Home / Horor / Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun / Bab 2: Mereka yang Tak Terlihat

Share

Bab 2: Mereka yang Tak Terlihat

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-11 17:30:09

Malam ketiga setelah kejadian di bukit itu, aku tidak benar-benar tidur. Tubuhku lelah, demamku turun naik, tapi mata ini enggan terpejam. Ada sesuatu yang mengendap di udara. Seperti... seseorang—atau sesuatu—mengintipku dari balik gelap.

Aku memejamkan mata. Tapi justru di situlah semuanya dimulai.

Dalam mimpi, aku berdiri di tengah kabut. Kabutnya tebal, nyaris seperti kapas busuk, dan berbau amis. Di sekelilingku hanya suara-suara—bukan suara manusia. Mereka bergumam dalam bahasa yang tidak kumengerti, tapi entah bagaimana aku tahu, mereka membicarakanku.

Di depan, sosok-sosok samar mulai bermunculan. Bayangan-bayangan tinggi, kurus, kepala mereka terlalu panjang, wajahnya ditutupi rambut, dan kakinya... melayang. Mereka tidak berjalan. Mereka mengambang—bergerak perlahan seperti asap.

Salah satu dari mereka menunjukku.

Lalu semuanya memekik dalam satu suara.

“Balikke...! Ojo lali...!”

(Kembalikan...! Jangan lupa...!)

Aku terbangun dengan tubuh menggigil dan nafas memburu.

Di luar kamar, terdengar suara kursi kayu bergeser. Padahal semua orang di rumah sedang tidur. Aku memberanikan diri mengintip. Tak ada siapa-siapa di ruang tamu, hanya lampu gantung yang berayun pelan. Tapi di bawahnya, ada lumpur. Basah. Seperti jejak kaki dari rawa.

Dan di tengah jejak itu—seikat rambut putih.

Bukan rambut manusia. Rambut itu lebih halus, panjang, dan berkilau... seperti benang perak. Aku mundur perlahan, dan menutup pintu kamar rapat-rapat.

---

Besok paginya, aku pergi menemui Pak Tarmo. Wajahnya pucat ketika mendengar ceritaku.

“Kamu mimpi mereka?” tanyanya lirih.

Aku mengangguk.

“Berarti mereka sudah tau kamu. Mereka tau kamu bisa melihat, bisa mendengar... Itu berbahaya, Za. Sekarang kamu bukan lagi orang luar. Kamu sudah ‘diundang masuk’.”

Aku tercekat. “Masuk ke mana, Pak?”

Pak Tarmo menatapku lama.

“Ke kampung mereka.”

---

Kami duduk di pendopo dekat masjid tua. Di sekeliling kami, suara ayam dan anak-anak bermain terdengar biasa. Tapi suasana hatiku justru makin berat.

“Dulu,” kata Pak Tarmo, “di sana itu memang tempat bedeng Belanda. Tapi sebelum Belanda datang, itu sudah lama jadi wilayah bangsa lelembut. Kita cuma numpang. Makanya, ketika mereka datang dan bangun rumah di atas tanah itu—banyak yang gila. Banyak yang mati mendadak.”

Ia menyesap kopinya sebentar sebelum melanjutkan.

“Waktu Belanda pergi, tanah itu dibiarkan. Tapi sumber mata air di sana masih mengalir. Ikan-ikan yang naik saat hujan itu—bukan ikan biasa. Mereka ‘diberi’. Siapa yang ambil, harus tau diri. Kalau serakah... ya, dibawa.”

“Dibawa ke mana, Pak?”

“Ke bawah. Ke dunia mereka. Banyak yang gak sadar. Tiba-tiba ilang. Atau mati dengan wajah ketakutan. Matanya terbuka, mulutnya menganga.”

Aku menunduk. Tangan ini masih gemetar.

Pak Tarmo mengelus pundakku.

“Kamu harus kuat, Za. Kalau mereka sudah tahu kamu, satu-satunya cara adalah menyelesaikan urusannya. Kamu harus balikin yang kamu ambil.”

“Tapi aku udah balikin ikannya!”

“Bukan itu yang mereka minta. Yang kamu ambil itu bukan sekadar ikan. Kamu sudah melanggar batas. Yang mereka minta... lebih dari itu.”

---

Malam itu, aku memutuskan menulis semuanya dalam buku kecil. Aku mulai mencatat mimpi, bayangan, dan suara-suara yang terus datang. Aku tidak bisa cerita ke ibu—beliau sudah cukup takut. Tapi setiap malam, kabut datang lebih cepat, dan suara dari sumur semakin keras.

Sampai suatu malam, aku terbangun dan mendapati... pintu kamar terbuka.

Angin dingin meniup gorden pelan. Dan di ambang pintu, berdiri seorang perempuan. Rambutnya panjang menutupi wajah. Tubuhnya kotor penuh tanah. Bajunya compang-camping, dan suaranya seperti suara anak kecil yang menahan tangis.

“Mas Reza... tolongin aku...”

Aku tak bisa bergerak. Tubuhku seperti ditahan. Mataku hanya bisa menatap sosok itu.

“Tolongin aku, Mas... aku di bawah... aku dikurung...”

Lalu dia menunjuk ke arah sumur.

“Tolongin aku sebelum mereka... gantiin aku... sama kamu...”

Lalu dia menghilang.

---

Besoknya, aku kembali ke sumur itu. Sendirian. Sore hari. Kabut mulai turun, tapi belum terlalu tebal. Aku berdiri di bibir sumur dan berkata lirih:

“Aku minta maaf. Aku gak tahu. Tolong... jangan ganggu keluargaku.”

Tak ada jawaban. Tapi di dalam sumur, aku melihat... mata.

Sepasang mata yang bersinar kuning kehijauan, menatap langsung ke mataku. Lalu menghilang.

Aku lari sekuat tenaga. Dan sejak malam itu, suara-suara di kamar mulai berkurang. Tapi mimpi... mimpi tentang “kampung mereka” justru semakin jelas.

Dalam mimpi, aku berjalan di lorong rumah-rumah kecil yang sunyi. Rumah-rumah itu terbuat dari anyaman bambu hitam. Atapnya bukan genteng—tapi rambut. Di dalamnya, terdengar isak tangis anak-anak, suara gigi bergemeletuk, dan doa-doa dalam bahasa yang tak kupahami.

Dan dari ujung lorong itu... sosok perempuan semalam menatapku.

“Mas Reza... satu langkah lagi... mereka akan gantiin aku...”

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga yang Tak Terlihat

    Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbangnya Penjaga

    Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kepergian yang Sunyi

    Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Hujan dan Rahasia yang Terungkap

    Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bayang di Antara Senja

    Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka dari Rawa

    Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status