Setelah sekitar tiga puluh menit berada di kafe, Haris dan Marsha akhirnya pulang. Mereka segera meninggalkan kafe dan Haris mengantarkan Marsha ke rumahnya. Tidak butuh waktu yang lama, sekitar sepuluh menit mereka sudah sampai di depan rumah Marsha. Terdapat mobil terparkir di depan rumahnya.
“Saudaramu udah dateng tuh,” ucap Haris ketika motornya sudah berhenti di depan rumah Marsha.
Marsha mengangguk lalu turun dari motor Haris, “Aku pulang duluan, ya, Ris. Thanks buat hari ini.”
“No problem, Babe. Buruan masuk udah ditungguin sama si Peter.” Marsha tertawa dan tersenyum kepada Haris.
“Aku pulang dulu, ya.” Haris menyalakan motornya dan segera meninggalkan rumah Marsha kemudian ia melambaikan tangannya kepada Haris.
Marsha kemudian bergegas masuk ke dalam rumah dan sudah ada dua orang dengan kulit putih pucat serta rambut kecoklatan. Pasti mereka adalah saudaranya. Ibunya, Indah, menyadari kehadiran anaknya tersebut segera menghampiri Marsha. Ia membawa Marsha kepada dua orang paruh baya yang sedang duduk di sofa dan mengobrol dengan ayah Marsha.
“Ini nih yang kalian tunggu-tunggu malah baru pulang,” ucap Indah. Marsha pun ikut duduk di sebelah ibunya. Ia membungkuk dan bersalaman dengan paman dan bibinya.
“Udah besar aja, ya, Marsha. Terakhir kita ke sini kamu masih bayi loh,” ucap bibi Irene. Mendengar ucapan bibinya membuat Marsha hanya tersenyum malu.
“Dulu kita pernah ke sini sama Peter juga loh, Sha. Kamu masih inget nggak sama Peter?” Sekarang giliran paman Sam yang berbicara. Marsha hanya menggelengkan kepalanya. Jujur saja, Marsha tidak mengingat wajah sepupunya sama sekali.
“Terus Peter sekarang ada di mana, Om?” tanya Marsha karena ia belum bertemu dengan sepupunya itu. Ia penasaran dengannya.
“Ada di kamarmu. Tadi dia kecapekan di perjalanan makanya Mama suruh Peter istirahat. Coba kamu susulin, siapa tau dia udah bangun,” ujar Indah. Marsha mengangguk dan pamit menuju ke kamarnya untuk menemui Peter sekaligus membersihkan diri.
Marsha beranjak ke kamarnya yang ada di lantai atas. Terlihat bahwa pintu kamarnya tertutup. Ia membuka pintu kamarnya secara perlahan karena takut membangunkan sepupunya. Ketika pintu dibuka, ternyata terlihat Peter yang sedang duduk di meja belajar milik Marsha sembari membaca buku. Menyadari kehadiran Marsha, ia segera menutup buku yang sedang dibacanya dan beralih menatap Marsha.
“Peter, ya?” tanya Marsha canggung.
Peter mengangguk, “Marsha?” tanyanya. Marsha pun ikut mengangguk dan berjalan mendekati sepupunya.
“Hey long time no see, girl. I mean, I have never meet you before,” sapa Peter. Ia kemudian memeluk Marsha. Marsha kaget namun ia baru menyadari bahwa berpelukan adalah hal biasa bagi orang Eropa seperti Peter.
“We have. A long time ago. But we don’t know our face each other right?” ucap Marsha membenarkan. Karena memang benar jika mereka sebelumnya pernah bertemu. Namun, itu sudah sangat lama sehingga mereka berdua tidak mengenal wajah satu sama lain.
Peter hanya tertawa mendengar ucapan sepupunya itu, “Yes, you are right. Thanks for correcting me.”
Peter kemudian melanjutkan ucapannya, “How are you? You look so beautiful my cousin.” Marsha yang dipuji oleh Peter hanya tersenyum malu.
“I’m good. How are you, Peter?” Marsha ikut berbicara dengan bahasa Inggris karena ia pikir Peter tidak bisa berbahasa Indonesia.
