Tendakan kuat Dira membuat engsel pintu terlepas, hingga kini pintu terbuka lebar. Sontak saja semua mata menatap ke arah Dira, namun ia tak gentar. Dengan tenang dan penuh keangkuhan Dira berkata, “Ngapain kelen?”
Tatapan bingung dan merendahkan pun dilayangkan untuk Dira. Seorang pria bertubuh tegap dengan perut yang buncit menatap tak senang ke arah Dira.
“Bukan urusanmu, keluarlah!” pinta Denis dengan sikap mengabaikan.
“Hei, kau! Ikut aku!” pinta Dira mengarah kepada Tomi.
Terdiam, kini mata Denis dan kedua temannya berbalik menatap ke arah Tomi. Diam dan merasa takut, Tomi masih saja betah menempelkan tubuhnya di dinding.
“Tunggu apa lagi? Satu, dua, ti-”
Tomi dengan segera menggerakkan tubuhnya mendekati Dira.
“Tidak semudah itu teman,” ucap teman Denis. Tangannya bergerak cepat menggengam tangan Tomi. Membuatnya sulit bergerak, hingga berdiri mematung dengan sikap tubuh yang siap berlari.
“Huh! Sayangnya aku tak pernah diajarkan untuk memukul wanita, kalau tidak ...,” ucap Denis dengan angkuhnya. Ia begitu merendahkan Dira, hingga kini matanya menatap ujung-ujung kuku tangan seakan Dira tak ada di hadapannya.
“Cepatlah! Satu-satu boleh, sekali tiga juga oke,” ucap Dira sambil menunjukkan senyuman mematikan. Senyum pertanda buruk yang artinya akan ada korban akibat aksinya.
“Hahahaha, kalian mau ladeni cewek? Sorry, kami enggak bisa merepet,” ucap Denis kembali.
“Huh!”
Napas kekesalan pun berhembus. Dira sangat membenci pria yang banyak mulut. Jika bertemu dengan orang seperti ini, hasrat untuk menghanjar pun mendadak muncul. Tanpa perduli akan posisi dan tempat mereka berada, Dira dengan santai menendang batu kecil yang ada di lantai.
“Bug!”
Batu itu terlontar hingga mengenai dahi salah satu polisi yang ada.
“Sialan!” gerutu pria itu, dengan penuh kemarahan ia pun mendekati Dira. Berniat melayangkan pukulan, Dira lebih dulu menangkis dan membalas dengan pukulan tangan kanannya. Hantaman kuat itu mendarat tepat di perutnya, membuatnya meringis kesakitan dan memilih mundur.
tak terima temannya dihajar, pria yang lainnya ikut maju. Dengan kasarnya ia mengarahkan tangan kepada Dira, namun dugaan Dira salah. Pria itu tak bermaksud menghantamnya melainkan menarik tubuh Dira dan menghimpit leher Dira dengan lengan kanannya. Cukup kesulitan, Dira berusaha melepaskan diri. Sedangkan Tomi sibuk mencari sebuah benda yang mungkin bisa ia gunakan untuk membantu Dira. Melangkah keluar dari ruang kosong, Tomi terus menelusuri ruang sekitaran.
“Hiat!”
Jerit Dira yang dengan kekuatan penuh menghantamkan kepalanya ke dahi lawan.
“Argh!” jeritan sakit pun terdengar, tertatih mundur ia pun terduduk lemas dengan dahi yang memerah.
“Heh! Nantang nih ceritanya,” ucap Denis dengan senyuman penuh percaya diri. Melangkah penuh semangat mendekati Dira yang kini mulai merasa lelah.
Tanpa Kata, dengan napas terengah-engah Dira menaik turunkan kedua alis matanya.
“Pak Kepala tiba!” seru Tomi yang dengan segera menarik paksa tangan Dira.
“Apanya kau?” ujar Dira dengan tatapan tak senang.
“Udah, besok aja lanjut lagi yah. Ini hari pertama kamu, aku enggak mau gara-gara aku, kamu malah bermasalah. Aku tau kamu niat nolong aku, aku makasih banget,” jelas Tomi yang tampak kesulitan menarik tubuh Dira. Napasnya terengah-engah, karena Dira bersih keras menahan diri.
***
Video Daffin menolong Dira pun kembali viral. Video itu terus tersebar hingga menjadi trending dan sampai ke layar laptop si pria gendut. Dengan penuh antusias ia pun membuka video Daffin yang lainnya.
“Ini, ini dia. Yah, sama. Mereka orang yang sama. Aku yakin, dia wanita yang sama dengan yang ada di video kamar hotel Daffin. Yah, ini tidak salah lagi,” gumamnya dengan bibir menyeringai lebar.
“Penyelidikanku enggak sia-sia. A, akhirnya aku bisa mendapatkan jawabannya. Tapi tunggu,” gumamannya terhenti dan kembali menatap wajah pria yang terekam pergi bersama Dira. Pria itu tak lain adalah Tomi. Masih penasaran, pria gendut pun kembali melebarkan foto Tomi.
“Polisi? Pria ini seorang polisi?” ujar pria gendut dengan kagetnya. “Apa gadis ini juga anggota kepolisian? Aku harus cari tahu lebih dalam lagi,” ungkapnya yang kini bersiap pergi dengan kamera dalam genggamannya.
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka