Share

Hujan

“Kenapa aku bukan kamu?” Aku menunjuknya. “Kamu yang hendak menikah dengan Afseen. Harusnya kamu yang mengurus segalanya.

“Deema. Sulit untukku mengajukan perceraian ke pengadilan.”

“Karena sulit atau memang pelit,” sanggahku. Pasti pria itu tak mau keluar uang untuk mengurus perceraian. Dia juga tidak mau repot mengurus semuanya. Enak aja. Aku tidak mau melakukannya. Dia yang berbuat salah, kenapa aku yang harus menanggung segalanya.

Pria itu seperti bingung mendengar jawabanku. “Deema, bukan seperti itu. Tak ada alasan untukku mengajukan perceraian ke pengadilan. Tak ada kesalahan dalam dirimu. Jadi tak ada alasan untukku menceraikanmu Sedangkan kamu, bisa saja kamu menggugatku dengan alasan tidak memberimu nafkah selama enam bulan. Beres.”

“Bayar pengacara, Mas. Kamu tinggal ongkang-ongkang di rumah. Pengacara yang akan urus segalanya. Beres.”

Tak mau mendengar apa-apalagi, aku berjalan meninggalkannya masuk rumah.

“Deema, berhenti!” Pria itu menarik tanggaku segera aku menepisnya.

“Apa lagi si, Mas? Bukannya kamu yang sudah tak menyukaiku. Urus perceraian kita. Bukankah istri siri kamu itu ladang yang bagimu!” Aku menunjuk ke arah mobil.

Tanda kuduga ternyata Afseen ada di dalam mobil. Wanita itu membuka kaca jendela mobil. Sepertinya dia mendengar namanya dipanggil. Wanita berkaca mata hitam dengan rambut panjang yang dikuncir kuda itu berjalan mendekat.

“Deema, apa kamu tidak mendengar apa yang dikatakan Mas Bhanu. Sulit untuk seorang suami mengurus perceraian. Lebih mudah kalau istri yang menggugat suaminya,” terang wanita itu.

“Apa kamu juga tidak mendengar apa yang aku katakan tadi. Pakai pengacara.” Aku menunjuk dada Afseen. “Pergilah! Melihat kalian itu sama saja melihat kerbau yang sedang mandi di kubangan yang penuh kotoran mereka. Menjijikkan.”

Aku kembali berjalan masuk ke dalam rumah. Lalu menutup pintu rapat. Dari balik pintu, aku bisa mendengar luapan amarah pria itu. Biarlah semua menjadi pembelajaran untuknya. Biarlah pria itu yang bersusah payah mengurus segalanya. Bukan hanya diam menunggu hasilnya. Sebenarnya, aku juga bisa mengurus semuanya, tapi sengaja tak kulakukan.

***

“Liz.” Aku mengaduk-aduk alpukat kocok yang ada di hadapanku. Siang itu aku duduk di halaman rumah Liza sebelum mengajar les privat Airin.

Aku memang sering ke rumah Liza. Sekedar melepas penat atau mencari teman bicara. Di rumah, aku selalu sendiri. Hanya ada Ayah. Pria itu juga tak selalu berada di rumah.

 “Seberapa kamu mengenal Pak Farabi?” Aku beralih memandang Liza yang duduk di sebelahku.

“Apa maksudmu?” Liza memandangku. Satu tangannya memegang gelas plastik yang berisi alpukat kocok.

“Seberapa kamu tahu keluarga Pak Farabi?”

Sejenak Liza terdiam. “Aku juga tidak terlalu kenal si. Soalnya Pak Farabi jarang ke luar rumah. Tahu sendiri bagaimana kesibukannya.”

Aku juga menanyakan sudah berapa lama keluarga Pak Farabi tinggal di sana. Menurut Liza dia tinggal di sana semenjak Airin masih bayi.

“Kalau Zafran?”

“Ada apa dengan dia? Bukanya kamu sudah melupakannya?”

Aku menatap awan yang berjala perlahan karena tertiup angin. Haruskah aku menceritakan pada Liza pertemuanku dengan Zafran kemarin. Sesungguhnya aku juga penasaran, apakah Liza sebenarnya tahu kalau Zafran itu adalah adik Pak Farabi.

“Aku kemarin tak sengaja bertemu dengannya.”

“Di mana?” Liza mendekatkan wajahnya padaku.

“Di rumah Pak Farabi.”

Liza melotot mendengarnya. Mungkin dia tak tahu kalau Zafran adalah adik Pak Farabi. “Sedang apa dia di sana?”

“Dia adik Pak Farabi.”

“Hah!” Liza terkejut mendengarnya.

Aku menceritakan pertemuanku dengan Zafran tempo hari pada sahabatku itu.

“Terus sekarang gimana? Apa kamu akan mengundurkan diri jadi guru les privat Airin?”

Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak akan melakukan hal itu, Liz. Mana mungkin hanya karena masa lalu aku melalaikan kewajibanku. Memang melihatnya sama saja menyakiti diri sendiri. Namun, aku tidak boleh egois, Liz. Airin membutuhkanku.”

“Aku salut padamu, Deema.” Wanita itu menggenggam kedua tanganku.

“Hampir jam dua. Aku pergi dulu, ya.” Aku melangkahkan kaki meninggalkan Liza.