“Don’t worry, I can speak Indonesian, Marsha. Kabarku sangat baik, aku sangat senang bisa ke Indonesia dan bertemu denganmu.” Peter tersenyum.
“Kok bisa bahasa Indonesia?” tanya Marsha kaget. Setahunya, Peter sejak kecil sudah berada di Swiss dan pastinya tidak ada yang menggunakan bahasa Indonesia di sana. Namun, ia terkejut karena ternyata sepupunya ini cukup fasih berbahasa Indonesia.
Peter menjelaskan bahwa saat di Swiss ia juga bersekolah di sekolah khusus warga negara Indonesia. Oleh karena itu, sehari-hari ia pun menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan teman-temannya di sana juga orang Indonesia. Yang berbeda hanyalah ia tingal di Swiss, sisanya seperti orang Indoneisa kebanyakan.
Suasana di kamar Marsha saat ini sangat canggung karena mereka berdua belum pernah mengobrol sebelumnya. Marsha lupa jika ia belum mengganti seragamnya. Ia kemudian pamit kepada Peter untuk membersihkan diri. Peter mengangguk dan mempersilakan Marsha untuk membersihkan diri.
Sembari menunggu Marsha selesai, Peter beranjak ke meja belajar Marsha lagi. Ia melanjutkan membaca buku yang ada di meja Marsha, tepatnya buku tentang anatomi tubuh manusia. Peter menebak jika sepupunya ini akan melanjutkan kuliahnya ke sekolah kedokteran. Meskipun mereka berdua jarang bertemu, Peter akan merasa sangat bangga ketika melihat mimpi sepupuya. Ia yakin jika sepupunya ini memiliki ambisi yang besar untuk masuk di sekolah kedokteran.
Beberapa menit kemudian, Marsha datang dengan pakaiannya yang sudah berganti menjadi kaus oblong dan celana tidur. Ia segera menghampiri Peter yang masih sibuk membaca buku milik Marsha.
“Peter ngapain?” tanya Marsha. Peter yang sadar jika Marsha sudah datang segera menutup buku yang sedang ia baca.
“Eh, Marsha. Lagi baca-baca bukumu nih. By the way, kamu mau lanjut ke kedokteran, ya?” tanya Peter to the point. Marsha mengangguk.
“Keren, Sha. Semangat terus, ya, belajarnya,” ucap Peter mengacungkan jempol kepada Marsha dan ia pun mengacungkan jempol kembali kepada sepupunya, “Kamu juga, Peter.”
“Eh, Sha, usiamu sekarang berapa tahun?” tanya Peter. Sepertinya ia juga berusaha menghilangkan suasana canggung dengan Marsha.
“Tujuh belas tahun. Bukannya kita juga seumuran, ya?” Ayahnya pernah bilang kepada Marsha bahwa sepupunya itu memiliki usia yang sama dengannya. Namun, Peter lahir tiga bulan sebelum Marsha.
“Tua aku tiga bulan, Sha. Hehehe.” Peter tertawa. Marsha terkesima dengan wajah tampan milik sepupunya. Ternyata ia punya sepupu yang tidak kalah tampan dari kekasihnya.
“Pasti tadi kamu habis pacaran, ya? Siapa nama pacarmu?” tukas Peter secara tiba-tiba.
“Kok kamu bisa tau?” Marsha kaget saat Peter berkata seperti itu. Bagaimana ia bisa tahu kalau Marsha baru saja pergi dengan Haris?
“Kan tadi aku lihat dari jendela, Sha.” Oh iya, Marsha lupa jika di kamarnya ada jendela yang langsung menghadap jalanan, pantas saja Peter bisa tahu.
“Iya, Peter. Tadi itu pacarku. Ganteng, kan?” ucap Marsha dengan percaya diri memamerkan kekasihnya yang tampan.
Peter tampak berpikir sejenak, “Nggak kelihatan sih dari mukanya, soalnya dia pake helm. Tapi kalau dibandingin sama aku sih, kayaknya gantengan aku, hahaha.” Marsha tidak menyangka jika sepupunya ini memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Namun, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa sepupunya juga tampan.
