共有

Hujan

last update 最終更新日: 2021-11-13 07:18:04

“Kenapa aku bukan kamu?” Aku menunjuknya. “Kamu yang hendak menikah dengan Afseen. Harusnya kamu yang mengurus segalanya.

“Deema. Sulit untukku mengajukan perceraian ke pengadilan.”

“Karena sulit atau memang pelit,” sanggahku. Pasti pria itu tak mau keluar uang untuk mengurus perceraian. Dia juga tidak mau repot mengurus semuanya. Enak aja. Aku tidak mau melakukannya. Dia yang berbuat salah, kenapa aku yang harus menanggung segalanya.

Pria itu seperti bingung mendengar jawabanku. “Deema, bukan seperti itu. Tak ada alasan untukku mengajukan perceraian ke pengadilan. Tak ada kesalahan dalam dirimu. Jadi tak ada alasan untukku menceraikanmu Sedangkan kamu, bisa saja kamu menggugatku dengan alasan tidak memberimu nafkah selama enam bulan. Beres.”

“Bayar pengacara, Mas. Kamu tinggal ongkang-ongkang di rumah. Pengacara yang akan urus segalanya. Beres.”

Tak mau mendengar apa-apalagi, aku berjalan meninggalkannya masuk rumah.

“Deema, berhenti!” Pria itu menarik tanggaku segera aku menepisnya.

“Apa lagi si, Mas? Bukannya kamu yang sudah tak menyukaiku. Urus perceraian kita. Bukankah istri siri kamu itu ladang yang bagimu!” Aku menunjuk ke arah mobil.

Tanda kuduga ternyata Afseen ada di dalam mobil. Wanita itu membuka kaca jendela mobil. Sepertinya dia mendengar namanya dipanggil. Wanita berkaca mata hitam dengan rambut panjang yang dikuncir kuda itu berjalan mendekat.

“Deema, apa kamu tidak mendengar apa yang dikatakan Mas Bhanu. Sulit untuk seorang suami mengurus perceraian. Lebih mudah kalau istri yang menggugat suaminya,” terang wanita itu.

“Apa kamu juga tidak mendengar apa yang aku katakan tadi. Pakai pengacara.” Aku menunjuk dada Afseen. “Pergilah! Melihat kalian itu sama saja melihat kerbau yang sedang mandi di kubangan yang penuh kotoran mereka. Menjijikkan.”

Aku kembali berjalan masuk ke dalam rumah. Lalu menutup pintu rapat. Dari balik pintu, aku bisa mendengar luapan amarah pria itu. Biarlah semua menjadi pembelajaran untuknya. Biarlah pria itu yang bersusah payah mengurus segalanya. Bukan hanya diam menunggu hasilnya. Sebenarnya, aku juga bisa mengurus semuanya, tapi sengaja tak kulakukan.

***

“Liz.” Aku mengaduk-aduk alpukat kocok yang ada di hadapanku. Siang itu aku duduk di halaman rumah Liza sebelum mengajar les privat Airin.

Aku memang sering ke rumah Liza. Sekedar melepas penat atau mencari teman bicara. Di rumah, aku selalu sendiri. Hanya ada Ayah. Pria itu juga tak selalu berada di rumah.

 “Seberapa kamu mengenal Pak Farabi?” Aku beralih memandang Liza yang duduk di sebelahku.

“Apa maksudmu?” Liza memandangku. Satu tangannya memegang gelas plastik yang berisi alpukat kocok.

“Seberapa kamu tahu keluarga Pak Farabi?”

Sejenak Liza terdiam. “Aku juga tidak terlalu kenal si. Soalnya Pak Farabi jarang ke luar rumah. Tahu sendiri bagaimana kesibukannya.”

Aku juga menanyakan sudah berapa lama keluarga Pak Farabi tinggal di sana. Menurut Liza dia tinggal di sana semenjak Airin masih bayi.

“Kalau Zafran?”

“Ada apa dengan dia? Bukanya kamu sudah melupakannya?”

Aku menatap awan yang berjala perlahan karena tertiup angin. Haruskah aku menceritakan pada Liza pertemuanku dengan Zafran kemarin. Sesungguhnya aku juga penasaran, apakah Liza sebenarnya tahu kalau Zafran itu adalah adik Pak Farabi.

“Aku kemarin tak sengaja bertemu dengannya.”

“Di mana?” Liza mendekatkan wajahnya padaku.

“Di rumah Pak Farabi.”

Liza melotot mendengarnya. Mungkin dia tak tahu kalau Zafran adalah adik Pak Farabi. “Sedang apa dia di sana?”

