"Ann, apa kamu tahu mengapa kamu lahir di hari spesial ini?" tanya seorang perempuan dengan lembut, wajahnya tampak ditutupi awan tebal.
"Karena aku suka coklat!" jawab Anna kecil yang baru berusia lima tahun.
"Bukan." Perempuan itu tertawa pelan. "Karena kamu lahir untuk dicintai."
"Dicintai?" tanya Anna kecil polos.
"Jika dimasa depan nanti kamu merasakan pahitnya dunia, sampai-sampai kamu merasa setiap bagian dari dirimu hancur. Ingatlah, pasti ada seseorang yang akan datang melindungimu. Inilah sumpah kakakmu."
***
"Siapa pria yang bisa kunikahi?"
Pikiran Anna pertama kali tertuju pada pria-pria yang memberinya coklat pada hari romantis ini. Apakah Anna harus menikah dengan seorang Andre Blanchet? Dibanding dengan pria lainnya, Anna memang cukup mengenal sosok Andre Blanchet dengan baik.
Namun Anna segera mengenyahkan pikiran itu dari dalam kepalanya. Tidak peduli sebaik dan seramah apa perlakuan seorang Andre Blanchet kepada dirinya, Anna tetap tidak bisa menyukainya.
"Tapi selain dia." Anna berpikir keras, mencari tahu informasi mengenai pria-pria yang dekat dengan dirinya namun hasilnya nihil, Anna tidak memiliki hubungan dekat dengan lelaki manapun.
Anna menghela napas, sedikit kesal. Selain rekan bisnis, Ia tidak memiliki orang yang benar-benar dekat dengan dirinya selain satu orang, itu pun perempuan.
"Apa sih yang sedang kupikirkan." Anna langsung tersadar bahwa dia telah membuang waktu dengan memikirkan hal-hal konyol seperti itu. Baginya yang terpenting saat ini adalah memajukan perusahaannya.
Ruangan itu hening, dua pelanggan telah beranjak pergi meninggalkan Anna dan satu pelanggan lainnya. Melihat itu, Anna melirik jam tangan kecil yang terpasang di pergelangan tangan kirinya, waktu telah menunjukkan pukul sebelas lewat lima puluh lima malam. Berarti Anna telah berada di dalam bar ini selama lima belas menit.
Merasa sudah kemalaman, Anna segera berdiri dan berterimakasih kepada bartender itu, tidak lupa juga ia menitip salam kepada Tuan Angelo kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Namun ketika kaki kanannya keluar dari ruangan itu, Anna seketika merasakan kepalanya di masuki ribuan jarum, sakit sekali. Tubuhnya terhuyung-huyung lalu dengan sigap tangan kanannya mencengkeram sudut pintu itu.
"Apa yang terjadi?" Anna bertanya tanya dalam hati sembari memijat pelipisnya. Tidak lama, jawaban atas pertanyaan itu langsung muncul.
Dari belakang, Anna mendengar suara kedua pria tertawa pelan diikuti suara langkah kaki. Anna menoleh dan melihat bartender muda itu bersama dengan satu pelanggan yang tersisa tengah tersenyum sembari menatap Anna dengan tatapan bejat.
Tidak perlu dijelaskan, Anna sudah mengetahui situasinya sekarang. Akan tetapi, ia tidak menyangka bartender muda yang adalah keponakan pak tua yang baik itu memilili sifat yang sangat menyimpang seperti ini.
"Tidak kusangka efek obat itu lama sekali aktifnya. Aku hampir saja berpikir salah memasukkan obat." Kata-kata itu meluncur dari mulut bartender muda itu tanpa rasa bersalah.
Merasa telah memasuki sarang bandit. Dengan dahi terlipat menahan sakit, Anna bergegas berlari keluar namun terlambat, pelanggan itu berhasil menangkap tangan Anna lalu menariknya.
"Nona, kenapa pergi terburu-buru?"
Tangan pria itu lalu bergerak melingkari leher Anna, di tambah lagi dengan hembusan napas kasar pria itu, mengenai daun telinganya. Membuat Anna muak. Seketika Anna menggigit tangan pria itu dengan sekuat tenaga lalu merobeknya, persis seperti binatang buas.
Pria itu meraung. Gigitan itu mengakibatkan lengan pria itu berdarah, otomatis dia menarik tangannya dari leher Anna untuk melihat lukanya. Anna mengambil kesempatan itu untuk mengambil jarak dengan pria itu kemudian melayangkan sebuah tendakan ke selangkangan pria itu.
Tendangan itu tepat sasaran, mengenai telak batang penerus generasi leluhurnya. Sambil terkaing-kaing layaknya anjing, kedua tangannya memegang sesuatu di antara selangkangannya. Hancur sudah generasi keluarganya karena pria itu akan menjadi generasi terakhir.
Melihat itu, Anna sama sekali tidak merasa bersalah. Ia lekas melirik si bartender muda yang terpaku karena terkejut melihat aksinya kemudian lari ke parkiran mobilnya. Si bartender muda segera sadar lalu berlari mengejar dirinya.
Butuh waktu sekitar sepuluh detik untuk sampai ke lokasi mobilnya terparkir. Namun begitu Anna belok kiri, ia melihat satu orang tengah menunggu dirinya. Anna masih mengingat orang itu, dia adalah pelanggan bar yang baru saja keluar.
Kepala Anna tiba-tiba terasa sakit kembali begitu memikirkan apa tindakan yang harus ia lakukan sekarang. Bertepatan dengan itu, orang yang berada di dekat mobil itu tiba-tiba menoleh ke arah Anna lalu tersenyum.
Refleks Anna melangkah mundur kemudian memutar kepalanya, si bartender muda telah berada di belakangnya. Anna telah berada pada situasi yang sangat berbahaya.
"Aneh! bagaimana kamu masih bisa berlari?" si bartender muda bertanya, penasaran. Anna mengabaikan pertanyaan itu lalu menoleh ke samping, ke arah jalan sunyi.
Sebelum si bartender muda sampai di hadapannya, Anna kembali berlari, menuju jalan itu. Baik si bartender muda ataupun orang satunya lagi tidak merasa khawatir akan tangkapannya yang lari, mereka hanya terkekeh dan berjalan santai menuju Anna.
Malam itu angin berembus kencang, cukup untuk membuat orang menggigil karena suhunya yang dingin. Namun itu tidak berlaku untuk Anna yang masih berlari menjauh dari lokasi bar itu. Sepertinya efek obat yang di katakan bartender itu sudah mulai menggerogoti tubuhnya.
Perlahan kecepatan Anna menurun, tenaganya seakan menghilang. Tubuhnya yang terhuyung-huyung itu ia paksakan untuk tetap berlari. Anna memindai sekelilingnya, tidak ada seorang di jalan ini selain dirinya.
"Di mana ini?" Wilayah di sekeliling Anna terasa asing, sepertinya ia telah memasuki wilayah yang belum pernah ia kunjungi. Walau begitu, Anna tetap berlari dan berlari hingga kekuatan menghilang.
Ia akhirnya terjatuh.
Tiang lampu terlihat menyinari sosok Anna yang mengenaskan. Bulan dan bintang di langit yang cerah juga hanya diam melihat dirinya.
Kedua tangannya lantas memukuli kedua pahanya dengan sekuat tenaga sambil terengah-engah, berharap kakinya bergerak. Namun apa daya, kakinya tetap lunglai diikuti kedua tangannya yang kehabisan tenaga.
"Sialan! Kenapa nasibku sebegini sialnya?"
Tanpa sadar, air mata yang telah di bendungnya akhirnya tumpah dan membasahi pipinya.
"Apa yang sebenarnya telah ku lakukan hingga berakhir seperti ini?"
Tidak berdaya! Itulah situasi Anna sekarang. Efek obat-obatan itu telah membuat kepalanya pusing dan sekujur tubuhnya terasa seperti terbakar. Kulit putihnya kini telah memerah dan tak lama kemudian pikirannya mulai menjadi liar.
"Kakak! Kakak!" Anna menggumamkan itu berulang kali sampai kehilangan kewarasannya.
Wuusshhh...
Tanpa Anna ketahui tubuhnya menjadi bercahaya dan mendadak cahaya itu keluar dari tubuhnya, membentuk sebuah gelombang lingkaran berwarna biru yang menyebar ke area sekitarnya.
Di tempat lain, tidak jauh dari lokasi Anna sekarang, seorang pria tengah duduk bersandar di persimpangan jalan, bayangan menyelimuti seluruh tubuhnya. Pria itu saat ini sedang menutup kedua matanya namun begitu merasakan gelombang itu matanya mendadak terbuka.
"Masih tersisa satu pembunuh lagi!" darah mendadak keluar dari mulut pria itu. "Anae, sepertinya aku benar-benar akan mati!"
Usai mengucapkan kata-kata itu dengan pelan, pria itu sedikit demi sedikit mulai berdiri. Walau terhuyung-huyung, batuk darah, kulit pucat, dan keringat mengucur deras, pria itu akhirnya berhasil berdiri.
Angin berembus, rambut hitam sepanjang pinggang pria itu melambai-lambai. Kini dengan cahaya bulan dan bintang, darah tampak mengalir lambat, membasahi dada dan bahu pria itu.
Meski begitu, mata ungu pucatnya tetap menatap tajam ke arah asal gelombang sambil menyerukan sebuah kalimat dengan sangat pelan.
"Rhongomyniad!"
Serpihan-serpihan cahaya keemasan mulai kelihatan di tangan kanannya dan dalam waktu singkat cahaya itu membentuk sebuah tombak berwarna emas sepanjang dua meter.
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam