Sekitar pukul tiga sore, seusai ke kantor Notaris untuk penandatanganan pembelian Vila, Irwan kembaki ke Vila yang disewanya. Sebelum sampai di Vila, terdengar dering ponselnya. Melihat nama “Larasati” tertera di layar ponselnya, Irwan pun mematikan panggilan tersebut seraya menggerutu. “Dasar perempuan sialan! Kenapa sih, perempuan itu nggak ngerti juga apa yang aku katakan tempo hari.” Made Cenik yang mendengar lelaki tampan berusia 40 tahun yang menggerutu usai melihat seseorang yang menghubunginya, hanya bisa melirik dari kaca spion pada tengah mobilnya. Tak lama terdengar nada bip, pada ponselnya. Kembali Irwan meraih ponselnya dan membaca pesan tersebut. [Pesan masuk Larasati : Mas, tadi Ana jatuh dari tangga dan sekarang di Rumah Sakit] Membaca pesan singkat atas putrinya membuat Irwan langsung menghubungi wanita berumur 40 tahun tersebut. “Sekarang gimana kondisi Ana! Kamu memang nggak becus ngurus anakku! Kalau terjadi sesuatu dengan Ana ... Aku tak akan mengampunimu!”
Mobil yang membawa Elvira dan Irwan akhirnya sampai di sebuah hotel tempat awal Elvira menginap. Sebelum Elvira turun, Irwan yang sejak dalam perjalanan menuju Kuta lebih banyak terdiam dan tampak sibuk dengan gawainya, ikut turun dari mobil untuk mengantar Elvira masuk ke dalam lobby hotel tersebut. “Pak Made, tunggu di sini dulu, saya antar istri saya ke dalam,” pinta Irwan membohongi sopir taxi tersebut. “Siap, Pak! Uhm, maaf Pak, apa ibu akan pakai taxi saya untuk jalan-jalan selama di hotel ini?” tanya Made saat menjawab permintaan Irwan. “Rasanya nggak Pak Made. Hari ini tugas Bapak sampai antar saya ke Bandara aja. Soalnya ibu malas kemana-mana kalau nggak ada saya,” jawab Irwan dan tampak Made mengangguk sembari menurunkan koper dan beberapa oleh-oleh yang dibeli Elvira selama di Ubud. Irwan pun berjalan disisi Elvira sementara Made, sang sopir akhirnya membantu membawakan koper dan tas kanvas yang berisi oleh-oleh hingga ke dalam hotel. Sesampai di lobby, Irwan pun memeluk
Keesokan hari, pagi sekali sekitar pukul 7 pagi terlihat Gilang telah berada di hotel tersebut dan berbicara dengan bagian resepsionis di lobby hotel. “Pagi Pak, hari ini kamar atas nama Elvira Purnamasari akan check-out. Bisa minta tolong hubungi kamarnya? Dan sekalian saya minta Room boy untuk bantu bawa kopernya ke bawah,” pinta Gilang. “Baik Pak, tunggu sebentar, saya hubungi dulu,” jawab lelaki tersebut. Tak berapa lama, lelaki tersebut menghubungi Elvira dan meminta bagian Room boy untuk bantu membawakan kopernya. Berselang 10 menit kemudian, Elvira keluar dari lift dan mereka pun bertemu di lobby. “Vir ... kita pakai taxi diluar atau pakai mobil hotel?” tanya Gilang saat Elvira menanyakan tagihan makanan semalam serta minta bagian resepsionis untuk mencarikan satu mobil untuk membawanya ke Bandara, tanpa menggubris pertanyaan Gilang. “Bai Buu, ditunggu dulu sekitar sepuluh menit lagi. Mobil sedang disiapkan. Kalau boleh saya tahu, pukul berapa pesawat berangkat?” tanya bagi
Elvira yang mendengar percakapan diantara mereka hanya terdiam di kamar. Dirinya tak mampu keluar kamar usai rasa sedih berbalut emosi ada di hatinya. Hingga akhirnya, pembantu rumah tangga di rumah itu, Iyem diminta untuk memanggil Elvira untuk makan siang. Tok ... Tok ... “Neng Vira, Ibu ngajak makan siang,” panggil pembantu rumah tangga itu diluar pintu kamarnya. Dengan berat hati, Elvira pun menjawab, “Tadi saya udah makan di Bandara.” Setelah itu, bunyi bip pada ponsel Elvira membuat ia teringat pada mamanya. Dibaca pesan masuk dari Aprilia. [Pesan masuk mama : Vira, apa kamu sudah sampai? Apa jadi kamu ke rumah? Kalau emang nggak jadi, mama mau ke rumah adikmu] Elvira berkali-kali menarik napas panjang usai membaca pesan singkat Aprilia. Wanita cantik itu bingung untuk menentukan sikap. Apakah ia akan ke rumah mamanya atau tidak. “Ya Allah, sekarang aku harus bagaimana? Bingung jadinya,” Elvira bermonolog sambil memikirkan jalan keluar atas apa yang dihadapinya. Setelah b
