Share

BAB 4 Menerima kesepakatan

Author: Prisma
last update Last Updated: 2024-06-25 11:14:44

"Jadi, pada pria tua itu kamu ingin menjual tubuhmu, Sera?" 

Kata-kata Zayn menghantam Sera bagai tamparan keras. Dia menatap pria di hadapannya dengan campuran emosi - kemarahan, rasa terhina, dan putus asa yang mencekik.

"Setidaknya dia ingin menikahi saya!" Sera membalas dengan suara bergetar. "Bukan hanya menginginkan tubuh saya seperti... seperti Anda!"

Zayn menyeringai, matanya berkilat berbahaya. "Oh? Jadi itu masalahnya?" Dia melangkah mendekat, membuat Sera mundur hingga punggungnya menabrak dinding. "Kalau begitu, saya juga bisa menikahimu. Itu bukan masalah besar."

Sera terperangah. "A-apa?"

"Kamu dengar saya," Zayn berkata dingin. "Saya juga bisa menikahimu kalau saja sejak awal kamu mengajukan syarat itu. Tapi lihat dirimu sekarang, malah memohon pada pria tua renta yang lebih cocok menjadi kakekmu."

Mata Sera membelalak, perasaan marah dan hina menyeruak dalam dadanya. Kata-kata Zayn menghancurkan sisa-sisa harga diri yang masih dimilikinya, namun dia tidak punya argumen untuk membantah. Rasa putus asa semakin menekan batinnya, membuatnya terdiam cukup lama.

"Kenapa?" Sera akhirnya bertanya, suaranya lirih. "Kenapa Anda melakukan ini pada saya?"

Zayn terdiam sejenak, matanya menelusuri wajah Sera dengan intens. "Karena kita berdua punya sesuatu yang diinginkan oleh yang lain. Bukankah itu dasar dari sebuah kesepakatan bisnis yang baik?"

Sera merasakan mual di perutnya. "Ini bukan bisnis! Ini... ini kehidupan saya yang Anda permainkan!"

"Dan kehidupan ibumu," Zayn menambahkan dengan nada datar. "Jangan lupa itu, Sera. Ibumu membutuhkan uang itu, bukan?"

Sera terdiam, kata-kata Zayn menghantam telak ke ulu hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi dia menolak untuk menangis di hadapan pria ini.

"Saya rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Pak. Saya permisi," kata Sera dengan suara lirih.

Zayn tidak bergeming, malah mendekatkan wajahnya lebih dekat lagi. "Jangan terlalu naif, Sera. Dan jangan sia-siakan kesempatanmu yang terakhir," bisiknya perlahan, suaranya terdengar seperti peringatan yang mengancam.

Tubuh Sera menegang. Napasnya tertahan sejenak, mencoba memahami maksud dari kata-kata Zayn.

"Kamu bisa menemui saya sekali lagi kalau kamu berubah pikiran. Saya akan menunggu," tambah Zayn sebelum berlalu, meninggalkan Sera yang masih berdiri terpaku, menatap punggungnya dengan tangan terkepal erat.

Malam itu, Sera terjaga dalam kegelapan kamarnya, pikirannya berputar tanpa henti seperti pusaran air yang menyeret segala keraguan dan ketakutannya. Bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit terus menghantui, membayangi setiap sudut pikirannya. Dengan setiap detak jam yang berlalu, dia semakin sadar bahwa waktu ibunya semakin menipis.

Fajar belum lagi menyingsing ketika dia bangkit dari ranjangnya. Dengan tangan gemetar, Sera bersiap untuk menghadapi hari yang mungkin akan mengubah seluruh hidupnya. Setiap langkah menuju kantor Zayn terasa berat, seolah kakinya terikat rantai tak kasat mata.

Saat memasuki ruangan Zayn, atmosfer berubah seketika. Udara terasa lebih berat, dan Sera bisa merasakan tatapan tajam Zayn yang seolah menembus jiwanya. Pria itu duduk di balik meja besarnya, sosoknya yang tegap dan berwibawa kontras dengan kerapuhan Sera saat ini.

"Sudah membuat keputusan, Sera?" Suara Zayn memecah keheningan, nadanya datar namun penuh tekanan.

Sera menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Pak Zayn, saya... saya ingin memastikan tentang tawaran Anda kemarin."

Zayn menyandarkan tubuhnya, matanya tak lepas dari Sera. "Tawaran saya masih sama. Pernikahan, anak, perceraian, dan tentu saja... kompensasi finansial yang kamu butuhkan."

Kata-kata itu menghantam Sera bagai ombak yang menerjang karang. Dia terdiam sejenak, mencoba mencerna realitas pahit yang harus dihadapinya. Dengan suara yang nyaris berbisik, dia bertanya, "Bolehkah saya bertanya, Pak?"

Zayn mengangguk singkat, matanya tak lepas dari sosok Sera yang tampak rapuh namun tetap berusaha tegar.

"Kenapa Bapak memilih saya? Padahal saya yakin sekali di luar sana masih banyak wanita yang dengan suka rela mengandung anak Pak Zayn tanpa ikatan pernikahan yang Bapak inginkan."