“Dia adik Pak Farabi.”

“Hah!” Liza terkejut mendengarnya.

Aku menceritakan pertemuanku dengan Zafran tempo hari pada sahabatku itu.

“Terus sekarang gimana? Apa kamu akan mengundurkan diri jadi guru les privat Airin?”

Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak akan melakukan hal itu, Liz. Mana mungkin hanya karena masa lalu aku melalaikan kewajibanku. Memang melihatnya sama saja menyakiti diri sendiri. Namun, aku tidak boleh egois, Liz. Airin membutuhkanku.”

“Aku salut padamu, Deema.” Wanita itu menggenggam kedua tanganku.

“Hampir jam dua. Aku pergi dulu, ya.” Aku melangkahkan kaki meninggalkan Liza.

Sahabatku itu memandangku yang sedang memakai helm. Aku tersenyum padanya. Meyakinkan wanita itu bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja.

***

Sore itu hujan jatuh di tengah musim kemarau. Padahal sedari pagi cuaca cerah. Entah mengapa tiba-tiba mendung datang. Aroma khas tanah kering yang tersiram hujan menguar hingga ke indra penciuman. Airin yang sedang belajar bersamaku memandang ke luar jendela.

“Kamu suka hujan Airin?”

Gadis itu memandangku seraya menganggukkan kepala.

“Kamu tahu dari mana asalnya hujan?”

Lagi-lagi Airin menganggukkan kepala. “Dari langit.”

Mendengarnya aku tersenyum. “Hujan itu berasal dari penguapan air sungai, air danau, dan air laut yang berubah menjadi awan. Setelah itu air akan kembali mencair dan jatuh sebagai air hujan. Untuk proses selengkapnya nanti akan dipelajari pada jenjang yang lebih tinggi.”

“Kalau petir? Apakah terjadi karena awan saling berbenturan?” Gadis kecil itu memandangku serius dengan siku bertumpu meja. Sedangkan telapak tangan bertumpu dagu.

“Petir itu pelepasan listrik. Bisa terjadi dari awan ke awan lain atau dari awan ke bumi. Bukan karena awan yang saling bertabrakan. Untuk penjelasan lengkapnya nanti kalau Airin sudah besar.” Aku menggerakkan tangan hingga ke atas kepala. Melihat hal itu Airin tertawa.

“Airin kan sudah besar, Bu.” Gadis kecil itu berdiri. Dia melompat-lompat memberi tahu kalau dirinya sudah besar.

Aku juga ikut berdiri dan menjajarinya. “Coba lihat, sama ibu tinggi mana?”

Gadis kecil itu mendongak memandangku. Dia tertawa hingga menampakkan dua gigi depannya yang ompong. Apalagi kalau tersenyum, mata Airin menutup karena matanya memang sipit. Manis sekali.

Ehem!

Kami berhenti bercanda dan tertawa ketika mendengar suara deheman. Sontak kami bersama memandang ke sumber suara. Pak Farabi. Ada Zafran bersamanya. Airin berlari ke arah mereka. Mencium tangan kedua tangan itu bergantian.

Aku melihat jam di dinding tempat belajar Airin sudah pukul setengah empat. Saatnya untukku pulang.

“Pak saya pamit pulang dulu.”

Pak Farabi yang awalnya pandangnya tertuju pada Airin memandangku. “Di luar masih hujan. Tunggulah sebentar,” pinta pria itu.

“Iya, Bu Deema. Benar kata Ayah,” timpal Airin.

Karena tak membawa mantel, akhirnya aku menurut perkataan mereka untuk menunggu hujan reda. Namun, sebelumnya aku meminta izin untuk menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.

Usai salat aku memilih ke belakang menghampiri Mbak Darsi. Karena aku melihat Airin sedang asyik main game bersama Zafran dan papanya.

“Mbak, masak apa?” Aku mendekati Mbak Darsi yang sedang memasak di dapur. Wanita itu sangat cekatan memotong terong di hadapannya. Aku pun menawarkan diri untuk membantunya.

“Jangan, Mbak. Saya takut nanti Pak Farabi marah sama saya.”

Aku tersenyum memandang wanita itu. “Memangnya saya siapa, Mbak. Saya juga sama kayak Mbak bekerja untuk Pak Farabi.” Mendengar penjelasanku, Mbak Darsi akhirnya mengizinkanku untuk membantu.

“Terongnya mau dimasak apa, Mbak?” Aku yang menawarkan diri membantu mengupas bawang memandang Mbak Darsi.

“Balado, Mbak.”

