Roy menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Ayah, cinta Roy ada kepada Reva. Kenapa kalian tidak merestuinya?” tanya Roy tak habis fikir, dia lalu menatap Reva yang hanya diam menundukan kepalanya.“Sampai kapanpun, tidak akan!”“baik Bu.” Reva mengangkat suara, dia menatap kedua orang tua Roy dengan sopan. Masih menghargai orang tua di dihadapannya, walau mereka memperlakukan Reva tidak baik.“Saya memang tidak pantas bersanding dengan anak bapak, saya juga sadar saya hanya seorang janda,” jawab Reva.Bu Werdah tersenyum dengan senang. “Baguslah jika kau sadar diri, karena kami memang menginginkan kau untuk sadar diri,” balas Bu Werdah.Roy menatap Reva. Namun Reva dengan cepat mengalihkan pandanganya.“Saya permisi, maaf suda lancang datang kemari.” Reva langsung pergi dari hadapan mereka, Roy hendak mengejar namun Bu Werdah mencegat Roy agar tidak mengejar Reva.“Mau kemana? Mau kerjar dia? Lihat! Dia sama sekali tidak memiliki sopan santun, bahkan pulang salam saja tidak!” bentak B
Reva sudah berada di rumah, dengan sangat lesu dia memasuki rumahnya dengan raut yang berbeda. Bahkan Bi Ira belum berani untuk menyapanya, melihat raut wajah Reva.Reva tak menyapa Bi Ira, dia juga langsung menaiki tangga untuk pergi ke dalam kamarnya. Dia benar hancur, tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata saja. “Kenapa dengan Neng Reva?” Batin Bi Ira bertanya-tanya, tentang apa yang terjadi kepadanya. Namun dia tidak berani untuk bertanya, dia pun memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaan dan menunggu berapa menit lagi, untuk bertanya kepada Reva.Lain halnya dengan Reva, yang langsung merebahkan diri di atas kasur. Tidak kuat menahan tangis dan sakit hati, yang dia rasakan sejak tad.“Kenapa mereka sungguh keterlaluan sekali?” kata Reva dibalik bantal, mengingat bagaimana perkataan keluarga Roy kepada dirinya.Reva benar merasa paling rendah, bahkan paling sampah di mata keluadepannya.“Aku memang seorang janda, tapi aku juga punya perasaan, hiks!” teriak Reva, dengan memu
Reva menghembuskan nafasnya, dia maish nampak bimbang untuk memikirkan semua itu. Namun bagaimana bisa, jika memang sudah soeerti itu alurnya. Hanya sampai disini saja Reva bisa bersama dengan Roy, tidak akan lagi mungkin kenangan mereka bersama nanti.“Baiklah Bi, aku mungkin akan mengikuti kata bibi,” jawab Reva, membuat Bi Ira menghembuskan nafasnya dengan lega.“Bibi suka, jika kau menurut. Sekarang ayo, kita makan. Isi energi kamu, sudah lewat siang pasti kamu belum makan,” ajak Bi Ira. Menarik tangan Reva agar mau bangkit, dan mengajaknya untuk ke meja makan.Di meja makan, sudah banyak sekali makanan yang tersedia. Lauk pauk kesukaan Reva, senuanya berada diatas meja maka. Membuat Reva benar merasakan hangatnya rumah dan sebuah keharmonisan keluarga, walau hanya dua orang tegapi Reva merasakan bagaimana kehangatan didalamnnya.“Kita makan, ya.” Setelah memberikan Reva makanan, mereka pun makan bersama. Sesekali, mereka tertawa ria mengobrol tentang hak yang mungkin bisa menjad
Pagi hari yang cerah, matahari batu bersinar menyinari bumi. Orang sudah berlalu lalang, untuk berangkat kerja dan berangkat ke sekolah.Tok! Tok! Tok! Bi Ira mengetuk pintu kamar Reva, tak lama kemudian Reva membuka kamarnya. Dia terlihat seperti baru bangun tidur.“Ada apa Bi?” Tanya Rev, sambil mengucek kedua matanya dengan tangan.“ada Den Roy dibawah, apakah kau tidak turun?”Reva melebarkan matanya. “Bilang aku sedang mandi, ya bi.” Reva langsung menutup pintunya, membuat Bi Ira menggelengkan kepalanya. Iya. Roy sudah berada di dalam rumah singgahnya, duduk di sofa dengan pakaian kantornya. Dia akan berangkat kerja, namun dia harus bisa menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu bersama dengan Reva.Bi Ira membawakan minuman kepadanya, menaruh di atas meja dengan sopan. “Neng Reva masih mandi, ditunggu saja ya Den,” ujar Bi Ira, membuat Roy menganggukan kepalanya dengan cepat.Bi Ira pergi dari hadapan Roy, Roy pun menatap di sekitar. Menghilangkan rasa bosannya, dia lalu memai
