Share

Take this Witch CEO Lady (Indonesia)
Take this Witch CEO Lady (Indonesia)
Author: Nameless Witch

Bab 1

Jika kamu secara tidak sengaja melihat orang bisa mengeluarkan api, terbang di langit, melakukan telekinesis, atau memiliki kekuatan supranatural lainnya layaknya tokoh-tokoh fiktif pada film atau pun novel, Kamu sebaiknya menjaga rapat-rapat mulut yang kamu miliki. Jangan pernah memberi tahu orang lain atau orang itu akan berada dalam situasi yang sama dengan dirimu. Lebih baik lagi bila kamu melupakannya dan menganggapnya hanyalah mimpi belaka. Atau kalau tidak, jika kamu sangat penasaran sampai-sampai berusaha menyelidiki dunia kami. Maka kamu akan tamat. 

Berdoalah agar kami tidak mengetahui perkara dirimu, karena jika kamu mengetahuinya, kami akan menghapus ingatanmu atau bisa langsung membunuhmu maupun orang-orang di sekitarmu. Tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang akan mengingatmu kecuali kami, namun kami akan segera melupakan dirimu karena bagi kami, dirimu tidak berharga sama sekali untuk masuk ke dalam ingatan kami. 

(Sebuah peringatan dari seorang penyihir tanpa nama)

Witch Tower

Undang-undang penyihir pasal 1 ayat 5 mengenai kerahasiaan penyihir. 

- Manusia bukan penyihir (manusia biasa) yang  mengetahui keberadaan penyihir harus segera ditangkap dan dihapuskan ingatannya (atau dibunuh) 

***

Di sebuah kota bernama Ivasaar yang maju dengan bangunan-bangunan tinggi mencakar langit, ribuan lampu-lampu bersinar terang layaknya bintang, menyinari jalanan yang di padati manusia-manusia sibuk. Kelihatan makmur juga hidup. Namun tak sadar dengan sesuatu di dalam kegelapan.

Sisi lain yang jarang di sadari mayoritas. Berada di baliknya, lampu-lampu yang diciptakan untuk menyinari malam hari, mendatangkan bayangan yang lebih gelap dari gelapnya malam. 

Wilayah kumuh. 

Bau-bau sampah tercium di sepanjang jalan. Anjing-anjing liar bergerombolan saling memaki. Suara daun gemerisik di tiup angin, kukuk burung hantu dari kejauhan, serangga-serangga malam berderik. Seluruhnya menciptakan paduan suara damai, tanpa gangguan manusia atau pun alat yang mereka ciptakan. 

Langkah kaki seperti angin, tidak bersuara, dari seorang pria melaju cepat melintasi jalanan dan gang kecil. Tiupan dunia, menghembuskan dirinya. Mengakibatkan pakaian usang yang di kenakannya berkibar-kibar. 

Matanya menyipit, seperti elang, memindai sekelilingnya hati-hati. Warna bola matanya tidak manusiawi, ungu pucat dan tampak dingin mencekam. 

Tiap-tiap rumah usang serta rumah susun berbahankan kayu atau tripleks, berderet-deret mengapit kedua sisi pria muda itu namun semuanya hening, gelap gulita, tanpa setitik cahaya. Saat seperti ini, bulan dan bintanglah yang menjadi penerang jalannya. 

Sesekali ia menoleh ke belakang, khawatir ada seseorang yang mengikutinya. Raut wajahnya keras, dahinya sedikit mengerut. Dia melihat tujuannya, kota penuh cahaya tepat di hadapannya. Tempat itu terlihat dekat padahal aslinya jauh. 

Sudah lebih dari lima menit pria itu mulai berlari. Tetapi, sosok yang seharusnya ada dibelakang mengejar dirinya sama sekali belum menunjukkan wujudnya. Setiap beberapa langkah, uap hangat mengepul keluar dari mulut serta hidungnya.

Lima menit lagi berlalu, keadaan di sekitarnya sudah berubah. Tidak ada lagi rumah dari kayu atau pun tripleks, yang ada hanyalah rumah dari semen yang di bangun cukup kokoh. Ia telah memasuki daerah perumahan yang ada di pinggir kota.

Cahaya dan gedung tinggi di hadapannya tampak semakin membesar, pertanda ia semakin dekat dengan tujuannya. Kini, tiang-tiang lampu menerangi jalannya. 

Meski demikian, raut wajahnya tidak menunjukkan kesenangan. Semakin dekat dirinya dengan tujuannya, dahinya akan semakin mengerut. Matanya semakin menajam mengamati sekelilingnya dan terkadang ia melihat ke belakang dengan gelisah. 

Mendadak pria itu menggertakkan giginya keras sekali lalu melihat langit, langit tanpa awan yang menyebabkan bintang dan bulan bersinar cukup terang. 

