Perkataan Mas Bhanu berputar di kepalaku. Bahkan ketika bertemu dengan orang tua Airin konsentrasiku juga buyar. Beruntung ada Liza yang membantuku berbicara.
Andai, tadi ayahnya Airin tak menghubungi, aku pasti sudah minta penjelasan terkait wanita itu pada Mas Bhanu.
“Deema, bagaimana?” Liza memandangku. “Apa kamu menerima tawaran Pak Farabi?”
Aku mengangguk setuju. Padahal aku sendiri tak tahu apa yang mereka bicarakan. Yang aku tangkap hanya les privat seminggu tiga kali, selasa, kamis, dan sabtu.
Setelah semua urusan dengan Pak Farabi selesai, aku dan Liza pamit pulang.
“Sudah jangan dipikirkan masalah tadi. Kamu masih muda, jangan takut kehilangan dia.” Liza menyentuh tanganku dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya mengemudi.
Aku tersenyum memandang wanita itu sebagai isyarat kalau aku dalam keadaan baik-baik saja.
Memang benar kata Liza. Tak pantas untukku meratapi Mas Bhanu. Pria seperti itu tak pantas untukku. Andai dia meminta maaf dan ingin kembali. Mungkin saja suatu saat hal itu akan terulang kembali. Padahal pernikahan kami belum genap tiga bulan. Namun, pria itu sudah berani main belakang.
***
Malam harinya, aku menunggu kepulangan Mas Bhanu. Malam ini juga aku harus meminta penjelasan perihal wanita bernama Afseen serta maksud dari perkataannya.
Berkali-kali aku melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Bhanu. Aku berjalan mondar-mandir di depan pintu. Gelisah memikirkan pria itu. Takut dia sedang berduaan dengan wanita itu. Bukan takut karena kehilangannya, tapi rasa takut jika pria itu terjerumus dalam lubang dosa.
Kumandang Azan Subuh membangunkanku. Entah pukul berapa aku tertidur di kursi. Aku memandang ke arah pintu, tidak ada tanda-tanda kepulangan Mas Bhanu. Bergegas aku bangun menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.
“Deema!”
Baru saja selesai berdoa, terdengar suara pintu diketuk dengan keras di susul suara teriakan Mas Bhanu memintaku untuk segera membuka pintu. Aku bergegas melepas mukena yang kukenakan dan melipatnya.
“Ya, Mas.” Bergegas aku berlari untuk membukakannya pintu.
“Lama sekali dari mana saja kamu?” tanya Mas Bhanu.
Wajah pria itu tampak lesu. Sepertinya semalaman dia tak tidur. Rambutnya juga terlihat acak-acakan.
“Salat, Mas. Harusnya aku yang bertanya dari mana saja kamu?”
Mas Bhanu tak menjawab pertanyaanku. Pria itu justru berjalan melewatiku.
“Berhenti!” Aku berjalan menyusulnya dan berdiri tepat di hadapan pria itu. “Kamu habis zi*n*a dengan wanita itu kan, Mas?” Amarahku memuncak karena tak tahan membayangkan kebersamaan mereka.
“Jaga mulutmu itu, Deema!” Mas Bhanu menunjukku.
“Memang itu kenyataannya kan, Mas? Kalau itu benar, maka kewajibanku untuk menasihatimu, Mas.”
“Jangan sok suci kamu, Deema. Bagaimana denganmu? Apa kamu masih perawan saat menikah denganku?”
Lagi-lagi Mas Bhanu mengungkit hal itu.
“Aku tak seperti yang kamu sebutkan, Mas.”
“Bohong! Kalau kamu masih perawan kenapa tak ada bercak darah ketika kita pertama kali melakukannya.”
Pada malam pernikahan, pria itu begitu kecewa ketika tak mendapati bercak di seprai. Aku juga sudah menjelaskan semua kalau diriku tak pernah berhubungan dengan pria mana pun. Namun, pria itu tak terima. Beruntung ada ibu Mas Bhanu yang menjelaskan pada pria itu. Sejak saat itu dia mau menerimaku kembali. Akan tetapi, semua tak lagi sama. Pria itu berubah dingin terhadapku.
