Malam itu, awan menggantung rendah di atas langit desa. Angin berdesir pelan, membawa bau tanah basah yang entah kenapa terasa... asing. Di kejauhan, kabut tipis mulai merambat pelan dari arah bukit kecil di sebelah timur desa—bukit yang dulunya sering aku datangi waktu kecil, tapi sekarang... hanya didiamkan.
Namaku Reza. Setelah sepuluh tahun merantau, aku kembali ke kampung halaman—Desa Warasari. Sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, rawa, dan kisah-kisah yang orang kota pasti anggap cuma tahayul. Tapi bagi kami yang tumbuh di sini, cerita itu bukan buat ditertawakan. Tapi dihindari. Dihormati. Malam pertama pulang, ibu sudah berpesan, “Jangan ke arah bukit itu, Le. Sekarang beda. Banyak yang hilang, banyak yang... gak balik.” Aku cuma mengangguk sambil senyum. Kupikir itu cuma kecemasan khas orang tua. Tapi malam itu, sesuatu membuatku tak bisa tidur. Seperti ada bisikan halus dari luar jendela kamar. Bukan suara orang. Bukan suara binatang. Tapi... suara seperti tanah yang mengerang. Aku bangun. Kutatap jendela yang mengembun. Kabut sudah sampai halaman. Dan entah kenapa... aku merasa dipanggil. --- Esok harinya, aku bertemu Pak Tarmo, tetua kampung yang sudah seperti kakek sendiri. Tubuhnya kurus, wajahnya keriput, tapi matanya tajam seperti dulu. “Kamu masih inget daerah ‘Kana Endas’?” tanyanya tiba-tiba saat kami duduk di beranda. Kana Endas... ya, begitu warga menyebut tempat wingit itu. Secara harfiah artinya ‘kepala tertinggal’—entah kenapa dinamai begitu, tapi semua orang paham satu hal: itu tempat larangan. “Masih, Pak. Bukit kecil dekat rawa, yang ada dua beringin besar?” “Betul. Sekarang gak ada yang berani deketin. Banyak kejadian, Za. Anak muda nyari jangkrik—besoknya mati. Orang mancing, pulangnya ngigo terus. Bahkan, ada yang cuma duduk di situ sambil makan rujak—besok paginya lidahnya biru, gak bisa ngomong, terus... hilang.” Aku menelan ludah. Angin siang itu tiba-tiba berbau amis. “Kamu jangan penasaran, Za. Di situ ada... urip liyane. Kampung yang gak bisa kamu lihat, tapi mereka bisa lihat kamu. Kalau kamu ngambil sesuatu dari sana—bahkan daun—itu sama aja kayak nyolong dari meja makan mereka.” Aku mengangguk, pura-pura tenang. Tapi hatiku mulai gelisah. --- Dua hari kemudian, rasa penasaran mengalahkan akal sehatku. Menjelang maghrib, aku berjalan ke arah bukit kecil itu. Jalannya sudah berubah, rumput liar tinggi menjulang, dan pohon-pohon seperti membentuk lorong gelap. Semakin dekat ke area beringin, udara terasa lebih dingin, dan... hening. Tak ada jangkrik, tak ada burung. Hanya sunyi yang pekat, seperti ditutup selimut kematian. Aku berhenti di depan dua pohon beringin raksasa yang tumbuh berdampingan. Di antara mereka, ada bekas fondasi bangunan—konon dulu itu bedeng peninggalan Belanda. Sekarang hanya reruntuhan samar, diselimuti lumut dan akar liar. Dan di dekatnya... sumur tua. Sumur itu hitam. Gelap. Bau besi dan tanah basah menyeruak dari mulutnya. Sekilas, aku merasa melihat sesuatu bergerak di dalamnya. Tapi saat kutatap lebih lama, hanya kegelapan. Lalu, dari arah rawa, terdengar plung... plong... plong... Suara ikan meloncat dari air. Aku menoleh. Benar saja—permukaan rawa meluap sedikit, dan banyak ikan kecil naik ke darat, menari-nari di lumpur. “Aneh... biasanya malam baru naik,” gumamku. Aku menunduk. Salah satu ikan tergeletak di kakiku—warnanya perak kehijauan, besar, menggeliat lemah. Tanpa sadar, aku memungutnya. Baru satu. Lalu dua. Lalu lima. Tapi begitu aku hendak mengambil yang keenam... suara keras bergema dari balik beringin. “Cukup.” Aku membeku. Tangan yang hendak mengambil ikan keenam terasa berat, seperti ditekan oleh tangan tak kasat mata. Aku menoleh ke kanan—tak ada siapa-siapa. Ke kiri—kosong. Tapi dari balik sumur, keluar asap tipis kehitaman yang melingkar seperti kabut, merambat pelan ke arahku. “Cukup,” suara itu datang lagi. Pelan. Tapi menggema, seperti berasal dari bawah tanah. Aku menjatuhkan ikan di tangan, dan berlari. Tapi lorong pohon