Share

5. Mengganggu.

Laura membuka kedua matanya, badannya masih terasa sangat sakit.

Dia melirik ke kanan dan melihat infusan yang terpasang di pergelangan tangannya.

Tiba-tiba ibunya masuk membawa secangkir teh dan juga bubur.

"Sayang, udah siuman. Mama yang bawa kamu ke kamar susah payah, Mama juga bawa kamu diem-diem biar ga ketahuan Papa. Sekarang dimakan dulu ya, buburnya masih anget ini."

Laura hanya diam, matanya melihat kedepan tapi pandangannya kosong.

Ya, Trauma itu datang lagi.

Ibunya menggigit bibir bawahnya khawatir melihat Laura sekarang. Tubuhnya kurus dan pucat, hampir seperti mayat hidup sekarang.

"Laura ini dimakan dulu yuk, abis itu kita ke dokter, atau besok kita ke dokter." Ibunya terus menyodorkan sendok ke mulut Laura, tapi Laura tak kunjung membuka mulut.

Ibunya mendesah merasa makin khawatir.

"Ibu kan udah bilang, kamu turutin Papa kamu aja kalo kamu ga mau hal ini terjadi lagi. Udah ya, ini buburnya dimakan. Nanti kita berangkat ke dokter psikiater kamu."

Ibunya tersenyum kecil tapi juga canggung karena sedari tadi, Laura hanya diam. Dia akhirnya meninggalkan Laura dengan secangkir teh dan bubur. Dia rasa, laura butuh waktu sendirian.

Suara pintu tertutup dengan rapat, Laura yang pandangannya kosong sedari tadi, mulai mengeluarkan sebutir air mata lagi.

Seperti tak ada lelahnya menangis, itu yang dia lakukan.

Lingkaran hitam mengelilingi matanya, karena semalaman dia menangis.

Hal yang membuatnya Trauma kembali lagi.

Kamar mandi, kunci, kegelapan, penyiksaan, tamparan, tonjokan.

"Akankah terus seperti ini?" Pikirnya.

Sebersit pikiran negatif datang dari kepalanya, Laura langsung meringkuk takut.

Semua hal itu sudah pernah dilakukan ayahnya.

Tapi... Ayahnya belum pernah melakukan kekerasan yang mencapai di luar batas.

Seperti memaksa hubungan intim dengan anaknya.

Memikirkan itu membuat Laura makin ketakutan dan rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka lagi.

"Laura apa kau sudah sia--Oh, yatuhan. Kau belum memakan buburmu dan meminum teh mu. Ayo makan dulu sedikit dan minum tehmu, ini bajumu kita berangkat sekarang.

Ibunya masuk dan langsung memaksa satu suapan masuk ke mulut Laura dan juga teh manis yang hampir mendingin karena tidak disentuh.

Laura langsung berganti pakaian baju hitam yang ibunya berikan.

"Wajahmu tampak pucat, sini ibu dandani sedikit. Agar tidak terlihat pucat." Laura hanya diam pasrah di dandani ibunya yang memang hasilnya tidak begitu Natural malah seperti dandanan ingin pergi jauh.

Lalu dengan berhati-hati Ibunya Laura memapah tubuh Laura yang masih lemas itu menuju mobil.

Setelah berada di dalam mobil, Ibunya Laura memberikan handphone Laura yang dia pegang. "Ini handphone mu, sedari tadi berbunyi. Kupikir ada hal yang penting disana."

Laura menerima benda pipih itu dengan lemas, dia membuka handphone nya terdapat banyak notif panggilan dan pesan masuk.

Salah satunya dari teman-temannya dan juga sahabatnya.

Laura berhenti mengscroll pesan-pesan yang menanyainya. Saat dia melihat nama James di pesan masuk w******p nya juga, menanyai keadaannya.

Akhirnya Laura membuka status dan berfoto sambil memaksakan senyum.

"Aku gapapa teman-teman. Maaf ga bisa balesin satu-satu." Tulisnya disana dan fotonya dia Upload.

Setelah mengupload fotonya itu, banyak sekali teman-temannya yang langsung me reply statusnya. (Note: Anak populer memang beda👍)

Tapi satu pesan pun tak dijawab, Laura malah menaruh handphone nya di dashboard mobil. Dia lebih memilih melihat pemandangan di luar mobil sambil melamun diam.

•••

Laura yang hendak keluar dari mobil di cekal tangannya oleh ibunya.

"Nanti kalo dokter Rae tanya kamu kenapa bisa pucet begitu, bilang aja ada masalah disekolah ya." Bisik ibunya.

Laura yang mengerti dengan keadaannya hanya mengangguk lemah.

"Lagi-lagi ibu melindungi Ayah." Pikirnya.

Laura masuk kedalam rumah sakit dan menemui dokter Psikiater pribadinya.

Bukan pribadi tapi Keluarga Laura memang sudah dekat dengan dokter Rae sedari dulu, saat Laura pertama kali terkena Trauma jiwanya.

"Hallo Laura, lama tidak jumpa." Sapa Dokter Rae dengan senyum ramahnya.

Laura hanya membalas senyum tipis masuk bersama ibunya.

(Perkenalkan dokter Pribadi Laura. Lee Yeong Rae, Laura biasa memanggil Pak Lee atau Rae. Sejujurnya dia yang paling tau Laura dan dia juga memihak pada Laura).

"Ah dokter, hari ini Laura tampaknya ada masalah lagi dengan teman sekelasnya. Ayo Laura ceritakan apa yang terjadi." Ibunya mendorong bahu Laura menyuruh Laura segera cerita atau membuat karangan nya sendiri.

"Selalu saja begitu." Pikir Laura.

Laura menatap dokter Rae tapi Rae tau andangan yang Laura lakukan sekarang adalah pandangan seseorang yang sedang gelisah, seperti bingung atau mencari cara untuk mengarang cerita.

Karena sedari tadi bola mata Laura tidak berhenti bergerak ke kanan dan ke kiri.

"A-ah... Jadi begini, sepulang sekolah aku bertemu dengan teman lelaki ku. Dia... Orang yang sangat membenciku,  dia memanggilku. Ku tanya kenapa? Dan dia malah membentakku karena tidak becus mengerjakan Tugas Kelompok. Kebetulan aku sekelompok dengannya dan aku mengerjakan tugas Fisika, dia bilang aku banyak melakukan kesalahan. Dia semakin membentakku dan menarik tanganku menuju Toilet lalu... Lalu---" Laura berhenti dia menunduk dan menggigit bibirnya berusaha menahan air mata dan rasa sesak yang kembali datang.

"Laura kamu gapapa?" Ibunya berucap Cemas.

Tapi Laura masih menundukkan kepalanya tak bicara satu kata pun, hanya ada isakan tangis disana.

Dokter Rae memahami situasi ini, dia menghela nafas bersiap-siap memberikan cara jitunya.

Yaitu menyuruh Ibu Laura keluar ruangan untuk sementara.

"Maaf nyonya, mungkin anda bisa keluar dari ruangan sebentar. Laura sepertinya meminta Ruang untuk berbicara hanya dengan saya."

"Ta-tapi dok! Itu ga mungkin! Biar saya temani juga Laura! Dia butuh teman untuk ditemani karena dia merasa tertekan sekarang!" Protesnya tidak terima.

"Iyakan ra?! Laura minta mama disini aja kan?!" Ibunya malah menggoyangkan tubuh Laura kencang.

"Nyonya jangan seperti itu, itu bisa membuat Laura tambah tertekan." Tangan Rae terulur untuk menghentikan tangan Ibunya Laura.

"Hanya sebentar, tinggalkan kami." Mohon dokter Rae dengan mimik wajah berusaha meyakinkan.

"Ga! Saya Ga akan Pergi!" Teriak Ibunya Laura tetap ngeyel, tidak ingin keluar.

Dokter Rae menarik nafas lalu menghembuskannya dengan sabar.

Lalu dia bersuara dengan halus.

"Ya terus pengobatannya ga kelar-kelar dong bu, Coba ibu keluar sebentar jangan mempersulit Terapi Laura biar cepet selesainya."

Akhirnya dengan begitu Ibu Laura menghela nafas dan memandang ke arah dokter Rae kesal. Lalu dia keluar sebelum keluar dia membisikkan sesuatu di telinga Laura kemudian dia keluar.

•••

"Awas aja kamu berani ngomong macem macem sama dokter Rae!" Ancam ibu dengan penuh penekanan sebelum keluar dari ruangan dengan cara membanting pintu kasar.

Dokter Rae menghela nafas lalu pandangannya fokus ke arahku.

"Jadi, Laura disini hanya ada saya dan kamu. Sudah tidak ada ibumu, ruangan ini juga kedap suara kamu bisa ceritain hal sesukamu."

Aku menengadahkan kepalaku dan menghapus air mataku.

Aku menarik nafasku lalu menghembuskannya, aku menunduk dan tanganku. Aku bisa merasakan bibir dan tanganku masih gemetar ketakutan.

Tiba-tiba ada langkah mendekat ke arahku, dengan cepat kursi yang ku duduki tertarik ke samping dan aku bisa merasakan tubuh hangat yang memeluk ku.

Aku hanya diam, sekujur tubuhku kaku bingung bagaimana ingin mereaksi tapi pelukan itu semakin erat dan terasa semakin menenangkan.

Akhirnya air mataku jatuh lagi dikedua pelupuk mataku, aku membalas pelukannya erat sambil menangis dengan kencang.

Dia membelai rambutku dengan lembut.

"Tak apa, jika dirasa berat dan tidak bisa ditahan menangislah. Tapi ingat besok kau harus tersenyum oke?" bisiknya pelan menenangkan.

Dan aku semakin menangis kencang sambil memeluknya erat.

•••

"Hmm... Jadi, begitu."

Aku mengangguk pelan.

"Hmm... Bagaimana ya, aku ingin membantumu tapi..." Dokter Rae menggantungkan kata-katanya.

"Terlalu sulit." lanjutnya.

"Karena ini masalah keluarga, jika aku ikut campur dan melaporkan Ayahmu. Aku juga yang akan kena."

Aku menatap Dokter Rae datar.

"Jadi kau takut dengan ayahku?"

Dokter Rae nyengir sambil menggelengkan kepalanya.

"Tidak, bukan begitu..." Dokter Rae menarik nafas sedalam-dalamnya.

"Tapi aku hanya dokter Psikiater Rumah sakit biasa, gajiku tidak sampai untuk meruntuhkan ayahmu yang seorang Pengusaha serta pejabat tinggi."

"Apa gaji ayahku padamu kurang?"

"Tidak, tidak seperti itu Laura." Dokter Rae menyentuh pundaku dan menatapku lembut.

"Ini bukan hanya soal hukum, yah walaupun ilmu hukum ku kurang-kurang jadi aku juga takut tidak bisa menang di pengadilan." Cengirnya merasa tak bersalah.

Laura memutar bola matanya malas.

"Pak tua ini tidak bisa di andalkan." Pikirnya kesal.

"Tapi betulan! Ini bukan hanya soal hukum." Lanjutnya meyakinkan Laura lagi.

Laura memiringkan kepalanya merasa bingung.

"Ini juga soal--"

"Laura! Apa Terapinya sudah selesai?! Ibu sudah menunggu lebih dari 2 jam disini! Kau tega membiarkan ibumu menunggu?!" Teriak ibunya dari luar.

Dokter Rae menghela nafas.

"Mungkin ini bukan keberuntunganmu atau bukan saatnya kau tau. Ini obatnya kau bisa tebus di bawah" Dokter Rae berucap cepat sambil memberikan sobekan kertas berisi Resep untuk obatku.

Aku menerima dengan lemah dan mengangguk lalu keluar.

Di luar ruangan sampai dibawah saat aku sedang menebus obat, aku sama sekali tak mendengarkan ocehan ibu.

Aku hanya diam, memikirkan ucapan Dokter Rae yang sangat menggangguku.

"Ini juga Soal---"

Laura mengerutkan dahinya bingung.

"Soal apa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status