakkan pistolnya ke udara.

"Arghhhhhhhh!" Orang-orang menjerit ketakutan. Perlahan mundur.

"Pergi! Atau kubunuh kalian semua!"  Pria tinggi yang wajahnya bopengan mengancam.

Ancaman pistol menakutkan semuanya.

Adrianna benar-benar takut. Seluruh tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin.

Bayi kecil  itu kaget dan terbangun lalu mulai menangis. Adrianna menjerit panik ketika sebuah tangan yang gempal dan kasar merebut bayinya.

"Tidak! Tidak! Jangaaaaannnn!" Adrianna melindungi bayinya.

Adrianna berteriak histeris, menjambak rambut pria bertubuh gempal yang merebut bayinya. Tangan kanannya mencakar-cakar wajah Pria itu sementara tangan kirinya memeluk erat bayinya.

"Bangsat! Perempuan jalang!" Pria gempal yang dicakar wajahnya murka.

Wajahnya terasa perih oleh cakaran kuku tajam Adrianna yang belum dipotong. Pria itu berusaha menghindar. Tapi kesulitan karena tangannya menggendong bayi yang direbutnya.

Adrianna ketakutan dan menangis frustasi. Berteriak

"Tolong … Tolong aku!".

Orang-orang ketakutan dan malah terdiam menyaksikannya dengan ngeri.

Seorang Pria muda menahan amarahnya menyaksikan kejahatan itu sambil bersembunyi. Tangannya mengepal erat. Beberapa orang diam-diam mengambil video walau mereka juga takut ditembak.

Gelap mata. Adrianna terus menyerang pria perebut bayinya.

"Jangan sentuh anakku!" Jerit Adrianna.

Kukunya yang panjang terus menyerang. Meninggalkan noda darah di wajah pria gempal itu. Tiba-tiba kukunya menancap di bola mata kanan pria gempal berambut keriting itu. Seketika pria itu berteriak.

"Anjiiiiingggg! Kurang ajar!" Dan sejuta sumpah serapah lainnya berhamburan.

Benda kenyal itu mengeluarkan darah ketika Adrianna meremasnya. Pria bertubuh gempal itu melolong kesakitan.

"Kubunuh kau! Kubunuh kau  bangsat! Arrrggghhh , sialan! Sakiiiiiit!" Pria itu menjauh dari Adrianna sambil tetap memegang bayi. Adrianna mengejarnya.

Bayi yang direbutnya hampir terjatuh.

Penyerang satunya lagi kaget luar biasa. Mematung sesaat. Tak disangkanya perempuan ini balik menyerang kalap. Perempuan yang nampak lemah itu mati-matian melindungi bayinya, seperti induk macan yang mengamuk.

"Bawa bayinya, tolol!" Si Gempal yang sedang meraung-raung kesakitan memberi perintah.

Adrianna semakin waspada. Brian menangis kencang.

"Is oke baby! Tunggu! Aku akan menyelamatkanmu!" Kata Adrianna dalam hati. Matanya nyalang.

"Tuhan! Tolong aku! Lindungi aku!" Adrianna merapalkan do'a. Dia menangis.

Mereka sudah mengawasinya berminggu-minggu. Tidak ada kesempatan melaksanakan rencana busuknya, karena Adrianna selalu tinggal di rumah. Untuk menerobos rumahnya, mereka tidak mau ambil resiko. Sistem keamanan yang dipasang Ben membuat mereka menunggu kesempatan lain.

Kebetulan sekali hari ini Adrianna keluar rumah membawa bayinya. Sialnya, Adrianna menggendongnya, tidak menggunakan kereta bayi.

Jika saja bayi itu ada di kereta dorong, tugas mereka akan lebih mudah. Mengambil bayi saat ibunya lengah, lalu kabur tanpa menimbulkan keributan.

Tapi, Adrianna memakai gendongan bayi. Keduanya merubah rencana.

Adrianna masih berjuang menyelamatkan bayinya, ketika Brian lepas dari tangan Si Pria Gempal.

"Brian! Tidak!" Adrianna terkejut ketika melihat bayinya hampir terjatuh. Dengan sigap kedua tangannya meraih bayinya.

Tangan kecil itu hampir diraihnya, sedikit lagi, hingga kabut hitam menyamarkan pandangannya. Tiba-tiba saja tubuhnya merasakan nyeri tak terhingga. Adrianna membeku ketika sebilah pisau menancap di tubuhnya.

Pria tinggi kurus yang satunya lagi menyerang dengan pisau. Menusuknya dalam-dalam kemudian mencabutnya sekaligus. Darah memancar. Belum puas, dia kembali menancapkan pisaunya ke arah perut saat Adrianna berbalik menghadapnya.

"Tuhan...!" Adrianna membelalakan mata menahan nyeri.

"Ambil bayinya!" Kata pria tinggi kurus lagi.

Pria itu menyeringai jahat. Si Gempal yang wajahnya berdarah cepat-cepat menjauh sambil membawa Brian.

"Cepat pergi!" Katanya kepada kawannya.

