Pov Aurel"Rel, ini gimana? Kok handuk tergeletak sembarangan gini? Taruh di tempatnya!" Surya melempar handuk bekas mandi barusan ke wajahku. Kaget, jantungku berdetak lebih cepat karenanya. "Beb! Kena wajah," rutukku kesal. Kulempar balik handuk tersebut ke arahnya. "Hei! Kena aku, Rel! Kok dilempar lagi?" "Kamu aja yang taruh. Kan lebih dekat," balasku cuek. Seharusnya tak perlu main lempar-lemparan. Ngomong baik-baik kan bisa. Aku tidak suka cara Surya menyuruhku. Terlalu memerintah dan aku tak terbiasa diperlakukan begitu. " Heh …." Terdengar helaan napasnya. Tak kupedulikan. Aku asyik di depan cermin menyisir rambutku yang berantakan karena baru bangun tidur. Meski belum mandi, aku harus tetap on dan cantik. Lalu terlihat suamiku itu berlalu pergi meletakkan handukku tadi ke tempat jemuran handuk. Aku tersenyum semringah. Baguslah. Itu yang kusuka dari Surya, dia tidak bisa marah padaku. Tidak banyak komplain juga. Mungkin karena terlalu cinta. Menyesal dulu tak kukejar
Medina! Kurang ajar. Aku sengaja melarang Surya terlalu dekat dengan anaknya beberapa bulan ini untuk menghindarinya bertemu Medina. Namun apa yang terjadi? Di belakangku sepertinya mereka malah sering bertemu. Sejak kapan? karena Surya tidak cerita apapun padaku. Apa Surya mulai tak jujur? Pantes suamiku itu tidak pernah mengeluh atau galau lagi karena tidak bisa bertemu dengan anaknya seperti di awal pernikahan, ternyata ini penyebabnya. Wanita itu ternyata licik juga. Tidak sepolos penampilannya. Banyak cara dilakukannya dan inilah salah satunya. Bertemu di saat jam makan siang suamiku. Aku yakin itu ide dari wanita itu. "Rel, lihat apaan? Kok serius banget." Yolanda menegur dari dalam mobilnya karena aku terdiam cukup lama di depan pintu mobilku. Pintunya sudah terbuka dan aku belum juga masuk ke dalamnya. "Eh, nggak papa. Kamu duluan saja, Yol. Aku tidak jadi ikut. Bilangin sama mereka kalau aku ada urusan penting," tukasku memintanya pergi. Mood-ku tiba-tiba hancur. Pad
"Sayang, pulang!"Baru saja tersambung, dan di seberang sana belum memberi sapaan, aku sudah nyerocos memintanya pulang. Padahal sudah tahu kalau masih tersisa waktu dua jam lagi dari jadwal kepulangan kerjanya. Surya. Aku lagi kesal dan aku ingin meluapkannya ke dia karena dia juga punya andil membuatku marah saat ini. Kegagalan memberi 'pelajaran' pada Medina membuat amarahku tak mau reda. Jadi satu-satunya cara adalah dengan menghajar satu tersangka lainnya, yaitu suamiku. "Salam dulu, Yang. Baru ngomong. Kamu kenapa maksa aku pulang? Ini belum jamnya, dan masih ada dua jam lagi. Nanti aku langsung pulang kok, nggak bakalan kemana-mana. Kamu baik-baik saja kan? Kamu dimana? Meetingnya bagaimana, lancar?" Surya masih ramah menanggapi ocehan kemarahanku. Nada suaranya masih lembut. Kalau mengingat pertemuan tersembunyinya bersama Medina, rasanya aku akan meleleh kalau ditanya sepert itu. Sangat memperhatikan tapi nyatanya itu hanyalah topeng untuk menutupi kebohongannya. "Nggak
"Tolong! Tolong copet!"Aku berbalik ke asal suara. Sayup terdengar teriakan minta tolong disertai kata copet, netraku terfokus pada laki-laki bertopi hitam yang berlari sambil mendekap tas wanita di tangannya. Ia berlari ke arahku. Ku tengok kanan kiri, keadaan sepi. Tidak tampak siapapun di jalan sepi ini. Merasa tidak ada yang bisa membantu, rasa kemanusiaan terpanggil untuk menolong, segera aku turun dari motor metic-ku untuk mencekal langkah laki-laki itu dengan menghantamkan keras tas yang kubawa ke arahnya. Bruk! Laki-laki itu jatuh. Kuraih tas di tangannya, tapi tidak berhasil karena dipegangnya erat. Padahal posisinya sangat berbahaya karena orang-orang mulai berdatangan menghampiri kami. Dia bisa saja pergi melarikan diri, tapi nyatanya dia lebih memilih diam dengan mempertahankan tas di tangannya. Aneh. Sepertinya tas itu lebih berharga dibandingkan nyawanya. "Copet!""Ini copetnya, ayo tangkap!" "Gebukin!""Bakar!" Astaga, mendengar orang-orang berteriak dengan berba
