Diam-diam aku memperhatikan Mas Surya. Mencuri pandang pada suami sendiri karena tidak ingin dicurigai. Sikapnya cukup aneh sejak pulang dari kantor. Dia seperti lebih perhatian padaku, tidak secuek dan sedatar biasanya, tapi jadi terasa janggal dan itu yang membuatku jadi penasaran. Apa maksud perhatiannya tersebut? Bukannya tidak bersyukur diperhatikan suami, tapi jadi terasa aneh bagiku diperlakukan tidak seperti biasanya. Sekarang kami berada di dalam kamar. Mas Surya seperti biasa setelah jam makan malam akan berada di kursi kebesarannya menghadap meja kerjanya dan larut dalam pekerjaan. Sedang aku duduk di tepi ranjang setelah selesai menidurkan Malik. Masih memperhatikannya dalam diam. Sambil berpikir keras bagaimana caranya bisa mengakses ponsel suamiku tersebut biar bisa mengetahui apa saja isi di dalamnya dan rahasia apa yang disembunyikannya di sana. "Kenapa belum tidur?" "Hah?!" Kaget, karena mendapatkan pertanyaan darinya. Dia bertanya tanpa menoleh padaku, masih fok
Langkahku pasti menuju ruang tamu di mana ada sosok wanita yang kubenci akhir-akhir ini berada. Namun keningku mengernyit ketika sampai di sana mendapati wanita tersebut datang kemari membawa sebuah koper di sampingnya. Heran, apakah wanita ini mau pergi jauh dan maksud kedatangannya kemari ingin pamitan pada Mas Surya? Kalau memang demikian, aku takkan sungkan membangunkan suamiku itu untuk menemui sahabatnya tersebut saat ini juga. "Surya mana?" Wanita di hadapan ini tanpa basa-basi dulu menanyakan keberadaan suamiku dengan kepala celingukan mencari sosok tersebut di belakangku. "Tidur," jawabku singkat dengan melipat kedua tangan di dada. Masih dalam keadaan berdiri menatap tajam wanita di hadapanku. "Hm, bangunkan! Aku harus bicara padanya."Mataku membulat sempurna mendengar ucapannya yang terdengar mengesalkan. Harusnya sematkan kata tolong di depan kalimatnya agar aku tak merasa sedang diperintah. Lagipula belum tentu aku mau menuruti inginnya meskipun kata itu diucapkan
"Kamu nggak papa?" Mas Surya menghampiri Aurel, bertanya khawatir. "Nggak papa Ya. Nggak ada yang lecet kok, cuma jatuh aja." Aurel tersenyum seringai ke arahku saat mengatakannya. Membuatku yakin dia sengaja mencari perhatian Mas Surya dan mengkambinghitamkan aku disini. Mas Surya lalu mengajak Aurel duduk di kursi ruang tamu. Aku ikut duduk di kursi seberangnya. "Bi, ambilkan air minum untuk Aurel," titah Mas Surya pada Bi Jum. Namun langkah Bi Jum tertahan. Tangannya kupegang erat mencegahnya pergi. "Nggak usah Bi, dia nggak haus. Tadi juga mau pergi," tandasku menatap tajam wanita di hadapanku ini. "Na, kamu …."Mas Surya berdecak kesal, tampak menahan amarahnya. Namun aku tak peduli. "Nggak papa, Ya. Benar kok, aku memang nggak haus." Aurel sangat pandai bermain peran. Di hadapan suamiku itu dia seolah terzalimi dengan muka sendunya."Kamu mau kemana Rel? Kenapa tidak menghubungiku?" "Sudah, tapi nggak diangkat. Kamu tidur kayaknya." Aurel bersungut manja. "Oh, iya ka
"Mas Surya," gumamku lirih. Suaraku sampai bergetar menyebut nama lelaki tersebut. Gambar yang kulihat ini berupa foto seorang laki-laki yang sedang tidur di sebuah ranjang dengan kasur bersprei putih. Dia mirip suamiku. Harapku cuma mirip, tapi hati mengatakan tidak, itu beneran memang dia. Mas Surya. Di foto itu ia hanya sendiri, tapi di foto yang kedua yang dikirim tampaklah seorang wanita yang sedang foto selfie bersandar pada dinding kaca besar, tersenyum semringah dengan latar belakang pemandangan gedung-gedung tinggi dibelakangnya. Hal ini mungkin memperjelas dimana foto tersebut diambil. Mungkin hotel atau apartemen. Yang pasti tempat itu gedung tinggi bertingkat. "Aurel!" pekikku setelah tahu dialah yang mengirimkan foto tersebut. Foto kedua yang menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut. Wanita yang sebelumnya mengemis ingin menginap di rumah kami. Apa maksud wanita ini mengirim pesan seperti itu? Apa dia mau menunjukkan wujud aslinya sebagai seorang pelakor? Meminjam
"Bu Medina? Ibu ngapain di sini?" Aku menoleh sebentar ke arah Bi Jum yang datang ke dapur menghampiriku yang sedang memasak. "Masak. Tolong Bi, ambilkan satu piring di almari. Buat menaruh ini," titahku dengan menyorot ke hasil masakanku di pagi buta ini. Setelah solat subuh aku menuju dapur untuk membuat sarapan pagi. "I–iya, Bu." Meski kebingungan, Bi Jum tetap menurut. Ia bergegas mengambilkan apa yang kuminta. "Maaf, Bu. Kenapa Ibu bereskan semua? Masak juga. Terus kerjaan Bibi apa, Bu? Apa Ibu mau memecat Bibi?" Tampak hati-hati Bi Jum bertanya. Aku tersenyum menanggapinya. Tidak mungkin aku memecatnya karena Bi Jum tidak membuat kesalahan apapun. Mungkin belum dan kuharap tidak pernah. Apa yang kulakukan hanyalah pelampiasan atas kemarahan pada seseorang yang tidak bisa kuluapkan langsung ke orang yang bersangkutan. "Nggak Bi, nggak papa. Saya lagi pengen aja membersihkan rumah sendiri. Biasanya juga begitu. Mungkin karena terbiasa jadi lupa ternyata sudah ada Bibi," ja
"Bu." Suara memanggilku disertai ketukan pintu berbunyi bersamaan di depan pintu kamar. "Ya, tunggu!" sahutku meyakini kalau yang barusan memanggil adalah Bi Jum. Segera aku bangun dan menggendong Malik menuju arah pintu. Alisku terangkat dan saling bertaut menanyakan apa maksud Bi Jum memanggil. "Anu, Bu. Itu Bapak." Tampak hati-hati Bi Jum menjawab, tapi tak jelas apa maksudnya. "Bapak? Suami Saya, Bi? Memangnya Mas Surya kenapa?" tanyaku bingung. "Anu, Bu. Bapak minta dibuatkan kopi, tapi katanya minta Ibu yang bikinkan."Kerutan di keningku mengendur mendengar perkataan Bibi. "Oh, itu. Gampang Bi. Suami saya itu suka kopi hitam dengan taburan sedikit kayu manis diatasnya, terus–" Mencoba menjelaskan tapi disela Bi Jum. "Anu Bu, katanya Ibu saja yang bikinkan. Jangan Bibi. Rasanya pasti beda. Tadi Bibi sudah mau coba tapi dilarang Bapak."Aku mendesah berat. Laki-laki itu, apa lagi maunya? "Ya sudah, biar Saya, Bi. Ada lagi yang mau disampaikan?" Bi Jum menggeleng da
"Aurel, silakan bicara. Waktu dan tempat dipersilahkan," ujarku meminta Aurel bicara setelah Mas Surya duduk. Lelaki tersebut ternyata memilih duduk di sofa yang sama denganku, di sebelahku. Kukira ia akan duduk di sofa yang sama dengan diduduki Aurel. Wajahnya masih diliputi kebingungan. "Heh, aku tak tahu kalau kamu bisa selicik ini Na. Seharusnya aku sadari itu sejak awal kamu ubah pertemuan kita," ucap Aurel dengan sinisnya. Aku tersenyum tipis menanggapi kekesalannya. Licik darimana? Aku hanya menghadirkan sumber dari dua sisi. Kalau sisi satu mengaku begini, maka kita dapat menanyakan langsung ke sisi kedua apakah yang dikatakannya itu benar atau salah. Padahal yang pantas dikatakan licik itu adalah dia. Bersembunyi dibalik kata sahabat nyatanya sekarang mengaku ada sesuatu dengan suamiku. "Ini apa Rel? Apa yang ingin kamu katakan? Kenapa di sini? Kamu bilang sakit makanya tidak masuk kerja, tapi sekarang apa ini?" Pertanyaan berturut Mas Surya lemparkan pada Aurel. Sepert
"Karena itulah aku meminta Surya untuk melepaskanmu, Na. Selama ini dia tersiksa mencoba mencintaimu–""Rel, sudah hentikan!" Mas Surya menyela. "Kenapa harus dihentikan? Lanjutkan Rel, aku mau tahu semuanya. Tersiksa kenapa? Apa pikirmu Mas, aku tak tersiksa mencintai orang yang tidak pernah mencintaiku?""Medina, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku sudah berusaha mencintaimu tapi–" "Tapi tidak bisa. Iya kan? Kenapa? Karena kamu mencintai Aurel, begitu?" jawabku mulai gemas mendengar jawabannya yang begitu lamban. "Aku pernah dengar kalimat yang bilang cinta itu akan hadir karena terbiasa bersama. Apa selama bersamaku kamu tidak pernah mempunyai rasa itu, Mas?" lanjutku lagi. Kali ini nada bicaraku tak bisa dikontrol. Suara getarannya keluar karena aku mencoba sekuat tenaga menahan air mata yang ingin merembes keluar dari kedua sudut mataku. "Itu karena sebenarnya Surya itu sangat mencintaiku, Na. Mengertilah karena Surya itu sudah mencintaiku sejak dulu. Kamu pas