“Kalau kamu udah punya pacar belum, Peter?” tanya Marsha kepo. Apa mungkin sepupunya ini yang tampan belum memiliki kekasih. Pasti perempuan di Swiss banyak yang mendambakan Peter.
“Enggak, aku nggak tertarik sama yang namanya pacaran, Sha,” jawabnya. Ternyata sepupunya yang tampan ini masih single.
“Padahal kamu ganteng loh, kok nggak mau pacaran?” Bisa dibilang kali ini Marsha sangat mencampuri urusan sepupunya itu. Ia heran mengapa sepupunya yang tampan itu tidak ingin memiliki kekasih. Jika membuka pendaftaran untuk menjadi kekasih Peter, pasti sudah ada ribuan perempuan yang mengantre untuk mendaftar.
“Ya nggak mau aja, belum ada perempuan yang cocok sama aku,” ucapnya.
“Mau aku cariin nggak? Temen-temenku banyak yang masih jomblo, loh,” tawar Marsha dan hanya dibalas tawaan Peter.
“Boleh deh, nanti kalau ada yang cocok kabarin aku, ya.” jawab Peter. Tidak terasa sudah hampir satu jam Marsha dan Peter berbincang. Ternyata Peter adalah laki-laki yang ramah dan easy going. Marsha sangat nyaman saat mengobrol dengan sepupunya itu.
Epilog: The Good EndingTidak ada yang pernah menduga tentang takdir seseorang. Haris dan Marsha yang sudah menjadi sepasang kekasih sejak SMA ternyata benar-benar menjadi sepasang kekasih yang melanjutkan sampai di pelaminan. Marsha yang awalnya berpikir akan berakhir menikah dengan Felix pun ternyata salah. Setelah semua masa lalu kelam dan pedih yang Marsha alami, ia akan tetap kembali kepada Haris. Sejauh apa pun Marsha berlari, Tuhan akan selalu berusaha untuk mempertemukan mereka berdua. Seperti yang disebut dengan takdir, Haris dan Marsha adalah sebuah takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan tidak bisa diganggu gugat.Sama seperti Marsha, Felix yang awalnya mengira bahwa Marsha adalah takdirnya ternyata salah besar. Sejauh apa pun Felix berusaha untuk meraih Marsha, pria itu tetap tidak bisa menggapainya. Cinta yang Felix pendam sejak pertama kali bertemu dengan Marsha pada kenyataannya tidak akan pernah bisa terbalaskan. Walaupun pada
Waktu hanya tinggal tersisa dua hari lagi menuju hari bahagia. Segala persiapan sudah Marsha dan Haris lakukan. Mereka berdua berhasil menyiapkan pernikahan hanya dalam rentang waktu satu minggu saja. Tentu saja, mereka berdua tidak melakukannya sendiri. Haris dan Marsha dibantu oleh masing-masing kedua orangtua mereka dan juga sahabat serta teman dekat mereka. Namun, sebelum itu, Marsha harus membatalkan segala proses di Swiss yang pada awalnya akan menjadi hari penikahan Marsha dan Felix. Akan tetapi, ternyata segala urusan tersebut sudah diselesaikan oleh Felix seorang diri.Salah satu rekan kantor Felix, Juan, kemarin menelepon Marsha secara mendadak. Pria itu berkata bahwa seluruh proses yang sudah disiapkan mulai dari gedung, peralatan, gaun dan jas, serta wedding organizer sudah dibatalkan oleh Felix. Karena pembatalan tersebut Marsha dan Felix harus merelakan biaya yang cukup banyak yang mereka gunakan sebagai modal pernikahan. Namun, sayangnya yang membuat Marsha kec