Sahabatku itu memandangku yang sedang memakai helm. Aku tersenyum padanya. Meyakinkan wanita itu bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja.

***

Sore itu hujan jatuh di tengah musim kemarau. Padahal sedari pagi cuaca cerah. Entah mengapa tiba-tiba mendung datang. Aroma khas tanah kering yang tersiram hujan menguar hingga ke indra penciuman. Airin yang sedang belajar bersamaku memandang ke luar jendela.

“Kamu suka hujan Airin?”

Gadis itu memandangku seraya menganggukkan kepala.

“Kamu tahu dari mana asalnya hujan?”

Lagi-lagi Airin menganggukkan kepala. “Dari langit.”

Mendengarnya aku tersenyum. “Hujan itu berasal dari penguapan air sungai, air danau, dan air laut yang berubah menjadi awan. Setelah itu air akan kembali mencair dan jatuh sebagai air hujan. Untuk proses selengkapnya nanti akan dipelajari pada jenjang yang lebih tinggi.”

“Kalau petir? Apakah terjadi karena awan saling berbenturan?” Gadis kecil itu memandangku serius dengan siku bertumpu meja. Sedangkan telapak tangan bertumpu dagu.

“Petir itu pelepasan listrik. Bisa terjadi dari awan ke awan lain atau dari awan ke bumi. Bukan karena awan yang saling bertabrakan. Untuk penjelasan lengkapnya nanti kalau Airin sudah besar.” Aku menggerakkan tangan hingga ke atas kepala. Melihat hal itu Airin tertawa.

“Airin kan sudah besar, Bu.” Gadis kecil itu berdiri. Dia melompat-lompat memberi tahu kalau dirinya sudah besar.

Aku juga ikut berdiri dan menjajarinya. “Coba lihat, sama ibu tinggi mana?”

Gadis kecil itu mendongak memandangku. Dia tertawa hingga menampakkan dua gigi depannya yang ompong. Apalagi kalau tersenyum, mata Airin menutup karena matanya memang sipit. Manis sekali.

Ehem!

Kami berhenti bercanda dan tertawa ketika mendengar suara deheman. Sontak kami bersama memandang ke sumber suara. Pak Farabi. Ada Zafran bersamanya. Airin berlari ke arah mereka. Mencium tangan kedua tangan itu bergantian.

Aku melihat jam di dinding tempat belajar Airin sudah pukul setengah empat. Saatnya untukku pulang.

“Pak saya pamit pulang dulu.”

Pak Farabi yang awalnya pandangnya tertuju pada Airin memandangku. “Di luar masih hujan. Tunggulah sebentar,” pinta pria itu.

“Iya, Bu Deema. Benar kata Ayah,” timpal Airin.

Karena tak membawa mantel, akhirnya aku menurut perkataan mereka untuk menunggu hujan reda. Namun, sebelumnya aku meminta izin untuk menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.

Usai salat aku memilih ke belakang menghampiri Mbak Darsi. Karena aku melihat Airin sedang asyik main game bersama Zafran dan papanya.

“Mbak, masak apa?” Aku mendekati Mbak Darsi yang sedang memasak di dapur. Wanita itu sangat cekatan memotong terong di hadapannya. Aku pun menawarkan diri untuk membantunya.

“Jangan, Mbak. Saya takut nanti Pak Farabi marah sama saya.”

Aku tersenyum memandang wanita itu. “Memangnya saya siapa, Mbak. Saya juga sama kayak Mbak bekerja untuk Pak Farabi.” Mendengar penjelasanku, Mbak Darsi akhirnya mengizinkanku untuk membantu.

“Terongnya mau dimasak apa, Mbak?” Aku yang menawarkan diri membantu mengupas bawang memandang Mbak Darsi.

“Balado, Mbak.”

“Kalau gitu, biar saya saja yang buat bumbunya.”

Wanita itu mengangguk. Aku lantas menyiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan lalu menguleknya. Memang peralatan di rumah Pak Farabi sangat komplit ada blender juga untuk menghaluskan bumbu. Namun, aku memilih pakai cobek. Karena akan menambah cita rasa tersendiri.

Hingga Azan magrib berkumandang hujan tak reda juga. Aku juga sudah menelepon Ayah kalau aku menunggu hujan reda baru pulang. Aku berencana hendak meminjam mantel Pak Farabi untuk pulang selepas Salat Magrib.

“Pak saya mau pinjam mantel untuk pulang.” Aku mendekati Pak Farabi yang sedang duduk di meja makan bersama Zafran dan Airin.

“Nanti. Sini makan dulu.” Pria itu menunjuk kursi yang berada di dekatnya.

“Tidak. Terima kasih.”

“Bu Deema. Sini makan bareng Airin.” Gadis kecil itu melambaikan tangan. “

“Tidak Airin terima kasih.”

“Kata Mbak Darsi yang masak Bu Deema, ya?” tanya gadis kecil itu. Dua pria yang duduk bersamanya memandangku dan Airin bergantian. “Masakan Bu Deema enak banget. Andai Bu Deema, ibunya Airin. Pasti Airin akan makan dengan lahap setiap hari.”

“Bukankah sekarang Bu Deema sudah menjadi ibumu.” Perkataan Pak Farabi begitu mengejutkanku.

Zafran terbatuk karena tersendat makanan.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status