Aku membuka kaca jendela mobil dan menganggukkan kepala ke arah mantan Ibu Mertua. Setelah pintu gerbang terbuka, aku melajukan mobi dan memasukkannya ke dalam garasi. Setelahnya, berjalan menuju ruang tamu menemui Ustaz Azam dan mantan Ibu Mertua yang sudah menunggu.“Aisha, habis darimana? Bukankah ini hari libur?” tanya Ibu penasaran.“Aisha dari Kantor Polisi, habis mencabut laporan. Ibu tenang saja, sebentar lagi Mas Adnan akan segera bebas,” jawabku.“Alhamdulillah. Terimakasih Aisha, kamu memang menantu Ibu yang terbaik!” ucapnya.“Maaf, Bu. Mantan menantu. Saya sudah berpisah dengan Mas Adnan,” potongku.Wajah Ibu bersemu kemerahan mendengar ucapanku. Sementara Ustaz Azam hanya menjadi pendengar setia.“Mbak Aisha, dimana anak-anak?” Ustaz Azam akhirnya membuka suaranya.“Mungkin di belakang, Ustaz. Nanti saya panggilkan,” jawabku seraya tersenyum.“Aisha, siapa laki-laki ini?” tanya mantan Ibu Mertua.“Oh iya, Aisha lupa memperkenalkan. Ini Ustaz Azam, calon suaminya Aisha,” j
Kami serentak menoleh ke arah suara. Sesosok yang aku kenal, telah berdiri di ambang pintu. Sosok itu tak lain adalah Umi Mus. Penampilannya sangat berbeda dari sebelumnya. Tubuhnya terlihat lebih berisi dan wajahnya kini nampak lebih segar dengan riasan yang sedikit tebal. “Kalian kenapa menangis?” tanya Umi Mus dengan wajah tanpa dosa.Aku terdiam seraya menghapus sisa air mata yang menggenang. Sementara Ustaz Azam bangkit dari tempat sebelumnya dan kembali duduk di atas sofa.“Abi belum jawab pertanyaan Umi, kenapa kalian menangis?” tanya Umi Mus untuk yang kedua kalinya.“Aku menangis karena Mbak Aisha menolak menikah denganku.”Wajah Umi Mus terlihat pias seketika saat mendengar jawaban Ustaz Azam.“Apakah abi masih ingin menikahi Mbak Aisha, padahal Umi sekarang sudah sembuh dan tengah mengandung buah hati kita?” tanya Umi Mus dengan tatapan menyelidik.“Aku mencintai Mbak Aisha. Bukankah kamu sendiri yang dulu memaksaku menikah dengannya padahal aku menolak? Sekarang setelah ak
Kami berdua serempak menengok ke arah suara berasal. Aku terkejut saat mengetahui sosok yang memanggil. Nampak Reno sudah berdiri di belakang kami dengan wajah merah padam. Matanya menatap nyalang ke arah Pak Askara, sahabatnya."Reno, apa maksudmu bertanya seperti itu?" tanya Askara heran."Apa yang kamu lakukan bersama Aisha?" tanyanya kali ini dengan suara meninggi.Sementara aku hanya menjadi pendengar setia perdebatan diantara mereka."Aku kebetulan bertemu dengan Bu Aisha saat sedang membeli kue, itu saja. Kenapa kamu terlihat emosi kepadaku?" tanya Pak Askara lagi."Sebaiknya kamu jangan dekat dengan Aisha, karena dia...." Reno tidak melanjutkan ucapannya."Karena apa? karena dia mantan yang pernah kamu kecewakan?" sindir Askara kemudian."Bukan. Aisha sudah mempunyai calon suami. Jadi jangan pernah membuat masalah dengan merebut yang sudah menjadi milik orang lain!" Aku mendengarkan ucapan Reno seraya tersenyum sinis. Bukankah itu sama saja menyindir dirinya sendiri? merebut m
Ustaz Azam turun dari mobil saat aku melihat ke arahnya. Pandangan kami saling bertemu. Aku tercekat melihat kedatangannya. Andai saja tadi Bik Darmi yang datang, pasti dia bisa beralasan kalau aku sedang tidak berada di rumah. Mau tidak mau, aku membukakan pintu gerbang untuk beliau. Wajahnya terlihat sedih. Aku jadi penasaran dengan kabar yang dibawanya.“Maaf, Ustaz ada apa ya?” tanyaku tanpa berbasa-basi.“Mbak Aisha, saya minta maaf kalau mengganggu waktunya. Kedatangan saya kesini ingin menyampaikan pesan Umi Mus, yang ingin bertemu Mbak Aisha. Saat ini beliau sedang dalam perawatan Rumah Sakit,” jawab Ustaz Azam dengan suara bergetar. Aku sedikit terkejut mendengar kabar darinya, namun berusaha terlihat biasa saja.“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” tanyaku dingin.“Beliau ingin menyampaikan permohonan maaf kepada Mbak Aisha,” jawabnya lagi.“Umi Mus tidak punya salah sama saya, jadi untuk apa meminta maaf? Saya hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Umi Mus. Maaf Ustaz, jika tida
