เข้าสู่ระบบSaat menunggu jawaban Victor, pikiran Adriana melayang ke masa lalu. Perang dingin antara dirinya dan Evelyn sudah berjalan bertahun-tahun. Dalam kurun waktu itu, Adriana tidak hanya merebut satu, tapi beberapa kekasih Evelyn. Namun, tidak ada satupun dari pria-pria itu yang pernah Adriana beri hati. Tidak sedikitpun.Baginya, prinsipnya sederhana, segala sesuatu yang pernah disentuh oleh Evelyn berarti sudah kotor.Adriana tidak suka barang kotor. Ia hanya mengambil pria-pria itu, memamerkannya di depan Evelyn, menikmati wajah hancur sang rival saat melihat kekasihnya berkhianat, lalu membuang mereka kembali ke tempat sampah segera setelah tujuannya tercapai. Hubungan itu selalu singkat, transaksional, dan murni didorong oleh kebencian.Tapi Victor...Adriana menatap mata pria di hadapannya yang kini menatapnya dengan kening berkerut.Kenapa pria ini terasa berbeda?Apakah karena Victor satu-satunya pria yang bukan bekas kekasih Evelyn? Apakah karena Victor adalah sosok "bersih" ya
"Maaf...."Adriana menarik tubuhnya mundur, menjauhkan wajahnya dari jangkauan tangan Julian berakhir menggantung di udara. Sentuhan pria itu di dagunya meninggalkan rasa tidak nyaman yang menjalar ke tubuhnya.Tawarannya memang menggiurkan secara strategis. Perlindungan dari Evelyn, kekayaan, dan jalan pintas untuk memuluskan balas dendamnya. Tapi saat menatap mata gelap Julian, Adriana melihat pantulan yang familiar.Itu adalah sorot mata yang sama dengan yang dimiliki Evelyn. Sorot mata yang memandang orang lain sebagai objek kepuasan semata.Jika Adriana menerima tawaran ini, dia tahu dia hanya akan menukar satu monster dengan monster lainnya. Adriana hanya akan menambahkan 'Evelyn' lain dalam hidupnya.Menyerahkan tubuh dan harga dirinya pada Julian, pria yang jelas-jelas sama rusaknya dengan Evelyn, bukanlah sebuah kemenangan. Itu adalah bunuh diri."Saya... tidak bisa," ucap Adriana tegas, meski suaranya sedikit bergetar.Senyum di wajah Julian perlahan memudar, digantikan oleh
Victor baru saja membuka pintu ruangannya untuk menyusul Adriana ketika ia menemukan asistennya sedang berdiri di sana, berniat mengetuk pintu.“Ada apa?” tanya Victor.“Mengenai pertemuan siang ini.” jawab Davian. “Pertemuannya masih satu jam lagi, tapi saya baru saja mengecek dan kondisi jalanan cukup macet, saya ingin menyarankan agar kita bisa pergi lebih awal tuan.”Victor menghela nafas, benar, ia masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.Matanya beralih ke layar yang menunjukkan lift itu sudah turun dengan Adriana di dalamnya.“Baiklah.” ucapnya akhirnya. “Siapkan barang-barang yang perlu dibawa.”=Adriana duduk di hadapan Julian di restaurant mewah yang menjadi tempat pertemuan mereka. Tangannya ia kepalkan di atas paha. Wajahnya menunduk, sementara Julian memperhatikannya dengan lekat."Apa hubunganmu dengan Evelyn?" tanya Julian akhirnya tanpa basa-basi.Adriana menelan ludah, berusaha menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak mengerti maksud pembicaraan Julian.. "Saya
Adriana menatap layar ponselnya dengan mata yang membelalak. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut suaranya akan membangunkan Victor yang terlelap di sampingnya.Julian tidak main-main. Pria itu sepertinya tahu sesuatu.Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak setelah ia melangkah sejauh ini. Tidak setelah ia berhasil masuk ke ranjang dan kehidupan Victor.Adriana segera mengetikkan balasan untuk Julian. Berusaha terdengar tidak mengerti dengan perkataan pria itu.[Apa yang Anda inginkan, Tuan Julian?] ketik Adriana cepat. [Kenapa Anda melakukan ini?]Ponselnya bergetar lagi.[Aku tidak suka diabaikan, Adriana. Dan aku tidak suka kau lari dariku seperti tadi. Kau berhutang penjelasan padaku tentang banyak hal.]Pesan berikutnya masuk sebelum Adriana sempat membalas.[Besok siang. Aku akan mengirimkan alamat restorannya padamu. Datanglah sendiri, dan jangan coba-coba membuat alasan bodoh tentang pekerjaanmu lagi.]Adriana membaca pesan itu berulang kali. Julian sedang m
Petugas keamanan itu mengerjap bingung, tangannya yang kasar membolak-balik buku catatan kusam di hadapannya."Siapa tadi namanya, Tuan? Ariana? Atau...""Adriana Brown," sela Julian tajam, suaranya meninggi\karena kesabarannya sudah habis. "Apa kau tuli? Aku sudah mengatakannya dua kali."Nada bicara Julian membuat si petugas panik. "B…baik, Tuan! Sebentar! Maaf!"Julian mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas meja dengan irama cepat, menahan keinginan untuk menyeret petugas itu keluar dan mencari di bukunya sendiri.Saat itulah, seorang petugas keamanan lain yang terlihat lebih muda masuk ke dalam pos sambil membawa gelas kopi."Ada keributan apa ini?" tanyanya, melihat rekannya yang berkeringat dingin."Tuan ini... mencari unit Nona Adriana Brown," jawab petugas pertama dengan gugup."Oh..." Petugas kedua itu mengangguk-angguk paham. "Wanita yang tinggal di lantai 5 itu, kan? Yang waktu itu diserang pria gila di depan gerbang?"Alis Julian terangkat sedikit. Diserang pria?"Ya,
"Apa Julian mengganggumu?"Pertanyaan itu langsung meluncur dari mulut Victor begitu bunyi klik terdengar dari pintu ruangan yang baru saja ditutup Adriana. Pria itu duduk diam di balik meja kerjanya, namun tatapannya tajam dan menyelidik.Adriana menghela napas panjang, berusaha menetralkan detak jantungnya yang masih berpacu.Otaknya berputar cepat. Apa yang harus ia katakan?Haruskah ia berkata jujur tentang betapa intimidatifnya pria itu? Mengaku bahwa ia ketakutan? Atau...Sebuah ide melintas di benaknya. Apa Adriana harus memanfaatkan situasi ini untuk keuntungannya? Melihat ekspresi Victor yang sepertinya cemburu tadi…"Tuan Julian..." Adriana melangkah mendekat perlahan, ekspresinya sengaja ia buat setenang mungkin. "Beliau hanya mengajak saya makan malam."Victor bangkit perlahan dari kursinya. Ia melangkah mendekat, menghapus jarak antara dirinya dan Adriana. "Lalu?" Victor menatap tajam ke manik mata Adriana. "Apa kau menerima ajakannya?"Adriana tidak mundur. Sebaliknya,