Pria itu memandang langit bukan untuk melihat pemandangan itu. Ia berpikir dan telah mengambil keputusan. Mukanya kembali lurus ke depan, matanya berubah menjadi lebih dingin daripada sebelumnya, dan tangan kanannya bergerak merogoh ke dalam kerah bajunya, perlahan memperlihatkan sebuah kalung kecil berbentuk satu kelopak bunga mawar.

"Anae. jika aku mati, aku akan mengutukmu selamanya!" 

Bibirnya terbuka demi mengucapkan kalimat itu, pelan sekali. Tidak seorang pun di sana, entah kepada siapa ia mengucapkan kata-kata itu. Mungkin ia mengucapkan itu karena kesal dengan orang yang saat ini tidak bersama dengan dirinya. 

Ia menarik kalung itu dari lingkaran lehernya dan di saat yang bersamaan pria itu menoleh ke belakang. 

Suara nyaring yang diredam diikuti sebutir peluru melesat super cepat menembus bahunya dengan sangat tiba-tiba.

Dor... 

***

"Silakan."

Suara ramah seorang bartender menyadarkan Anna dari lamunannya. Anna lantas melirik bartender muda yang kira-kira seusia dengan dirinya, dua puluh lima tahun. Entah kenapa senyuman bartender itu terlihat aneh. 

"Dimana Tuan Angelo? Aku tak melihatnya sejak tadi!" Anna menoleh pelan ke kanan kiri, mencari seseorang namun tidak menemukannya.

"Saat ini paman sedang pergi ke luar kota," jawab bartender muda itu sambil mengelap gelas menggunakan kain, khusyuk sekali.

Ruangan kecil itu lenggang, hanya terdapat empat pelanggan termasuk Anna. Di meja bartender paling pojok, Anna duduk sembari menatap lamat-lamat segelas kecil wine berwarna merah yang tergeletak di hadapannya. Pelanggan lain yang berada di ujung meja satunya, memanggil bartender itu lalu memesan, bartender itu kembali bekerja. 

"Jadi, bartender asing itu keponakannya," ucap Anna dalam hati. 

Anna cukup mengenal pemilik 'Angelo Bar' karena ia selalu mampir ke bar kecil ini setiap ia menjalani hari yang buruk. Orang tua bernama Angelo itu sangat ramah dan lemah lembut, membuat Anna menyukainya. Ditambah bar ini searah dengan apartemennya. 

Segera Anna meminum habis segelas wine yang terdapat di hadapannya lalu meletakkan gelasnya dengan cukup keras. Tak lama kemudian ia menghela napas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian pagi ini, sebelum ia berangkat ke kantor. Anna tidak menyadari bahwa bartender itu melirik sekilas ke arahnya. 

14 Februari 

07 : 35

Jam dinding berdetak cukup keras di ruangan bercat putih itu. Dengan meja kecil sebagai pembatas, dua buah sofa yang masing-masing di tempati dua orang pria dan satu orang wanita saling berhadapan. Wanita itu adalah Anna Gracias sedangkan kedua pria di hadapannya adalah Andre Blanchet dan Ayahnya, Glen Gracias. 

Jika di lihat, Andre Blanchet memiliki tubuh tinggi namun sedikit kurus, dengan kulit putih, rambut pirang keriting yang dipangkas pendek, mata berwarna biru bersama alis yang tajam, khas orang berdarah barat. Pakaiannya juga rapi dan elegan, selaras dengan seluruh dirinya. Jujur saja, Anna harus mengakui ketampanan pria asal Prancis itu. 

Berbeda dengan ayahnya, Glen Gracias yang telah berumur empat puluh lima tahun. Walau wajahnya masih menyimpan sedikit ketampanan pada masa mudanya tetapi ia dipenuhi bau-bau minuman keras, rambut dan pakaian yang dikenakannya juga berantakan. Dia kacau sekali. 

Ruangan itu lenggang. Raut wajah mereka bertiga serius. Sebelumnya, mereka membahas mengenai pertunangan antara Anna dan Andre yang di putuskan sepihak oleh ayahnya. Tentu saja Anna menolak dan itulah yang menyebabkan suasana menjadi tegang seperti ini. 

"Anna, apa kamu serius?" 

Andre Blanchet membuka mulut, membuat suasana semakin tegang. Matanya menatap tajam pada sosok Anna, bibirnya tersenyum tipis. 

Meskipun Anna tampak tenang saat menatap Andre Blanchet. Sebenarnya, saat ini ia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Hal itu terjadi secara tiba-tiba, bersamaan pada saat Andre mengucapkan kalimat itu dan menatapnya dirinya tajam. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
kayaknya bakal menarik nih,btw author bakal update tiap berapa hari yah..? author ada sosmed engga?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status