로그인Sepulang sekolah, Arsen tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menuju jalan yang cukup ramai disana berdiri sebuah kafe bergaya bohemian, dengan lampu-lampu gantung berbentuk unik dan dinding berhiaskan mural penuh warna. Dari luar, Cafe itu tampak aesthetic, hangat, dan mengundang siapa pun untuk singgah.
Lost and Found Café. Begitu nama yang terpampang di papan kayu depan pintu masuk. Nama yang dipilih Arsen sendiri, terinspirasi dari perjalanan hidupnya, tentang kehilangan dan menemukan kembali bagian dirinya yang sempat hancur. Ya, Cafe itu adalah milik Arsen. Tempat yang ia bangun setahun lalu dengan kerja kerasnya. Modalnya sebagian besar dari tabungan, sebagian kecil lagi dari kartu berwarna hitam yang diberikan Damian untuk kebutuhan sehari-hari yang diam-diam ia sisihkan demi mewujudkan mimpinya. Sore itu, suasana Cafe sangat ramai. Beberapa meja penuh dengan pekerja yang sibuk mengetik di laptop, ada juga kelompok siswa berseragam yang baru pulang sekolah, bercengkerama dengan riang. Musik akustik mengalun pelan dari speaker, menambah hangat suasana. Biasanya, Arsen hanya sesekali membantu di balik layar. Tapi kali ini ia duduk di meja kasir. Karyawan tetap yang biasa bertugas sedang izin sebentar karena urusan mendadak di belakang. Arsen mengenakan apron hitam bertuliskan logo kafenya. Tangannya cekatan melayani antrean pelanggan, wajahnya tetap datar seperti biasa, meski beberapa pengunjung sempat memperhatikan ketampanannya. “Pesanan dua latte, satu red velvet, sama croissant ya, Mas.” Seorang gadis berseragam SMA memberikan senyuman canggung. Arsen hanya mengangguk, memasukkan data ke mesin kasir. “Total seratus dua puluh ribu. Pembayaran tunai atau QR?” suaranya terdengar singkat tapi jelas. Gadis itu mengangguk cepat sambil mengeluarkan ponselnya. Setelah transaksi selesai, ia kembali ke meja bersama teman-temannya, terlihat saling bisik-bisik sambil sesekali melirik ke arah kasir. Arsen tidak menggubris. Matanya lebih fokus pada antrean berikutnya. Baginya, kafe ini bukan sekadar bisnis. Tempat ini adalah rumah kedua ruang di mana ia bisa bernapas, bebas dari bayangan Damian, dan menjadi dirinya sendiri. Saat antrean mulai mereda, Arsen bersandar di kursinya, mengusap pelipis. Baru beberapa menit ia bisa menarik napas, ketika Haikal, Narenda, dan Arjuna tiba-tiba masuk. "Woy, Arsen!” seru Haikal sambil mengangkat tangan. Arsen hanya melirik sekilas. “Jangan berisik. Ini tempat umum, Kal." Narenda mendengus sambil tertawa kecil. “Lihat nih, bos muda kita sibuk banget. Dari main basket sore-sore, sekarang jadi kasir.” Arjuna menepuk meja kasir sambil berbisik, “Sen, serius deh. Lo anak SMA mana ada yang punya Cafe segede gini? Lo beneran bikin kita insecure.” Arsen mengangkat bahu, ekspresinya tetap datar. “Kalau lo rajin nabung dan nggak foya-foya, bisa aja.” “Yaelah, jangan nyindir,” keluh Haikal, membuat mereka bertiga tertawa. Hampir pukul 18.00 sore, pintu Cafe kembali terbuka. Seorang remaja laki-laki masuk dengan seragam sekolah yang berantakan. Wajahnya penuh luka lebam, sudut bibirnya pecah, dan memar tampak jelas di pipinya. Beberapa pengunjung yang sedang menikmati kopi dan makanan ringan sempat melirik, sebagian bahkan menatap dengan rasa heran bercampur tidak nyaman. Arsen yang sedang menjaga kasir otomatis menajamkan tatapannya. Ia mengenali sosok itu seketika. Kevin. Remaja yang beberapa waktu lalu sempat bersitegang dengannya kini muncul di sini. Luka-luka di wajah Kevin jelas bukan hal biasa. Namun lebih dari itu, tatapan Kevin tajam dan menusuk membuat suasana kafe mendadak dingin. Kevin melangkah perlahan mendekati kasir. Sepatu lusuhnya menyeret lantai kayu, menimbulkan bunyi samar yang membuat suasana makin menegang. Sesampainya di depan meja kasir, ia menatap Arsen lurus-lurus. “Jadi ini tempat lo kerja?” suaranya datar, nyaris tanpa ekspresi. Arsen balas menatap, sama dinginnya. “Kenapa? Lo mau ngapain di sini?” Kevin mendengus pendek, lalu