Dari kejauhan Alia melihat ada keramaian di depan rumahnya. Beberapa orang asing dengan pakaian casual. Menggunakan kaos berlapis jaket dan celana lea. Mereka ramai menanyai beberapa orang tetangga Alia.
“Ngapain orang itu? Kok ditanyai? Apa lagi ada shooting TV?” gerutu Alia yang mulai merasa curiga. Mereka membawa alat perekam suara dan kamera kecil yang diduga bisa digunakan untuk merekam video.
“Keknya enggak ada yang aneh lah. Enggak ada kejadian apalagi bencana. Apa ini lagi buat konten? Tapi kok ditanyai gitu. Enggak mungkin ah,” ungkapnya yang memilih menjauhi gang rumahnya. Ia merasa resah dan memutuskan untuk menunggu di kedai simpang rumah menunggu kepulangan ayah atau kakaknya.
“Buk, ngapain orang itu rame-rame di situ, Buk?” tanya Alia kepada ibu pemilik kedai.
“Entah, Ibuk pun baru tau. Kalau enggak si Ucok yang bilang, Ibuk pun enggak tau,” jawab ibu itu cuek sambil terus melihat dari jauh ke dalam gang.
Mendengkus, Alia diselimuti perasaan tak tenang. Takut, malu, bingung, semua itu mendadak menyerang dirinya. Hanya bisa terduduk dan menjauh, ia tak ingin terlibat dalam hal apapun.
“Kenapa kau enggak pulang? Bukannya Ayak kau di rumah?” sambung ibu pemilik kedai.
“Eh, iyanya? Malas kali aku, Buk. Ngelewatin rame-rame gitu, Buk. Cem artis pulak aku, artis lagi dikerumuni fans,” ungkap Alia dengan santainya. Membuat mata ibu pemilik kedai melirik geram dengan bibir memonyong lima mili ke depan.
“Bibir kau tuh. Mau kutarek aja rasanya. Mana ada artis cem kau ini. Cantik enggak, seksi enggak, gendon iya,” celetuk si ibu dengan senyum meledek.
“Ops, belum tau dia. Ibuk tengok ajalah nanti kalau aku da glowing. Ngences ibuk lihat aku!” ungkap Alia yang tak mau kalah.
“Iya ngences lihat kau sambil bilang ancur kalilah ... anak siapa ini,” sambungnya yang kali ini tertawa terbahak-bahak.
Sudah menjadi hal biasa bagi ibu penjual kedai untuk menggoda Dira dan kedua adiknya. Mereka selalu saling mengejek dan menjelekkan, namun tak pernah terlibat sakit hati. Kembali akrab dan justru menjadi semakin dekat.
“Heh, ngegosip aja, bukannya pulang!” ungkap Arini dengan nada kesal.
“Cak ko tengok dulu ke sana, baru merepet. Yang kau pikir aku senang kali duduk di kedai kecil ini,” ucap Alia sembari melirik ke arah ibu pemilik kedai.
Arini yang baru tiba pun akhirnya menyadari keramaian yang ada di gang rumahnya. Tak ingin turut terlibat juga, Arini pun memutuskan duduk di kedai mengikuti jejak Alia.
“Heh! Bagos-bagos mulut kau tuh. Awas kau nongkrong di sini lagi. Udah nongkrong gratis aja lagak,” sambung ibu pemilik kedai.
“Woi, woi, woi! Indonesia udah merdeka kan? Kenapa di sini enggak? Bising mulut kelen itu macam penjajah tau enggak!” ungkap Arini kesal. Berniat pulang lebih awal, namun gagal karena keramaian yang ada.
“Ih, tajam kali mulut si Arini ini lah. Lagi datang bulan dia?” tanya ibu si penjual kedai.
“Entah, kutengok datang apa enggak datang bulan emang sadis mulut anak ini,” jawab Alia.
“Iya, lagi datang bulan aku. Mau nengok kelen!?” ucap Arini dengan gigi merapat. Sedangkan Alia tersenyum sambil meletakkan kedua tangan di telinga dengan telunjuk berdiri tegak. Begitu pula dengan ibu si pemilik kedai yang dengan sengaja membelalakkan kedua matanya diikuti bibir yang menganga. Kini Alia dan ibu si pemilik kedai justru bekerja sama meledek Arini.
***
“Yak, Ayak tau ada rame-rame apa tadi di depan rumah kita?” tanya Alia, tangannya sibuk mengaduk gelas berisi kopi yang akan diberikan kepada ayahnya.
“Ada apa rupanya?” tanya sang Ayah yang terlihat sibuk membaca koran.
“Cak ko tanyak sama orang sini, penasaran juga aku,” sambung Arini.
“Ah, nyuruh-nyuruh aja tau ko, Kak. Kaulah yang tanyak sendiri. Sorry ye,” jawab Alia yang memilih pergi meninggalkan Arini yang terlihat kesal. Jika tidak ada ayahnya mungkin mereka akan bertengkar dan saling membuka aib seperti biasanya.
