Home / Horor / Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun / Bab 3: Pintu yang Terbuka Sendiri

Share

Bab 3: Pintu yang Terbuka Sendiri

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-11 17:35:02

Sejak malam itu, setiap aku memejamkan mata, aku tak lagi bermimpi—aku dibawa. Seolah ada tali tak kasat mata yang menarikku ke dunia mereka, ke kampung gelap yang sunyi, lembap, dan dingin.

Kampung itu tidak berubah. Rumah-rumah berjajar dengan bentuk aneh, atap-atap dari rambut hitam, dinding dari anyaman daun kering yang seperti bernafas. Di tengah kampung, ada sumur—mirip dengan yang di desa, tapi lebih dalam, dengan uap panas mengepul dari dalamnya.

Di sana, anak-anak kecil berlarian. Tapi wajah mereka tidak wajar—sebagian tanpa mata, sebagian tersenyum dengan mulut robek hingga ke telinga. Dan di balik rumah-rumah itu, makhluk-makhluk tinggi, kurus, wajahnya tidak pernah terlihat, hanya mengamati.

Mereka tidak mendekat. Tidak juga bicara. Tapi aku tahu... mereka menunggu sesuatu. Menunggu aku melakukan kesalahan.

Dan malam itu, aku melangkah lebih jauh dari biasanya.

---

Aku mengikuti suara tangisan itu—suara si perempuan dari malam-malam sebelumnya. Tangisnya lirih, seperti anak kecil yang dikhianati. Di ujung jalan kampung itu, ada sebuah rumah besar, jauh lebih kokoh dibanding yang lain. Daunnya selalu bergerak, meskipun tak ada angin.

Aku masuk. Dan di dalamnya, hanya ada cermin besar.

Cermin itu berdiri sendiri, setinggi dua meter, bingkainya terbuat dari tulang—aku yakin itu tulang asli. Di permukaannya, tidak ada pantulan. Hanya kabut putih... dan bayangan samar: seorang perempuan duduk bersila, matanya kosong, tubuhnya membeku.

“Mas Reza...”

Itu suaranya. Tapi bibirnya tidak bergerak.

“Bantu aku keluar... Aku bukan milik mereka... Tapi kalau aku tak keluar... mereka akan ambil kamu...”

Aku maju selangkah. Lalu cermin itu retak. Dari retakan itu, asap hitam menyembur keluar, dan semua ruangan mendadak bergetar.

Makhluk-makhluk tinggi mulai masuk, kepalanya menyentuh langit-langit, mata mereka menyala merah. Dari balik tubuh mereka, terdengar dengungan ribuan suara: tangisan, doa, tawa cekikikan, suara gamelan, suara gong—semua saling tindih.

Aku berlari keluar rumah.

Kampung itu berubah.

Rumah-rumah mulai runtuh, akar-akar menjulur dari tanah, menangkap kakiku. Langitnya gelap, seperti malam tanpa bulan, dan dari sumur itu... keluar bayangan raksasa.

Suaranya berat, bergema:

“Wayahe wes tekan... Sijine bali, sijine tetep...”

(Waktunya sudah datang... Satu kembali, satu tinggal...)

---

Aku terbangun dengan tubuh basah oleh keringat.

Nafasku berat. Tapi tubuhku tak bisa bergerak. Aku menatap langit-langit kamar, dan dari sudut mataku, aku lihat... pintu lemari terbuka sendiri.

Dari dalamnya, keluar suara seretan kain.

Aku tak bisa berteriak.

Dan dari celah itu, muncul tangan pucat, kecil, kuku-kukunya panjang. Tangannya meraba-raba lantai, lalu menarik sesuatu: sehelai kain putih dengan motif Belanda. Kain yang pernah kulihat... di rumah peninggalan tua dulu.

Kain itu digeret ke bawah tempat tidur.

Saat tubuhku akhirnya bisa digerakkan, aku melompat turun dan menarik kain itu. Tapi tak ada siapa-siapa. Di bawah tempat tidur hanya ada gelap dan dingin... dan bekas jejak kaki kecil yang basah.

---

Pagi itu aku pergi ke rumah Bu Darmi—perempuan tua yang dikenal sebagai “penjaga batas” desa. Rumahnya di ujung barat, dekat sawah. Ia menyambutku tanpa tanya, seolah sudah tahu aku akan datang.

“Sudah terlalu dalam kamu masuk, Za... Mereka suka kamu.”

Aku terdiam.

“Kenapa aku?” tanyaku lirih.

Bu Darmi menghembuskan napas berat. “Karena kamu nanggap mereka. Kamu lihat, kamu denger, dan kamu peduli. Itu cukup untuk membuka pintu.”

“Pintu?”

“Antara dunia kita dan dunia mereka. Biasanya tipis. Tapi sekali kamu buka, mereka bisa masuk lewat apa saja. Lewat mimpi. Lewat suara. Lewat bayangan. Lewat... cermin.”

Aku tercekat.

Bu Darmi mengangguk. “Kalau kamu gak nutup pintu itu, kamu gak bisa kembali utuh. Lambat laun, kamu bakal jadi salah satu dari mereka.”

---

Malam itu, aku mencoba untuk tidak tidur. Tapi tetap saja, saat mata ini berat, aku masuk ke tempat itu lagi.

Tapi kali ini, aku tidak hanya melihat.

Aku bisa merasa. Tanah lembap di bawah kakiku, hawa panas dari sumur, dan detak jantung perempuan yang terus berbisik di telingaku.

“Mas Reza... waktunya habis... kalau aku gak bisa keluar... kamu yang ganti...”

Aku menoleh. Dia ada di sampingku, kali ini wajahnya lebih jelas. Matanya sembab, pipinya penuh goresan, tapi auranya... manusia.

“Aku bukan dari sana. Aku ditarik waktu kecil. Karena aku ambil kelapa... yang bukan milikku...”

Tangannya memegang tanganku.

“Sekarang, kamu satu-satunya yang bisa nolongin aku.”

Lalu di belakangku, terdengar suara berat:

“Wayahe wes tekan... Pilihane mung siji...”

Dan tanah di bawah kami mulai retak. Sumur besar di tengah kampung itu terbuka, menghisap apa pun yang ada di sekitarnya. Akar-akar bergerak, menggeliat, mengejar kami.

Aku menoleh ke perempuan itu.

“Gimana caranya nolong kamu!?”

Dia menatapku tajam. “Kamu harus masuk ke cermin... Dan keluar sambil pegang aku.”

“Kalau aku gagal?”

Dia menunduk.

“Maka kamu... nggak akan bangun lagi.”

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga yang Tak Terlihat

    Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbangnya Penjaga

    Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kepergian yang Sunyi

    Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Hujan dan Rahasia yang Terungkap

    Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bayang di Antara Senja

    Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka dari Rawa

    Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status