"Anna, apa kamu serius?"
Andre Blanchet membuka mulut, membuat suasana semakin tegang. Matanya menatap tajam pada sosok Anna, bibirnya tersenyum tipis.
Meskipun Anna tampak tenang saat menatap Andre Blanchet. Sebenarnya, saat ini ia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Hal itu terjadi secara tiba-tiba, bersamaan pada saat Andre mengucapkan kalimat itu dan menatapnya dirinya tajam.
"Tuan Andre, anda seharusnya mengerti bahwa saya tidak menghendaki pertunangan ini," jelas Anna serius serta hati-hati.
"Dan kamu seharusnya mengerti bahwa sebelumnya aku tidak mengerti tentang ini." Andre mendengus. "Sekarang, wajahku harus di taruh ke mana? Jika kedua kakakku sampai tahu, mereka pasti tidak akan pernah berhenti menertawai diriku."
Anna sedikit mengerutkan kening. "Saya akan menyelesaikan masalah ini menggunakan nama saya."
"Kenapa kamu begitu keras kepala? Kamu pasti mengetahui keuntungan yang akan di dapat Gracias Company jika menerima pertunangan ini dan apa yang akan terjadi jika menyinggung Blanchet Company!" Andre menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Tentu Anna tahu perusahaannya tidak sebanding dengan Blanchet Company, perusahaan fashion terkenal di dunia. Oleh karena itu, bagaimana pun caranya (kecuali menikahinya) ia harus bisa menenangkan anak ketiga pemilik perusahaan raksasa tersebut.
"Saya minta maaf, saya akan menyelesaikan semua masalah ini secepatnya."
Di tatap tajam oleh seorang Andre Blanchet membuat Anna begitu kelelahan. Tubuhnya sedari tadi tegang, keringat dingin sepertinya sudah membasahi punggungnya. Anna benar-benar tidak menyukai situasi ini, ingin sekali ia pergi dari hadapan pria itu tapi ia harus menahannya atau situasinya akan bertambah buruk.
Merasakan tekad besar Anna untuk menolak dirinya, Andre menghela napas, tampak kecewa. Wajahnya perlahan menjadi santai, mengakibatkan Anna yang tegang menjadi santai juga. Berbeda dengan ayahnya yang duduk di samping Andre, ekspresinya tetap berapi-api menahan amarah. Anna pura-pura mengabaikannya.
"Baiklah, sepertinya keputusanmu sudah final. Aku minta maaf karena sudah bersikap menyebalkan," ucap andre, lesu. Mendengar itu membuat Anna senang namun dia harus bersikap seperti biasa saja.
Tiba-tiba saja Glen Gracias membentak putrinya, Anna Gracias. Rupanya dia sudah tidak dapat menahan amarahnya.
"ANNA! KAMU MENOLAK KEP-"Tangan Andre langsung menggenggam pergelangan tangan Glen dengan erat, membuat ucapannya berhenti lalu menatap Andre bingung. Anna sudah dapat menebak apa yang akan di ucapkan Ayahnya. Jadi sebelumnya, ia sudah bersiap menerima segala hujatan dari ayahnya tapi tetap saja hujatan itu tetap akan menyakitinya.
"Tuan Gracias, tidak apa-apa. Aku sudah menerima keputusannya," ungkap Andre sembari tersenyum. Glen Gracias menatap Andre selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali duduk. Anna melihat semua itu, diam.
Andre berdiri, bersiap pergi. Tangannya mengambil sesuatu entah dari mana, sebuah kotak berbentuk hati berwarna merah muda dengan pita.
"Sebagai permintaan maaf, mohon terima sekotak coklat ini. Aku tahu pasti ada banyak pria yang akan memberimu coklat di hari valentine ini tapi aku ingin kamu menerima coklatku untuk yang pertama kali."
Mendengar suara lembut pria itu, mau tak mau Anna harus menerimanya atau itu akan menyinggung harga diri pria itu lalu menyebabkan masalah yang baru saja selesai akan kembali muncul.
"Terima kasih." Anna tersenyum, menerima sekotak coklat itu dari tangan Andre.
"Sama-sama. Tapi bisa tidak, jangan bersikap terlalu formal kepadaku. Kita sudah mengenal sejak setahun yang lalu!" Andre berharap.
"Akan saya usahakan," ujar Anna membuat Andre menggeleng pelan kepalanya.
"Sebenarnya aku masih belum menerima kamu menolakku. Tapi, ya sudahlah. Aku jadi penasaran kamu akan menikah dengan siapa," ungkap Andre, santai. Kemudian balik kanan dan berjalan pergi meninggalkan apartemen Anna. Sebelum dirinya meninggalkan ruangan, Andre mengingatkan Anna kembali untuk menyelesaikan masalah barusan.