Diluar dugaan, Alia justru pergi keluar untuk menanyai tetangganya. Rasa penasaran yang begitu kuat memaksanya untuk segera mencari tahu apa yang terjadi. Apa yang ia dengar sungguh mengejutkan hatinya. Pantas saja ia merasa begitu resah seharian ini. Bingung dan takut, Alia hanya bisa merunduk dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Sontak saja sikap Alia memancing tanda tanya ayah dan Arini.
“Tengok dulu si Alia itu. Kenapa lagi dia?” tanya ayah kepada Arini.
Merasa hawatir, Arini mengangguk setuju dan mengikuti Alia yang kini sudah berada di dalam kamarnya.
“Heh! Cantik kali mukak kau malam ini. lagi jatuh cinta kau yah?” ucap Arini yang berupaya memancing kejujuran Alia. Namun, sepertinya kali ini Alia tidak terpancing. Terlihat dari sikapnya yang masih terus diam mengabaikan kakaknya-Arini.Dengan dahi mengernyit Arini mencari akal kembali.“Eh, tadi aku ada dengar kabar tentang Kak Diralah. Tau kau?” ucap Arini yang dengan sengaja menghentikan ucapannya.Benar saja, seketika wajah Alia menatap kaget ke arahnya. Namun, masih saja mengunci rapat mulutnya.“Apa yang ko dengar, Kak?” ucapnya sambil menunjukkan wajah cemas.Sontak saja Arini menjadi bingung sendiri. Ia pun menduga berita buruk yang mungkin Alia tahu berhubungan dengan kakak mereka Dira.“Ko dengar apa pulak dari orang ini? kau dululah yang cakap,” ucapnya memujuk. Wajahnya terlihat tegas seakan menun
“Daf, senyum lu mana? Senyum?” ucap salah satu kru.Daffin mencoba tersenyum sedikit lebih lebar dan itu semakin membuat wajahnya terlihat kaku. Senyum yang sangat tidak mengalir itu tak cocok dengan tema pengambilan foto hari ini.“Haduh ...! Gimana sih? Senyumnya kepaksa itu,” ucap pria dengan gaya berkelas. Memakai barang branded dimulai dari kemeja hingga aksesoris terkecilnya. Dia Leon-perancang dan pemilik busana sekala internasional.Dua orang kru yang sedari tadi berdiri di samping Leon pun menunjukkan wajah takut. Tanpa diminta mereka mendekati kru yang bertugas mengarahkan Daffin.“Bos marah tuh, senyumnya kaku. Gimana sih model kalian?” ucap mereka dengan tatapan kesal.“Kalian tau enggak kalau bos udah marah bisa gawat. Mending buruan suruh tuh cowok senyum alami, biar cepat kelar semuanya,” sambung temannya.&nbs
Sudah pukul tiga pagi, namun tak sedetikpun mata Daffin mampu terpejam. Pikirannya terus saja melanglang buana jauh pada artikel yang ia baca. Semua berita utama membahas dirinya. Bukan hanya dia, melainkan Dira. Meskipun dalam wacana itu tidak tertulis nama Dira, namun Daffin menyadarinya. Cepat atau lambat media pasti akan mencari tahu sosok Dira.“Semoga aja enggak terjadi. Gua enggak mau hidup tuh cewek jadi kacau gegara gua. Udah cukup gua aja yang diribetin dengan masalah ini. Dia atau siapapun jangan. Gua enggah tahu harus berbuat apa. Tapi gua tau media kejam banget nyebarin berita seenaknya,” gumam Daffin.Matanya terus saja menatap kosong ke langit-langit kamar. Berulang kali ia menggosok kuat wajahnya dengan tangan berharap bisa menenangkan hatinya. Namun, entah mengapa kali ini ia begitu tersiksa. Padahal ini bukan kali pertama ia terlibat hal seperti ini. Sudah ada ratusan cewek yang menjadi viral karena tersandung d
Kantor polisi pusat geger, semua orang pada sibuk membicarakan Dira. Video Dira semakin tersebar luas. Tanggapan positif pun diberikan para netizen dengan harapan keberadaan Dira bisa memaksimalkan pekerjaan kepolisian.Tomi yang baru tiba pun menjadi kebingungan. Sebagai satu-satunya orang yang dekat dengan Dira, ia pun menjadi turut bahan perhatian rekan lainnya. Merasa tak nyaman dengan tatapan mereka, Tomi kembali memasuki toilet untuk bercemin. Ia terus memperhatikan wajah, pakaian dan seluruh penampilan depan belakangnya.“Enggak ada yang aneh toh,” gumamnya dengan wajah bingung. “Tapi mata mereka kok seram amat yah mandangnya?”Suara Denis terdengar, sepertinya Denis dan kedua temannya bermaksud mengunjungi toilet juga. Harus menghindar demi menciptakan pagi yang damai, Tomi segera masuk ke dalam ruang kecil yang sedang tumpat. Ruang sempit itu sangat bau karena masih ada kotoran yang menye