Aku terdiam mendengar pertanyaan Mas Akbar. Sebenarnya tak menyangka, jika kakakku itu akan bertanya seperti itu. Nampaknya sikap beliau sudah berubah sejak Ustaz Azam berstatus sendiri. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan."Adek nggak tahu, Mas!" jawabku lirih. Mas Akbar menatap wajahku lekat."Mas tahu, kalau kamu masih memendam perasaan untuk Ustaz tampan itu. Adek jangan khawatir, jika memang kalian berjodoh, kelak akan menemukan jalannya."Kali ini gantian aku yang menatap wajah Mas Akbar. Rasanya tak percaya beliau memanggil Ustaz Azam dengan panggilan Ustaz tampan. Apa mungkin ini suatu pertanda beliau sudah merestui hubunganku dengan Ustaz Azam? Aku segera menepisnya, takut kembali kecewa karena terlalu banyak berharap.Aku setuju dengan ucapan Mas Akbar, jika kami berjodoh kelak akan menemukan jalannya. Sekarang yang terpenting, aku harus sabar menjalani semua takdir-Nya. Aku yakin, akan ada pelangi setelah hujan. Aku juga sangat yakin, bahwa semua akan indah
Sesosok laki-laki yang dikenal dan pernah menorehkan luka dihatiku. Dia datang bersama seorang perempuan yang sampai saat ini masih aku hormati. Mas Adnan dan mantan ibu mertuaku berjalan memasuki pintu gerbang yang memang dibiarkan terbuka. Mereka menatap heran ke arah kami yang duduk lesehan di taman menikmati makan siang.Aku menatap ke arah Mas Akbar. Wajahnya berubah seketika. Sementara Mbak Nisa dan Ustaz Azam terlihat biasa saja. Adeeva yang sedang mengunyah makanan nampak terkejut dengan kedatangan ayah dan neneknya. Sontak dia bangkit dan beranjak meninggalkan tempatnya seraya menghambur menyambut kedatangan mereka.Mas Adnan terlihat memeluk dan menciumi wajah serta tangan putrinya, pun dengan mantan ibu mertuaku. Mereka terlihat saling melepaskan rindu. Wajah Adeeva terlihat begitu bahagia karena bertemu dengan ayahnya. Beberapa hari belakangan, dia memang sering menanyakan keberadaan Mas Adnan."Assalamualaikum, Aisha, Mas Akbar," sapanya seraya menggendong Adeeva daalm pel
Ternyata sosok yang datang adalah Pak Askara Dirgantara, wakil kepala Polres yang membantu menyelesaikan kasus penculikan Adeeva. Dia turun dari mobil seraya melemparkan senyumnya yang menawan. Kedua tangannya membawa dua buah godie bag berukuran besar."Selamat pagi, Ibu Aisha. Maaf jika kedatangan saya mengganggu waktu istirahat Anda. Saya ingin bertemu dengan Adeeva, putri Anda!" sapa Pak Askara memulai pembicaraan.Aku merasa sedikit kecewa, karena tamu yang datang berkunjung bukanlah Ustaz Asam. Oleh karena itu, aku terdiam seraya menatap heran ke arah Pak Askara."Bu Aisha, Anda baik-baik saja?" tanya laki-laki gagah dihadapanku ini."I-iya, saya baik-baik saja Pak. Maaf, saya sedang melamun. Mari silakan masuk," jawabku gugup.Pak Askara berjalan mengikuti langkahku dari belakang. Dalam hati aku merasa sedikit khawatir jika Ustaz Azam datang dan salah paham dengan Pak Askara. Aku berharap Ustaz Azam datang setelah Pak Askara pulang. Tiba di ruang tamu, aku mempersilakan beliau u
Sambil memeluk Mas Azam, aku menatap wajah orang yang melakukan kekerasan kepadanya. Ternyata dia adalah Mas Adnan. Dia terlihat ingin kembali melayangkan tinju kepada Mas Azam, namun dengan cepat aku menendang organ vitalnya hingga dia terjerembab ke tanah. Aku membantu Mas Azam untuk bangkit, agar tidak menjadi bulan-bulanan Mas Adnan. Laki-laki tidak waras itu terlihat meringis kesakitan saat organ vitalnya mendapatkan tendangan telak dariku."Mas Adnan, apa kamu sudah gila? pergi dari rumahku sekarang, atau kalau tidak aku akan telepon polisi!!" ancamku.Dia berusaha bangkit walaupun terlihat susah payah. Aku tahu, kelemahan seorang laki-laki ada di organ vitalnya. Namun aku juga tahu batasan dengan menendangnya tidak begitu keras karena takut akan berakibat fatal."Kamu mau menikah dengan laki-laki ini hanya karena dia bergelar Ustaz? kamu jangan salah, itu hanya kedok saja. Aslinya, dia tidak jauh lebih baik dariku!" ujar Mas Adnan dengan suara sedikit tertahan dan wajahnya masi