“Heh! Cantik kali mukak kau malam ini. lagi jatuh cinta kau yah?” ucap Arini yang berupaya memancing kejujuran Alia. Namun, sepertinya kali ini Alia tidak terpancing. Terlihat dari sikapnya yang masih terus diam mengabaikan kakaknya-Arini.
Dengan dahi mengernyit Arini mencari akal kembali.
“Eh, tadi aku ada dengar kabar tentang Kak Diralah. Tau kau?” ucap Arini yang dengan sengaja menghentikan ucapannya.
Benar saja, seketika wajah Alia menatap kaget ke arahnya. Namun, masih saja mengunci rapat mulutnya.
“Apa yang ko dengar, Kak?” ucapnya sambil menunjukkan wajah cemas.
Sontak saja Arini menjadi bingung sendiri. Ia pun menduga berita buruk yang mungkin Alia tahu berhubungan dengan kakak mereka Dira.
“Ko dengar apa pulak dari orang ini? kau dululah yang cakap,” ucapnya memujuk. Wajahnya terlihat tegas seakan menunjukkan keseriusan. Karena bagi mereka segala sesuatu menjadi penting jika berhubungan dengan keluarga kecil mereka.
Alia pun mulai menjelaskan apa yang ia dengar dari tetangganya. Hatinya sedih dan kecewa, namun ia tak bisa menipu diri. Terlebih semua ucapan yang ia dengar benar adanya. Meskipun begitu, ia sangat kenal betul siapa Dira, hingga ia yakin Dira tak sesuai seperti apa yang orang-orang tuduhkan.
Terduduk lemas, Arini yang sedari tadi berdiri pun mendadak kehilangan tenaga. Tak mampu mengontrol diri, air mata pun mendadak jatuh tanpa kendali. Keduanya terdiam membisu memikirkan keadaan Kakaknya. Meski mereka dikenal berisik dan sering bertengkar, namun kasih sayang tulus keduanya terjalin baik.
“Kek mana ni, Kak. Apa kita bilang Ayak?” ucap Alia dengan wajah cemas. Berita ini bukanlah sekedar masalah kecil yang mungkin bisa berdampak buruk untuk keluarga besar mereka.
Hanya bisa menggeleng dan tertuntuk, Arini mengaku tak setuju akan saran adik bungsunya.
“Jadi cemana? Apa kita diam aja? Apa kau senang Kakak kau difitnah kek gini?” sambung Alia dengan nada berapi-api.
Sebagai anak paling kecil, dirinya memiliki cukup kasih sayang dan perhatian meski tidak tumbuh bersama seorang ibu. Kedekatan dan rasa perduli yang dibangun berhasil memberikan kebahagiaan dalam hidupnya. Meski hanya memiliki Dira yang tomboy dan Arini yang cerewet, ia tetap merasa bangga kepada kedua kakaknya. Mereka berdua sudah cukup menggantikan sosok bodyguard atau kakak laki-laki sekalipun.
“Tros, kalau kau bilang Ayak, Ayak jadi kenapa-kenapa kek mana? Ko pikir jugaklah. Aku diam bukan berarti aku mau biarin gitu aja. Ini masalah sosial media, ko pikir kita bisa buat apa? Klarifikasi? Siapa yang mau dengar mulut kau? Mau buat status bela Kak Dira, siapa yang perduli cakap kau. Hah?” ucap Arini yang kini turut terbakar api kekesalan.
Kini keduanya kembali berdiam diri, saling membuang pandangan, namun sibuk berpikir keras akan apa yang mungkin bisa mereka lakukan.
***
Pagi ini Daffin telat keluar kamar, tubuhnya terasa berat hingga masih betah berada di atas ranjang. Meski matanya telah segar dan tak lagi mengantuk, namun ia begitu sulit menggerakkan tubuhnya.
“Kenapa perasaan gua enggak enak gini ya? Pertanda apa lagi ini? Gua yakin pasti ada yang enggak beres mau terjadi. Biasanya gitu, setelah perasaan ini timbul, terus kejadian,” gumam Daffin sambil terus menatap langit-langit kamarnya.
Menggapai gawai yang berada di atas meja sebelah ranjang Daffin kembali menyalakan gawainya. Bunyi, “Ping, ping, ping!” pun terus terdengar berulang kali. Memancing Daffin untuk segera menatap layar memastikan pemberitahuan yang masuk.
“Apa-apaan ini semua?” ucapnya dengan kedua mata terbelalak. Terlihat ada deretan chat panjang beserta artikel, foto dan video dirinya yang dikirim dari manajernya-Leo.