“Mas!” Aku begitu terpukul dengan perkataan pria itu. “Harus berapa kali aku menjelaskan padamu kalau tak ada pria lain yang pernah menyentuhku.”
“Aku benar-benar kecewa padamu Deema.” Pria itu membuang muka. Dia berdiri membelakangiku.
Aku kembali berdiri di hadapan pria itu. Namun, dia tak mau memandangku. “Apa bercak darah menjadi tolak ukur kesucian seorang wanita? Bagaimana denganmu? Hah!”
“Iya, aku akui itu. Aku memang pria tak tahu diri yang suka bergonta-ganti wanita. Namun, aku tak sepertimu yang luarnya tampak alim, tapi aslinya busuk.” Pria itu meludah di hadapanku
Perkataan Mas Bhanu memang keterlaluan. Aku sudah tidak tahan dengan sikapnya. Andai saat ini juga dia meminta berpisah, aku terima dengan lapang dada.
“Dengar Deema.” Pria itu mendekatkan wajahnya ke telingaku. “Pertama kali aku melakukan itu dengan Afseen, ada noda darah di seprai dan kamu tahu Deema. Rasanya sangat berbeda ketika menyentuhmu dan Afseen. Dia begitu menggairahkan. Tak sepertimu yang membosankan.”
“Mas!” Tak tahan aku mendorong pria itu. Tak cukup sampai di sana, aku juga mendaratkan telapak tanganku di pipinya dengan keras.
Mas Bhanu begitu menjijikkan. Rasanya aku tak sudi melihat wajah pria itu. Berkali-kali aku memukulinya. Namun, pria itu justru menertawakanku.
“Deema, aku masih menerimamu saat ini, itu semua karena ibuku. Jujur aku mencintai Afseen jauh sebelum aku mengenalmu.”
Mas Bhanu menceritakan padaku tentang hubungannya dengan Afseen. Termasuk alasan mereka sempat berpisah. Dia menyalahkanku atas perpisahan mereka. Jika ibunya tak me jodohkannya denganku, mereka pasti sudah hidup bahagia.
Aku hanya bisa menangis mendengar semua pengakuannya.
Pria itu lantas memegang kedua pipiku dengan satu tangannya, membuat bibirku monyong ke depan. “Dengar Deema. Kalau aku harus memilih, aku lebih memilih Afseen dari pada kamu. Wanita bukan hanya ladang uang untukku. Namun, hatiku ini.” Dia menunjuk dadanya. “Hanya ada namanya.”
Aku mencoba melepaskan diri darinya. Sekuat tenaga aku mendorong tubuh pria itu. “Aku juga tidak sudi hidup denganmu. Sekarang juga talak aku, Mas.”
“Baiklah. Sekarang juga aku talak kamu Deema.”
Bersambung ....