Zuraida dan Syamsudin, adalah orang tua asuh yang mengambil Gilang dan Gempita sejak bayi. Sebelum dari itu, Zuraida adalah kembang desa yanv hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib dengan bekerja di sebuah pabrik dengan hanya berbekal kecantikan dirinya. Namun, kejamnya Ibu Kota dari pada ibu tiri membuat Zuraida yang ditipu oleh orang yang mengajak dirinya bekerja dari kampung dijebloskan langsung ke lokalisasi yang ada di bagian utara Jakarta, sedangkan Syamsudin sendiri adalah seorang lelaki yang mahir bela diri, karena selama di kampung, dia ikut pencak silat dan ketika di Jakarta dia direkrut untuk menjadi penjaga keamanan di daerah lokalisasi, tempat Zuraida bekerja. Gambaran kedua orang tua dari Gilang dan Gempita adalah, orang yang mengecap dunia hitam sejak mereka juga menginjakkan kakinya di Jakarta tanpa punya pendidikan. Zuraida dan Syamsudin mengambil kedua anak dari dua orang wanita pekerja malam, karena kedua wanita naas itu adalah anak buah dari Zuraida. Dimana saat it
Adik Elvira yang bernama Amelia Puspitasari datang bersama kedua anaknya. Dulu, Amelia menikah saat ia berusia 20 tahun dan suaminya Rifai berusia 25 tahun, kini usia Amelia telah 25 tahun dengan dua orang anak berusia 4 tahun dan 2 tahun. Rifai selain telah menjadi PNS, dia juga mempunyai rumah kos-kos’an hingga kehidupan mereka lebih makmur dibandingkan Elvira dan Ervan Dwi Prayoga, adik lelaki Elvira yang bekerja di sebuah Bank Swasta. “Gimana kak, rasanya menikah? Pasti lebih enak kan? Ada temen yang bisa di ajak ngobrol waktu mau tidur, ada yang di ajak berantem waktu kita bete dan ada yang disuruh-suruh waktu kita pengen sesuatu. Yaa, nggak?” tanya Amelia menggoda Elvira saat dilihat ada tanda kissmark di lehernya.“Biasa aja sih, lebih enak tinggal sendiri malah,” ucapnya keceplosan.Aprilia yang mendengar ucapan putrinya pun mengernyitkan dahinya dan melirik ke arah Elvira yang serius mengatakan apa yang terlanjur lepas dari bibirnya.“Vira, apa kalian baik-baik aja?” ta
Sementara itu di hari sebelumnya pada sebuah rumah mewah yang berada di Surabaya, Irwan yang telah pulang satu hari sebelum Elvira kembali ke Jakarta tengah membawa pulang putri tercintanya yang terjatuh saat anak itu tengah naik ke menuju tangga rumahnya dengan menggendong anak perempuan berusia lima tahun masuk ke dalam rumah diikuti oleh seorang wanita cantik bertubuh kurus. “Narti! Buatkan jus apel untuk Ana,” perintah Irwan pada salah seorang pelayan di rumah mewah itu. “Baik Tuan besar,” ucap Narti berjalan tergesa-gesa menuju dapur usai menyambut kedatangan Anastasia, Larasati dan Irwan dari Rumah Sakit, usai pelipis anak berusia lima tahun itu terluka. Mereka duduk pada ruang keluarga yang cukup besar, dengan bantal-bantal besar yang diletakan di bawah lantai marmer berselimut permadani berwarna biru muda. “Anak cantik Papa nanti minum jus dulu ya. Apa ini masih sakit?” tanya Irwan menunjuk bagian pelipis Anastasia yang dijahit. “Iya sakit ... tapi Papa jangan marah sama m
Elvira terbangun kala jam menunjukan pukul enam pagi. Bergegas ia ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan kembali bekerja di sebuah Rumah Sakit sebagai tenaga Akuntansi. Usai mandi, dilihatnya Gilang masih tidur di sebuah sofa panjang. Setelah memakai pakaian kerjanya, Elvira pun keluar kamar dan berpamitan pada Zuraida, sang mertua.“Pagi Buu ... saya berangkat kerja dulu,” izin Elvira pada Zuraida dan Syamsudin yang tengah duduk menikmati secangkir kopi di meja makan.“Kamu nggak sarapan dulu atau minum teh? Ini ada pisang goreng,” tanya Zuraida memandang Elvira telah rapi dan cantik dengan polesan minim di wajahnya.“Nggak, Buu. Nanti saja di kantor,” tuturnya tersenyum tipis dan membalikkan tubuhnya, kala jam menunjukkan pukul setengah tujuh.“Vira..!” panggil ZuraidaElvira pun menengok ke arah mertuanya dan berucap, ”Ya, ada apa Buu?” “Biasanya tanggal berapa kamu gajian?” tanya Zuraida santai.Elvira yang tidak paham dan bingung dengan pertanyaan yang tak pernah diba