Share

3.

Penulis: Raffarania
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 11:47:10

Damian berdiri tegak, tubuh tegapnya disandarkan sedikit pada pagar besi balkon. Di tangannya ada segelas kopi hitam yang sudah kehilangan sebagian panasnya.

Besok pagi, pesawat akan membawanya terbang ke benua lain. Perjalanan bisnis yang akan mengikatnya selama dua bulan penuh, jauh dari rumah, jauh dari putra semata wayangnya.

Damian tahu, meninggalkan bisnis berarti risiko besar, tapi meninggalkan anaknya… entah kenapa terasa lebih berat sekarang.

Suara langkah mendekat terdengar dari dalam kamar.

“Daddy manggil aku?” suara itu datar, tak berintonasi.

Arsen.

Remaja itu melangkah santai ke balkon, dengan pakaian rumah yang sederhana. Ia langsung menarik kursi dan duduk di samping Damian.

“Kamu udah tahu dari Om Kenzo, kan? Kalau Daddy harus pergi keluar negeri buat urusan bisnis?” tanyanya pelan.

Arsen hanya mengangguk, ekspresinya datar. “Udah. Om Kenzo yang bilang.”

Damian melirik sekilas dari ujung matanya. Ia takut menatap mata putranya langsung. “Kamu nggak apa-apa kalau Daddy tinggal selama itu?” tanyanya hati-hati.

Arsen tersenyum miring. “Pergi aja. Lagian Daddy juga pernah ninggalin Arsen sebulan, berbulan-bulan… bahkan bertahun-tahun juga pernah.”

Kata-kata itu menusuk Damian lebih dalam daripada pisau. Kata-kata yang lirih itu seakan membuka luka lama yang berusaha ia kubur.

Hubungan mereka memang canggung. Tidak dekat, tidak juga sepenuhnya jauh. Lebih tepatnya asing. Walau tinggal serumah, jarang sekali mereka benar-benar mengobrol santai seperti ini. Bahkan, malam ini pun terasa aneh bagi Damian.

“Apa kamu nggak mau ikut sama Daddy?” tawar Damian memberanikan diri menatap mata hitam putranya.

Arsen menoleh sebentar, lalu kembali memandang kota. Diam. Beberapa detik berlalu, kemudian kepalanya menggeleng pelan. “Aku nggak mau ikut sama Daddy. Ngapain aku ikut-ikutan?” suaranya ketus, dingin.

“Kamu beneran mau di sini sendiri?” Damian mencoba lagi.

Arsen menoleh, menatap sang ayah dengan sorot yang sulit dijelaskan. “Arsen udah sering ditinggal sama Daddy. Ditinggal dua bulan bukan masalah besar.”

Jawaban itu begitu datar, tapi justru di situlah letak sakitnya. Damian membeku. Ia merasa seperti seorang ayah yang tak pernah benar-benar hadir. Anak itu menyimpan semua luka, semua kecewa, semua rasa asing dan Damian kalah tak berkutik.

Dalam hati, Damian menyesali banyak hal. Ia terlalu sibuk dengan bisnis. Sejak lama ia memilih pekerjaan sebagai pelarian, mengubur rasa bersalah atas perpisahannya dengan ibu Arsen. Semua waktu, semua kesempatan untuk bersama anaknya, terlewat begitu saja.

Kini, anak itu tumbuh menjadi remaja yang dingin, keras, dan menyimpan jarak.

“Arsen…” Damian akhirnya memecah hening. Suaranya terdengar berat, seakan ada batu besar di tenggorokannya.

“Hm?” sahut Arsen malas.

“Apa kamu… benci Daddy?”

Pertanyaan itu membuat Arsen terdiam. Remaja itu menoleh, menatap ayahnya sejenak, lalu tersenyum miring lagi. “Kalau aku benci, aku nggak akan duduk di sini, Daddy.”

Jawaban yang singkat, ambigu, tapi cukup untuk membuat Damian menahan napas. Ada sedikit harapan di sana, meski samar.