“Apa-apaan kamu, Bhanu!”Ibu sangat marah ketika mendengar Mas Bhanu mengucapkan talak padaku. Wanita berusia 55 tahun itu datang pada waktu yang tidak tepat.Beliau menghampiri kami yang masih bersitegang di ruang tamu. Wanita bernama Nirmala itu memandang putranya nyalang.Nirmala—ibu mertuaku—meminta kami untuk duduk bersama.Kami bertiga duduk di ruang keluarga. Suasana sangat tegang pagi itu. Sesaat kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Mas Bhanu duduk menunduk di samping kanan Ibu. Sedangkan aku duduk di samping kiri.Beliau menasihati kami agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Semua harus diselesaikan dengan kepala dingin agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.“Bu, saya mencintai Afseen. Bukan Deema.”Aku hanya bisa mendengar perdebatan antara anak dan ibu itu. Ibu melarangku untuk ikut bicara. Hanya dia yang bisa merubah pemikiran pria itu.“Tapi ibu tidak
Untuk apa bertahan kalau pada akhirnya akan mengecewakan. Untuk apa tetap diam, kalau diam akan menjadi senjata paling tajam dalam menyakiti diri sendiri. Yang harus dilakukan melawan. Melawan hati yang tak pernah dicintai. Menghancurkan hati lain yang ingin menyakiti.“Deema, apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?” Bu Nirmala mendekatiku yang sedang berkemas.Aku menghentikan aktivitas sejenak dan memandang Bu Nirmala. “Insya Allah Deema yakin, Bu.”Keputusanku sudah bulat untuk pergi dari Mas Bhanu. Jika aku bertahan, pria itu akan merasa menang dan memperlakukanku semakin semena-mena. Dia akan berpikir hidupku tergantung padanya. Aku tidak menginginkan itu. Hidup dalam belenggu seorang pria.Aku wanita merdeka. Bebas menentukan kehidupan sendiri. Aku punya pekerjaan. Masih juga memiliki orang tua. Ada tempat untukku bersandar.Setelah semua siap, aku menarik koperku hendak keluar dari rumah Mas Bhanu.“Deema.
Pagi itu aku sedang bersiap hendak berangkat mengajar. Aku baru mengenakan sepatu ketika Bu Nirmala datang ke rumah. Wajah wanita itu terlihat sebab. Entah berapa lama dia menangis. Tak tega aku mempersilakannya masuk.“Silakan diminum, Bu.” Usai membuatkannya minum, aku duduk di sampingnya.Tak ada salahnya untuk berbicara dengan wanita itu sebentar. Jam juga baru menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit.“Bu, ada apa dengan Ibu?”Masih dalam keadaan terisak Ibu menceritakan yang terjadi. Menurut wanita itu, kini Afseen tinggal di rumah Mas Bhanu. Tepatnya sejak aku tanpa sengaja bertemu dengan waktu itu di rumah Bu Nirmala.Ibu juga menceritakan kalau Mas Bhanu mendesak wanita itu untuk menjual rumah yang ditinggalinya. Pria itu beralasan hendak menggunakan uang tersebut sebagai modal usaha. Ibu menolaknya. Karena rumah itu peninggalan almarhum suami Ibu. Kalaupun dijual beliau tak lagi memiliki tempat dia. Bu Nirmala
Pukul sembilan malam. Aku masih sibuk dengan laptop di hadapan. Membuat soal ulangan untuk lusa. Bagaimana aku akan cepat menyelesaikannya. Sedangkan pikiranku terbagi dua. Pikiranku terus tertuju pada Bu Nirmala. Aku begitu khawatir dienggan keadaannya. Apalagi setelah tahu yang dilakukan putranya.“Deema.” Ayah mengetuk pintuku.“Masuk Ayah.”Ayah menghampiriku yang sedang menatap layar laptop di kamar. Pria itu duduk di tepi ranjang.“Ada apa, Ayah? Apa ada yang Ayah butuh kan?”Pria itu menjawab pertanyaanku dengan menggeleng. “Ayah tadi hendak ke kamar mandi. Melihat lampu kamarmu masih menyala, ayah ke sini.” Pria itu menatap laptop di hadapanku.“Deema, sedang membuat soal ulangan, Ayah,” jawabku.“Ayah tahu, kamu sedang memikirkan suamimu itu. Ayah juga tahu kalau kamu tadi dari rumahnya. Untuk apa kamu ke sana?”Aku menjelaskan semua
