"Semuanya serba tiba-tiba dan tak terprediksi, memangnya siapa yang bisa memprediksi takdir?"
Kring...kring...kring...
Rossie memicingkan matanya dan mendapati nama Edric tercetak di layar ponsel.
[“Babe, kamu masih tidur?]”
“ Ehm, iya ada apa Edric? Kapan kamu pulang dari Yunani?” tanya Rossie sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terkspos.
[“Sore ini, aku akan kembali. Persiapkan dirimu. Baiklah, aku tutup dulu ya. I love you.”] Panggilan keduanya terputus, Edric yang melakukan.
Tubuh Rossie kembali menggeliat, tidak ada sosok lain di kamar itu selain dirinya. Ia meraih segelas air putih dan meneguknya. Kepala Rossie masih terasa berat karena efek alkohol semalam. Kejadian semalam juga sama sekali tidak terekam dalam benak. Ia hanya merasakan kenikmatan yang luar biasa, bersama seorang pria.
“Ah, paling semalam aku melakukannya seorang diri,” pikir Rossie.
Ia mengayunkan kakinya dan turun dari ranjang untuk segera membasuh diri. Kemudian bergegas untuk ke lokasi pemotretan.
"Cath, sorry malam ini kayaknya aku nggak bisa ikut ngumpul deh. Si sialan Voldemort malam ini balik dari Yunani. You know lah?" seru Rossie setelah memasangkan earbuds di salah satu telinganya.
["Lagian Ros, udah aku bilang akhiri aja sih. Lebih dari cukuplah satu tahun kamu balas budi sama dia."]
“Yah, aku akan melakukannya.”
["Ya harus! Kalau memang kamu sudah tidak tahan lagi. Lagian, We never know, Aku yakin wanita Edric bertebaran di luar sana. Pria akan tetap menjadi pria, dia selalu memberikan batasan untuk kita. Tetapi batasan itu tidak berlaku untuknya.”]
Rossie bergeming, sungguh ia tidak peduli kalau Edric mempunyai banyak wanita. Untuk saat ini, ia hanya ingin terlepas dari pria sialan itu. Sudah tidak ada lagi rasa cinta.
Panggilannya terputus, Rossie yang melakukannya. la segera berlari menghampiri wanita lansia yang terjatuh, karena kehilangan keseimbangan.
"Grandma, are you okay?" tanya Rossie sambil membantu wanita itu berdiri.
"Ah, kaki renta ini sungguh sudah tidak bisa diajak kompromi." Wanita itu mencoba berdiri dengan bertumpu pada lengan Rossie.
"Mam!" Seorang wanita paruh baya dengan surai sebahu berlari menghampiri Rossie dan wanita lanjut usia itu. Netranya menatap lekat wajah Rossie, tampak mencoba mengulang memori lamanya. "Ro-Rossie?"
Rossie mengalihkan tatapannya, wanita itu tampak tidak asing baginya. Tetapi siapa? Memorinya cukup lamban untuk mengingat kembali siapa wanita itu.
"Rossie? Pacarnya Chan dulu?" timpal wanita lanjut usia itu, yang tambah memaksa Rossie untuk mengingat siapa keduanya.
"Oh my goodness, Mom kris? Granny?" Rossie memberi pelukan, setelah akhirnya bisa mengingat kedua wanita itu.
Dua wanita asing yang terasa seperti keluarga sendiri baginya. Rossie kerap kali merasakan kerinduan karena mereka. Apa;agi ketika dilanda kesedihan, dan sekarang mereka dipertemukan kembali, setelah beberapa bulan yang lalu ia merindukan kedatangan mereka. Tuhan memang maha mendengar.
"Astaga, kau sudah dewasa. Tambah cantik, Granny rindu." Nenek Chan meraup wajah mungil Rossie, terlihat jelas kerinduan di kedua netranya. "Andai saja kau dan Chan masih bersama."
Rossie hanya meringis, dan meneguk ludah. Memangnya mau bereaksi seperti apa?
"Rossie gimana kalau minum teh sambil ngobrol sebentar?" pinta Kris. Sikapnya tidak pernah berubah, meskipun Rossie sudah tidak mempunyai hubungan lagi dengan putranya.
