Sera duduk di kursi di ruangan dokter, meremas-remas jemarinya yang dingin. Hasil pengecekan menyeluruh yang dilakukan oleh Dokter Aryono baru saja disampaikan, dan perasaan lega bercampur dengan kecemasan memenuhi hatinya.
“Rahimmu subur, Sera. Saluran telurnya pun sehat dan terbuka,” ujar Dokter Aryono sambil melepaskan sarung tangannya. “Tidak ada masalah sama sekali. Kalian berdua dalam kondisi prima untuk memiliki anak."
Sera menggigit bibir bawahnya, merasakan campuran emosi yang rumit. Dia merasa lega karena rahimnya subur dan dia bisa mengandung anaknya sendiri. Namun, kecemasan menggerogoti hatinya, karena hal ini berarti kesepakatannya dengan Zayn akan terus berlanjut. Dia akan menikah dengan pria itu, mengandung anaknya, melahirkannya, dan menyerahkan anak itu pada istri pertama Zayn.
Waktu seakan berhenti di sekitarnya. Bayangan harus menyerahkan anaknya sendiri pada orang lain begitu nyata dan menyakitkan. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya nanti.
Zayn menepuk pelan pundaknya, mengganggu lamunan Sera. “Bagaimana, Sera? Apakah kamu tetap pada keputusanmu?” tanyanya dengan suara tajam yang memecah keheningan.
Sera menatap Zayn, mata mereka saling bertaut dalam sebuah pertarungan batin. Dia merasakan tekanan yang begitu besar dari pria di depannya, tekanan untuk menyerahkan diri dan masa depannya sepenuhnya.
Dia menelan ludahnya, mengepalkan kedua tangannya di pangkuan. “Saya... saya akan tetap pada keputusan ini, Pak Zayn,” ucap Sera dengan suara yang hampir tercekat di tenggorokannya.
Zayn mengangguk pendek, ekspresinya tidak menunjukkan kelegaan atau kebahagiaan. Dia tampak seperti pria yang hanya menjalankan agenda bisnisnya. “Baiklah, kalau begitu,” katanya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. “Siapkan semua dokumen yang diperlukan. Saya ingin semuanya selesai hari ini,” perintahnya dengan suara tegas.
Sera hanya bisa duduk diam, menyaksikan semuanya berjalan begitu cepat. Setelah menutup telepon, Zayn menoleh ke arahnya lagi. “Kita akan menyelesaikan semuanya hari ini. Setelah itu, kita akan mulai proses pernikahan. Jangan khawatir, saya akan memastikan semuanya berjalan lancar.”
Sera hanya bisa mengangguk lemah, tak mampu menyembunyikan perasaan campur aduk yang melanda hatinya.
Setelah itu, Zayn mengakhiri pertemuan mereka dengan cepat. Dia meninggalkan Sera dalam keheningan ruangan, ditemani oleh perasaan campur aduk yang begitu sulit dipahami.
***
Zayn mengenakan setelan jas hitamnya dengan rapi saat penandatanganan surat nikah di kantor catatan sipil. Dia tampak begitu tampan dengan potongan jas yang pas di tubuh atletisnya, meski ekspresi wajahnya tak menunjukkan emosi, dingin dan datar seperti biasa.
Di kursi lain, duduk Sera dengan wajah penuh kegelisahan. Gaun putih sederhana yang dikenakannya, dipadukan dengan riasan tipis, membuatnya tampak anggun, namun tidak mampu menyembunyikan kecemasan yang meliputinya.
Sera datang seorang diri pada hari paling penting dalam hidupnya ini. Dengan tangan gemetar, dia menandatangani surat nikahnya, setiap goresan pena terasa berat. Pikiran-pikiran berkecamuk di benaknya, mempertanyakan langkah yang diambilnya. Benarkah keputusan ini? Menikah dengan lelaki yang tak dicintainya, yang bahkan belum dikenalnya dengan baik?
Sesaat dia melirik ke arah Zayn. Tepat pada saat pria itu sedang menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Sekilas, ada kepuasan, penghinaan, dan ketajaman dalam sorot matanya, yang membuat Sera langsung mengalihkan pandangannya. Hatinya berdebar-debar, seperti hendak meledak.
"Sudah siap untuk pulang ke tempat barumu, Sera?" tanya Zayn dengan nada tajam.
Sera hanya bisa mengangguk pelan. Dia mengikuti langkah suaminya yang baru saja disahkan itu dengan patuh hingga ke dalam mobil mewah yang telah menunggu mereka.
Selama perjalanan, Sera hanya diam, sementara Zayn sibuk dengan urusan bisnisnya melalui sambungan telepon yang seolah tidak ada habisnya. Pria itu tidak tampak seperti mempelai baru. Dia lebih terlihat seperti seorang pebisnis yang baru saja menandatangani kontrak bisnis lainnya.
"Istirahatlah kalau kamu bosan. Saya akan membangunkanmu saat sampai nanti," ujar Zayn dengan dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan kelembutan.