Sekarang, didalam ruangan hanya terdapat Anna dan Ayahnya yang siap melontarkan kata-kata kasar kepada Anna, layaknya bom yang pemicunya telah di tarik.
"KAMU! ANAK DURHAKA! BERANI KAMU MELAWAN AYAHMU!" ujar Glen penuh penekanan.
Anna diam, menatap ayahnya yang sudah berdiri sambil menunjuk Anna menggunakan jari telunjuknya. Sebelumnya, ayahnya menahan diri karena dia takut kepada Andre Blanchet. Anna juga takut, bukan karena status atau kekayaan, itu jenis ketakutan yang lain.
"BICARA! KAMU MERENDAHKANKU, HAH!"
Brak!
Glen mencampakkan meja di hadapannya lalu mendekati Anna, memegang erat kerah bajunya. Coklat pemberian Andre yang telah di letakkan Anna di atas meja ikut terbanting namun kondisi luarnya tampak masih bagus.
"BICARA! BICARA! BICARA!" teriak Ayahnya sembari menarik dan mendorong kerah bajunya. Anna menatap dingin ayahnya lalu dengan tangan kecilnya, ia menggenggam pergelangan tangan ayahnya, mencoba melepaskan pegangan ayahnya pada kerah bajunya.
"KAMU BERANI TIDAK MENURUTI PERKATAANKU! KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB SEUMUR HIDUPMU! KAMU SUDAH MENGHANCURKAN HIDUPKU! MILA! LYDIA! SEMUANYA!"
"DIAM! KAMU BUKAN AYAHKU! AYAHKU SUDAH MATI!" Anna akhirnya berteriak, ia tidak tahan mendengar perkataan ayahnya barusan.
Sekuat tenaga, Anna melepaskan pegangan kedua tangan ayahnya kemudian mendorongnya menjauh. Napas Anna menjadi kacau sedangkan ayahnya terdiam menatap tangannya yang telah di tepis.
"Kamu berani melawanku? KAMU BERANI MELAWANKU SETELAH SEMUA YANG KAMU LAKUKAN!" Seru marah ayahnya, serak dan melengking. Kini membuat Anna takut.
Plak!
Tangan kanan ayahnya melayang, menampar pipi Anna yang putih. Tamparan keras itu mengakibatkan Anna tersungkur sambil memegang pipi kirinya yang merah keunguan. Darah perlahan keluar dari hidungnya, bibir bagian kirinya juga tampak sedikit hancur.
Anna menatap kosong ayahnya yang masih teriak-teriak tidak jelas di hadapannya. Telinganya saat ini sudah tidak dapat lagi mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya. Tanpa sadar seutas senyum merekah di wajahnya.
Mendadak Anna menggertakkan giginya lalu berdiri dan berlari menuju lantai dua. Glen mengejar namun tidak berhasil. Anna sudah masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Kini suara ayahnya kembali terdengar.
Di balik pintu, terlihat Anna duduk membelakangi ayahnya yang mencoba mendobrak pintu sambil teriak-teriak lantas tidak berhasil.
Kedua kakinya menekuk rapat dengan perutnya sedangkan kedua tangannya tampak menutupi wajahnya yang menunduk. Matanya memerah tampak menahan air mata. Anna tidak ingin menangis.
"BENAR! KAMU SUDAH MEMBUNUHKU! KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB! KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB! SEUMUR HIDUPMU! KAMU TIDAK BOLEH BEBAS! KAMU TIDAK BOLEH BAHAGIA! MENDERITALAH! MENDERITALAH! MENDERITALAH!"
"...."
Tak lama setelah itu Anna menghubungi rumah sakit jiwa dan mereka segera datang untuk menenangkan ayahnya.
***
Kembali ke masa sekarang.
Anna memijat pelipisnya, kepalanya terasa pening sekali. Setelah selesai berurusan dengan ayahnya, ia masih harus pergi bekerja sekaligus menyelesaikan masalah yang di sebabkan ayahnya kepada Andre Blanchet.
"Apa aku harus menikah?" tanya Anna dalam hati.
Jika Anna menikah, apakah ayahnya akan berhenti mengganggu dirinya? Anna tahu ayahnya memaksanya menikah dengan pria kaya karena pria itu pasti menjanjikan harta kepada ayahnya.
Anna menghela napas kemudian mengelus pipinya, yang masih memiliki bekas tamparan. Ayahnya memang sering berteriak dan memaki-maki dirinya sehingga Anna sudah terbiasa. Tapi tamparan itu, Anna tidak akan pernah terbiasa.