“Zafran.”Entah aku harus bahagia atau bersedih melihat pria itu. Melihatnya sama saja mengusik luka masa lalu. Andai dia tak menikahi Namira, saat ini pasti kami bersama.Aku kembali berjalan menuju tukang tambal ban. Menghindarinya adalah pilihan tepat. Nyatanya perkenalan yang cukup lama tak membuat kami berjodoh. Memang sedari awal kami tak mengikat diri dengan ikatan yang disebut pacaran. Hanya saja dia pernah berjanji untuk menikahiku usai kami lulus kuliah.“Deema, berhenti!” Pria itu turun dari mobilnya dan berlari menghampiriku. Zafran hendak mengambil alih motorku. Aku tahu pria itu hendak membantuku menuntunnya ke tukang tambal ban.“Tidak usah, aku bisa sendiri.” Aku menolak tawarannya.“Sini biar aku saja. Lihat badanmu penuh dengan keringat. Wajahmu juga pucat. Pasti kamu sangat kelelahan.”Aku memang merasakan lemas. Kepala juga rasanya seperti mendidih karena terlalu lama berjem
Zafran berjalan mendekati kami. Entah bagaimana bisa pria itu ada di sini.“Om, kapan pulang?” tanya Airin.Zafran berjalan mendekati gadis kecil itu.Aku bingung dengan mereka. Ada hubungan apa sebenarnya mereka.“Farabi ini kakakku.” Zafran memandang pria di hadapannya.Kalau dilihat tidak ada kemiripan di antara mereka. Kalaupun jalan bersama tidak ada yang mengira kalau mereka bersaudara.“Deema aku antar kamu pulang, ya.”Cepat aku menggelengkan kepala. Gegas aku berpamitan dan ke liar dari rumah itu.Kondisi yang tidak memungkinkan membuatku melajukan motor perlahan. Tanpa sengaja aku melihat sebuah mobil berjalan di belakangku. Mobil itu sama seperti milik Zafran. Pasti pria itu sengaja mengikuti.Setibanya di rumah, Ayah ternyata sudah menunggu kepulanganku. Pria itu berdiri di teras rumah. Senyumnya mengembang ketika melihatku memasuki halaman. Namun, ketika melihat sebuah mob
“Kenapa aku bukan kamu?” Aku menunjuknya. “Kamu yang hendak menikah dengan Afseen. Harusnya kamu yang mengurus segalanya.“Deema. Sulit untukku mengajukan perceraian ke pengadilan.”“Karena sulit atau memang pelit,” sanggahku. Pasti pria itu tak mau keluar uang untuk mengurus perceraian. Dia juga tidak mau repot mengurus semuanya. Enak aja. Aku tidak mau melakukannya. Dia yang berbuat salah, kenapa aku yang harus menanggung segalanya.Pria itu seperti bingung mendengar jawabanku. “Deema, bukan seperti itu. Tak ada alasan untukku mengajukan perceraian ke pengadilan. Tak ada kesalahan dalam dirimu. Jadi tak ada alasan untukku menceraikanmu Sedangkan kamu, bisa saja kamu menggugatku dengan alasan tidak memberimu nafkah selama enam bulan. Beres.”“Bayar pengacara, Mas. Kamu tinggal ongkang-ongkang di rumah. Pengacara yang akan urus segalanya. Beres.”Tak mau mendengar apa-apalagi, aku be
“Ada apa denganmu Zafran?” Pria itu memandang adiknya lalu beralih memandangku. “Apa yang salah dengan perkataanku. Bukankah memang benar perkataanku.” Pak Farabi menjelaskan kalau guru merupakan orang tua kedua bagi muridnya.Zafran menghela napas lega mendengar penjelasan kakaknya. Pria itu lalu kembali melanjutkan makannya. Aku hanya bisa menghela napas lega, karena awalnya aku berpikir ada maksud lain dari perkataannya.“Tapi, Papa.” Airin memandang Ayahnya. Gadis seakan tak terima dengan ucapan Pak Farabi “Itu beda.”“Beda gimana?” tanya Pak Farabi.“Airin maunya ibu beneran!” Gadis cilik itu memandang papanya.Mendengar hal itu aku kembali terlonjak. Sedangkan Zafran menundukkan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya.“Mana bisa, Airin. Ibu Deema kan sudah punya suami.” Pria itu memandangku.“Ya ....” Mendengar jawaban papanya, Airi