Rossie ingin sekali mengiyakan, tapi si sialan Edric sudah mengiriminya pesan sedari tadi.
"Maaf mom, maybe lain waktu. Aku ada acara mendesak malam ini."
"Kalau begitu, Mommy minta nomor baru kamu."
"Oh ya, lusa Thomas menikah, datang ya. Nanti biar Chan yang menjemputmu," timpal Nenek Chan penuh harap.
"Rossie usahakan, Granny."
Rossie memberikan kartu nama berwarna merah jambu. Kemudian pelukan perpisahan kepada keduanya. Pelukan itu masih terasa hangat, sama seperti 7 tahun yang lalu. Pelukan dari seorang Ibu yang sejak kecil tidak pernah ia dapatkan.
Rossie beranjak, langkahnya terhenti pada seorang pria bertelinga runcing dan lesung pipi yang tercetak pada salah satu pipinya, Hwang Chanyeol.
Kedua manik Rossie terhenti pada iris cokelat itu, sehingga membuat keduanya beradu tatap. Mendadak Rossie tertawa geli, sungguh telinga runcing itu mengingatkannya pada Dobby, tokoh peri penjaga rumah di film Harry Potter, favoritnya. Yah, anggap saja Chan adalah versi tampannya.
Sesaat iris Chan juga ikut menatap paras cantik itu, teringat kejadian panas yang mereka lakukan semalam. Namun, sepertinya Rossie tidak mengingat kejadian itu. Karena ia terlihat biasa saja, atau memang berusaha terlihat tidak ada yang terjadi?
Rossie tidak mengucap apapun, ia terus melangkah melewati Chan. Pria yang hanya sekilas melintasi hidupnya. Mungkin...
***
Edric melepaskan kecupannya pada pundak Rossie yang dibiarkan terbuka. Kecupan itu terus menjalar hingga bagian lehernya, membuat wanita itu bergidik dan menghindar.
"Why babe? I miss you. Kemarilah," pinta Edric sambil menarik tangan Rossie dan memeluknya. "Kau terlihat sangat cantik dengan gaun ini, mari bersenang-senang malam ini. Lusa aku harus terbang ke Vegas."
Rossie mencibir, sungguh ia tidak peduli. Malah ia berharap Edric terbang ke Antartika dan tidak pernah kembali.
Tangan Edric meraih tali simpul yang mengikat busana Rossie, kemudian meloloskannya.
"Edric, ada yang ingin aku bicarakan," ucap Rossie sambil menahan gaunnya yang setengah melorot.
Edric menaikkan salah satu alisnya dan memberikan tatapan tajam, "Bisakah kamu tidak merusak suasana kali ini?"
TO BE CONTINUED ….
“Apakah arti dari sebuah pertemuan ulang? Apakah ini sebuah kesempatan untuk memperbaiki semuanya?”"Sial mengganggu saja!" umpat Edric yang sesenti lagi bisa meraup bibir mungil Rossie. Tangan kekarnya merogoh ponsel yang tertaut di saku celana dan menerima panggilan itu.Rossie mengembuskan napas lega. Siapapun yang menghubungi Edric, ia sungguh berterima kasih. Sedari tadi pria itu tidak membiarkan Rossie untuk menyampaikan maksudnya."Babe, aku harus terbang ke Vegas sekarang. Lagi ada masalah di Delight Demon. Lusa kita akan bertemu, kenakan gaun yang nanti akan kukirimkan, bersiaplah untuk memuaskanku," ucapnya sambil melepaskan kecupan tipis di bibir Rossie."Edric tapi ada yang---." Pria itu tidak menghiraukan ucapan
“Bisakah aku mengendalikan kehidupanku sendiri? Ini hidupku, dan hanya diriku yang berhak atas itu.” Kris menikmati potongan croissant yang mengkilap karena olesan butter. Netranya menatap ke arah sang putra yang sedang mengelus lembut buntalan hitam dipangkuannya, Toby. Satu-satunya makhluk hidup yang sangat manja apabila bersama Chan. Terlebih ketika majikannya itu selesai memberikan vaksin. Seperti yang baru saja ia lakukan, memberikan obat cacing pada Toby. Anjing poodle yang sudah berusia 6 bulan memang sebaiknya diberikan obat cacing untuk ketahanan tubuh, khususnya sistem pencernaan. "Chan," panggil Kris hati-hati. "Mommy
"Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Akan kubuat jutaan senyum terukir di wajahnya."Mr. Ramos mengalami peningkatan gula darah hingga 350 mg/dL. Hal itu yang menyebabkan beliau mengalami pengurangan kesadaran. Selama ini pasien tidak melakukan pengobatan rutin. Kalau dibiarkan begini terus, tentu akan berakibat fatal.Kata-kata itu terngiang di kedua telinga Rossie. Kenapa ayahnya harus berbohong? Selama ini Alexander selalu bilang kalau rutin melakukan check up. Tetapi nyatanya tidak, sekarang Rossie harus melihat sang ayah terbaring di bed pesakitan.Rossie menggenggam tangan Alexander yang masih terlelap. Ia berusaha membuat matanya tetap terjaga. Dua belas jam perjalanan udara membuat tubuhn
"Hugo, jaga Daddy yah-" "Rossie, Daddy udah seperti baby saja ya. Sampai kamu harus menitipkan kepada Hugo seperti itu." Alexander terkekeh ketika mendengar percakapan Rossie dan Hugo di kursi yang tidak jauh dari ranjangnya. "Itu karena Daddy suka berbohong sama Rossie," ujar Rossie. Kemudian tatapannya beralih kepada Hugo. "Hugo, please perhatikan Daddy,
Menyadari tatapan dari Rossie, Chan meluruskan posisi tubuh. "Apa yang kamu lihat?" "No-nothing, anyway thanks." Rossie meneguk ludah sembari merapikan letak pakaiannya. Tanpa menjawab Chan langsung berlalu begitu saja. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan dari sang mantan kekasih. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Ma-maksudku sebelum pertemuanku dengan Mamamu dan Granny?" Chan menoleh dan memeta tubuh Rossie dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Iya, kita pernah bertemu sebelumnya di klub, saat kamu mabuk." Kembali menelan saliva ketika mendengar jawaban dari Chan. Rossie mulai mengingat serpi
Catherine mencuri dengar percakapan Rossie. “Who?”Pandangan Rossie tertuju kepada Catherine dan menjawab, “Mom Kris, Mamanya Chan.”“Chan? Chan Who?” Catherine mengerutkan kening dan mencoba mengingat nama yang terdengar tidak asing di telinga. “Wait, jangan bilang Chan mantan kamu?” tambahnya.Menaikkan kedua bahu sambil bangkit dari duduknya. Rossie meraih jar yang berisi jus segar dan menuangkannya ke gelas panjang. Ia tidak memberikan jawaban kepada sang sahabat.“Are you serious?
Mendorong tubuh Chan agar menjauh, Rossie menghela napas sebelum memulai ucapan. "Karena memang hubungan kita harus berakhir seperti itu." Chan masih menatap Rossie lurus-lurus, fokusnya tertarik pada warna merah di sudut bibir wanita tersebut. "Kau terluka?" Pertanyaan dari Chan diabaikan begitu saja. Kemudian Rossie berjalan melewati Chan begitu saja. Hingga langkahnya terhenti karena ucapan Chan yang tiba-tiba. "Jadi begitu?" Chan terkekeh. "Kau membuangku seperti sampah yang sudah tidak ada artinya." Rossie menoleh dengan tatapan dingin. "Apa kau masih mencintaiku?"
Lengan kukuh yang dipenuhi dengan bulu halus melingkar di pinggul Rossie. Wanita yang tadinya menatap langit malam dengan Kilauan bintang sontak terkesiap."Edric! Mengagetkan saja," ucap Rossie.Edric tertawa. "Apa yang kamu pikirkan, sampai terkejut?""Tidak ada." Menggerakkan tubuh dan berusaha terlepas dari dekapan Edric. "Aku lelah, Edric."Edric melepaskan pelukan dari tubuh Rossie. "Akan ada pesta malam ini, aku sudah siapkan gaun yang harus kamu pakai."Pandangan Rossie teralih pada gaun yang tergeletak di ranjang. Model gaun yang nyaris telanjang favorit Edric.