Damian mengangguk pelan, lalu kembali menatap kota. “Daddy minta maaf. Karena sering nggak ada buat kamu.”

Arsen tidak menjawab. Ia hanya menunduk, memainkan jarinya sendiri.

"Besok pagi Daddy pergi,” ucapnya. “Tapi Daddy janji… setelah pulang nanti, Daddy akan luangin waktu buat kamu. Bener-bener waktu yang nggak akan diganggu kerjaan.”

Arsen menoleh lagi, kali ini tanpa senyum sinis. “Daddy yakin bisa?”

Pertanyaan itu terdengar seperti tantangan. Damian menarik napas panjang. “Yakin. Daddy harus bisa.”

Hening.

“Dad, kalau aku ambil kedokteran atau arsitektur… gimana?” tanyanya hati-hati, seolah sedang mengukur reaksi ayahnya.

Damian menoleh, menatap putranya sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan. Jawabannya singkat, dingin, tanpa memberi ruang untuk diskusi.

“No.”

Satu kata itu cukup untuk membuat Arsen menatapnya datar. Ada rasa tak percaya bercampur kecewa di sorot matanya. “Kenapa?” tanyanya, nada suaranya meninggi sedikit.

Damian menghela napas, lalu meneguk kopi hitamnya sebelum menjawab. “Karena kamu harus lanjutkan bisnis Daddy. Kamu satu-satunya penerus Daddy.”

Kalimat itu meluncur dengan datar, seakan sebuah keputusan yang tak bisa diganggu gugat.

Arsen tertawa kecil, getir. “Daddy nggak bisa gini. Nggak semuanya harus Daddy yang atur. Aku punya pilihan sendiri, dan Daddy… Daddy nggak pantas buat atur-atur hidup aku.”

Tatapannya menusuk, penuh luka dan perlawanan.

Damian terdiam. Hatinya bergolak, tapi wajahnya tetap keras. “Arsen,” panggilnya, kali ini lebih tegas. “Kamu pikir Daddy bangun semua ini buat siapa? Semua keringat, semua waktu Daddy habiskan untuk apa? Untuk kamu. Supaya kamu nggak perlu susah.”

“Tapi aku nggak minta itu, Dad!” potong Arsen cepat, suaranya meninggi. “Aku nggak minta semua ini. Aku cuma mau hidup aku sendiri, pilih jalan aku sendiri. Kenapa Daddy nggak pernah bisa lihat itu?”

Hening kembali jatuh, tapi kali ini terasa mencekik. Damian menatap anaknya remaja dengan tatapan keras kepala, tapi juga penuh luka yang ia sendiri ciptakan.

Damian merasa benar-benar ditantang. Damian menatap putranya lama, seakan ingin memastikan apa benar kalimat barusan keluar dari mulut Arsen. Hatinya panas, tapi ada bagian dalam dirinya yang sekaligus merasa bersalah.

“Arsen,” suaranya berat, sedikit bergetar. “Kamu nggak ngerti sekarang. Tapi nanti… kamu akan sadar. Semua ini, bisnis, kerja keras Daddy, itu bukan cuma tentang uang. Itu tentang warisan. Tentang nama keluarga kita.”

Arsen menggeleng keras. “Nggak, Dad. Itu tentang ego Daddy. Tentang keinginan Daddy sendiri, bukan aku. Aku nggak peduli soal nama besar atau bisnis. Aku cuma mau hidup aku sendiri!”

Suara Arsen meninggi, hampir berteriak, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Damian berdiri dari kursinya, kini tubuh tegapnya menjulang di depan putranya. “Jangan kurang ajar sama Daddy!” bentaknya. “Kamu pikir semua orang bisa seenaknya pilih hidup? Dunia ini nggak seindah itu. Kalau kamu bukan bagian dari bisnis ini, kamu bukan siapa-siapa!”

