Share

Rania

Miranda menyambar ponselnya dari kasur, lalu masuk kamar mandi. Ia me-reject panggilan dari Alex. Sebagai gantinya, ia mengiriminya sebuah pesan.

[Sorry, gak bisa nerima telepon. Aku bangun kesiangan, lagi mau mandi.]

Setelah mengamankan ponselnya, Miranda mulai mengguyuri tubuhnya. Ia berburu dengan waktu. Pukul setengah delapan, ia ada rapat penting dengan klien kantornya. 

Hari ini, Miranda sibuk sekali. Banyak pekerjaan kantor yang menumpuk, maklum banyak proyek baru. Tak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Miranda bersorak. Finally! Ia segera membereskan mejanya, lalu berpamitan dengan Tita.

***

Dari jauh, Miranda melihat sosok Alex yang tengah menunggunya di lobi. 

"Hai ...." sapanya pada Alex.

"Oh, hai ...." Alex segera bangkit dari kursi, lalu menyambut Miranda dengan mesra. Dirangkulnya gadis itu, lalu digandengnya menuju meja resepsionis. 

Setelah menerima kunci kamar, Alex membimbing Miranda ke kamar yang mereka sewa.

"Duh, panasnya. Lengket badanku," keluh Miranda, sambil menyalakan pendingin ruangan. 

"Mandi aja dulu, terus kita ngobrol. Oke?" 

Miranda setuju. Setelah ia selesai mandi, giliran Alex yang mandi. Kini, mereka berdua sudah memakai baju casual. Alex memperhatikan Miranda yang tengah menyisir rambutnya sambil berdiri menatap pemandangan dari jendela kamar. Potongan tubuhnya langsing dan menggairahkan. Penampilannya memikat dan terkesan eksotis. Wajahnya ayu alami, tanpa sapuan make up. 

Darah Alex mulai berdesir. Miranda mengalihkan pandangannya dari jendela. Ia kini menatap Alex. Mata keduanya penuh kerinduan. Mereka saling mendekat perlahan-lahan, lalu saling berpelukan, saling memagut bibir, lama sekali, menuntaskan kerinduan mereka yang membuncah.

Alex membimbing Miranda ke tempat tidur. Ia membuka bajunya sendiri, lalu membuka baju Miranda. Di ranjang itu, mereka menuntaskan segalanya.

Tak terasa, malam telah menjelang. Kedua anak manusia yang tengah dimabuk asmara itu kini tertidur pulas. Tengah malam, Miranda terbangun. Ia menatap kamar hotel. Ia sempat merasa bingung, tapi ia segera sadar, bahwa ia kini tengah bersama pria pujaan hatinya, Alex. Miranda tak menyesal telah menyerahkan keperawanannya pada Alex. Ia rela melakukan apa saja untuk Alex. 

Miranda beranjak dari ranjang, lalu melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri. Keluar dari kamar mandi, Alex menyambutnya. Miranda yang saat itu hanya berbalut handuk sebatas dada, merasa risih karena dipandangi Alex terus-terusan. Ia merasa ditelanjangi. 

"Jangan melotot gitu. Aku malu ...." Miranda merajuk.

Alex mendekati Miranda. Miranda jadi salah tingkah.

"Aku mau lagi ...." Suara Alex terdengar parau.

"Mau apa?" 

"Mau bercinta sama kamu, lah."

"Tapi perutku lapar."

Alex tertegun mendengar jawaban Miranda. Ia menertawakan kepolosan gadis itu. Benar, mereka belum makan malam.

"Aku juga lapar, Sayang. Segeralah berpakaian, lalu kita keluar cari makan." Alex mengacak rambut gadis itu.

***

"Kamu sudah izin sama mamamu, kan?" tanya Alex pada Miranda, ketika keduanya tengah makan nasi goreng di pinggir jalan. 

"Sudah. Tadi Miranda dah kirim pesan sama Mama, minta izin kalau mau nginep ke rumah teman."

"Mamamu percaya?"

"Entah. Tapi aku udah kongkalikong sama Tita. Temanku cuma dia doang soalnya. Jadi kalau ada apa-apa, mamaku pasti telpon dia."

"Pinter ...." Alex tersenyum, ia kini merasa lega.

"Habis ini kita ke mana?" tanya Miranda dengan polosnya. 

"Balik ke hotel lah. Memangnya mau ke mana? Berkeliaran di jalan malam-malam entar ditangkal Satpolpp loh."

Miranda tersipu malu. 

"Aku udah kenyang, Lex. Pulang, yuk," ujar Miranda, ia kini tengah menghabiskan es jeruknya.

Alex mengiyakan permintaan Miranda. 

Kini mereka telah kembali ke kamar hotel. "Ih, dingin benar di luar." Miranda menggigil, tangannya segera meraih selimut di ranjang hotel. Ia kini berselimut rapat.