“Kalau gitu, biar saya saja yang buat bumbunya.”

Wanita itu mengangguk. Aku lantas menyiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan lalu menguleknya. Memang peralatan di rumah Pak Farabi sangat komplit ada blender juga untuk menghaluskan bumbu. Namun, aku memilih pakai cobek. Karena akan menambah cita rasa tersendiri.

Hingga Azan magrib berkumandang hujan tak reda juga. Aku juga sudah menelepon Ayah kalau aku menunggu hujan reda baru pulang. Aku berencana hendak meminjam mantel Pak Farabi untuk pulang selepas Salat Magrib.

“Pak saya mau pinjam mantel untuk pulang.” Aku mendekati Pak Farabi yang sedang duduk di meja makan bersama Zafran dan Airin.

“Nanti. Sini makan dulu.” Pria itu menunjuk kursi yang berada di dekatnya.

“Tidak. Terima kasih.”

“Bu Deema. Sini makan bareng Airin.” Gadis kecil itu melambaikan tangan. “

“Tidak Airin terima kasih.”

“Kata Mbak Darsi yang masak Bu Deema, ya?” tanya gadis kecil itu. Dua pria yang duduk bersamanya memandangku dan Airin bergantian. “Masakan Bu Deema enak banget. Andai Bu Deema, ibunya Airin. Pasti Airin akan makan dengan lahap setiap hari.”

“Bukankah sekarang Bu Deema sudah menjadi ibumu.” Perkataan Pak Farabi begitu mengejutkanku.

Zafran terbatuk karena tersendat makanan.

Bersambung ....

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Talak Usai Bertemu Mantan   Ending

    Hal itu membuatku malu, aku lantas menyenggol lengan pria itu karena malu. Sedangkan Ayah tersenyum melihat tingkah kami. “Ayah, Deema punya kabar bahagia,” ucapku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan perihal kehamilanku pada Ayah. “Kabar apa, Deema?” Ayah yang duduk di teras bersama kami memandangku. Pria itu sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarnya. Sejenak aku memandang Pak Farabi yang duduk di sampingku untuk meminta izin padanya. Pria itu mengangguk. Gegas, aku mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ayah. “Buka, Yah. Kabar bahagianya ada di sana.” Aku menunjuk kotak beludru berwarna biru itu pada Ayah. Perlahan, Ayah membukanya. “Apa ini, Deema?” tanya Ayah memandangku. Pria itu lantas mengamati benda kecil yang berada di dalam kotak. “Deema hamil Ayah.” Mendengar itu, mata Ayah berkaca-kaca. “Benarkah itu, Deema?” Pria itu seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. “Iya, Ayah. Sebentar lagi, Ayah akan memiliki cuc

  • Talak Usai Bertemu Mantan   Kehamilan yang Dinantikan

    Aku begitu terharu ketika dokter menyatakan aku telah hamil delapan minggu. Memang aku terakhir datang bulan sebelum berangkat bulan madu. Sehari setelah mengetahui kabar kehamilan, aku dan Pak Farabi pulang ke kota kelahiran kami. Kepulangan kami tak ada satu keluarga pun yang tahu. Pun dengan berita kehamilanku. Aku dan Pak Farabi berencana ingin memberi kejutan pada semua keluarga. Pulang dari bandara kami sengaja tak menelepon sopir untuk menjemput. Melainkan mengendarai taksi daring. “Deema, Farabi, kenapa kalian sudah pulang?” tanya Bu Sekar. Beliau begitu terkejut melihat kepulanganku dan Pak Farabi malam itu.Berbeda dengan beliau, Airin justru sangat bahagia melihat kehadiran kami. Gadis kecil itu bahkan berlari untuk memelukku.Kami berdua hanya diam mendengar pertanyaan Bu Sekar.“Apa ada kabar bahagia untuk kami?” tanya Bu Sekar kembali.Pak Farabi yang sedari tadi pura-pura memasang wajah memelas, menjawab kalau aku tak mau disentuh olehnya.Sontak Bu Sekar marah pad

