Share

Chapter 4 : Cousin

Setelah sekitar tiga puluh menit berada di kafe, Haris dan Marsha akhirnya pulang. Mereka segera meninggalkan kafe dan Haris mengantarkan Marsha ke rumahnya. Tidak butuh waktu yang lama, sekitar sepuluh menit mereka sudah sampai di depan rumah Marsha. Terdapat mobil terparkir di depan rumahnya.

“Saudaramu udah dateng tuh,” ucap Haris ketika motornya sudah berhenti di depan rumah Marsha.

Marsha mengangguk lalu turun dari motor Haris, “Aku pulang duluan, ya, Ris. Thanks buat hari ini.”

No problem, Babe. Buruan masuk udah ditungguin sama si Peter.” Marsha tertawa dan tersenyum kepada Haris.

“Aku pulang dulu, ya.” Haris menyalakan motornya dan segera meninggalkan rumah Marsha kemudian ia melambaikan tangannya kepada Haris.

Marsha kemudian bergegas masuk ke dalam rumah dan sudah ada dua orang dengan kulit putih pucat serta rambut kecoklatan. Pasti mereka adalah saudaranya. Ibunya, Indah, menyadari kehadiran anaknya tersebut segera menghampiri Marsha. Ia membawa Marsha kepada dua orang paruh baya yang sedang duduk di sofa dan mengobrol dengan ayah Marsha.

“Ini nih yang kalian tunggu-tunggu malah baru pulang,” ucap Indah. Marsha pun ikut duduk di sebelah ibunya. Ia membungkuk dan bersalaman dengan paman dan bibinya.

“Udah besar aja, ya, Marsha. Terakhir kita ke sini kamu masih bayi loh,” ucap bibi Irene. Mendengar ucapan bibinya membuat Marsha hanya tersenyum malu.

“Dulu kita pernah ke sini sama Peter juga loh, Sha. Kamu masih inget nggak sama Peter?” Sekarang giliran paman Sam yang berbicara. Marsha hanya menggelengkan kepalanya. Jujur saja, Marsha tidak mengingat wajah sepupunya sama sekali.

“Terus Peter sekarang ada di mana, Om?” tanya Marsha karena ia belum bertemu dengan sepupunya itu. Ia penasaran dengannya.

“Ada di kamarmu. Tadi dia kecapekan di perjalanan makanya Mama suruh Peter istirahat. Coba kamu susulin, siapa tau dia udah bangun,” ujar Indah. Marsha mengangguk dan pamit menuju ke kamarnya untuk menemui Peter sekaligus membersihkan diri.

Marsha beranjak ke kamarnya yang ada di lantai atas. Terlihat bahwa pintu kamarnya tertutup. Ia membuka pintu kamarnya secara perlahan karena takut membangunkan sepupunya. Ketika pintu dibuka, ternyata terlihat Peter yang sedang duduk di meja belajar milik Marsha sembari membaca buku. Menyadari kehadiran Marsha, ia segera menutup buku yang sedang dibacanya dan beralih menatap Marsha.

“Peter, ya?” tanya Marsha canggung.

Peter mengangguk, “Marsha?” tanyanya. Marsha pun ikut mengangguk dan berjalan mendekati sepupunya.

Hey long time no see, girl. I mean, I have never meet you before,” sapa Peter. Ia kemudian memeluk Marsha. Marsha kaget namun ia baru menyadari bahwa berpelukan adalah hal biasa bagi orang Eropa seperti Peter.

We have. A long time ago. But we don’t know our face each other right?” ucap Marsha membenarkan. Karena memang benar jika mereka sebelumnya pernah bertemu. Namun, itu sudah sangat lama sehingga mereka berdua tidak mengenal wajah satu sama lain.

Peter hanya tertawa mendengar ucapan sepupunya itu, “Yes, you are right. Thanks for correcting me.

Peter kemudian melanjutkan ucapannya, “How are you? You look so beautiful my cousin.” Marsha yang dipuji oleh Peter hanya tersenyum malu.

I’m good. How are you, Peter?” Marsha ikut berbicara dengan bahasa Inggris karena ia pikir Peter tidak bisa berbahasa Indonesia.

Don’t worry, I can speak Indonesian, Marsha. Kabarku sangat baik, aku sangat senang bisa ke Indonesia dan bertemu denganmu.” Peter tersenyum.

“Kok bisa bahasa Indonesia?” tanya Marsha kaget. Setahunya, Peter sejak kecil sudah berada di Swiss dan pastinya tidak ada yang menggunakan bahasa Indonesia di sana. Namun, ia terkejut karena ternyata sepupunya ini cukup fasih berbahasa Indonesia.

