"Permisi, Pak. Boleh saya masuk?"
Suara lembut Sera terdengar dari balik pintu ruangan Zayn Renola Wiratama. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar memegang gagang pintu. Ini pertama kalinya ia berani mendatangi ruangan sang CEO.
"Masuk," jawab suara berat dari dalam.
Sera melangkah perlahan, jemarinya saling bertaut karena gugup. Kontras sekali penampilan sederhana cleaning service ini dengan kemewahan ruang kerja Zayn yang didominasi warna hitam dan emas. Lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding, sementara jendela besar memamerkan pemandangan kota Jakarta dari lantai 50.
Zayn mengamati Sera dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seragam cleaning service berwarna biru muda tampak lusuh di tubuh rampingnya. Rambut hitamnya yang panjang diikat sederhana, berbeda dengan gaya rambut wanita-wanita kelas atas yang biasa ia temui.
"Ada perlu apa?" tanya Zayn, suaranya terdengar bosan.
Sera menggigit bibir, menunduk dalam-dalam. "Maaf mengganggu waktu Bapak. Saya... saya sedang butuh bantuan."
Zayn terdiam, seolah sudah menduga arah pembicaraan ini. Ia bersandar di kursi kulit mahalnya, menatap Sera dengan pandangan menilai.
"Bantuan apa?" tanyanya, nada suaranya sedikit melunak meski ekspresinya tetap dingin.
Sera menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. "Ibu saya... Ibu saya baru saja mengalami kecelakaan. Dia butuh operasi segera, tapi saya tidak punya cukup uang untuk biayanya."
Zayn tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Ia bangkit dari kursinya, berjalan mengelilingi meja kerjanya yang besar. Sepatu pantofelnya yang mengkilap berdetak pelan di lantai marmer.
"Lalu?" tanyanya, kini berdiri tepat di hadapan Sera. Perbedaan tinggi mereka begitu kentara, membuat Sera harus mendongak untuk menatap wajah atasannya.
"Sa-saya dengar... Bapak sering membantu karyawan yang kesulitan," ujar Sera terbata-bata. "Saya mohon, Pak. Saya akan melakukan apa saja untuk membayarnya kembali."
Zayn mengangkat alisnya. "'Apa saja', katamu?"
Sera mengangguk cepat, tak menyadari kilat berbahaya di mata Zayn. "Iya, Pak. Saya bisa bekerja lebih lama, atau mengerjakan tugas tambahan. Apa saja."
Zayn berjalan kembali ke mejanya, mengambil sebuah map. Ia menyodorkannya pada Sera. "Baca ini."
Dengan tangan gemetar, Sera menerima map itu. Ia membukanya perlahan, matanya menyusuri deretan huruf di atas kertas bermerk perusahaan.
Seketika, wajahnya memucat. Map itu nyaris terjatuh dari tangannya yang lemas.
"A-apa ini, Pak?" tanyanya tergagap.
Zayn tersenyum dingin. "Bukankah sudah jelas? Itu kontrak perjanjian antara kita."
Sera menggeleng tak percaya. Matanya kembali membaca bagian yang membuatnya syok:
'Pihak kedua berkewajiban untuk mengandung, melahirkan, dan memberikan anak tersebut kepada istri dari pihak pertama.'
'Setelah pihak kedua memenuhi semua kewajiban, maka pihak pertama akan membayar pihak kedua sesuai dengan jumlah yang telah disepakati.'
"Tidak... tidak mungkin," bisik Sera. "Saya tidak bisa melakukan ini, Pak."
Zayn mengangkat bahu. "Kenapa tidak? Bukankah tadi kamu bilang akan melakukan 'apa saja'?"
Sera mundur selangkah. "Tapi... tapi ini..."
"Tidak bermoral? Menjijikkan?" Zayn tersenyum sinis. "Bukankah kamu butuh uang? Saya bisa membayarmu lebih dari cukup."
Sera menggeleng kuat. "Bukan ini maksud saya, Pak. Saya tidak bisa... menjual diri saya seperti ini."
"Jangan munafik," ujar Zayn tajam. "Kamu butuh uang, saya butuh penerus. Ini kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Sera. "Tapi... tapi Bapak sudah menikah. Istri Bapak..."
"Istri saya mandul," potong Zayn dingin. "Dan saya butuh penerus untuk perusahaan ini."
Sera terdiam, shock mendengar pengakuan blak-blakan atasannya. Zayn melanjutkan, "Pikirkan baik-baik, Sera. Kamu hanya perlu mengandung dan melahirkan anak saya. Setelah itu, kamu bebas pergi dengan uang yang cukup untuk membiayai operasi ibumu dan hidup nyaman selamanya."
Sera menggeleng lemah. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa."
Zayn menghela napas. "Sayang sekali. Padahal saya sudah menyiapkan cek kosong untukmu. Kamu bisa menulis nominal berapapun yang kamu mau."
Mata Sera melebar mendengar tawaran itu. Sejenak, bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit memenuhi benaknya. Namun, ia segera menggeleng kuat, mengusir pikiran itu.
"S-saya tidak bisa, Pak. Saya tidak bisa," ujar Sera dengan gemetar. Dia melangkah mundur sedikit demi sedikit sambil menggelengkan kepalanya, mencoba menjauh dari pria yang kini tampak seperti iblis di matanya.