Kata-kata itu seperti petir yang menghantam dada Arsen. Ia menatap ayahnya dengan tatapan kosong, sakit hati, dan marah bercampur jadi satu.

“Jadi gitu?” ucap Arsen pelan, tapi nadanya penuh getir. “Kalau aku nggak nurut, aku bukan siapa-siapa di mata Daddy?”

Damian terdiam, menyadari kalimatnya barusan terlalu tajam. Tapi sebelum sempat menarik kembali ucapannya, Arsen sudah melangkah mundur.

"Terima kasih, Dad.” Senyum tipis lebih mirip ejekan menghiasi wajah remaja itu. “Sekarang aku tahu posisi aku di hidup Daddy.”

Arsen berbalik, melangkah cepat.

“Arsen! Tunggu....” Damian mencoba menahan, tapi terlambat. Pintu kamar dibanting keras, meninggalkan Damian sendiri.

“Pak Damian, waktunya berangkat.”

Damian mengangguk, tapi matanya terus menatap pintu rumah. Setelah pertengkarannya tadi malam, Arsen belum keluar dari kamar sama sekali. Ia berharap Arsen muncul, sekadar mengucapkan selamat jalan.

Tapi pintu itu tetap tertutup.

Dengan langkah berat, Damian masuk ke dalam mobil. Hatinya tertinggal di rumah, bersama anak yang bahkan tak mau melihatnya pergi.

Di balik jendela kamar lantai dua, Arsen berdiri. Tangannya menggenggam gorden, menatap mobil hitam itu menjauh.

"Aku beneran nggak butuh Daddy…” bisiknya lirih, seolah meyakinkan diri sendiri dengan suara bergetar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Takdir Yang Memisahkan    5

    Arsen melaju dengan motor sport hitamnya, membelah jalanan sore yang mendung. Angin dingin menusuk, lalu tak lama hujan turun awalnya rintik, kemudian deras mengguyur tanpa ampun. Ia mengumpat pelan, lalu menepi ke sebuah halte kecil di pinggir jalan. Dari sela hujan deras, ia baru sadar halte itu ternyata sudah ada penghuninya. Seorang gadis duduk di bangku halte, rambut panjangnya terurai dengan pita sederhana di samping. “Hei, Kamu, kehujanan ya?” sapanya dengan suara ringan. Arsen menoleh, sedikit heran karena gadis asing itu langsung bicara padanya. “Iya.” Gadis itu tersenyum, menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. “Untung ada halte, ya. Kalau nggak, bisa bubar jalan.” Arsen hanya melirik sebentar, kemudian duduk dengan jarak agak jauh, memilih diam. “Aku Isla,” katanya sambil merapikan pita di rambutnya. “Kamu?” Arsen agak kaku, melepas jaket kulitnya yang basah kuyup. “Arsen.” Isla tersenyum puas, seolah nama itu penting sekali. “Arsen, ya? Nama kamu ke

  • Takdir Yang Memisahkan    4.

    Isla menghela napas kesal, lalu melempar ponselnya sembarangan. Ia pun menjatuhkan tubuhnya sendiri ke kasur, menenggelamkan wajah ke bantal, selimut tebal sudah membungkus sebagian tubuhnya. Di luar, hujan deras mengguyur. Rintik-rintiknya menabrak kaca jendela, seolah ikut mempertegas suasana murung di kamarnya. Padahal sore tadi, Kanaya sempat mengajaknya pergi ke perayaan ulang tahun kakaknya. Namun kenyataannya? Ia terjebak di kamar, sendirian, dengan mood berantakan. Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit pelan. Isla sempat mengerut kesal, tapi rasa jengkelnya sedikit mereda ketika melihat sosok yang muncul di ambang pintu. Elvano. Sepupunya itu masuk dengan ekspresi santai, memeluk erat sebuah toples camilan seolah itu barang berharga. “Lo ngapain bawa-bawa itu ke sini?” tanya Isla malas. Elvano menutup pintu dengan kakinya. “Ya buat lo, lah. Gue kira lo lagi butuh temen. Katanya lo lagi bete, kan?” "Terus apa hubungannya camilan sama bete gue?” Isla mendengus, menar

  • Takdir Yang Memisahkan    3.

