Share

Permintaan Yang Tak Mungkin Kulakukan

“Apa-apaan kamu, Bhanu!”

Ibu sangat marah ketika mendengar Mas Bhanu mengucapkan talak padaku. Wanita berusia 55 tahun itu datang pada waktu yang tidak tepat.

Beliau menghampiri kami yang masih bersitegang di ruang tamu. Wanita bernama Nirmala itu memandang putranya nyalang.

Nirmala—ibu mertuaku—meminta kami untuk duduk bersama.

Kami bertiga duduk di ruang keluarga. Suasana sangat tegang pagi itu. Sesaat kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Mas Bhanu duduk menunduk di samping kanan Ibu. Sedangkan aku duduk di samping kiri.

Beliau menasihati kami agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Semua harus diselesaikan dengan kepala dingin agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

“Bu, saya mencintai Afseen. Bukan Deema.”

Aku hanya bisa mendengar perdebatan antara anak dan ibu itu. Ibu melarangku untuk ikut bicara. Hanya dia yang bisa merubah pemikiran pria itu.

“Tapi ibu tidak menyukainya Bhanu. Wanita itu bukan orang baik. Tinggalkan dia sekarang juga!”

“Apa Ibu kira Deema itu wanita baik? Dia lebih busuk dari pada Afseen.”

 Aku memandang pria yang baru tiga bulan aku nikahi itu. Kata-katanya begitu menohok. Seketika jantungku tercabik-cabik oleh perkataannya. Aku masih bisa terima kalau dia mengatakan tak mencintaiku. Namun, aku tak terima jika mengatakanku sebagai wanita hina.

“Apa maksudmu, Mas? Kurang apa aku ini?” Setiap hari aku selalu melayaninya dengan sepenuh hati. Walaupun aku tahu dia tak sepenuhnya menerima kehadiranku.

“Apa Ibu ingat kejadian malam pertama?” Mas Bhanu memandang Ibu.

Aku terdiam karena malu. Kenapa pria itu selalu saja mengungkit hal itu. Sedangkan aku tak pernah sekalipun mengusik masa lalunya.

“Ibu ingat.” Wanita itu kembali membelaku. Beliau mengatakan kalau hal itu wajar terjadi. Karena selaput dara wanita itu berbeda ketebalannya. “Deema itu wanita baik. Ibu memilihnya karena ibu yakin, Deema bisa menjadi istri yang baik untukmu juga menantu yang baik untuk ibu.”

“Bu, perasaan itu tak bisa dipaksakan!” Pria itu terus saja mengotot mengatakan hanya Afseen yang dicintainya.

“Tak ada yang tak mungkin, Bhanu. Cinta bisa saja datang dengan seiring berjalannya waktu.”

“Bu, jangan paksa aku untuk mencintai dia!” Mas Bhanu menunjukku.

Aku memandang mereka berdua bergantian. Sebenarnya aku sudah siap untuk pergi dari rumah itu. Bagiku lebih baik hidup menjanda dari pada hidup dengan pez*in*a seperti Mas Bhanu.

“Bu.” Aku menggenggam erat tangan Ibu yang duduk di sampingku. “Deema tak ingin Mas Bhanu terjerat dalam lingkaran dosa. Biarkanlah Mas Bhanu menikah dengan Afseen.”

Mendengar perkataanku, mata Ibu berkaca-kaca.

“Ibu tidak ingin ada poligami di antara kalian. Poligami itu berat, Nak.” Wanita itu memandangku. Sepertinya beliau salah paham dengan ucapanku.

“Bu, Deema juga tak menyetujui poligami.” Aku bingung hendak bagaimana menjelaskannya. Secara selama ini Ibu begitu menyayangiku seperti putrinya.

“Terus maksud kamu apa, Deema?” Wanita itu memandangku penuh tanya.

Sesaat aku memandang Mas Bhanu yang tersenyum penuh kemenangan.

“Deema ikhlas melepas Mas Bhanu untuk Afseen.”

Ibu sangat terkejut mendengar perkataanku. Wanita itu erat menggenggam tanganku. “Tidak. Ibu tidak akan melepas menantu sebaik kamu.”

“Bu, untuk apa mempertahankan pernikahan kami kalau Mas Bhanu saja tak menginginkannya.”

“Setidaknya lakukan itu untuk Ibu.”

Melihat ibunya begitu membelaku, Mas Bhanu tampak tak menyukainya. “Bu, sudahlah. Deema saja ikhlas melepasku. Pernikahan ini kalau dilanjutkan juga tidak ada gunanya. Melihatnya saja rasanya muak, apalagi menyentuhnya.”

“Apa maksudmu, Bhanu?” Ibu tampak sangat marah pada putranya.

“Bu yang saya mau itu hanya Afseen. Kalian tenang saja. Selama ini aku dan dia tak melakukan z*i*n*a karena kami telah menikah secara agama.”

“Apa!”

Ibu sangat syok mendengar hal itu. Aku bisa melihat dari nafas ibu yang tampak berat. Wanita itu limbung. Segera aku menahan badannya agar tidak terjatuh.

Melihat hal itu, Mas Bhanu berlari untuk membantu. Namun, Ibu menepis tangannya. “Ibu tak sudi disentuh anak sepertimu.”

Pria itu hanya diam mematung memandang ibunya. Aku membenarkan letak duduk ibu. Bergegas aku berlari ke belakang untuk mengambilkannya minum.

Ketika kembali ke ruang keluarga aku sudah tak melihat keberadaan Mas Bhanu.

“Diminum dulu, Bu.” Aku memberikan gelas pada ibu dan membantunya minum.

“Bhanu sudah pergi.” Sesaat Ibu memandang ke luar lalu beralih padaku. “Ingat Deema. Walau bagaimana pun jangan tinggalkan Bhanu.”

Bersambung ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
ASMAWI ASMAWI
keren kak.ttp semangat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status