“Daf, senyum lu mana? Senyum?” ucap salah satu kru.Daffin mencoba tersenyum sedikit lebih lebar dan itu semakin membuat wajahnya terlihat kaku. Senyum yang sangat tidak mengalir itu tak cocok dengan tema pengambilan foto hari ini.“Haduh ...! Gimana sih? Senyumnya kepaksa itu,” ucap pria dengan gaya berkelas. Memakai barang branded dimulai dari kemeja hingga aksesoris terkecilnya. Dia Leon-perancang dan pemilik busana sekala internasional.Dua orang kru yang sedari tadi berdiri di samping Leon pun menunjukkan wajah takut. Tanpa diminta mereka mendekati kru yang bertugas mengarahkan Daffin.“Bos marah tuh, senyumnya kaku. Gimana sih model kalian?” ucap mereka dengan tatapan kesal.“Kalian tau enggak kalau bos udah marah bisa gawat. Mending buruan suruh tuh cowok senyum alami, biar cepat kelar semuanya,” sambung temannya.&nbs
Sudah pukul tiga pagi, namun tak sedetikpun mata Daffin mampu terpejam. Pikirannya terus saja melanglang buana jauh pada artikel yang ia baca. Semua berita utama membahas dirinya. Bukan hanya dia, melainkan Dira. Meskipun dalam wacana itu tidak tertulis nama Dira, namun Daffin menyadarinya. Cepat atau lambat media pasti akan mencari tahu sosok Dira.“Semoga aja enggak terjadi. Gua enggak mau hidup tuh cewek jadi kacau gegara gua. Udah cukup gua aja yang diribetin dengan masalah ini. Dia atau siapapun jangan. Gua enggah tahu harus berbuat apa. Tapi gua tau media kejam banget nyebarin berita seenaknya,” gumam Daffin.Matanya terus saja menatap kosong ke langit-langit kamar. Berulang kali ia menggosok kuat wajahnya dengan tangan berharap bisa menenangkan hatinya. Namun, entah mengapa kali ini ia begitu tersiksa. Padahal ini bukan kali pertama ia terlibat hal seperti ini. Sudah ada ratusan cewek yang menjadi viral karena tersandung d
Kantor polisi pusat geger, semua orang pada sibuk membicarakan Dira. Video Dira semakin tersebar luas. Tanggapan positif pun diberikan para netizen dengan harapan keberadaan Dira bisa memaksimalkan pekerjaan kepolisian.Tomi yang baru tiba pun menjadi kebingungan. Sebagai satu-satunya orang yang dekat dengan Dira, ia pun menjadi turut bahan perhatian rekan lainnya. Merasa tak nyaman dengan tatapan mereka, Tomi kembali memasuki toilet untuk bercemin. Ia terus memperhatikan wajah, pakaian dan seluruh penampilan depan belakangnya.“Enggak ada yang aneh toh,” gumamnya dengan wajah bingung. “Tapi mata mereka kok seram amat yah mandangnya?”Suara Denis terdengar, sepertinya Denis dan kedua temannya bermaksud mengunjungi toilet juga. Harus menghindar demi menciptakan pagi yang damai, Tomi segera masuk ke dalam ruang kecil yang sedang tumpat. Ruang sempit itu sangat bau karena masih ada kotoran yang menye
Dira yang baru tiba terlihat bingung dengan kericuhan yang ada. Tatapan aneh yang ia dapatkan dari semua rekan kerjanya membuatnya tak nyaman. Meski Dira memiliki siang acuh, namun tetap saja ia risih karena ada banyak mata yang menatap serius ke arahnya kemanapun ia melangkah.“Loh, kamu baru tiba, Dir? Bukannya berangkat deluan yah?” tanya Ria satu-satunya orang yang menyambutnya hangat.“Iya, aku carik hape aku dulu tadi,” jelasnya dengan wajah lelah.“Oh iya,” sahut Ria sambil menepuk dahinya. “Nih, tadi berdering. Jadi aku bawain aja sekalian,” sambungnya dengan senyuman terkembang, lalu menyerahkan gawai milik Dira.“Heeeeeh, yang kau bawanya. Aku pikir hilang. Mana semua nomor di sini. Nomor keluarga enggak ada yang hapal,” ucap Dira dengan tatapan penuh syukur. Ia dengan segera menggenggam erat gawai miliknya.&l
