Share

Sakit

“Ada apa denganmu Zafran?” Pria itu memandang adiknya lalu beralih memandangku. “Apa yang salah dengan perkataanku. Bukankah memang benar perkataanku.” Pak Farabi menjelaskan kalau guru merupakan orang tua kedua bagi muridnya.

Zafran menghela napas lega mendengar penjelasan kakaknya. Pria itu lalu kembali melanjutkan makannya. Aku hanya bisa menghela napas lega, karena awalnya aku berpikir ada maksud lain dari perkataannya.

“Tapi, Papa.” Airin memandang Ayahnya. Gadis seakan tak terima dengan ucapan Pak Farabi “Itu beda.”

“Beda gimana?” tanya Pak Farabi.

“Airin maunya ibu beneran!” Gadis cilik itu memandang papanya.

Mendengar hal itu aku kembali terlonjak. Sedangkan Zafran menundukkan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya.

“Mana bisa, Airin. Ibu Deema kan sudah punya suami.” Pria itu memandangku.

“Ya ....” Mendengar jawaban papanya, Airin lesu. “Emang enggak bisa ya, kalau sudah bersuami jadi ibunya Airi.”

“Airin. Kalau kamu mau kamu bisa anggap ibu seperti ibumu.” Aku menerangkan pada gadis kecil itu. Andai dia ingin makan, makanan masakkanku, aku akan memasak untuknya.

Mendengar penjelasanku Airin berlari menghampiriku yang masih berdiri tak jauh dari mereka. Erat, Airin memelukku. “Beneran ya, Bu.” Dia mendongak memandangku. “Tapi Airin akan lebih senang kalau Bu Deema jadi ibunya Airin beneran.”

Semua yang ada di sana memandangku. Aku merasa tidak nyaman pada situasi ini. Akhirnya, aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya. Merasa canggung aku segera berpamitan pada mereka. Sebelumnya aku meminta izin untuk meminjam mantel.

“Apa tidak sebaiknya Bu Deema saya atau Zafran yang mengantarkan. Soalnya masih hujan. Jalan juga licin. Sangat berbahaya.”

Aku meyakinkan pria itu agar tidak khawatir dengan mengatakan aku sudah biasa bawa motor sendiri dalam segala situasi dan kondisi.

Setelah mendengar penjelasanku, pria itu memanggil Mbak Darsi untuk mengambilkan mantel.

***

Aku merebahkan diri usai melaksanakan kewajiban dua rakaat. Badan terasa sangat lelah hari ini. Apalagi setelah terkena guyuran hujan semalam membuat badan serasa akan meriang.

“Deema.” Ayah beberapa kali mengetuk pintu. Aku memintanya masuk karena memang pintu tidak aku kunci.

Membawa sebuah cangkir dengan asap yang masih mengepul Ayah berjalan mendekatiku. Aku tahu isi cangkir itu. Jahe. Aromanya menguar hingga ke hidungku.

Ayah masih sama seperti dulu. Selalu merasa khawatir ketika putrinya ini terkena guyuran hujan. Seperti saat ini, dia membuatkan wedang jahe untuk menghangatkan tubuhku. Pria itu sangat mengerti kalau putrinya tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.

“Deema, minumlah ini.” Ayah duduk di tepi ranjang.

Aku menyikap selimut yang menutupi diri lalu duduk. “Terima kasih, Ayah.” Aku mengambil alih gelas yang ada di tangan.

Sedikit demi sedikit aku menyeruput wedang jahe yang dibuatkan Ayah. Rasanya enak, tak terlalu pedas, dan manis. Semua terasa pas dilidahku.

“Deema.”

Aku memandang Ayah. “Ya, Ayah.”

“Tempo hari Bhanu ke sini ada perlu apa?”

“Tidak apa-apa, Ayah.”

“Nak, Ayah melihat kedatangannya waktu itu. Ayah melihat pria itu sangat marah. Apa dia memintamu untuk kembali?”