menurunkan suaranya dengan nada sinis. “Gue pikir lo sibuk sekolah… sibuk belajar. Mana mungkin anak manja kayak lo kerja di tempat beginian.” Kata-kata itu membuat Arsen terdiam sepersekian detik. Anak manja. Itu kata yang menusuk, bukan karena benar, tapi karena jauh dari kenyataan hidupnya. Manja darimana?Ibunya entah pergi ke mana, dan Damian ayah yang seharusnya ada lebih sering memilih pekerjaannya ketimbang anaknya. Arsen menyipitkan mata, suaranya terdengar dingin, menahan emosi yang mulai mengalir. “Lo pikir gue nggak bisa kerja keras? Lo pikir semuanya selalu dikasih sama orang lain? Gue nggak kayak lo, Kev. Gue nggak hidup dari uang bokap gue. Gue bangun ini semua sendiri. Gue bukan anak manja. Justru lo yang manja, selalu ngandelin orang lain buat nutupin kelemahan lo.” Kevin terdiam sepersekian detik, lalu matanya menyala penuh amarah. “Lo nggak tahu apa-apa tentang gue, Sen! Jangan sok tau!” Suara Kevin cukup keras hingga membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka. Arsen menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan diri agar tidak meledak di depan umum. “Kalau lo cuma mau ribut, keluar. Gue nggak punya waktu buat drama lo di sini, Kev.” Kevin menggertakkan giginya. Jemarinya mengepal, lalu ia menghantam meja kasir dengan cukup keras. Beberapa gelas di rak bergetar, suara dentingnya membuat suasana kafe makin tegang. Tanpa menunggu reaksi Arsen, Kevin berbalik. Bahunya yang lebam tersenggol pintu saat ia keluar, tapi ia tak peduli. Pintu kafe tertutup cukup keras di belakangnya, meninggalkan keheningan yang kaku. Beberapa pengunjung yang sempat memperhatikan kini pura-pura kembali sibuk dengan makanan dan minumannya. Arsen hanya menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosi yang tadi hampir meledak. Tak lama, teman Arsen dari arah meja yang tak jauh dari sana mendekati Arsen Haikal, Naren, dan Arjuna. "Sen!” seru Haikal sambil melambai. “Gue liat tadi… itu Kevin kan? Ngapain dia disini?!” Arsen hanya menatap sekilas, lalu kembali menata struk di meja kasir. "Udah lewat. Nggak usah dibahas.” Naren mendekat, meletakkan tasnya di kursi dekat kasir. “Tapi kok dia babak belur gitu? Gue kira lo yang bikin, ternyata bukan?” tanyanya penasaran. Arsen mendengus pelan. “Bukan gue. Dan gue nggak peduli.” Arjuna ikut nimbrung, matanya berkilat ingin tahu. “Eh tapi sumpah, tadi auranya tegang banget. Gue kira lo bakal tonjok dia lagi di sini.” Haikal nyengir lebar, menepuk bahu Arsen. “Tenang aja, Sen. Kalau lo ribut lagi sama dia, kita bertiga siap jadi tim cheerleader lo kok.” Ucapan itu membuat Naren dan Arjuna spontan tertawa, meski Arsen hanya menggeleng pelan. Tapi sudut bibirnya sempat terangkat tipis nyaris tidak terlihat. “Kalian nyusahin aja.” gumamnya. "Nyusahin tapi setia. Beda tipis.” Arsen tak menjawab, hanya melanjutkan pekerjaannya. Tapi suasana Cafe yang tadinya tegang kini mencair dengan kehadiran ketiga sahabatnya itu. "Apa kamu....benci Daddy?"Arsen melaju dengan motor sport hitamnya, membelah jalanan sore yang mendung. Angin dingin menusuk, lalu tak lama hujan turun awalnya rintik, kemudian deras mengguyur tanpa ampun. Ia mengumpat pelan, lalu menepi ke sebuah halte kecil di pinggir jalan. Dari sela hujan deras, ia baru sadar halte itu ternyata sudah ada penghuninya. Seorang gadis duduk di bangku halte, rambut panjangnya terurai dengan pita sederhana di samping. “Hei, Kamu, kehujanan ya?” sapanya dengan suara ringan. Arsen menoleh, sedikit heran karena gadis asing itu langsung bicara padanya. “Iya.” Gadis itu tersenyum, menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. “Untung ada halte, ya. Kalau nggak, bisa bubar jalan.” Arsen hanya melirik sebentar, kemudian duduk dengan jarak agak jauh, memilih diam. “Aku Isla,” katanya sambil merapikan pita di rambutnya. “Kamu?” Arsen agak kaku, melepas jaket kulitnya yang basah kuyup. “Arsen.” Isla tersenyum puas, seolah nama itu penting sekali. “Arsen, ya? Nama kamu ke