Dira terlihat merenung di antrian. Dengan tas ransel di pundaknya, ia terlihat begitu tergesa-gesa. Bulir keringat pun membasahi wajahnya, tatapan cemas dengan pikiran yang melanglang entah kemana membuat Dira terlihat seperti orang bodoh.“Awas aja kalau orang itu bohong yah. Kuhajar betul orang itu nanti. Gara-gara video Ayak yang lagi kritis, terpaksa aku izin pulang. Yang dipikirnya Jakarta Medan itu dekat? Bisa kutebas naik kereta, hah! Ini lagi, entah berapa pula ongkos pesawat ini. Ah, nyusahin aja pun keluarga ini,” gerutu Dira dengan gigi yang terus beradu. Geram, kesal dan takut pun bercampur aduk.“Tapi ... kalau emang Ayak sakit kekmana? Ini pun entah dapat tiket, entah enggak aku. Kalau pun enggak dapat, kudoakan aja ada penumpang yang enggak jadi berangkat. Jadi bisa kugantikan. Sekali-kali doa jelek enggak apalah. Ini pun bukan mau kali aku pulang sebenarnya. Cuman aku takut juga kalau Ayakku sampai mati, terus aku enggak bisa lihat yan
Seorang pria berusia senja terbaring di atas ranjang. Wajahnya terlihat lebih putih dengan kulit yang memucat. Ada lengkungan hitam di bagian bawah matanya, lengkap dengan guratan kerut yang nyaris memenuhi kulitnya. Pria gagah itu kini terlihat lemah dan nyaris habis masa. Dadanya terus bergerak naik turun dengan sangat lambat, seakan sesak karena terdengar suara mendengkur dari mulutnya. Pria tua itu benar-benar butuh pertolongan, bahkan hanya untuk sekedar bernapas ia harus dibantu tabung oksigen.“Yak!” seru Dira dengan tangis yang terasa menyangkut di kerongkongan. Dengan jemarinya Dira menyentuh lembut tangan keriput ayahnya.Seakan terhanyut, Dira pun membaringkan kepala di samping tangan ayahnya. Teringat masa kecil yang bahagia saat ibunya masih ada. Selalu tertawa dan kerap bermain bersama. Meskipun memainkan permainan pria, namun justru Dira sangat menyukainya. Dimulai dari memanah, berlari, melompat hingga memanjat po
“Eh, bisa cantik juga ternyata kau, Kak!” ledek Alia yang kini turut tersenyum memandangi wajah Dira melalui kaca.“Jangan cemberut ajalah. Udah cantek pun mukakmu. Ini hari bersejarah loh. Kalau aku jadi kau, Kak. Wih, yang bahagia kali aku. Bisa nikah sama cowok ganteng, baek hati, terkenal, ah ... entahlah! Kenapa pulalah dijodohkan samamu, yang sangat tak layak,” ucap Arini kesal.Terlalu kesal dan malas menjawab, Dira hanya menggerak-gerakkan bibirnya ke sana kemari. Jauh dalam hatinya, ia ingin kabur saja. Namun, semua itu ia urungkan. Ia sudah terlanjur berjanji untuk menuruti semua keinginan ayahnya yang mungkin akan menjadi keinginan terakhirnya. Karena keadaan sekarat ayahnya, bukanlah mengada-ngada. Tuhan bisa saja mengambil nyawa ayahnya malam ini juga.“Kak, cepat dikitlah. Udah dipanggil itu,” ucap Alia yang baru saja masuk ke ruangan Dira.“Sabar kau!” bentak Dira dengan kedua tangan menggengg
Akad pun terlaksana dengan hikmat. Semua merasa lega, terutama ayah Dira. Ia begitu bahagia hingga terus menangis.“Baru kali ini saya menikahkan pengantin sebahagia ini. Kalaulah orang-orang begini semua, mungkin tak banyak anak muda yang kawin lari ataupun hamil deluan. Habis cemana, syarat ke KUA bukannya mahal. Tapi syarat dari keluarga yang mahal. Mau pesta beginilah, undang segitulah. Terakhir, anaknya buat deluan. Kalau udah kejadian kan, terpaksa dinikahkan. Hah, terakhir jangankan pesta. Akad aja pun jadi. Ya kan?” curhat Tuan Kadi yang ternyata merisaukan apa yang terjadi. Sedikit banyak ia pun tahu apa yang terjadi. Sudah berpuluh tahun lamanya ia bekerja sebagai Tuan Kadi, tak jarang mempelai maupun keluarganya mengoceh di hadapannya, hingga ia tahu apa yang terjadi dibalik pesta mewah mereka.“Sudah yah, saya pamit. Sekali lagi selamat yah. Saya harap, tidak hanya saat ini tapi selamanya kalian bahagia. Meskipu