Bu Resa menggeleng. "Tadi naik mobil, tapi mogok di jalan sana. Ibu pikir tinggal masuk komplek kan sampai ke rumah kamu, tapi nggak nyangka sesepi ini.""Mungkin sibuk kerja Bu. Biasanya juga nggak sepi begini," ujarku menyanggahnya. "Ibu jadi mau ke rumah?" Bu Resa mengangguk mengiakan. "Ya sudah, naik motor bisa, Bu? Soalnya Saya pake motor," tunjukku ke motor matic yang terparkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Bu Resa mengangguk. "Bisa kok, tinggal duduk manis doang di belakang." Sejak pertemuan itu, Bu Resa jadi lebih sering berkunjung ke rumahku. Entah karena pesan kue ataupun sekedar mampir sebentar. Katanya senang bisa kumpul denganku dan yang lainnya di rumah ini. Rame, menghilangkan rasa sepinya sendiri di rumah. Kadang sendiri ataupun pergi bersama Starla. Malik sekarang jadi ada temannya saat Starla ikut berkunjung ke rumah ini. "Kak, di depan ada yang cari Bu Resa. Katanya anaknya mau jemput pulang." Tika tiba-tiba datang memberitahukan. Aku menoleh ke arah Bu
"Sepertinya Bu Resa pengen ngejodohin anaknya sama Kakak deh." Becka bersuara membuka obrolan setelah kepulangan keluarga Bu Resa. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. "Iya Kak, benar banget. Kentara banget kelihatan kalau Neneknya Starla itu pengen ngedekatin Kak Medina sama anaknya. Buktinya beliau sering banget muji anak sendiri di hadapan Kakak," timpal Tika ikut mendukung perkataan Becka. Kali ini kegiatan tanganku membungkus kue terhenti, netraku menatap Tika dan Becka secara bergantian. "Nah, kan sepemikiran. Terima aja Kak, Pak Satria itu ganteng loh, mana kaya juga. Mantan kakak yang istrinya nyebelin itu kalah, nggak sebanding deh, lewat." Becka masih mengompori membujukku setuju dengan pemikirannya. Aku diam tanpa suara, hanya menggeleng-gelengkan kepala karena sudah terbiasa dijodoh-jodohkan mereka. Dulu dengan Pak Ricky, langganan kue kami yang merupakan guru di salah satu sekolah menengah atas negeri. Lalu ada Bumi, laki-laki humoris yang suka mampir dengan alas
"Tutup pintunya. Mama takut ada telinga yang ikut mendengar." Aku yang baru melangkah masuk kamar dikejutkan dengan perintah darinya. Cukup kaget mendengarnya, tapi tetap kuturuti maunya. Pintu kamar kututup sesuai keinginannya. "Sini duduk, Mama mau bicara penting," lanjutnya kemudian. Lagi titahnya kuikuti karena bagiku dia tetap orang yang harus dihormati meskipun status hubungan kami telah berubah. "Ada apa Ma, kenapa harus bicara seperti ini?" tanyaku bingung. Kurasa wajar bertanya dengan sikapnya barusan. Pembicaraan seperti apa yang membuatnya memintaku berada di kamar ini. Terlalu rahasia. "Sejak kapan kamu dekat dengan ibu itu?""Ibu? Ibu yang mana, Ma?" Aku memastikan, takut salah orang. Pertanyaan Mama Lila tak jelas karena hanya menyebutkan kata ibu. Apakah yang dimaksudnya itu Ibu Resa? Kalau dekat memangnya kenapa, apa itu penting untuknya? "Ya itu, yang sering ke sini karena kesepian. Aneh, mainnya kok ke sini. Memangnya rumahmu ini pasar? Lagian ya Na, sejujurny
"Kak, aku nggak bisa. Kakak pergi saja sendiri. Lagipula kami nggak diundang. Kan yang diundang itu Malik sama Kakak, lagian acaranya anak-anak, bukan untuk kami orang dewasa." Becka kukuh tidak mau kuajak ke pesta ulang tahunnya Starla, begitu pun Tika. Sedang aku juga malas kalau harus pergi hanya berdua saja dengan Malik. Kalau ada Becka atau Tika yang mau menemani, aku ada alasan untuk cepat pulang dengan mengkambinghitamkan mereka. Menjadikan mereka alasanku untuk menghindari anaknya Bu Resa–Satria. Ingin menolak datang juga tidak enak karena Bu Resa khusus mengundangku agar datang ke acara cucunya. Ditambah ada pesanan kue juga darinya. Otomatis itu yang menyebabkan aku harus datang. Entah kenapa aku yakin kalau datang ke sana bakal didekatkan dengan anaknya yang bernama Satria. Laki-laki dingin dengan senyum minimalis. "Sudahlah Kak, soal rumah dan kue, Kak Medina tenang saja. Kami pasti urus dengan baik. Pokoknya Kakak datang saja ke sana, nikmati acaranya karena kapan la