Sera mencoba memejamkan matanya, namun pikirannya tetap berkelana tanpa henti. Dia memikirkan masa depan yang akan dihadapinya bersama Zayn, bagaimana hari-hari yang akan dihabiskannya dengan pria itu demi memenuhi kesepakatan mereka.
Namun, semuanya sangat berbeda dari apa yang pernah Sera bayangkan. Zayn sama sekali tidak menyentuhnya di malam pertama mereka. Pria itu malah bersikap lebih dingin dari sebelumnya.
"Ini kamarmu," kata Zayn dengan nada datar.
Sera memandang kamar itu dengan cermat. Ruangan itu tampak tidak terlalu mewah dibandingkan dengan bagian rumah lainnya yang besar dan megah. Letak kamarnya berada di ujung lorong, cukup jauh dari ruang utama, tetapi ukurannya jauh lebih besar dari kamar yang pernah dia tempati selama ini. Meskipun sederhana, kamar itu terasa nyaman dengan perabotan minimalis dan ranjang sedang yang terlihat empuk.
"Kenapa? Kamu tidak suka dengan kamarnya?" tanya Zayn dengan tajam, memecah keheningan.
Sera menggeleng dengan cepat. "Saya menyukainya," jawabnya jujur sambil duduk dan menepuk ranjang yang empuk itu, mencoba mencari kenyamanan dalam situasi yang serba aneh ini.
Zayn mengangguk dengan sorot mata tajam dan senyum penuh makna yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. "Kalau begitu, istirahatlah," ujarnya singkat, lalu berbalik meninggalkan kamar.
Sera meremas tangannya, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. "Mas tidur di mana?" tanyanya dengan ragu, suaranya hampir tak terdengar.
Zayn berbalik dan menoleh, tatapannya menusuk. Sekilas, dia bisa melihat kegelisahan di wajah Sera. Dengan langkah perlahan, dia mendekati wanita itu. "Ada apa? Kamu takut tidur sendiri?" tanyanya, nada suaranya terdengar mengejek.
Sera menahan napasnya. Ditatap sedekat itu oleh Zayn membuat jantungnya berdebar tak karuan. Pria itu memiliki aura yang begitu kuat, memabukkan dan menakutkan sekaligus.
"Ah, t-tidak, Mas. Saya... Saya...." Sera tergagap, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Zayn semakin mendekat. Dia sangat menikmati reaksi Sera, melihat bagaimana wanita itu berusaha menenangkan diri namun gagal total. Ditariknya pinggang gadis itu, mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka bersentuhan.
Sera merasakan dadanya berdebar aneh saat bibir mereka bersentuhan. Sensasi ganjil yang belum pernah dirasakannya menjalar dari bibirnya ke seluruh tubuhnya. Perlahan, sensasi itu berubah menjadi kehangatan dan kenikmatan yang membuatnya terbuai. Sera memasrahkan dirinya sepenuhnya pada Zayn, mencoba menikmati momen singkat itu.
Namun sangat tidak disangka, tubuh Zayn tiba-tiba menegang. Dia menjauhkan dirinya seperti baru saja tersengat listrik. Ada sorot jijik dan marah yang bisa Sera lihat dalam tatapannya, membuatnya merasa tertolak.
"Masih ada hari-hari lainnya. Sekarang istirahatlah," kata Zayn dengan suara rendah, penuh dengan nada dingin. Dia langsung berbalik dan melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya dengan cukup kasar.
Sera duduk terpaku di ranjang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Mungkinkah pria itu menghindarinya karena teringat pada istri pertamanya? Atau mungkin dia sudah menyesal telah menikah dengannya? pikir Sera dengan penuh keraguan dan ketidakpastian.
Dengan lembut, dia menyentuh bibirnya yang masih berdenyut setelah ciuman tadi. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya, antara bingung, marah, dan entah kenapa ada sedikit rasa kecewa. Ini semua terasa seperti mimpi buruk yang nyata dan Sera tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Api menjilat-jilat tirai hotel dengan rakus, menari-nari dalam kegelapan malam yang mencekam. Zayn terpaku di tengah kamar, matanya nanar menatap lidah-lidah merah yang kini merambat ke langit-langit. Napasnya tertahan, bukan karena asap yang mulai mengepul—tetapi karena kenangan yang tiba-tiba menyeruak, menghantamnya dengan kekuatan yang membuatnya gemetar.Lima belas tahun yang lalu. Malam itu juga bermula dengan api—api yang dia sulut sendiri dengan tangan gemetar dan hati yang membara oleh kebencian.Anak muda itu berdiri di sana, tangannya gemetar memegang korek api. Matanya berkaca-kaca, campuran antara amarah dan ketakutan yang begitu mencekik. Bayangan wajah ibunya yang terluka, mata sembab yang selalu menyimpan kesedihan mendalam, dan tubuh rapuh yang menderita dalam diam – semuanya berputar dalam benaknya seperti film rusak yang ter
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y