  • Talak Usai Bertemu Mantan   Cucu 2

    Hubunganku dengan Pak Farabi juga semakin baik, hanya saja aku belum melakukan ritual malam pertama dengan pria itu. Padahal sebelumnya kami berdua sama-sama pernah menikah. Aku heran juga pada pria itu, kenapa dia bisa begitu sabar menahan hawa nafsunya. “Farabi, kapan kamu punya anak dari Deema?” Minggu siang, Bu Sekar ke rumah bersama dengan Rana. Waktu itu Rana dan Airin asyik bermain di ruang keluarga. Aku menemani mereka berdua. Sedangkan Ibu dan Pak Farabi duduk di sofa. Seketika tatapan Pak Farabi beralih padaku. Pria itu seakan-akan memintaku untuk menjelaskan semua pada Ibu. Tak mau ambil pusing, aku mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sedang asyik main kereta es krim di sampingku. “Kalau perlu, kalian pergi ke dokter.” Wanita itu semakin memojokkan Pak Farabi. “Bu, bagaimana bisa Deema hamil, Farabi aja belum menyentuhnya.” Entah pria itu keceplosan atau memang sengaja. Suara Ibu seketika menggelegar, memenuhi ruang keluarga. Tak ingin mendengar obrolan orang

  • Talak Usai Bertemu Mantan   Cucu

    Menurutnya, semalam yang melihatku dan menahan agar tidak jatuh adalah Mbak Darsi. Wanita itu juga yang menjagaku hingga Pak Farabi pulang. Mengenai kepulangan Pak Farabi, Zafran yang menghubunginya.“Deema bagaimana keadaanmu saat ini? Sudah enakkan kah?” Aku tak menjawab pertanyaan pria itu. Melihatku hanya diam saja, Pak Farabi coba meraih tubuhku.“Eh! Bapak mau ngapain?”“Membawamu ke dokter.”“Aku sudah tidak apa-apa. Mungkin karena semalam aku lupa makan. Jadi masuk angin.”Melotot, Pak Farabi memandangku. Dia bertanya kenapa aku tak makan semalam. Alih-alih menjawab, aku justru mengalihkan perhatian dengan menanyakan kenapa dirinya pulang lebih cepat. Tak mungkin juga aku mengatakan Zafran adalah alasanku tak makan.“Mendengarmu sakit saja sudah mampu mengalihkan duniaku. Beruntung pekerjaan sudah selesai hanya Ayah yang tinggal di sana. Sedangkan aku memilih pulang. Mana sanggup aku jauh darimu!” Pria itu menoel hidungku.Aku begitu bersyukur bisa memiliki Pak Farabi. Walaup

  • Talak Usai Bertemu Mantan   Seatap dengan Mantan

    “Ya, sudah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik Deema.” Sebelum pergi Pak Farabi mengecup keningku. Hal itu juga dilihat oleh Zafran yang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat pria itu intens menatap ke arah kami. Pada posisi ini aku benar-benar merasa tidak enak hati.Pada acara makan malam bersama aku merasa canggung karena duduk satu meja dengan Zafran. Sedangkan Namira berada di kamar. Wanita itu makan di kamarnya karena kondisi yang tidak memungkinkan.Di sampingku duduk, ada Rana dan Airin. Telaten, aku menyuapi buah hati Namira dan Zafran itu. Ibu juga menawarkan diri untuk menyuapi gadis kecil itu, tapi aku melarangnya dengan dalih dia kelelahan.Kami makan hanya berlima, karena Pak Adilaga juga pergi bersama Pak Farabi Da urusan penting katanya. Menurut Pak Farabi mereka baru pulang besok pagi. Urusan apa aku sendiri tidak tahu.“Deema, kamu tidak makan?” Ibu memandangku yang masih menyuapi Rana.“Habis menyuapi Rana, Bu.”“Ya sudah.” Wanita itu kembali melanjutkan makan.

  • Talak Usai Bertemu Mantan   Bahaya Satu Atap dengan Mantan

    Napas terasa berat. Dada terasa sesak. Aku begitu tak menyangka dengan kejadian yang menimpaku tadi. Beruntung Pak Farabi sigap dan mendorong tubuh Mas Dhanu menjauh. Dibantu Bu Nirmala, suamiku itu mendorong tubuh pria itu. Sedang aku berlari keluar. Bu Nirmala gegas mengunci pintu kamar pria itu. Dari luar, aku masih bisa mendengar beberapa kali pria itu memanggil namaku. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bu Nirmala berkali-kali meminta maaf. “Deema. Tenanglah.” Pak Farabi menggenggam kedua pundakku. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Bukan hanya rasa takut yang menyelimuti diri, tapi juga rasa berdosa karena disentuh pria bukan mahramku. Kami bergegas pamit pada Bu Nirmala dan Bu Diah. Dengan derai air mata penyesalan, wanita itu melepas kepergianku. Mungkin, ini kali terakhir, aku menginjakkan kaki di rumah itu Di tengah perjalanan, karena tak tega melihat kondisiku, Pak Farabi menghentikan mobil. Memberi waktu agar aku lebih tenang. Namun, setengah jam

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status