Jika kamu secara tidak sengaja melihat orang bisa mengeluarkan api, terbang di langit, melakukan telekinesis, atau memiliki kekuatan supranatural lainnya layaknya tokoh-tokoh fiktif pada film atau pun novel, Kamu sebaiknya menjaga rapat-rapat mulut yang kamu miliki. Jangan pernah memberi tahu orang lain atau orang itu akan berada dalam situasi yang sama dengan dirimu. Lebih baik lagi bila kamu melupakannya dan menganggapnya hanyalah mimpi belaka. Atau kalau tidak, jika kamu sangat penasaran sampai-sampai berusaha menyelidiki dunia kami. Maka kamu akan tamat.
Berdoalah agar kami tidak mengetahui perkara dirimu, karena jika kamu mengetahuinya, kami akan menghapus ingatanmu atau bisa langsung membunuhmu maupun orang-orang di sekitarmu. Tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang akan mengingatmu kecuali kami, namun kami akan segera melupakan dirimu karena bagi kami, dirimu tidak berharga sama sekali untuk masuk ke dalam ingatan kami.
(Sebuah peringatan dari seorang penyihir tanpa nama)Witch Tower
Undang-undang penyihir pasal 1 ayat 5 mengenai kerahasiaan penyihir.- Manusia bukan penyihir (manusia biasa) yang mengetahui keberadaan penyihir harus segera ditangkap dan dihapuskan ingatannya (atau dibunuh)
***
Di sebuah kota bernama Ivasaar yang maju dengan bangunan-bangunan tinggi mencakar langit, ribuan lampu-lampu bersinar terang layaknya bintang, menyinari jalanan yang di padati manusia-manusia sibuk. Kelihatan makmur juga hidup. Namun tak sadar dengan sesuatu di dalam kegelapan.
Sisi lain yang jarang di sadari mayoritas. Berada di baliknya, lampu-lampu yang diciptakan untuk menyinari malam hari, mendatangkan bayangan yang lebih gelap dari gelapnya malam.
Wilayah kumuh.
Bau-bau sampah tercium di sepanjang jalan. Anjing-anjing liar bergerombolan saling memaki. Suara daun gemerisik di tiup angin, kukuk burung hantu dari kejauhan, serangga-serangga malam berderik. Seluruhnya menciptakan paduan suara damai, tanpa gangguan manusia atau pun alat yang mereka ciptakan.
Langkah kaki seperti angin, tidak bersuara, dari seorang pria melaju cepat melintasi jalanan dan gang kecil. Tiupan dunia, menghembuskan dirinya. Mengakibatkan pakaian usang yang di kenakannya berkibar-kibar.
Matanya menyipit, seperti elang, memindai sekelilingnya hati-hati. Warna bola matanya tidak manusiawi, ungu pucat dan tampak dingin mencekam.
Tiap-tiap rumah usang serta rumah susun berbahankan kayu atau tripleks, berderet-deret mengapit kedua sisi pria muda itu namun semuanya hening, gelap gulita, tanpa setitik cahaya. Saat seperti ini, bulan dan bintanglah yang menjadi penerang jalannya.
Sesekali ia menoleh ke belakang, khawatir ada seseorang yang mengikutinya. Raut wajahnya keras, dahinya sedikit mengerut. Dia melihat tujuannya, kota penuh cahaya tepat di hadapannya. Tempat itu terlihat dekat padahal aslinya jauh.
Sudah lebih dari lima menit pria itu mulai berlari. Tetapi, sosok yang seharusnya ada dibelakang mengejar dirinya sama sekali belum menunjukkan wujudnya. Setiap beberapa langkah, uap hangat mengepul keluar dari mulut serta hidungnya.
Lima menit lagi berlalu, keadaan di sekitarnya sudah berubah. Tidak ada lagi rumah dari kayu atau pun tripleks, yang ada hanyalah rumah dari semen yang di bangun cukup kokoh. Ia telah memasuki daerah perumahan yang ada di pinggir kota.
Cahaya dan gedung tinggi di hadapannya tampak semakin membesar, pertanda ia semakin dekat dengan tujuannya. Kini, tiang-tiang lampu menerangi jalannya.
Meski demikian, raut wajahnya tidak menunjukkan kesenangan. Semakin dekat dirinya dengan tujuannya, dahinya akan semakin mengerut. Matanya semakin menajam mengamati sekelilingnya dan terkadang ia melihat ke belakang dengan gelisah.
Mendadak pria itu menggertakkan giginya keras sekali lalu melihat langit, langit tanpa awan yang menyebabkan bintang dan bulan bersinar cukup terang.
Pria itu memandang langit bukan untuk melihat pemandangan itu. Ia berpikir dan telah mengambil keputusan. Mukanya kembali lurus ke depan, matanya berubah menjadi lebih dingin daripada sebelumnya, dan tangan kanannya bergerak merogoh ke dalam kerah bajunya, perlahan memperlihatkan sebuah kalung kecil berbentuk satu kelopak bunga mawar.
"Anae. jika aku mati, aku akan mengutukmu selamanya!"
Bibirnya terbuka demi mengucapkan kalimat itu, pelan sekali. Tidak seorang pun di sana, entah kepada siapa ia mengucapkan kata-kata itu. Mungkin ia mengucapkan itu karena kesal dengan orang yang saat ini tidak bersama dengan dirinya.
Ia menarik kalung itu dari lingkaran lehernya dan di saat yang bersamaan pria itu menoleh ke belakang.
Suara nyaring yang diredam diikuti sebutir peluru melesat super cepat menembus bahunya dengan sangat tiba-tiba.
Dor...
***
"Silakan."
Suara ramah seorang bartender menyadarkan Anna dari lamunannya. Anna lantas melirik bartender muda yang kira-kira seusia dengan dirinya, dua puluh lima tahun. Entah kenapa senyuman bartender itu terlihat aneh.
"Dimana Tuan Angelo? Aku tak melihatnya sejak tadi!" Anna menoleh pelan ke kanan kiri, mencari seseorang namun tidak menemukannya.
"Saat ini paman sedang pergi ke luar kota," jawab bartender muda itu sambil mengelap gelas menggunakan kain, khusyuk sekali.
Ruangan kecil itu lenggang, hanya terdapat empat pelanggan termasuk Anna. Di meja bartender paling pojok, Anna duduk sembari menatap lamat-lamat segelas kecil wine berwarna merah yang tergeletak di hadapannya. Pelanggan lain yang berada di ujung meja satunya, memanggil bartender itu lalu memesan, bartender itu kembali bekerja.
"Jadi, bartender asing itu keponakannya," ucap Anna dalam hati.
Anna cukup mengenal pemilik 'Angelo Bar' karena ia selalu mampir ke bar kecil ini setiap ia menjalani hari yang buruk. Orang tua bernama Angelo itu sangat ramah dan lemah lembut, membuat Anna menyukainya. Ditambah bar ini searah dengan apartemennya.
Segera Anna meminum habis segelas wine yang terdapat di hadapannya lalu meletakkan gelasnya dengan cukup keras. Tak lama kemudian ia menghela napas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian pagi ini, sebelum ia berangkat ke kantor. Anna tidak menyadari bahwa bartender itu melirik sekilas ke arahnya.
14 Februari
07 : 35Jam dinding berdetak cukup keras di ruangan bercat putih itu. Dengan meja kecil sebagai pembatas, dua buah sofa yang masing-masing di tempati dua orang pria dan satu orang wanita saling berhadapan. Wanita itu adalah Anna Gracias sedangkan kedua pria di hadapannya adalah Andre Blanchet dan Ayahnya, Glen Gracias.
Jika di lihat, Andre Blanchet memiliki tubuh tinggi namun sedikit kurus, dengan kulit putih, rambut pirang keriting yang dipangkas pendek, mata berwarna biru bersama alis yang tajam, khas orang berdarah barat. Pakaiannya juga rapi dan elegan, selaras dengan seluruh dirinya. Jujur saja, Anna harus mengakui ketampanan pria asal Prancis itu.
Berbeda dengan ayahnya, Glen Gracias yang telah berumur empat puluh lima tahun. Walau wajahnya masih menyimpan sedikit ketampanan pada masa mudanya tetapi ia dipenuhi bau-bau minuman keras, rambut dan pakaian yang dikenakannya juga berantakan. Dia kacau sekali.
Ruangan itu lenggang. Raut wajah mereka bertiga serius. Sebelumnya, mereka membahas mengenai pertunangan antara Anna dan Andre yang di putuskan sepihak oleh ayahnya. Tentu saja Anna menolak dan itulah yang menyebabkan suasana menjadi tegang seperti ini.
"Anna, apa kamu serius?"
Andre Blanchet membuka mulut, membuat suasana semakin tegang. Matanya menatap tajam pada sosok Anna, bibirnya tersenyum tipis.
Meskipun Anna tampak tenang saat menatap Andre Blanchet. Sebenarnya, saat ini ia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Hal itu terjadi secara tiba-tiba, bersamaan pada saat Andre mengucapkan kalimat itu dan menatapnya dirinya tajam.
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam
Anna kembali ke panggung mimpi buruknya, cahaya lingkaran dari lampu sorot menyinari sosoknya yang menyedihkan. Perasaan takut yang familiar menyelimuti dirinya, menyiksa jiwanya yang duduk terpatung tanpa bisa menggerakkan satu pun jarinya. Seolah-olah, kegelapan yang mengitarinya merasa sangat terhibur dengan ketidakberdayaan dan kesengsaraannya. Ketakutan itu membuat Anna menangis tersedu-sedu hingga ingin menjerit namun tak peduli sebanyak apa Anna berusaha, suaranya tak pernah berhasil keluar lewat mulutnya. Ketika Anna meringkuk, menyembunyikan wajah dan pandangannya dari para penonton yang mengitarinya, perasaan hangat mendadak merasuk masuk ke sela-sela kulitnya sampai ke dalam jiwanya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar sebab rasa dingin dengan segera merayap masuk ke dalam jiwanya, menggantikan perasaan yang hangat. Seorang wanita muncul dari kegelapan lalu menggantungkan dirinya sendiri. Sesaat setelah wanita itu tidak bergerak, mul
Waktu Anna bertanya mengenai apa yang terjadi setelah dirinya pingsan, Yuli memberitahukan informasi yang sangat mengejutkan. Anna sedikit tidak percaya ketika Yuli mengatakan bahwa Xavie datang menjemputnya tepat sesudah dirinya pingsan."Benarkah?" tanya Anna kepada Yuli lumayan keras."Tentu," jawab Yuli sedikit heran dari seberang telepon. "Aku juga sangat terkejut ketika melihat Suami Nona yang sudah menunggu dibalik pintu ruang rapat. Orang seganteng itu belum pernah sekali pun kulihat didepan mataku. Di tambah lagi Suami Nona sangat bersahabat dan perhatian, aku jadi bahagia memikirkan pernikahan Nona."Penjelasan Yuli berhasil membuat Anna tertekan. Bahagia? Sejak bertemu pria itu dihari ulang tahunnya, berbagai masalah berduyun-duyun datang menghampirinya. Penjelasan Yuli juga berhasil membuat pikiran Anna bertanya-tanya tentang bagaimana Xavie bisa masuk ke dalam perusahaannya. Setelah merenung dan tidak berhasil menemukan jawaban, Anna menghembu
Siluet Anna dengan cepat menghilang sebelum Xavie menunjukkan semua kekhawatirannya. Dirinya kembali memandang keluar jendela dengan mimik wajah yang berangsur-angsur pulih ke kondisi semula. Kemunculan Anna yang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Xavie mengambil pusing, layaknya sebuah angin lalu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semalam aku mendapatkan mimpi mengenai kehancuran kota ini di masa depan!" Tiba-tiba Xavie angkat bicara di dalam kepalanya. "Mimpi?" tanya Anaemia tidak percaya. "Hmm." "Apa kamu memiliki kemampuan melihat masa depan?" "Tidak!" "Kalau begitu, kenapa kamu terdengar seakan mimpimu akan menjadi kenyataan?" Anaemia tidak habis pikir. "Karena setahun yang lalu aku pernah mendapatkan mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apa kamu dapat menebaknya?" tantang Xavie dengan nada sedikit kesal. "Saat kita melakukan kontrak," jawab Anaemia percaya diri.