Reva melepaskan genggaman tangan dari Roy. Dia menatap Roy sambil menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak akan pernah bisa setuju,” tolak Reva dengan suara yang sangat halus. Seolah Roy akan mengerti.Reva memang ingin menikah, tapi bukan ini caranya. “Aku juga ingin menikah denganmu, Roy. Namun tidak begini cara agar kita bisa bersatu,” kata Reva.Roy menghembuskan nafasnya dengan pasrah, dia sudah tahu jika Reva tidak akan pernah setuju. Namun dia juga tidak memiliki cara lain, ia diam sejenak. Memikirkan apa yang bisa dia lakukan.“Gimana kalau kawin lari?” tanya Roy, semakin membuat Reva menatapnya dengan tajam.“Roy! Aku sudah bilang, aku tidak akan menikah jika tidak ada restu dari orang tua!” Reva menjadi heran, dengan Roy.Dia juga ingin menikah dengan Roy, namun bukan dengan cara seperti ini. Bukan dengan cara yang tidak baik, harus dengan restu yang baik dan penemanan yang baik.Jika nanti menikah tanpa adanya restu, pernikahan tidak akan bertahan lama. Mereka pasti akan
Reva kaget akan penuturan Roy, dia lalu mendekati Roy yang hanya diam berdiri tak jauh darinya berada. “Apakah ini benar? Atau kau hanya mengada-ngada?” Tanya Reva memastikan, dia tidak ingin dulu bersenang hati karena takut jika itu hanya lelucon. Roy saja.Roy menganggukan kepalanya, dengan senyuman yang terus mengembang di bibirnya. “Aku serius, aku akan melamarmu. Minggu depan, aku akan ke rumahmu,” jawab Roy, semakin membuat Reva menjadi kaget“1 Minggu?” Beo Reva tak percaya, sungguh itu adalah hal yang sangat cepat. Roy mendekati Reva, dia mengelus kepala Reva dengan lembut. “Jadi kau bisa kok pulang ke kampung, dan tunggu aku di kampung satu Minggu lagi,” ucap Roy, namun Reva masih diam sejenak.“Bentar, ini dapat restu, kan?” tanya Reva. “Iya Reva, kedua orang tuaku sudah memberikan izin!”Deg;Reva kaget dengan perkataan itu, bagaimana bisa? Dirinya pulang kerumah Roy, jelas-jelas kedua orang tuanya sudah tak setuju. Dan sekarang mereka memberikan restu kepada mereka berd
“Sini, Bi. Makasih banyak,” kata Reva, mengambil alih tas yang berada di tangan Bi Ira.“Hati-hati di jalan Reva. Pak jangan membawa mobil ngelantur, ya!” pesan Bi Ira membuat Reva terkekeh pelanReva bersalaman kepada Bi Ira, lantas memasuki mobil. Sebelum berangkat, Reva melambaikan tangannya kepada Bi Ira.“Kalau sudah sampai, kabari bibi, ya.”***“Halo?”“Bi apakah Reva sudah berangkat?”“Sudah, den.”“Baik terimksih!”Tut!Roy memutuskan sambungan sepihak, dia menghembuskan nafasnya dengan pasrah. Sungguh dia sangat tidak ingin, jika Reva balik ke kampung.“Tidak apa Roy, satu Minggu lagi kita akan pulang ke rumah Reva, dan melamarnya,” gumam Roy dengan senang, senyum yang terlihat sangat senang.Roy menatap kalender kecil yang nerada diatas mejanya, dia melingkari satu tanggal. Dia tersenyum, tidak menyangka jika apa yang dia lakukan sudah berhasil dengan mulus.Lain halnya dengan Reva, ia masih berada di jalan. Reva menatap ke luar jendela, melihat pemandangan yang sangat inda
“Permisi, ini benar rumah Reva?” tanya seorang pengrias, kepada Mega yang berada di hadapannya.Mega dengan cepat menganggukkan kepalanya. “Iya, silahkan masuk,” jawab Mega. Dia sudah mengira jika itu adalah pengrias Reva, yang akan mempercantik kakaknya tersebut.“Siapa yang datang Mega?” tanya sang ibu, yang mempersiapkan makanan kecil di dapur.“Pengrias kak Reva, Bu!” Jawab Mega.Mega pun mengantarkan pengrias kedalam kamar Reva, Reva nampak baru selesai mandi dan pengrias tersenyum melihat Reva yang sangat cantik.“Wajahmu sangat cantik walau belum dirias, ahh aku tak bisa membayangkan bagaimana wajahmu sudah di rias nanti,” ujar Pengrias kagum, membuat Reva tersenyum canggung.“Tidak ada, kamu juga cantik,” jawab Reva.“Mau rias sekarang?” Tanya Pengrias.Reva hanya menganggukan kepalanya, pengrias menyiapkan alat-alat yang akan dipakai. Ditaruhnya diatas meja yang ada di kamar Reva. Reva memakaikan wajahnya pelembab sendiri, karena memakai pelembab pribadi. Pengrias mempersiap