Share

4. Keputusan.

"ini lebih sulit dari yang ku kira. Aku tidak akan menyesalinya."

🍁🍁🍁

"Uhm..." Laura membuka kedua kelopak matanya, mengedip pelan berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk pada matanya.

Hal pertama yang dia sadari sekarang adalah, dia berada di kamarnya.

"Eh?!" Gumamnya kaget pada dirinya sendiri.

Melihat tangannya yang di infus dan baju piyama yang sekarang sedang dia pakai.

Dia tiba-tiba lupa dengan kejadian yang membuatnya menangis.

"Eh, anak mama udh siuman." Catherine ibunda Laura mengecup kening Laura membawa rasa nyaman disitu.

Laura diam saja, dia masih terlihat kebingungan.

"Ah, iya tadi yang nganter kamu cowok katanya kamu pingsan di atas atap sekolah. Ngapain kamu di atas atap sekolah?" Ingatan Laura langsung flashback, sekarang dia ingat alasannya menangis sampai tak disangka pingsan.

"Cowok?" Ibunya mengangguk serius.

"Iya, katanya temen kamu." Laura menggigit bibir bawahnya, tidak yakin yang mengantarnya sampai kerumah itu Rey.

"Ganteng?" Laura berusaha meyakinkan.

"Ganteng kok, Ganteng banget!" Seru Ibunya. "Ngomong-Ngomong dia siapa kamu? pacar?" Ibunya mulai tertarik dengan urusan percintaan anaknya.

Laura menghela nafas lelah, melihat ketertarikan ibunya itu pada lelaki yang menolongnya.

"Dasar ibu-ibu." Batinnya.

"Bukan, Cuman teman." Laura tersenyum paksa berusaha meyakinkan ibunya.

"Bener, cuman temen?" Laura mengangguk cepat.

"Iya-iya, cuman temen kok!" Balasnya cepat tak mau ibunya salah paham.

Ibunya menghela nafas lega.

"Tapi, kenapa kamu nangis di atap sekolah?"

Laura terdiam membeku, dia tidak bisa menjawab.

Dia menunduk, matanya bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri berusaha mencari alasan yang tepat.

"Itu, aku liat kucing lompat dari atap gedung sekolah itu makannya aku nangis sedih, Ha-ha." Laura tertawa hambar dan tersenyum penuh keraguan tidak yakin alibinya akan berhasil.

"Bener, cuman gara-gara kucing?" Laura mengangguk cepat.

Dia tidak mungkin bicara jujur, dia menangis karena Reyyan yang meninggalkan nya serta dirinya merasa sesak dan kesepian tidak ingin pulang kerumah.

"Kucingnya lucu, cantik. Dia cowo, terus tiba-tiba dia loncat dari gedung ninggalin aku sendirian. Padahal setiap istirahat dia suka nemenin aku." Jelasnya sedih.

Dia jadi teringat Rey

"Ah, yaudah kamu balik istirahat gih. Kerjaan mama masih banyak ga bisa nemenin kamu lama-lama." Laura mengangguk paham dia kembali tiduran tapi pikirannya kemana-mana. Tidak bisa tidur.

"Ck..." Decaknya sebal memikirkan lelaki yang telah meninggalkan nya itu. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya dan itu membuatnya kesal.

Laura menghela nafas panjang. "Tidur aja lah." Batinnya lelah dan matanya terpejam berusaha tak memikirkan hal itu lagi.

✨✨✨

Laura berjalan menunduk, melihat ubin sekolahnya yang dingin sambil melamun, dia masih memikirkan kejadian 2 hari yang lalu.

Kebetulan Koridor sekolah masih sepi, karena ini masih sangat pagi.

Tiba-tiba Laura dikagetkan dengan suara lantang yang menyapanya.

"Selamat pagi Laura!"

James menyapa Laura dengan semangat.

Laura heran kenapa James begitu semangat pagi ini?

"Oh... Hai." Balasnya tersenyum paksa.

Lalu dia berjalan cepat melewati James sambil menunduk.

"Gimana, udah mendingan?" Laura seketika menghentikan langkahnya.

Dia menoleh ke arah James bingung.

James yang bisa membaca mimik wajah Laura, langsung tersadar. "Ah, gini gue kemarin sore hujan-hujan mau ke atap sekolah. Eh gue liat lo lagi nangis dari jauh, ga lama lo pingsan."