Setelah sekian lama berusaha untuk menghilang dan bersembunyi dari orang-orang yang dikenal, Marsha akhirnya memberanikan diri untuk kembali terbang ke negara tempat di mana ia lahirkan, Indonesia. Marsha berangkat kembali menuju ke Indonesia bersama dengan Willy dan Haris yang siap mendampingi kapan pun dan di mana pun ia berada. Marsha awalnya menolak mentah-mentah ketika Haris mengajaknya untuk kembali ke Indonesia. Namun, perlahan demi pasti, akhirnya Haris berhasil membujuk wanita itu agar mau kembali ke Indonesia untuk bertemu sahabat dan teman-temannya terutama kedua orangtuanya.Siang ini, pesawat yang Marsha, Haris, dan Willy naiki sudah mendarat di bandara internasional Indonesia. Haris menggenggam tangan Marsha sambil menggendong Willy dan mengajak mereka untuk segera keluar dari bandara. Tujuan pertama mereka adalah apartemen milik Haris. Tentu saja, Marsha masih belum siap jika setelah ini ia langsung bertemu dengan kedua orangtuanya setela
Hingga sampai pagi ini, Marsha masih belum mendapatkan kabar apa pun dari Felix. Ia sudah berulang kali memberikan pesan dan menelepon kepada Felix tetapi hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban apa pun. Bahkan ketika Marsha berusaha untuk menanyakan Felix melalui Juan, pria itu tidak bisa memberitahunya. Padahal, Marsha sudah memilih gaun pengantin untuk dirinya dan juga jas tuksedo untuk Felix di butik fitting kemarin. Marsha sudah bersusah payah untuk memilih jas tuksedo yang cocok digunakan untuk Felix. Ia takut jika jas tuksedo yang dipilihnya tidak sesuai dengan selera pakaian Felix.Saat ini, Marsha sedang merapikan pakaian di lemarinya sembari membersihkan kamarnya yang terlihat berantakan. Sekitar tiga puluh menit yang lalu, Marsha sudah mengantarkan Willy ke sekolah dan ia akan menjemputnya kembali pada pukul sebelas siang nanti. Sebenarnya hari ini adalah jadwal Marsha dan Felix untuk bertemu dengan agen wedding organizer yang sudah mereka pilih untuk menentukan tem
Hari ini adalah jadwalnya bagi Marsha dan Felix untuk melakukan fitting gaun pengantin untuk Marsha dan jas tuksedo untuk Felix. Wanita itu sudah siap dengan dirinya setelah selesai mengantarkan Willy ke sekolah. Akan tetapi, sejak tadi malam Marsha tidak mendapatkan kabar dari Felix. Pria itu tidak membalas pesan dari Marsha sejak sore hari kemarin. Hal itu pun membuat jadwal perjanjian mereka dengan butik untuk melakukan fitting diundur. Marsha sendiri sudah berusaha untuk menghubungi Felix berulang kali tetapi hingga sampai saat ini ia tidak mendapatkan balasan apa pun.Apakah Felix marah dengan Marsha karena sikap anehnya kemarin? Marsha bisa menebak akan hal itu karena perubahan sikap Felix tepat setelah mereka selesai membeli cincin pernikahan. Felix bahkan tidak mengajaknya berbicara terlalu sering saat mereka berdua berada di dalam mobil. Karena hal itulah Marsha akhirnya berusaha untuk menghilangkan mood buruk dan mengalahkan rasa egonya demi mengajak Felix mengobrol
Ternyata, hari itu adalah pertemuan terakhir Haris dan Marsha. Setelah bertemu dan berbincang dengan Felix di kafetaria hotel, Haris memutuskan untuk pulang kembali ke Jerman pada esok hari. Pria itu benar-benar sudah merelakan Marsha demi kebahagiaan wanita itu sendiri. Haris tidak boleh egois, bukan hanya dia lah yang menderita selama ini. Akan tetapi, Marsha ternyata lebih menderita darinya. Oleh karena itu, Haris sudah merelakan Marsha kepada Felix dan berharap mereka berdua akan menjalankan hidup yang harmonis.Setelah pertemuan Haris dan Felix di kafetaria, mereka berdua kembali menjadi akrab seperti dahulu. Baik Haris maupun Felix, mereka berdua meminta maaf satu sama lain atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Felix meminta maaf karena tidak memberitahu tentang Marsha selama ini kepada Haris sedangkan Haris meminta maaf karena tadi ia memukul Felix sampai berdarah dengan penuh emosi. Pada saat itu pun mereka mulai bertukar tentang banyak cerita. Pertemanan mereka y