Sera melangkah gontai memasuki kamar perawatan ibunya. Hatinya mencelos melihat sosok wanita yang selama ini menjadi pilar hidupnya kini terbaring lemah dengan mata diperban. Dia menggenggam tangan ibunya sejenak, merasakan kehangatan yang perlahan memudar.
"Mbak Ria, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Sera lirih, matanya tak lepas dari wajah pucat ibunya.
Mbak Ria, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan, hanya menggeleng pelan. "Masih sama, Ra. Tapi... ada yang perlu kita bicarakan. Ayo keluar sebentar."
Dengan berat hati, Sera mengikuti kakaknya keluar dari kamar perawatan. Begitu pintu tertutup, Mbak Ria langsung angkat bicara, "Ra, tadi bagian administrasi memanggil Mbak."
Darah Sera berdesir. Dia tahu pembicaraan ini tidak akan berujung baik.
"Mereka meminta biaya perawatan Ibu untuk beberapa hari lagi," lanjut Mbak Ria dengan wajah tertekan. Sera bisa melihat betapa berat beban yang ditanggung Mbak Ria saat ini.
"Berapa yang mereka minta, Mbak?" tanya Sera dengan suara yang nyaris patah. Jantungnya berdegup kencang menanti jawaban itu.
"Kalau kita tempatkan ibu di kelas tiga mungkin nggak seberapa, Ra."
Sera termenung. Dia sangat ingin menumpahkan air matanya saat ini juga, tetapi dia sadar tidak boleh menangis. Dia harus kuat demi keluarganya yang sangat membutuhkannya ini. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah.
"Mungkin soal biaya perawatan aku masih bisa menanganinya dengan tabunganku, Mbak," ujarnya dengan pelan, berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya. "Jadi jangan khawatir. Kita masih bisa menempatkan ibu di kamar kelas satu."
Wajah Mbak Ria masih tetap cemas dan khawatir. Tidak ada kelegaan sedikit pun dalam sorot matanya ketika mendengar kata-katanya. Dan sera tahu bahwa masalahnya lebih besar daripada sekadar biaya kamar.
"Masalahnya obat-obatan dan biaya operasinya cukup besar, Ra. Apalagi tadi... tadi dokter bilang kalau mata kanan ibu harus segera dioperasi supaya harapannya untuk bisa melihat lagi lebih besar."
"Ya Allah!" Wajah Sera memucat. Tubuhnya yang lemas hampir luruh ke lantai kalau saja Mbak Ria tidak menahannya. Berita itu seperti pukulan telak yang membuatnya nyaris ambruk. "Berapa biaya semuanya, Mbak?"
Mbak Ria menyebutkan angka yang membuat Sera merasa seolah dunianya runtuh seketika. Nominal itu jauh di luar jangkauannya, bahkan jika dia menguras seluruh tabungannya.
Mbak Ria menatap Sera dengan sorot mata penuh rasa bersalah. "Maafkan Mbak, Ra. Mbak tidak bisa membantu banyak. Kamu tahu sendiri keadaan Mbak sekarang..."
Sera mengangguk lemah. Dia tahu betul situasi Mbak Ria sebagai janda dengan dua anak yang masih kecil. Tapi kenyataan itu tidak mengurangi rasa putus asa yang kini menyelimutinya.
"Aku paham, Mbak," ujarnya pelan, meski dalam hati dia berteriak, Tapi aku tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu dari mana!
Dalam situasi yang penuh tekanan ini, Sera merasa seperti berada di ujung jurang. Dia memejamkan mata, mencoba menguatkan hati. Namun, bayangan ibunya yang terbaring lemah terus menghantuinya. Keputusan apa yang bisa dia ambil?
Mbak Ria terdiam, tapi bibirnya terus bergetar sejak tadi, seolah ada yang ingin dia sampaikan namun begitu sulit diucapkan. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya, memperburuk rasa tidak nyaman yang sudah memenuhi hati Sera.
"Ada apa lagi, Mbak?" desak Sera, meski dalam hati dia takut mendengar jawaban yang akan keluar.
Mbak Ria menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Mungkin... mungkin ada satu cara yang bisa membebaskan kita dari situasi ini, Ra."
"Maksud Mbak?"
"Kamu masih ingat Pak Damar?"
Nama itu membuat Sera tersentak. Tentu saja dia ingat Pak Damar, pria kaya raya yang usianya tiga kali lipat darinya. Pria yang selama ini selalu memandangnya dengan tatapan yang membuatnya tidak nyaman.
"Tolong langsung katakan saja, Mbak," desak Sera, tak sabar.
"Pak Damar tahu keadaan Ibu. Dia bilang bisa membantu kita, tapi dia minta syarat..."
Sera merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia sudah bisa menebak apa 'syarat' yang dimaksud, tapi tetap saja dia bertanya, "Syarat apa, Mbak?"
Mbak Ria menatapnya dengan sorot mata penuh penyesalan. "Dia ingin menikahimu, Ra."
Kali ini Sera benar-benar merosot ke lantai. Tubuhnya seolah kehilangan seluruh tenaganya. Air mata yang sejak tadi ditahannya kini mengalir deras.
"Dia bahkan bilang akan mewujudkan cita-citamu untuk sekolah lagi kalau kamu mau menjadi istrinya," lanjut Mbak Ria, suaranya penuh rasa bersalah.
Dunia Sera seolah runtuh di hadapannya. Inikah pilihan yang harus dia ambil? Mengorbankan masa depannya demi menyelamatkan ibunya?
"Jangan menangis, Ra. Kalau kamu memang tidak mau, Mbak akan menolaknya dan tidak akan membicarakannya lagi," ujar Mbak Ria penuh rasa bersalah.
Sera menghapus air matanya, mencoba mengendalikan diri. "Kalau aku menerimanya, aku bukannya akan menjadi simpanan atau istri yang kesekian kan, Mbak?"
"Tidak, Ra. Pak Damar ingin menikahimu secara sah. Kamu akan menjadi istri satu-satunya."
Sera terdiam, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ini bisa menjadi jalan keluar dari masalah finansial yang membelitnya. Tapi di sisi lain, dia harus mengorbankan kebebasan dan masa mudanya.
"Apa kamu mau menerimanya, Ra? Apa kamu mau menikah dengan Pak Damar?" tanya Mbak Ria hati-hati.
Sera memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Namun, bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit terus menghantuinya. Di saat yang sama, wajah Zayn, bosnya yang baru saja menawarkan kontrak gila itu, juga muncul dalam benaknya.
Dua pilihan yang sama-sama menyesakkan. Haruskah dia menerima tawaran Zayn dan menjadi surrogate mother? Atau menikah dengan Pak Damar yang usianya jauh lebih tua? Kedua pilihan itu sama-sama menuntutnya untuk mengorbankan kehormatan dan masa depannya.
Api menjilat-jilat tirai hotel dengan rakus, menari-nari dalam kegelapan malam yang mencekam. Zayn terpaku di tengah kamar, matanya nanar menatap lidah-lidah merah yang kini merambat ke langit-langit. Napasnya tertahan, bukan karena asap yang mulai mengepul—tetapi karena kenangan yang tiba-tiba menyeruak, menghantamnya dengan kekuatan yang membuatnya gemetar.Lima belas tahun yang lalu. Malam itu juga bermula dengan api—api yang dia sulut sendiri dengan tangan gemetar dan hati yang membara oleh kebencian.Anak muda itu berdiri di sana, tangannya gemetar memegang korek api. Matanya berkaca-kaca, campuran antara amarah dan ketakutan yang begitu mencekik. Bayangan wajah ibunya yang terluka, mata sembab yang selalu menyimpan kesedihan mendalam, dan tubuh rapuh yang menderita dalam diam – semuanya berputar dalam benaknya seperti film rusak yang ter
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y