"Bukankah tadi kamu bilang sedang membutuhkan uang untuk operasi ibumu? Kenapa kamu malah menolaknya?" tanya Zayn dengan nada mengejek, seakan menikmati penderitaan yang dialami Sera.
"Saya akan membunuh ibu saya lebih cepat kalau menerima tawaran ini, Pak. Karena Ibu pasti tidak akan rela melihat saya menjual kehormatan untuk membayar pengobatannya," sahut Sera dengan lirih setelah cukup lama terdiam.
Zayn menatapnya tajam. "Kamu yakin? Pikirkan baik-baik, Sera. Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali."
Sera menggeleng kuat. "Saya lebih baik mencari cara lain. Permisi."
Ia berbalik cepat, hendak keluar. Namun langkahnya terhenti saat Zayn berkata lagi.
"Kamu pikir ada cara lain? Dengan gaji cleaning servicemu yang minim itu?" Zayn mendengus. "Jangan naif, Sera. Kamu dan saya tahu betul berapa biaya operasi yang dibutuhkan ibumu."
Sera terdiam, tangannya gemetar di gagang pintu.
"Saya bisa memberimu uang lebih dari cukup. Tidak hanya untuk operasi ibumu, tapi juga untuk kehidupanmu ke depan," Zayn melanjutkan. "Bukankah itu yang kamu inginkan? Kehidupan yang lebih baik?"
Air mata Sera menetes. Ia berbalik perlahan, menatap Zayn dengan pandangan terluka.
"Kenapa harus saya?" tanyanya lirih. "Anda bisa memilih wanita mana saja."
Zayn menatap Sera dengan tatapan tajam sebelum mengajukan pertanyaan yang membuat gadis itu tersentak. "Kamu belum pernah tidur dengan seorang pria, kan?" tanyanya tiba-tiba, seakan itu adalah hal yang biasa dibicarakan.
"Pertanyaan apa ini?" balas Sera dengan tersinggung, wajahnya memerah. Dia tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang begitu pribadi dari atasannya.
“Jawab saja pertanyaan saya!”
"Saya tidak akan memberikan kehormatan saya pada siapa pun sebelum menikah," sahut Sera akhirnya, menggigit bibir bawahnya dengan kuat untuk menahan getar dalam suaranya. Rasa malu dan marah bergelut dalam hatinya.
"Kalau begitu kamu adalah pilihan yang tepat. Karena saya harus memastikan calon wanita yang akan mengandung anak saya nanti tidak pernah disentuh oleh siapapun," bisik Zayn dengan penuh penekanan, suaranya rendah namun terdengar jelas di telinga Sera.
Sera menggeleng pelan, bibirnya gemetar saat dia mencoba menyusun kata-kata. "T-tapi bagaimana bisa, Pak? S-saya hanya seorang cleaning service. Saya—"
"Saya sangat tahu perbedaan di antara kita, Sera. Kamu tidak perlu menjelaskannya lagi!" sergah Zayn dengan nada jemu. "Sekarang yang perlu kamu lakukan adalah memikirkan semua ini dan mengambil keputusan."
"Tapi... tapi ini gila, Pak! Ini sangat gila!" Sera hampir berteriak, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dia cegah. Dia masih tak habis pikir ada orang yang nekat ingin melakukan hal ini.
"Gilakah seorang pria yang ingin memiliki darah dagingnya sendiri dan memberikan kebahagiaan pada istrinya yang tidak bisa memberikannya keturunan?" desis Zayn dengan tajam. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sera, menatapnya dalam-dalam seolah ingin menembus pikirannya.
Sera terdiam. Tubuhnya membeku seketika. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua ini terjadi begitu tiba-tiba, membuat otaknya seakan mati rasa dan tidak bisa berpikir lagi. Kalau dia menerima tawaran itu, apa bedanya lagi dengan melacurkan diri? Rela mengandung dan melahirkan anak tanpa ikatan pernikahan.
Zayn melangkah mundur, memberikan Sera ruang untuk berpikir. "Saya akan memberikanmu waktu untuk memikirkan ini, tapi ingat, waktu tidak akan menunggu. Pilihan ada di tanganmu," katanya sebelum berbalik dan meninggalkan gadis itu yang masih berdiri terpaku di tempatnya, diliputi oleh rasa takut dan kebingungan.
Api menjilat-jilat tirai hotel dengan rakus, menari-nari dalam kegelapan malam yang mencekam. Zayn terpaku di tengah kamar, matanya nanar menatap lidah-lidah merah yang kini merambat ke langit-langit. Napasnya tertahan, bukan karena asap yang mulai mengepul—tetapi karena kenangan yang tiba-tiba menyeruak, menghantamnya dengan kekuatan yang membuatnya gemetar.Lima belas tahun yang lalu. Malam itu juga bermula dengan api—api yang dia sulut sendiri dengan tangan gemetar dan hati yang membara oleh kebencian.Anak muda itu berdiri di sana, tangannya gemetar memegang korek api. Matanya berkaca-kaca, campuran antara amarah dan ketakutan yang begitu mencekik. Bayangan wajah ibunya yang terluka, mata sembab yang selalu menyimpan kesedihan mendalam, dan tubuh rapuh yang menderita dalam diam – semuanya berputar dalam benaknya seperti film rusak yang ter
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y