Aku menggelengkan kepala. Aku menceritakan pada Ayah tentang pertemuan kami tempo hari pada beliau.

“Syukurlah kalau begitu. Zafran, apa kamu bertemu dengannya lagi?”

Aku menggelengkan kepala. Aku terpaksa membohongi Ayah. Bila beliau tahu kalau aku sering bertemu di rumah Pak Farabi, pasti Ayah akan memintaku untuk tidak mengajar les lagi di rumah Airin.

“Bagaimana dengan jualanmu?”

“Iya.”

“Jangan terlalu memforsir energimu, Deema.”

Aku menjelaskan pada Ayah kalau aku hanya sebagai reseller. Aku hanya mencari pembeli tanpa stok barang. Hampir semua menangani dari agen resmi yang aku ikuti. Jadi aku tidak perlu repot. Hanya mengunggah barang dan membalas pesan.

“Ingat jangan terlalu berambisi untuk suatu hal. Ayah tahu kamu sedang ingin membuktikan kalau kamu bisa hidup lebih baik lagi. Namun, ingat jaga kesehatanmu.”

Aku menganggukkan kepala.

“Nak dengarkan Ayahmu. Hidup tak hanya sekedar untuk membuktikan kalau diri kita lebih baik dari orang lain. Terutama orang yang dibenci. Akan tetapi, hidup itu bagaimana cara kita agar menjadi baik di mata-Nya.” Ayah mendongak ke atas.

“Iya, Ayah. Deema paham.”

“Besok jangan lagi menerobos hujan. Lebih baik kamu pulang mengendarai ojek daring. Ayah tidak mau kalau sampai sakit.”

Aku meyakinkan Ayah bila dalam keadaan baik-baik saja.

Setelahnya Ayah pamit. Sebelum pergi dia memintaku untuk beristirahat saja hari itu. Karena Ayah tahu setelah kehujanan aku pasti akan terserang flu. Pria itu adalah satu-satunya orang yang sangat memahamiku.

Pukul setengah tujuh, aku sudah siap untuk berangkat mengajar. Aku mengendarai motor perlahan. Walau matahari sudah meninggi, aku masih merasakan hawa dingin yang begitu luar biasa. Padahal aku juga sudah mengenakan jaket tebal. Kalau begini aku harus meminum parasetamol. Kalau tidak aku tidak bisa mengajar. Sedangkan sebentar lagi akan diadakan penilaian tengah semester.

Setibanya di sekolah, aku mencari parasetamol dari dalam tasku. Biasanya aku membawa beberapa di dalam tas untuk berjaga-jaga. Namun, kali ini aku tidak membawanya. Biasanya juga aku membawa obat masuk angin cair. Kali ini juga tidak ada satu pun dalam tasku.

“Bu Deema cari apa?” tanya Bu Citra wali kelas lima

“Obat, Bu,” jawabku dengan pandangan dan tangan yang masih sibuk mencari obat dalam tas.

“Bu Deema sakit?”

Aku menggeleng dan mengatakan pada wanita itu kalau aku hanya sedikit tak enak badan karena kehujanan semalam.

“Oh.” Wanita itu lantas membuka tas dan mengambil sesuatu dari dalamnya. “Kebetulan saya ada obat masuk angin. Silakan kalau Bu Deema berkenan.”

Aku meraih obat masuk angin dari tangan Bu Deema. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih padanya. Untuk sementara aku aman dan bisa mengajar dengan tenang.

Setelah meminum obat masuk angin, aku masuk kelas. Hari ini ulangan harian. Jadi aku agak sedikit santai. Hanya mengawasi mereka saja.

Usai membagikan soal, aku kembali duduk. Sesekali aku berjalan berkeliling mengawasi mereka. Tiba-tib keringat membasahi wajah dan tubuhku. Badan juga terasa lemas. Aku pun duduk dan mengambil air minum dalam botol yang kubawa. Sebelumnya aku meminta maaf terlebih dahulu pada anak-anak karena minum di kelas. Aku juga mengatakan alasanku.