Peter menjelaskan bahwa saat di Swiss ia juga bersekolah di sekolah khusus warga negara Indonesia. Oleh karena itu, sehari-hari ia pun menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan teman-temannya di sana juga orang Indonesia. Yang berbeda hanyalah ia tingal di Swiss, sisanya seperti orang Indoneisa kebanyakan.

Suasana di kamar Marsha saat ini sangat canggung karena mereka berdua belum pernah mengobrol sebelumnya. Marsha lupa jika ia belum mengganti seragamnya. Ia kemudian pamit kepada Peter untuk membersihkan diri. Peter mengangguk dan mempersilakan Marsha untuk membersihkan diri.

Sembari menunggu Marsha selesai, Peter beranjak ke meja belajar Marsha lagi. Ia melanjutkan membaca buku yang ada di meja Marsha, tepatnya buku tentang anatomi tubuh manusia. Peter menebak jika sepupunya ini akan melanjutkan kuliahnya ke sekolah kedokteran. Meskipun mereka berdua jarang bertemu, Peter akan merasa sangat bangga ketika melihat mimpi sepupuya. Ia yakin jika sepupunya ini memiliki ambisi yang besar untuk masuk di sekolah kedokteran.

Beberapa menit kemudian, Marsha datang dengan pakaiannya yang sudah berganti menjadi kaus oblong dan celana tidur. Ia segera menghampiri Peter yang masih sibuk membaca buku milik Marsha.

“Peter ngapain?” tanya Marsha. Peter yang sadar jika Marsha sudah datang segera menutup buku yang sedang ia baca.

“Eh, Marsha. Lagi baca-baca bukumu nih. By the way, kamu mau lanjut ke kedokteran, ya?” tanya Peter to the point. Marsha mengangguk.

“Keren, Sha. Semangat terus, ya, belajarnya,” ucap Peter mengacungkan jempol kepada Marsha dan ia pun mengacungkan jempol kembali kepada sepupunya, “Kamu juga, Peter.”

“Eh, Sha, usiamu sekarang berapa tahun?” tanya Peter. Sepertinya ia juga berusaha menghilangkan suasana canggung dengan Marsha.

“Tujuh belas tahun. Bukannya kita juga seumuran, ya?” Ayahnya pernah bilang kepada Marsha bahwa sepupunya itu memiliki usia yang sama dengannya. Namun, Peter lahir tiga bulan sebelum Marsha.

“Tua aku tiga bulan, Sha. Hehehe.” Peter tertawa. Marsha terkesima dengan wajah tampan milik sepupunya. Ternyata ia punya sepupu yang tidak kalah tampan dari kekasihnya.

“Pasti tadi kamu habis pacaran, ya? Siapa nama pacarmu?” tukas Peter secara tiba-tiba.

“Kok kamu bisa tau?” Marsha kaget saat Peter berkata seperti itu. Bagaimana ia bisa tahu kalau Marsha baru saja pergi dengan Haris?

“Kan tadi aku lihat dari jendela, Sha.” Oh iya, Marsha lupa jika di kamarnya ada jendela yang langsung menghadap jalanan, pantas saja Peter bisa tahu.

“Iya, Peter. Tadi itu pacarku. Ganteng, kan?” ucap Marsha dengan percaya diri memamerkan kekasihnya yang tampan.

Peter tampak berpikir sejenak, “Nggak kelihatan sih dari mukanya, soalnya dia pake helm. Tapi kalau dibandingin sama aku sih, kayaknya gantengan aku, hahaha.” Marsha tidak menyangka jika sepupunya ini memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Namun, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa sepupunya juga tampan.

“Kalau kamu udah punya pacar belum, Peter?” tanya Marsha kepo. Apa mungkin sepupunya ini yang tampan belum memiliki kekasih. Pasti perempuan di Swiss banyak yang mendambakan Peter.

“Enggak, aku nggak tertarik sama yang namanya pacaran, Sha,” jawabnya. Ternyata sepupunya yang tampan ini masih single.

“Padahal kamu ganteng loh, kok nggak mau pacaran?” Bisa dibilang kali ini Marsha sangat mencampuri urusan sepupunya itu. Ia heran mengapa sepupunya yang tampan itu tidak ingin memiliki kekasih. Jika membuka pendaftaran untuk menjadi kekasih Peter, pasti sudah ada ribuan perempuan yang mengantre untuk mendaftar.

“Ya nggak mau aja, belum ada perempuan yang cocok sama aku,” ucapnya.

“Mau aku cariin nggak? Temen-temenku banyak yang masih jomblo, loh,” tawar Marsha dan hanya dibalas tawaan Peter.

“Boleh deh, nanti kalau ada yang cocok kabarin aku, ya.” jawab Peter. Tidak terasa sudah hampir satu jam Marsha dan Peter berbincang. Ternyata Peter adalah laki-laki yang ramah dan easy going. Marsha sangat nyaman saat mengobrol dengan sepupunya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status