Isla menghela napas kesal, lalu melempar ponselnya sembarangan. Ia pun menjatuhkan tubuhnya sendiri ke kasur, menenggelamkan wajah ke bantal, selimut tebal sudah membungkus sebagian tubuhnya. Di luar, hujan deras mengguyur. Rintik-rintiknya menabrak kaca jendela, seolah ikut mempertegas suasana murung di kamarnya. Padahal sore tadi, Kanaya sempat mengajaknya pergi ke perayaan ulang tahun kakaknya. Namun kenyataannya? Ia terjebak di kamar, sendirian, dengan mood berantakan. Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit pelan. Isla sempat mengerut kesal, tapi rasa jengkelnya sedikit mereda ketika melihat sosok yang muncul di ambang pintu. Elvano. Sepupunya itu masuk dengan ekspresi santai, memeluk erat sebuah toples camilan seolah itu barang berharga. “Lo ngapain bawa-bawa itu ke sini?” tanya Isla malas. Elvano menutup pintu dengan kakinya. “Ya buat lo, lah. Gue kira lo lagi butuh temen. Katanya lo lagi bete, kan?” "Terus apa hubungannya camilan sama bete gue?” Isla mendengus, menar
Damian berdiri tegak, tubuh tegapnya disandarkan sedikit pada pagar besi balkon. Di tangannya ada segelas kopi hitam yang sudah kehilangan sebagian panasnya. Besok pagi, pesawat akan membawanya terbang ke benua lain. Perjalanan bisnis yang akan mengikatnya selama dua bulan penuh, jauh dari rumah, jauh dari putra semata wayangnya. Damian tahu, meninggalkan bisnis berarti risiko besar, tapi meninggalkan anaknya… entah kenapa terasa lebih berat sekarang. Suara langkah mendekat terdengar dari dalam kamar. “Daddy manggil aku?” suara itu datar, tak berintonasi. Arsen. Remaja itu melangkah santai ke balkon, dengan pakaian rumah yang sederhana. Ia langsung menarik kursi dan duduk di samping Damian. “Kamu udah tahu dari Om Kenzo, kan? Kalau Daddy harus pergi keluar negeri buat urusan bisnis?” tanyanya pelan. Arsen hanya mengangguk, ekspresinya datar. “Udah. Om Kenzo yang bilang.” Damian melirik sekilas dari ujung matanya. Ia takut menatap mata putranya langsung. “Kamu nggak
Sepulang sekolah, Arsen tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menuju jalan yang cukup ramai disana berdiri sebuah kafe bergaya bohemian, dengan lampu-lampu gantung berbentuk unik dan dinding berhiaskan mural penuh warna. Dari luar, Cafe itu tampak aesthetic, hangat, dan mengundang siapa pun untuk singgah. Lost and Found Café. Begitu nama yang terpampang di papan kayu depan pintu masuk. Nama yang dipilih Arsen sendiri, terinspirasi dari perjalanan hidupnya, tentang kehilangan dan menemukan kembali bagian dirinya yang sempat hancur. Ya, Cafe itu adalah milik Arsen. Tempat yang ia bangun setahun lalu dengan kerja kerasnya. Modalnya sebagian besar dari tabungan, sebagian kecil lagi dari kartu berwarna hitam yang diberikan Damian untuk kebutuhan sehari-hari yang diam-diam ia sisihkan demi mewujudkan mimpinya. Sore itu, suasana Cafe sangat ramai. Beberapa meja penuh dengan pekerja yang sibuk mengetik di laptop, ada juga kelompok siswa berseragam yang baru pulang sekolah, bercengkerama
"Arsen, Om tahu kamu pasti punya alasan kenapa mukul temanmu,” ucap seorang pria berjas hitam di samping remaja laki-laki yang bernama Arsenio Nathan Wiratama Arsen menoleh sekilas, tatapannya datar. "Aku pukul dia karena dia ngebully temennya sendiri. Aku cuma nggak suka lihat orang sok berkuasa apalagi di lingkungan sekolah.” Suaranya terdengar dingin, tanpa ekspresi. Keduanya berjalan beriringan hingga langkah mereka terhenti di parkiran sekolah, dipenuhi deretan mobil dan motor mewah. Pria berjas tadi bernama Kenzo. Kenzo datang sesuai perintah Demian - ayah Arsen, karena pihak sekolah menelepon mengenai pemukulan yang dilakukan oleh anaknya. “Kamu mau ikut Om ke kantor Daddy atau balik ikut pelajaran?” tanya Kenzo hati-hati pasalnya Arsen sangat sensitif jika berbicara tentang Daddy nya. Arsen menyunggingkan senyum miris. “Kalau ikut Om juga percuma. Daddy pasti tetap cuekin aku.” Ucapannya terdengar sarkastis, menusuk. Kenzo hanya terdiam, menahan helaan napas. Ia