"Siapa pria yang bisa kunikahi?"
"Ann, apa kamu tahu mengapa kamu lahir di hari spesial ini?" tanya seorang perempuan dengan lembut, wajahnya tampak ditutupi awan tebal."Karena aku suka coklat!" jawab Anna kecil yang baru berusia lima tahun."Bukan." Perempuan itu tertawa pelan. "Karena kamu lahir untuk dicintai.""Dicintai?" tanya Anna kecil polos."Jika dimasa depan nanti kamu merasakan pahitnya dunia, sampai-sampai kamu merasa setiap bagian dari dirimu hancur. Ingatlah, pasti ada seseorang yang akan datang melindungimu. Inilah sumpah kakakmu."***"Siapa pria yang bisa kunikahi?"Pikiran Anna pertama kali tertuju pada pria-pria yang memberinya coklat pada hari romantis ini. Apakah Anna harus menikah dengan seorang Andre Blanchet? Dibanding dengan pria lainnya, Anna memang cukup mengenal sosok Andre Blanchet dengan baik.Namun Anna segera mengenyahkan pikiran itu dari dalam kepalanya. Tidak peduli sebaik dan seramah apa perlakuan seo
Suara desahan yang begitu menggoda keluar dari mulut seorang Anna. Di tengah jalan, di bawah sinar redup lampu jalan, Anna duduk dengan posisi kedua kakinya menekuk. Di bawah efek obat-obatan itu, tubuh Anna terasa layaknya terbakar, membuat pikirannya menjadi gila hingga menyebabkan dirinya berpikir yang tidak-tidak.Kulit putih pada sekujur tubuhnya sudah sepenuhnya memerah, napasnya juga kian tidak beraturan. Kini ia sudah melupakan semua tentang dirinya maupun semua masalah yang mengganggu dirinya. Bahkan, dia sudah melupakan para pria berengsek yang telah membuat dirinya menjadi seperti ini.Sekarang, yang terpenting baginya hanyalah memenuhi nafsu yang sudah tidak dapat ia tahan. Ia sudah tidak peduli saat ini sedang berada di tengah jalan. Tangan kanannya kini sudah terangkat guna meremas buah dadanya sedangkan tangan kirinya sudah menyelip masuk ke dalam celana dan mengelus sesuatu diantara kedua pahanya. Tidak terasa air matanya perlahan jatuh memb
Sinar mentari kekuningan merambat masuk melalui atap-atap kecil berwarna putih kekuningan. Di sekitarnya, atap-atap yang terbuat dari bahan logam telah berkarat hingga memiliki lubang-lubang kecil sebagai celah bagi titik-titik cahaya mentari untuk masuk.Suasana remang dan sekumpulan titik-titik cahaya yang menyinari kedua insan yang masih terlelap itu tidak sedikitpun menggagu mereka. Tanpa terasa sang surya telah berada di puncak tertingginya.Ruangan dalam kamar itu kecil. Dinding bercat putih telah luntur termakan waktu. Xavie segera membuka mata siang itu dengan mata penuh kabut, digosok-gosoknya kedua matanya kemudian membangunkan setengah badan telanjangnya yang terlihat jelas otot-otot perut sixpack-nya, dada bidang, dan bahu lebar. Tampak sangat atletis.Selimut tipis berwarna coklat menutupi bagian bawah tubuhnya yang juga telanjang. Ketika tangan kirinya bergerak menyentuh alas guna menyeimbangkan posisi tubuhnya, terdengar juga terasa ku
Namun hal itu tidak berlangsung lama sebab Anna segera mendorong tubuh Xavie kemudian mundur selangkah. Xavie tampaknya tidak terganggu dengan hal itu. Ketika Xavie masih terfokus memandang mata abu-abu milik wanita di hadapannya, Anna tanpa pikir panjang langsung menampar pipi Xavie dengan sekuat tenaga. Plak! Suara tamparan itu berdengung di telinga mereka berdua. "Wow, tamparan yang bagus." Xavie mengabaikan komentar Anaemia yang ada di dalam kepalanya, saat ini ia masih memerhatikan mata milik wanita di hadapannya. Bahkan tamparan keras itu, yang membuat telinganya sampai berdengung kelihatannya tidak Xavie pedulikan. Melihat mata abu-abu itu membuat Xavie merasakan sesuatu yang aneh, tidak diketahui. Akibatnya, Xavie akhirnya mengingat memori yang sangat ingin ia lupakan. Dalam ingatannya, langit berwarna hitam dan merah. Xavie berdiri di padang bunga berwarna warni memandang seorang wanita, wanita yang memiliki warna mata yang sama d