Dira yang baru tiba terlihat bingung dengan kericuhan yang ada. Tatapan aneh yang ia dapatkan dari semua rekan kerjanya membuatnya tak nyaman. Meski Dira memiliki siang acuh, namun tetap saja ia risih karena ada banyak mata yang menatap serius ke arahnya kemanapun ia melangkah.“Loh, kamu baru tiba, Dir? Bukannya berangkat deluan yah?” tanya Ria satu-satunya orang yang menyambutnya hangat.“Iya, aku carik hape aku dulu tadi,” jelasnya dengan wajah lelah.“Oh iya,” sahut Ria sambil menepuk dahinya. “Nih, tadi berdering. Jadi aku bawain aja sekalian,” sambungnya dengan senyuman terkembang, lalu menyerahkan gawai milik Dira.“Heeeeeh, yang kau bawanya. Aku pikir hilang. Mana semua nomor di sini. Nomor keluarga enggak ada yang hapal,” ucap Dira dengan tatapan penuh syukur. Ia dengan segera menggenggam erat gawai miliknya.&l
Dira terlihat merenung di antrian. Dengan tas ransel di pundaknya, ia terlihat begitu tergesa-gesa. Bulir keringat pun membasahi wajahnya, tatapan cemas dengan pikiran yang melanglang entah kemana membuat Dira terlihat seperti orang bodoh.“Awas aja kalau orang itu bohong yah. Kuhajar betul orang itu nanti. Gara-gara video Ayak yang lagi kritis, terpaksa aku izin pulang. Yang dipikirnya Jakarta Medan itu dekat? Bisa kutebas naik kereta, hah! Ini lagi, entah berapa pula ongkos pesawat ini. Ah, nyusahin aja pun keluarga ini,” gerutu Dira dengan gigi yang terus beradu. Geram, kesal dan takut pun bercampur aduk.“Tapi ... kalau emang Ayak sakit kekmana? Ini pun entah dapat tiket, entah enggak aku. Kalau pun enggak dapat, kudoakan aja ada penumpang yang enggak jadi berangkat. Jadi bisa kugantikan. Sekali-kali doa jelek enggak apalah. Ini pun bukan mau kali aku pulang sebenarnya. Cuman aku takut juga kalau Ayakku sampai mati, terus aku enggak bisa lihat yan
Seorang pria berusia senja terbaring di atas ranjang. Wajahnya terlihat lebih putih dengan kulit yang memucat. Ada lengkungan hitam di bagian bawah matanya, lengkap dengan guratan kerut yang nyaris memenuhi kulitnya. Pria gagah itu kini terlihat lemah dan nyaris habis masa. Dadanya terus bergerak naik turun dengan sangat lambat, seakan sesak karena terdengar suara mendengkur dari mulutnya. Pria tua itu benar-benar butuh pertolongan, bahkan hanya untuk sekedar bernapas ia harus dibantu tabung oksigen.“Yak!” seru Dira dengan tangis yang terasa menyangkut di kerongkongan. Dengan jemarinya Dira menyentuh lembut tangan keriput ayahnya.Seakan terhanyut, Dira pun membaringkan kepala di samping tangan ayahnya. Teringat masa kecil yang bahagia saat ibunya masih ada. Selalu tertawa dan kerap bermain bersama. Meskipun memainkan permainan pria, namun justru Dira sangat menyukainya. Dimulai dari memanah, berlari, melompat hingga memanjat po
“Eh, bisa cantik juga ternyata kau, Kak!” ledek Alia yang kini turut tersenyum memandangi wajah Dira melalui kaca.“Jangan cemberut ajalah. Udah cantek pun mukakmu. Ini hari bersejarah loh. Kalau aku jadi kau, Kak. Wih, yang bahagia kali aku. Bisa nikah sama cowok ganteng, baek hati, terkenal, ah ... entahlah! Kenapa pulalah dijodohkan samamu, yang sangat tak layak,” ucap Arini kesal.Terlalu kesal dan malas menjawab, Dira hanya menggerak-gerakkan bibirnya ke sana kemari. Jauh dalam hatinya, ia ingin kabur saja. Namun, semua itu ia urungkan. Ia sudah terlanjur berjanji untuk menuruti semua keinginan ayahnya yang mungkin akan menjadi keinginan terakhirnya. Karena keadaan sekarat ayahnya, bukanlah mengada-ngada. Tuhan bisa saja mengambil nyawa ayahnya malam ini juga.“Kak, cepat dikitlah. Udah dipanggil itu,” ucap Alia yang baru saja masuk ke ruangan Dira.“Sabar kau!” bentak Dira dengan kedua tangan menggengg