Pertanyaan itu membuat raut wajah Zayn berubah. Ada kilatan emosi yang sulit dibaca di matanya. "Karena kita saling membutuhkan dan sama-sama terdesak," jawabnya tegas. "Lagi pula saya tidak mau mengambil risiko berkencan dengan wanita lain yang bisa menyebabkan skandal dan menghancurkan reputasi saya!"

Jawaban itu membuat Sera tertegun. Di balik kata-kata dingin Zayn, dia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin tak ingin diakui pria itu.

Dengan suara yang nyaris berbisik, Sera akhirnya mengutarakan kekhawatiran terbesarnya, "Tapi... Tapi bagaimana kalau setelah menikah saya tidak bisa hamil?"

Zayn menatapnya tajam, seolah-olah bisa membaca keraguan yang terpancar dari mata Sera. "Kita bisa langsung memeriksakannya," jawabnya dengan nada yang tenang namun penuh tekanan. "Tapi sebelum itu, saya ingin mendengar keputusanmu dulu."

Sera menghela napas panjang, bayangan ibunya yang sedang terbaring lemah membuatnya tidak bisa berpikir lagi. Keputusan yang diambilnya mungkin bukan yang terbaik, tetapi dia merasa tidak punya pilihan lain.

"Kalau memang tidak ada apa-apa dan saya bisa mengandung, saya bersedia menerima tawaran itu, Pak," bisiknya perlahan, mencoba menekan kecemasannya.

Kali ini, Zayn benar-benar tersenyum, tetapi bukan dengan lengkungan bibir yang biasa ditunjukkan pria itu sebelumnya yang sama sekali tidak membuat Sera terkesan. Pria itu menyunggingkan senyum paling menawan dan penuh karisma. Membuat wajah tampannya lebih berseri dengan raut kepuasan di bibirnya yang sensual itu.

"Kalau begitu, kita akan memeriksakan diri," ujar Zayn dengan suara yang penuh keyakinan. "Setelah hasilnya keluar sesuai yang diharapkan, maka kita akan langsung mengurus segala dokumen kesepakatannya."

Sera hanya mematung di tempatnya. Dia tidak tahu apakah keputusan yang diambilnya ini sudah benar atau tidak. Tetapi bagi orang yang sudah di ujung tanduk dan tidak memiliki jalan keluar, dia pasti tidak peduli sedang melangkah ke dalam jurang atau ke dalam lumpur sekali pun. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya: menyelamatkan ibunya, tidak peduli berapa harga yang harus dibayarnya.

Perlahan, Sera mengangkat wajahnya, memberanikan diri untuk menatap langsung ke mata Zayn. "Baiklah, Pak. Saya setuju," katanya, suaranya masih bergetar namun ada keteguhan yang tak terbantahkan di dalamnya.

Saat kata-kata itu meluncur dari bibirnya, Sera merasakan seolah-olah dia baru saja menandatangani perjanjian dengan iblis.

Zayn mengangguk puas, seolah-olah segala sesuatu telah berjalan sesuai rencananya. "Bagus. Kita akan mulai prosesnya segera. Pastikan kamu siap untuk segala konsekuensinya, Sera."

Sera menelan ludah, menyadari bahwa tidak ada jalan kembali setelah ini. Dia telah melangkah ke dalam jurang yang dalam, atau mungkin ke dalam lumpur yang akan menelannya perlahan-lahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Istri Kedua: Di antara Benci dan Cinta   BAB 62 Akhir Sebuah Dendam

    Api menjilat-jilat tirai hotel dengan rakus, menari-nari dalam kegelapan malam yang mencekam. Zayn terpaku di tengah kamar, matanya nanar menatap lidah-lidah merah yang kini merambat ke langit-langit. Napasnya tertahan, bukan karena asap yang mulai mengepul—tetapi karena kenangan yang tiba-tiba menyeruak, menghantamnya dengan kekuatan yang membuatnya gemetar.Lima belas tahun yang lalu. Malam itu juga bermula dengan api—api yang dia sulut sendiri dengan tangan gemetar dan hati yang membara oleh kebencian.Anak muda itu berdiri di sana, tangannya gemetar memegang korek api. Matanya berkaca-kaca, campuran antara amarah dan ketakutan yang begitu mencekik. Bayangan wajah ibunya yang terluka, mata sembab yang selalu menyimpan kesedihan mendalam, dan tubuh rapuh yang menderita dalam diam – semuanya berputar dalam benaknya seperti film rusak yang ter

  • Takdir Istri Kedua: Di antara Benci dan Cinta   BAB 61 Cinta dan Benci 3

    Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.

  • Takdir Istri Kedua: Di antara Benci dan Cinta   BAB 59 Cinta dan Benci 2

    "Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika

  • Takdir Istri Kedua: Di antara Benci dan Cinta   BAB 58 Cinta dan Benci

    Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi

  • Takdir Istri Kedua: Di antara Benci dan Cinta   BAB 57 Pelarian dan Perjanjian

    Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber

  • Takdir Istri Kedua: Di antara Benci dan Cinta   BAB 56 Pelarian

    Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status