Di suatu daerah yang di padati perumahan padat, saling berdempetan. Sebuah bangunan tua setinggi lima lantai berdiri di tengah-tengahnya. Dari lantai atas bangunan itu, hamparan atap rumah terlihat seperti laut, tidak terukur.Angin menerpa tubuh Anna, mengakibatkan rambut hitamnya melambai-lambai tidak karuan. Di lantai paling atas dari bangunan tua itu, Anna berdiri tegak di tepinya sembari menundukkan kepala. Tatapannya kosong saat melihat jalanan di bawah.Dalam pikirannya, Anna bertanya-tanya, apakah ia akan mati jika melompat dari ketinggian ini? Memikirkan itu menyebabkan Anna tersenyum tipis, sebuah senyum yang ia buat-buat untuk menguatkan dirinya."Seharusnya aku melakukan ini dari dulu," ucap Anna dalam hati lalu dengan perlahan melangkahkan kakinya ke depan, ke sebuah angin. Setiap melidetik yang berlalu, debaran jantung Anna semakin meningkat.Anna tidak dapat menyangkal bahwa seluruh tubuhnya sekarang gemetaran. Tetap
Hari ini seharusnya menjadi hari senin yang terik di Kota Carson negara bagian Nevada karena matahari bersinar sepanjang siang, tetapi kemudian gerimis turun di sore hari dan hingga sekarang masih belum berhenti. Jam di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul delapan malam. Havard Heiberg tampak fokus berlari melewati beberapa lorong kecil tetapi getaran dari ponsel yang ada di sakunya mengakibatkan Havard berhenti lalu mengambil ponsel dan menerima panggilan yang masuk ke ponselnya."Dilitiriódis petaloúda skarfaloméni se éna maraméno louloúdi, " ucap Havard datar, uap hangat mengepul keluar dari mulutnya."Dilitiriódis petaloúda skarfaloméni se éna maraméno louloúdi," balas orang di balik telepon, suaranya terdengar seperti suara perempuan."Ada apa?" tanya Havard tanpa basa-basi.Dari dalam teleponnya, Havard dapat mendengar suara seorang wanita y
Dalam pandangannya yang berkabut, samar-samar Xavie dapat melihat keadaan lingkungannya yang kacau. Rumah, toko, gedung, bahkan bangunan pencakar langit, semuanya roboh dan tenggelam ke dalam tanah. Akibatnya, kematian terjadi di seluruh penjuru kota. Di sekitarnya, Xavie melihat banyak mayat manusia yang mati dengan sangat mengenaskan. Rata-rata tertimbun bangunan yang hancur, tetapi dalam kondisi yang berbeda-beda. Ada beberapa yang anggota tubuhnya tercerai berai, ada yang kepalanya pecah, ada yang isi perutnya tumpah, dan banyak lagi yang mati dengan mengerikan seperti itu. Hanya sedikit orang yang mati dalam kondisi utuh. Beberapa masih hidup namun dalam kondisi kritis, artinya sebentar lagi mereka juga akan mati. Seorang anak perempuan berumur delapan tahun, satu-satunya manusia yang Xavie lihat masih hidup dan sadar sekarang sedang menangis. Sekujur tubuhnya di peduhi memar dan luka-luka berdarah, terlebih kedua kakinya yang hancur. Sambil menyerer
Pintu terbuka, seorang berjas rapi memasuki ruangan. Orang itu adalah Andre Blanchet. Kurang dari lima belas menit lagi rapat akan segera di laksanakan, tetapi pria merepotkan yang sangat tak ingin Anna temui kini masuk ke ruangannya. Seperti biasa, Andre terlihat tampan dengan gaya fashion formal yang terlihat elegan. berbeda dengan Anna yang memakai kemeja putih polos, Wajahnya yang selalu tanpa emosi menggunakan make up tipis sedangkan rambutnya diikat cepol, sangat fresh dan sederhana. "Maaf atas kedatanganku yang tiba-tiba, apakah aku mengganggumu?" Andre berjalan mendekati Anna lalu duduk di kursi depan mejanya, berhadapan dengan Anna. "Tentu tidak Tuan Andre," jawab Anna sambil tersenyum, seperti saat bertemu klien-klien penting. Mendengar itu, ujung bibir Andre terangkat. "Apakah Tuan memiliki kepentingan dengan saya," tanya Anna sebagai formalitas. Anna tahu, tentu saja ada! baru dua hari yang lalu Andre melamarnya unt