    Damian berdiri tegak, tubuh tegapnya disandarkan sedikit pada pagar besi balkon. Di tangannya ada segelas kopi hitam yang sudah kehilangan sebagian panasnya. Besok pagi, pesawat akan membawanya terbang ke benua lain. Perjalanan bisnis yang akan mengikatnya selama dua bulan penuh, jauh dari rumah, jauh dari putra semata wayangnya. Damian tahu, meninggalkan bisnis berarti risiko besar, tapi meninggalkan anaknya… entah kenapa terasa lebih berat sekarang. Suara langkah mendekat terdengar dari dalam kamar. “Daddy manggil aku?” suara itu datar, tak berintonasi. Arsen. Remaja itu melangkah santai ke balkon, dengan pakaian rumah yang sederhana. Ia langsung menarik kursi dan duduk di samping Damian. “Kamu udah tahu dari Om Kenzo, kan? Kalau Daddy harus pergi keluar negeri buat urusan bisnis?” tanyanya pelan. Arsen hanya mengangguk, ekspresinya datar. “Udah. Om Kenzo yang bilang.” Damian melirik sekilas dari ujung matanya. Ia takut menatap mata putranya langsung. “Kamu nggak

  • Takdir Yang Memisahkan    2.

    Sepulang sekolah, Arsen tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menuju jalan yang cukup ramai disana berdiri sebuah kafe bergaya bohemian, dengan lampu-lampu gantung berbentuk unik dan dinding berhiaskan mural penuh warna. Dari luar, Cafe itu tampak aesthetic, hangat, dan mengundang siapa pun untuk singgah. Lost and Found Café. Begitu nama yang terpampang di papan kayu depan pintu masuk. Nama yang dipilih Arsen sendiri, terinspirasi dari perjalanan hidupnya, tentang kehilangan dan menemukan kembali bagian dirinya yang sempat hancur. Ya, Cafe itu adalah milik Arsen. Tempat yang ia bangun setahun lalu dengan kerja kerasnya. Modalnya sebagian besar dari tabungan, sebagian kecil lagi dari kartu berwarna hitam yang diberikan Damian untuk kebutuhan sehari-hari yang diam-diam ia sisihkan demi mewujudkan mimpinya. Sore itu, suasana Cafe sangat ramai. Beberapa meja penuh dengan pekerja yang sibuk mengetik di laptop, ada juga kelompok siswa berseragam yang baru pulang sekolah, bercengkerama

  • Takdir Yang Memisahkan    1.

    "Arsen, Om tahu kamu pasti punya alasan kenapa mukul temanmu,” ucap seorang pria berjas hitam di samping remaja laki-laki yang bernama Arsenio Nathan Wiratama Arsen menoleh sekilas, tatapannya datar. "Aku pukul dia karena dia ngebully temennya sendiri. Aku cuma nggak suka lihat orang sok berkuasa apalagi di lingkungan sekolah.” Suaranya terdengar dingin, tanpa ekspresi. Keduanya berjalan beriringan hingga langkah mereka terhenti di parkiran sekolah, dipenuhi deretan mobil dan motor mewah. Pria berjas tadi bernama Kenzo. Kenzo datang sesuai perintah Demian - ayah Arsen, karena pihak sekolah menelepon mengenai pemukulan yang dilakukan oleh anaknya. “Kamu mau ikut Om ke kantor Daddy atau balik ikut pelajaran?” tanya Kenzo hati-hati pasalnya Arsen sangat sensitif jika berbicara tentang Daddy nya. Arsen menyunggingkan senyum miris. “Kalau ikut Om juga percuma. Daddy pasti tetap cuekin aku.” Ucapannya terdengar sarkastis, menusuk. Kenzo hanya terdiam, menahan helaan napas. Ia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status