Bel tanda pelajaran telah berakhir pun berbunyi. Aku meminta Airin untuk mengumpulkan lembar jawaban.

“Bu Deema sakit, ya?” tanya gadis kecil itu.

“Ibu sedikit tak enak badan.” Aku mengambil lembar jawaban pada gadis cilik itu. Tak lupa aku berterima kasih padanya dan kembali ke kantor.

Kebetulan sekali jam berikutnya adalah mata pelajaran agama. Jadi aku bisa izin untuk pulang dan beristirahat.

Pukul sepuluh, aku tiba di rumah. Bergegas aku menuju kamar dan merebahkan diri tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Rasanya sudah tidak tahan dengan kondisi badan. Demam, menggigil. Aku menarik selimut untuk menutupi diri dan tidur.

 Ayah sedang tak di rumah kala itu. Beliau seperti biasa ke kebun yang ditanami berbagai sayuran miliknya. Dan baru akan pulang setelah dhuhur.

Aku kembali terjaga, ketika pintu rumah diketuk dengan keras. Semakin lama semakin keras. Aku pun bangun untuk melihat siapa yang datang. Waktu itu jam menunjukkan pukul setengah dua belas.

Aku berjalan ke depan dengan berpegangan dinding. Kepala rasanya berputar. Perut juga terasa mual. Sungguh lengkap ujian yang aku alami.

Ketukan pintu kembali terdengar. Disusul ucapan salam. Aku pun menjawabnya.

“Mas Bhanu.”

“Deema kenapa lama sekali kami?” Pria itu memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Kepala yang pusing membuatku samar-samar mendengarnya.

“Kamu mau apa ke sini lagi?” tanyaku yang masih berdiri di ambang pintu. Aku sengaja tak memintanya masuk ke rumah.

“Aku mau kamu segera mengurus perceraian kita.”

Aku sebenarnya malas sekali berdebat dengannya. Apalagi kondisiku sedang tak memungkinkan.

“Urus saja sendiri. Aku sudah tak mau tahu soal kamu.”

“Kamu yang urus?”

“Kenapa bukan kamu? Apa kamu takut aku meminta harta gono gini?”

Pria itu terdiam. Pasti Afseen takut aku meminta sebagian harta Mas Bhanu. Jadi dia yang meminta pria itu untuk mendesakku menggugat cerai Mas Bhanu.

“Tenang saja, Mas. Aku bukan wanita gila harta. Kamu urus saja perceraian kita. Aku tak akan meminta apa pun darimu.” Sudah tak kuat berdiri, aku membalikkan badan dan berjalan masuk. Rasanya sudah tak tahan untuk kembali merebahkan diri.

“Deema.” Mas Bhanu menarikku. “Aku belum selesai.”

“Mas, lepaskan. Apa lagi yang kamu mau dariku.” Aku coba melepaskan tangannya dariku.

“Aku mau kamu yang urus perceraian kita!”

“Aku bilang tidak ya, tidak.” Aku mengentakkan tangan. Terlepas. Aku segera masuk dan menutup pintu. Namun, pria itu menahannya. Dia ikut masuk rumah dan mengunciku pada dinding. Kedua tangannya memegang kedua tanganku. Tatapannya tajam memandangku.

“Mas lepaskan aku!” Aku berteriak, menangis, meronta memohon padanya untuk melepaskanku dan pergi.

“Kalau kamu tak mau melakukannya, kita kembali lagi bersama.” Pria itu sungguh menjijikkan. Aku coba melepaskan diri. Kondisi yang lemah membuatku tak berdaya.

Mas Bhanu semakin memojokkanku ke dinding. Dia juga semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku. “Apa yang akan kamu lakukan, Mas.”

“Kembali memilikimu. Bukankah kamu menginginkannya?”

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
berteriak dan minta tolong atau tendang tuh burung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status