Darah segar mengalir. Orang-orang menjerit ngeri ketika Adrianna roboh ke tanah bersimbah darah. Kedua pria penculik itu kabur membawa bayinya seperti membawa bola lalu melesat kencang dengan motornya yang meraung-raung.

"Bayiku…..tolong bayiku! To…..looong! Kembalikan…anakku!" Suaranya memelas parau. Kemudian semuanya benar-benar gelap. Darahnya yang menggenang membasahi tanah.

Orang-orang di sekitarnya baru berani menghampiri dan menolong ketika pria-pria jahat itu sudah pergi. Seorang pria muda berjongkok didekat tubuh Adrianna. Dia merasa ngeri sekaligus menyesal tidak bisa menolongnya.

"Panggil Ambulan!" Katanya kepada orang-orang yang ada disana.

Seorang gadis muda yang nampaknya seorang karyawati minimarket mengeluarkan ponselnya dengan panik. Dia menangis saat menelepon Rumah Sakit. Pria tua diseberangnya tanpa disuruh menelepon Polisi.

"Ya Tuhan, kasihan sekali!" Seorang nenek berkata.

"Wanita malang!" Kata suara wanita lain yang ikut menimpali.

"Tolong menjauh, beri wanita ini udara. Mohon jangan merusak TKP!" Pria muda itu memerintahkan lagi.

Ben baru saja selesai meeting ketika ponselnya menerima panggilan .

Telepon dari nomor tidak dikenal. Dahinya berkerut saat menjawab panggilan.

"Hallo, ini Tuan Benjamin Zimmer?" Suara di seberang sana bertanya.

"Betul, saya sendiri!"

"Tuan, diharap segera ke Rumah Sakit Universitas Kindess! Istri anda, Adrianna sedang kritis!" Lanjut suara di telepon.

Lutut Ben lemas seketika.

Tubuhnya gemetar.

"Apa yang terjadi?" Tanya Ben.

"Sepertinya, ada yang menyerang istri anda, Pak!" Suara di seberangnya turut prihatin.

"Anak saya? Bayi saya bagaimana?" Tanya Ben panik.

"Tidak ada bayi. Hanya istri anda saja, Pak!"

Hening. Ben tak percaya.

"Nanti akan ada Polisi juga kemari menanyai saksi mata yang mengantar istri anda. Anda bisa lanjut bertanya pada mereka!" Suara di seberang menjelaskan detailnya.

Ben tidak sanggup mendengar lagi. Tubuhnya lemas tak berdaya seakan-akan dunia runtuh menimpanya.

"Ya Tuhan, tidak! Adrianna ... Brian, di mana anakku?….Demi Tuhan! Kumohon jangan!" Ben limbung dan terhenyak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Joe Mondego

    Ben menutup teleponnya. Suara yang sekian lama dirindukannya menghilang seketika.Senja berwarna jingga keemasan, menyilaukan sejauh mata memandang. Ben menghela nafasnya. Dia benar-benar jenuh dengan keadaan ini.Rumah tangganya baik-baik saja. Namun, tetap saja Ben selalu merasa ada yang kurang. Ada bagian kosong dalam hidupnya. Kehampaan yang lahir dari rasa kehilangan.Ben kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, Adrianna dan Brian putranya. Rasa bersalah selalu menghantuinya.Ben tenggelam dalam lamunannya. Sudah jam pulang, para karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Ben membereskan tasnya, kemudian bergegas keluar dari kantor.Jalanan ibukota selalu macet di jam pulang kantor. Ben menghentikan mobilnya di sebuah stadion olahraga, dia membeli minuman dingin dan menikmati senja seorang diri.Dulu, tempat ini jadi tempat favoritnya Adrianna yang senang nongkrong sambil bermain bersepeda. Masa muda mereka memang menyenangkan. Sederhana, namun mengesankan. Tidak pernah memb

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Joe Mondego

    Ben menutup teleponnya. Suara yang sekian lama dirindukannya menghilang seketika.Senja berwarna jingga keemasan, menyilaukan sejauh mata memandang. Ben menghela nafasnya. Dia benar-benar jenuh dengan keadaan ini.Rumah tangganya baik-baik saja. Namun, tetap saja Ben selalu merasa ada yang kurang. Ada bagian kosong dalam hidupnya. Kehampaan yang lahir dari rasa kehilangan.Ben kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, Adrianna dan Brian putranya. Rasa bersalah selalu menghantuinya.Ben tenggelam dalam lamunannya. Sudah jam pulang, para karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Ben membereskan tasnya, kemudian bergegas keluar dari kantor.Jalanan ibukota selalu macet di jam pulang kantor. Ben menghentikan mobilnya di sebuah stadion olahraga, dia membeli minuman dingin dan menikmati senja seorang diri.Dulu, tempat ini jadi tempat favoritnya Adrianna yang senang nongkrong sambil bermain bersepeda. Masa muda mereka memang menyenangkan. Sederhana, namun mengesankan. Tidak pernah memb