Alex menyalakan rokoknya. Dibukanya jendela, agar asapnya tak terlalu membuat kamar pengap. Alex menghisap rokoknya pelan-pelan. Tiba-tiba, ia teringat akan Rania, istrinya. Sedang apakah dia? Untuk sesaat, ia merasa bersalah karena telah menghianati Rania. Padahal, selama ini dia begitu baik dan sabar. Pikirannya berkecamuk. 

Dilihatnya Miranda yang tengah menggigil kedinginan. Udara malam ini memang sangat dingin. Didekatinya Miranda. Dibelainya gadis itu, lalu ia melumat bibirnya yang basah menggoda. Gairah kembali membakar keduanya. Mereka pun kembali bercinta. Dan malam semakin larut. 

***

"Mama, Miranda besok pulangnya malam ya, mau jalan-jalan sama Tita." Pamit Miranda kepada sang mama, saat makan malam.

"Memangnya mau ke mana?"

"Jalan-jalan, Mama. Malam mingguan."

"Memangnya Tita gak jalan sama pacarnya?"

"Enggak, Ma. Dia udah putus sama Rama. Dah beberapa bulan ini dia nge-jomlo. Makanya kemana-mana ngajaknya Miranda."

Sang mama manggut-manggut, tanda mengerti. 

"Mama gak apa-apa, kan, sering ditinggal Miranda?" 

"Ya, gak apa-apa lah, Mama justru senang. Daripada melihatmu di rumah melulu. Iya, kan?" 

Miranda tersenyum mengiyakan. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa sangat menyesal telah berdusta pada sang mama. Tapi mau bagaimana lagi? Pesona Alex terlalu sulit untuk dilupakan. Ia tahu ia salah. Ia sadar telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Alex. Dirinya, tak lebih dari seorang pelakor. Sederajat dengan Veronica, perempuan yang telah membuat sang papa menceraikan mamanya. 'Ah, perseten dengan semua itu', ujar Miranda dalam hati.

Kini, Miranda tengah merenung di kamarnya. Tadi siang, Alex mengabarkan jika kini Rania telah kembali ke Jogja. Ibunya sudah meninggal dunia. Sementara sang ayah, ikut kakaknya Rania, diboyong ke Kalimantan. Tak terasa, sudah empat bulan Miranda menjalin hubungan gelap dengan Alex.

Sebelum kepulangan Rania ke Jogja, dalam sebulan, mereka hanya bisa ketemu dua sampai tiga kali saja, karena kadang Rania meminta Alex mengunjunginya di Salatiga, di rumah orang tuanya. Dengan kepulangan Rania ke Jogja, itu juga berarti mereka harus lebih hati-hati. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan Rania, sang mama, dan yang lainnya.

Hari telah beranjak semakin malam. Namun Miranda belum bisa memejamkan matanya. Ia merindukan Alex. Ia merindukan belaiannya, juga sentuhannya yang membakar. Miranda mendesis. Ia cemburu setengah mati pada Rania, istri Alex. 'Alex pasti tengah bersama dengan Rania', ujar Miranda dalam hati. Nafsu setan telah memperdayainya. 

***

Rania mengamati Alex yang tengah tertidur lelap, selimutnya tersingkap separuh, sehingga nampaklah sebagian tubuhnya yang telanjang. Diakuinya, Alex memang bukan pria yang tampan menawan nan tajir, tapi Alex mempunyai daya magnet tersendiri bagi lawan jenisnya.

Tubuhnya atletis, berwajah manis, dalam tampilan yang sederhana namun menawan. Ia sopan dan supel. Inilah kelebihan Alex, yang kadang membuat Rania ketar-ketir, apalagi saat mereka tinggal berjauhan kemarin. Bisa saja kan, Alex tergoda dengan wanita lain. Ia paham, sebagai pria yang sudah menikah, ia mempunyai kebutuhan biologis yang harus dipenuhinya secara rutin. Dan saat menjalani LDR kemarin, ini menjadi masalah krusial bagi Rania. Ia jadi menomorduakan kepentingan Alex. Ia merasa telah menelantarkan Alex.

Tahun ini adalah tahun kedelapan usia pernikahan mereka. Dulu mereka terhitung menikah muda, Alex 24 tahun dan ia sendiri 23 tahun. Fresh graduate, wisuda langsung dilamar Alex. Sementara Alex sudah menjalani wisuda setahun sebelumnya, dan sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta. 

Setiap kali melihat pasangan suami istri yang tengah bercengkerama dengan anak-anaknya, hatinya selalu merasa teriris. Ia sudah menantikan buah hati selama delapan tahun ini, dan belum ada tanda-tanda datangnya keajaiban yang senantiasa ia nantikan siang dan malam.