"Terus gue bawa pulang deh kerumah lo, untung ada mama lo dirumah." James menggaruk tengkuknya, tersenyum canggung.

Dia takut Laura merasa tak nyaman lagi dengannya. Karena sebulan yang lalu dia terus menerus mengejar Laura, merasa risih akhirnya dia di abaikan bahkan dijauhi Laura.

Padahal dia tidak ingin hal itu terjadi lagi, untuk kesekian kalinya.

Laura mengangkat kedua alisnya terkejut. "Oh..." Dia menggantungkan kalimatnya.

"Jadi yang nolongin gue si James, Ah bego Laura kenapa lo berharap banget sih? Reyyan nolongin lo dia kan yang ninggalin lo. Ga beradap banget emang tu orang." Pikirnya kesal.

"Makasih." Senyum Laura manis, James hanya terpana diberikan senyuman seperti itu.

"Gue, duluan ya. Bye!" Laura berbalik dan berjalan cepat menuju kelasnya.

James menghela nafas sedih. Dia masih merasa Laura menjauhinya.

•••

Laura tersenyum lega, hal yang menghantuinya sudah tidak ada.

"Hey-Hey ada yang masuk sekolah ni, setelah 2 hari Absent." Goda Eren yang baru masuk ke kelas bersama dengan Oca.

"Eh, iya Laura udh masuk! Gue kangen banget sama lo padahal 2 hari doang astaga." Oca berlari lalu memeluk Laura erat-erat.

"Siapa yang nolongin lo?" Eren sudah tau kronologinya.

"James." Jawabnya singkat sambil tersenyum.

"James?! Si Psikopat gila itu?!" Rika yang baru masuk ke kelas tiba-tiba ikut nimbrung, menerobos dari tengah-tengah.

Laura mengangguk 2 kali dan senyumannya pudar.

Dia jadi teringat kejadian sebulan yang lalu, dia hampir Trauma karena hal itu.

Eren menepuk pundak Laura menenangkan. "Tenang aja, mungkin dia udah berubah."

Laura mengangguk dan tersenyum kecil, berusaha berpikiran positif.

🍁🍁🍁

"Pa-Papa? Papa kok udah pulang?" Laura berdiri terpaku melihat Ayahnya yang berdiri di depan pintu masuk rumahnya.

Laura pulang malam-malam dikarenakan ada tugas kelompok tadi.

Merasa langit malam akan mendung akhirnya dia meminta Mang Parjo untuk menjemputnya pulang.

Dan dia berakhir di depan pintu, karena ayahnya ada disana.

"Kok kamu baru pulang?" Tatapan Ayahnya sangat mengintimidasi.

"Ada tugas kelompok tadi." Jawabnya pelan.

"Papa denger nilai kamu jelek, makannya Papa pulang." Suara Ayahnya makin rendah di dengar Laura.

Laura menelan ludahnya dengan susah payah, jantungnya berdegup tak karuan, keringat dingin sebentar lagi akan keluar. Dia membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi nanti, dan sekarang dirinya bingung ingin menjawab apa.

"A-Anu... Maafin Laura pa, karena kurang fokus dalam belajar. Besok Laura bakalan lebih giat belajar lagi." Cicitnya ketakutan.

Hening dalam 10 detik sebelum Ayahnya mengeluarkan suara yang tidak ingin Laura dengar.

"Sini kamu." Ayahnya mengintruksi Laura untuk mendekat padanya.

Jantung Laura makin berdegup kencang, bukannya menurut dia malah mundur perlahan-lahan.

"Ngapain kamu mundur? Sini kamu." Ayahnya malah maju untuk menggapai tangan Laura.

Laura menggeleng ketakutan dan langkah mundurnya makin besar.

"Sini Kamu!" Ayahnya menaikkan volume suaranya emosi.

Laura tetap saja tidak menurut, dia malah makin mundur dan berbalik badan hendak kabur.

"LAURA! SINI KAMU!!" Ayahnya sudah benar-benar emosi.

Dan sayangnya tangan Laura berhasil dicekal oleh Ayahnya.

•••

Di sisi lain Reyyan menghela nafas rendah, memikirkan perkataan Laura yang tiba-tiba melintas di telinganya tadi pagi.

"Tidak beradap." Gumamnya rendah, sedikit kesal memikirkannya.

Malam hari Dia sedang berada di taman, sambil duduk di pancuran melingkar besar yang berada di tengah-tengah taman.

"Hei, anak muda." Sapa seseorang yang melewati pancuran itu, suaranya terdengar rapuh.

Seperti kakek-kakek yang memanggil.

Reyyan menoleh dan melihat wajah kakek-kakek itu, lalu pupil matanya membesar.

"Kau?" mimik wajahnya kaget.

Kakek itu tersenyum tulus. "Anak muda, sudah lama ya. Setelah sekian tahun aku baru bertemu kau lagi." Kakek itu mendekat berniat mengajak Reyyan ngobrol.

Reyyan bergeser memberi ruang untuk kakek itu duduk.

"Apa kabar? Bagaimana dengan tugasmu?"

Reyyan menunduk, menghela nafas lelah.

"Entahlah, terasa aneh."

"Aneh?" ada Nada penasaran disana.

"Ya."

"Kenapa?"

Reyyan menoleh dan tersenyum simpul. "Aku terbuka dengannya, baru kali ini aku terbuka dengan orang lain selain kau."

Kakek itu tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Rey.

"Berarti itu ada kemajuan, kau bisa beradaptasi dengannya."

"Tapi..." kakek itu menggantungkan nada bicaranya.

"Ada hal yang boleh dan tidak boleh kau lakukan dalam tugasmu."

Reyyan mengangguk lemah.

"Hal pertama kau pasti sudah tau, dan hal yang kedua. Mungkin mereka tidak bicara denganmu soal ini, tapi aku harus bicara karena ini peraturan dari tugasmu juga."

Reyyan menoleh wajahya terkejut.

Lalu dia diam, bibirnya terkatup rapat. "Katakan lah." nada bicaranya berubah menjadi dingin, dia ingin tau peraturan itu seperti apa.

"Kau tidak boleh mencampuri urusan yang bukan urusanmu, kau boleh melindunginya tapi harus tau batas. Kau tidak boleh melindungi dia ketika dia berurusan dengan seseorang yang dekat dengannya."

Reyyan tertegun.

•••

"Anak Durhaka! Ga nurut lagi kamu sama Papa!" Tangan Laura ditarik kasar masuk ke dalam rumah.

"Lepasin Pa! Maafin Laura! Laura ga akan ngelakuin hal yang sama lagi." Air mata mulai turun dari pelupuk matanya, Laura benar-benar ketakutan sekarang.

"Ada ribut apa ini? Ya, ampun! Papa ngapain? Lepasin tangan Laura kesakitan itu dia!" Ibunya berusaha menolong Laura tapi yang ada Ibunya malah di dorong dengan keras oleh Ayahnya.

Laura bisa merasakan pergelangan tangannya membiru.

"Pa, lepasin pa." Mohon Laura sambil terisak, masih berusaha melepaskan.

Tiba-tiba petir menggelegar sangat kencang, Laura menutup matanya ketakutan dan Ayahnya berhenti menarik Laura, pandangannya dia alihkan ke luar jendela yang ditutupi korden putih tipis.

Sedetik kemudian tangan Laura kembali ditarik membuat Laura kembali ikutan meronta-ronta.

Tak disangka Dirinya di seret menuju kamar mandi.

•••

"Contohnya, keluarganya." lanjut kakek itu.

Bagai tersambar geledek, badan Reyyan terdiam kaku.

Tiba-tiba suara petir menggelegar dengan sangat kencang.

Reyyan menengadahkan kepalanya ke atas, melihat langit yang awannya sangat gelap dan pekat.

Bahkan bulan tidak terlihat.

•••

"Pa! lepasin Laura Pa! Jangan di kamar mandi, Pa! Laura takut gelap! Jangan di kamar mandi Papa! Laura Mohon!" Laura makin berteriak histeris dan menarik tangannya sekuat tenaga.

"Diam kamu." Titah Ayahnya dengan suara rendah.

•••

"Kau tau? Dia sudah sangat lama punya masalah dengan keluarg--"

"Aku tau." Potong Rey. Alisnya tertaut tidak suka,kepalanya menunduk matanya menatap ke arah lain berusaha agar kegelisahan di dalam dirinya tidak terlihat.

Jujur dia tidak suka peraturan yang ini, peraturan kali ini sangat mengganggunya.

Membuatnya risih.

•••

Ayahnya menendang pintu kamar mandi dengan kuat. Menimbulkan Suara gebrakan pintu yang sangat kencang.

"Masuk kamu!" Titah Ayahnya kejam mendorong Laura masuk ke kamar mandi.

"Pa! Engga lagi pa! Jangan!" Laura menggeleng kencang suaranya makin histeris.

Ayahnya menyalakan keran Wastafle di kamar mandi dan menutup Saluran pembuangan Wastafle dengan cepat.

"Pa! Jang---"

•••

"Kau tidak boleh berhubungan dengan keluarganya. Tidak boleh mencampuri urusan masalah dirinya dengan keluarganya. Jika kau berusaha mencampuri urusannya dengan keluarganya, bisa dipastikan kau langsung mendapat hukumanmu."

"Kecuali kau bisa membuktikan kepada mereka, kalau mereka bukan keluarganya. bukan keluarga kandung, bukan dari keluarga sebenarnya. Kau boleh ikut campur dengan urusannya." Lanjutnya.

Lalu hening beberapa saat, Reyyan hanya terdiam. Tangannya mengepal kesal, wajahnya menunduk matanya bergerak ke kanan, ke kiri seperti sedang memikirkan suatu cara.

•••

Tanpa diduga-duga kepala Laura langsung dicelupkan ke dalam Wastafle yang keran airnya masih mengucur dengan deras.

Blubub...Blubub...Blubub.

Laura tidak bisa bernafas.

Lalu kepalanya di tarik kembali ke atas.

Laura menarik nafas sebanyak-banyaknya.

"Papa udah pa! Lau--"

Kepalanya kembali dicelupkan kedalam Wastafle.

Lalu kembali di tarik ke atas lagi.

"Hiks, Pa Laura mohon Udahan." Mohonnya sambil terisak.

Tapi dengan kejam Ayahnya malah kembali mencelupkan kepala Laura kedalam Wastafle, mendorongnya kali ini lebih lama.

"Ini hukuman untukmu karena ga nurut sama Papa. " Ucap Papanya penuh Emosi.

Kedua tangan Laura memegang Wastafle berusaha bangkit untuk bernafas tapi dia kalah tenaga dengan Ayahnya.

Laura benar-benar sudah kehabisan nafas dan tenaga, tangannya yang sedari tadi berusaha kini kian melemah.

Tapi tiba-tiba kepalanya kembali diangkat ke atas.

Laura terbatuk-batuk dan mengambil nafas sebanyak-banyaknya.

Laura melirik takut-takut ke arah ayahnya, ayahnya belum juga melepaskan tangannya dari kepalanya. Laura tidak bisa pergi kemana mana, karena yang Ayahnya pegang adalah Rambutnya.

Air mata masih mengucur dengan deras.

"Plak!"

Tiba-tiba wajahnya ditampar dengan kencang sampai Laura terjatuh ke lantai kamar mandi.

•••

Kakek bernama Rolvin itu tersenyum lembut ke arah Rey. Dia menepuk pundak Rey pelan beberapa kali lalu mengelus punggungnya menenangkannya sedikit.

"Aku sudah mengenalmu lebih dari 500 abad Rey, dari kau kecil hingga sekarang. Aku tau sifatmu, ini sudah jadi peraturanmu. Jadi apa kau sudah memikirkan keputusan-nya?"

Reyyan melirik ke arah Kakek Rolvin, Tangannya mengepal dan mulutnya terkatup rapat.

Dia kesal dengan si pembuat peraturan ini tapi tentu saja dia tidak akan menyerah.

"Aku sudah tau." Suaranya terdengar dingin, dan hujan deras pun turun tiba-tiba.

"Tunggu aku. Siapapun kau, darimana kau berasal. Aku tidak peduli. Walaupun ini lebih sulit dari yang ku kira. Aku tidak akan menyesalinya."

•••

Laura membuka sebelah matanya, badannya terjatuh di atas kloset duduk yang tertutup. Dia melihat pintu kamar mandi yang terbuka sedikit, membuat cahaya masuk kedalam kamar mandi yang gelap. Gelap karena lampunya dimatikan.

Dia mendengar suara gemericik air di luar, sangat deras. Tanda langit menangis sepertinya.

Badannya yang lemah,membuat dirinya tidak mampu berdiri untuk keluar dari kamar mandi.

Dia menaruh wajahnya di atas kloset duduk yang tertutup, menumpu dengan kedua tangannya disana badannya bergetar. Dia mulai menangis lagi.

Menangis antara sedih dan ketakutan.

"Sebenarnya kau itu apa? Kalau kau benar penyelamatku, kenapa kau tidak datang untuk menyelamatkanku sekarang?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
berarti Rey udah tua dong akkaka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status