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Pengakuan Cinta

    Adrianna kaget ketika Ben menelepon. Matanya membelalak sempurna, mulutnya menganga. Toni yang melihatnya juga sama terkejutnya."Ya, hallo!" Adrianna gugup menyapa Ben. Matanya melirik kepada Toni yang sedang mengamatinya."Hallo Adrianna, bagaimana kabarmu?" tanya Ben. Pria itu berpura-pura tidak gugup dan berdebar, seolah-olah tidak terjadi apapun."Aku baik, ada apa kau meneleponku?" "Beberapa hari lagi aku ada keperluan ke dekat tempat tinggalmu. Aku ingin bertemu, ada yang harus kubicarakan secara langsung denganmu." kata Ben dari seberang sana.Adrianna, hatinya masih merasa marah dan kecewa pada Ben."Apa tidak bisa lewat telepon saja? Bukankah kita sepakat, bahwa kita akan bertemu ketika aku sudah menemukan Brian? tanya Adrianna. Baginya, berusaha menghindar sepertinya lebih baik untuk kebaikannya."Adrianna, jika aku bisa membicarakannya lewat telepon, maka aku tidak akan meminta bertemu denganmu." Ben menjelaskan alasannya."Euhh, baiklah. Kabari saja tempatnya jika kau su

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Pria Yang Tepat Untukmu

    52"Iya, aku sekarang sendirian." jawab Duncan sambil menyeruput kopinya."Wanita itu meninggalkanku. Lagi pula, sudah terlalu banyak kejahatannya yang tidak bisa lagi kutolelir. Aku tidak sanggup lagi," sahut Duncan dengan suara getir."Aku turut berduka." ujar Adrianna."Yeah, is too bad." Toni ikut berkomentar.Jay hanya diam mendengarkan. Ponselnya berbunyi Bip. Jay membaca pesan yang masuk ke ponselnya."Aku harus pergi. Nanti kukabari lagi." katanya setelah mematikan ponsel. Jay beranjak dari kursi dan mengecup kening Adrianna."Baiklah. Hati-hati!" sahut Adrianna dengan wajah penasaran. Adrianna mengantarnya ke pintu. Dalam sekejap, Jay menghilang dengan meninggalkan suara bising motor dan asap knalpot."Terima kasih atas makanannya." kata Duncan."Senang rasanya bisa makan sama-sama. Aku bosan makan sendirian terus." keluh Duncan."Ya, aku paham soal itu. Aku juga pernah seperti itu," Adrianna mengangguk."Untung ada Toni dan Sonya, jadi aku tidak kesepian. Mereka berdua sudah

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Demi Keamanan

    "Ya Tuhan, Sonya! Toni!" Adrianna memeluk Sonya setelah Jay menemukan mereka dan membawanya ke rumah Adrianna."Madam, hwaaaa…!" Sonya tak kuat menahan tangis."Kami baik-baik saja sekarang." Toni menenangkan dan memeluk kedua wanita yang sudah dianggapnya keluarga sendiri itu."Aku benar-benar khawatir pada kalian. Hiks hiks." Adrianna masih terisak."Sudah, sudah! Ayo, kau istirahatlah! Aku akan membuatkan makanan untuk kalian. Kalian pasti lapar!" Adrianna memandang Tonk yang terlihat kuyu dan depresi.Mereka duduk di ruang tengah, Adrianna ke dapur dan menyiapkan bahan seadanya untuk di masak. Sonya mengikutinya. Wajah gadis itu masih pucat dan muran."Kubantu!" kata Sonya walau masih dengan suara yang serak karena habis menangis."Bikin kopi saja, biar aku yang masak. Cuma sedikit, kok!" ujar Adrianna sambil memasukan wortel dan kacang polong beku ke dalam panci, disusul potongan sosis dan daging ayam."Baiklah!" Sonya lalu membuat kopi memakai mesin yang ada. Dia juga memeriksa

  • Takdir Cinta di Balik Peluru   Berbanding Terbalik

    "Tenangkan dirimu!" Jay membujuk Toni yang frustasi dengan apa yang barusan terjadi pada Sonya dan dirinya."Kubilang aku akan membunuh bajingan itu!" mata Toni nyalang."Baik, aku tidak akan menghalangi!" Jay mengangkat kedua bahunya."Sonya, bersihkan dirimu, baru kita bicara!" Jay perlahan keluar dari kamar.Toni terhenyak. Noda darah memanjang ke pintu keluar. Collin sudah menyeret mayat Bob dan juga tubuh Mark. Entah orang itu masih hidup atau tidak.Cepat-cepat Sonya masuk kamar mandi dan menguncinya. Sonya menangis meratapi nasibnya. Berkali-kali Sonya mencuci muka dan mulutnya. Sonya merasa mual ingat bagaimana dia diperlakukan sebelumnya.Sebelumnya, Jay menjalankan mobilnya sesuai dengan petunjuk GPS. Jay mengejar penculik setelah Adrianna menghubunginya berkali-kali dan mengabarkan kejadian yang menimpa Toni dan Sonya.Saat mengangkat telepon, Jay mempersilakan Adrianna untuk menceritakan semuanya. Adrianna segera menceritakan yang terjadi, mulai dari kepergian Toni dan Son

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status