'Seandainya saja aku sudah punya anak, tentu aku tak akan merasa sesepi ini", ucap Rania dalam hati. Sang bunda pun telah pergi meninggalkannya, sementara sang ayah berada di pulau seberang sana. Sekarang ia hanya punya Alex. Hanya Alex ....

Ketika Rania hendak beranjak dari ranjang, terdengar Alex membisikkan sebuah nama dalam tidurnya. Rania tertegun. Siapa Miranda? Kenapa Alex membisikkan nama itu dengan mesra? Apakah nama itu bermakna lebih bagi Alex? Apakah itu hanya sekedar igauan Alex semata?

Ada kecemburuan yang menyeruak pelan ke dalam hatinya. Dengan berjingkat-jingkat, ia memeriksa dompet dan saku celana Alex. Dibukanya laci lemari juga laci meja, tapi ia tak menemukan sesuatu pun. Ia membaui baju-baju Alex, tapi ia tak menemukan bau parfum merk lain. Rania menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa sangat konyol, karena telah mencurigai Alex bermain hati, hanya karena Alex menyebut perempuan lain dalam tidurnya.

Rania tidak tahu, bahwa saat itu Alex memang tengah bermimpi tentang Miranda. Bercinta dengan Miranda ....

Sore hari. Rania tengah duduk di teras, sambil membaca sebuah novel. Hari ini, Alex pulang larut malam. Lelaki itu sudah meminta izin padanya, tadi, sebelum berangkat kerja. 

"Hai, Mbak Rania. Lama sekali ya, gak kelihatan," sapa Mira pada Rania.

Rania mendongakkan kepalanya, mencari arah suara yang menyapanya.

"Eh, halo, Mbak Mira. Iya, saya baru semingguan ini di Jogja."

"Main dong ke rumah saya. Saya juga kesepian, anak-anak dah pada gede aja. Dah punya kesibukan masing-masing. Kadang keponakan saya yang di Magelang main ke sini sih, tapi dah beberapa bulan ini kok gak pernah ke sini lagi."

"Terimakasih, atas tawarannya, Mbak Mira, besok-besok saya ke situ deh," jawab Rania dengan sopan.

"Oke, deh. By the way, maaf ya, saya menyapa Mbak Rania lewat jendela dapur. Ini kebetulan lagi mau masak sih."

"Gak apa-apa, Mbak. Santai saja lah." Setelah Mira menutup jendela, Rania kembali menekuri bacaannya. Tapi ia sudah tak bisa fokus membaca. Pikirannya bercabang kemana-mana. Rania membanting novelnya di meja. Tiba-tiba ia marah. Tapi tak tahu kepada siapa kemarahan itu ia tujukan? Di kamarnya, Rania menangis tersedu-sedu. Ia merasa frustasi. 'Apa yang kau sembuyikan dariku, Alex?', ucapnya dalam hati.

Pukul tujuh malam, Rania dan Alex kembali bertemu. Di hotel yang sama, tempat mereka melepas kerinduan. Dari tempat parkir, mereka bergandengan tangan menuju lobi. Tak sekejap pun Alex melepaskan genggaman tangannya pada Miranda, hingga mereka masuk kamar.

Mereka saling bertatapan. Ada segunung kerinduan nampak di mata mereka. Miranda mengamati Alex. Sudah seminggu lebih ia tak berjumpa dengannya. Miranda berjalan mendekati Alex. Keduanya berpelukan, melepas rindu. 

Sesudah itu, Miranda tidak tahu siapa yang mulai lebih dulu. Ia hanya ingat, bahwa mereka saling membuka pakaian, dan tahu-tahu, mereka sudah berada di atas ranjang dan bercinta dengan menggebu-gebu. 

Mereka menghabiskan malam, dengan penuh keajaiban. Kebahagiaan yang dirasakan Miranda jauh melampaui kebahagiaan yang tergambar dalam kisah-kisah asmara maupun lagu-lagu cinta. Saat bersama dengan Alex, Miranda merasakan kebahagiaan yang hakiki. Ataukah kebahagiaan semu?

"Sudah pukul 12, Sayangku. Bangunlah!" Miranda menowel tubuh Alex dengan mesra. 

Ia sendiri sebenarnya merasa sedih, tidak bisa berlama-lama dengan Alex. Tapi bagaimanapun juga, mereka harus bermain dengan hati-hati, agar terhindar dari kecurigaan Rania, istri Alex.

"Bangun, Sayang. Jangan lupa mandi dulu." Miranda mengingatkan Alex, ketika lelaki itu sudah bangun.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Ada bauku di tubuhmu, Sayang ...." ujar Miranda kalem.

Alex tersipu. 

Pukul setengah satu lebih, mereka sudah berada di tempat parkir. Miranda tertunduk lesu. Ia selalu membenci saat-saat seperti ini.

"Jadi, kapan kita bisa bertemu lagi, Alex?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status