yang tadi kulewati kini... tak sama lagi. Jalan seperti berubah. Dahan beringin melengkung membentuk lengkungan tinggi, seperti gerbang... tapi bukan gerbang manusia. Di belakangku, suara langkah kaki. Tapi bukan kaki manusia. Lebih seperti... seretan basah. Dan bisikan. Banyak. Dari segala arah. “Ngambek... Ngambil... Ngilang... Bayar... Bayar...” Aku menjerit dan berlari sekencangnya. Napasku putus-putus, tapi suara itu mengikuti terus. Baru saat kutabrak pagar bambu kebun belakang rumah seseorang, aku sadar aku telah kembali ke perkampungan. Aku menoleh. Kabut itu masih di sana. Tapi tak melangkah keluar dari batas. Dia hanya... menunggu. --- Malam itu aku demam tinggi. Tubuhku panas dingin. Dan yang paling aneh—ikan-ikan yang tadi sempat kuambil muncul di depan pintu rumah, tersusun rapi. Ibu menangis. “Siapa suruh kamu ke sana...?! Kamu sudah narik perhatian mereka...” --- Esok paginya, aku memutuskan untuk meninggalkan desa lagi. Tapi sebelum pergi, Pak Tarmo memberiku satu benda—seikat rambut putih panjang, katanya milik penjaga tanah. Harus dikubur di depan pintu rumah, sebagai tanda permintaan maaf. “Kalau kamu masih bisa bermimpi malam ini, berarti mereka belum menjemput. Tapi kalau malam nanti kamu cuma lihat bayangan dan kabut... artinya kamu sudah ada di separuh dunia mereka.” Aku menatap sumur tua dari kejauhan saat mobil meninggalkan desa. Kabut belum hilang. Dan di kaca belakang... aku lihat sosok berdiri di antara dua beringin, menatapku dengan wajah yang... sama seperti aku. ---Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe
Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol
Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip
Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har
Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu
Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k
Malam mulai turun, perlahan menelan keramaian desa yang masih menyisakan bisik-bisik penasaran. Setelah sempat menenangkan warga dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, Reza meminta izin untuk beristirahat sejenak di rumah Bu Darmi. Perempuan yang datang bersamanya tetap tenang, tak banyak bicara, hanya melempar senyum halus kepada siapa pun yang menatapnya dengan rasa ingin tahu. Tatapannya tajam namun tak mengancam, seperti lautan dalam yang menyimpan ribuan rahasia. Setelah pintu rumah Bu Darmi tertutup rapat, hanya lampu temaram dan suara malam yang menemani perbincangan mereka bertiga. “Bu,” kata Reza pelan, duduk di tikar rotan yang sudah mulai usang, “banyak yang ingin aku ceritakan, tapi aku hanya ingin Ibu yang tahu dulu.” Bu Darmi menatap Reza lekat-lekat. “Kamu pergi lama, Za. Aku kira kamu sudah tidak kembali…” Reza menunduk sejenak, lalu menghela napas. “Aku tidak pergi tanpa tujuan. Aku dipanggil, bukan hanya sebagai penjaga dua pohon beringin itu… tapi sebagai
Tahun demi tahun berlalu sejak acara besar tujuh malam itu digelar, sejak para makhluk dari alam lain menari bersama manusia di bawah cahaya obor dan bunyi gamelan. Desa yang dulu mencekam, kini telah berubah menjadi tempat yang damai dan hidup. Anak-anak kembali bermain di lapangan, warga kembali menanam dan memanen hasil kebun, dan aroma dupa tak lagi tercium di setiap sudut. Namun, satu hal yang menjadi tanda tanya besar bagi semua orang: ke mana perginya Reza? Suatu pagi, Reza tidak terlihat di gubuk dekat pohon beringin tempat ia biasa menjaga. Awalnya warga mengira ia hanya turun ke desa. Tapi ketika berhari-hari berlalu dan tak ada kabar sedikit pun, kekhawatiran mulai tumbuh. Bu Darmi yang biasanya tahu banyak hal pun hanya bisa menggelengkan kepala. “Dia nggak pamit sama sekali, Bu?” tanya Pak RT saat rapat desa digelar khusus membahas hilangnya Reza. “Tidak,” jawab Bu Darmi pelan. “Semalam masih sempat ngirim air dari mata air untuk saya. Besoknya, hilang begitu saja.”
Reza berdiri terpaku di hadapan wanita cantik berwibawa itu. Angin malam berhenti berhembus, seolah tunduk kepada kehadirannya. Di sekeliling mereka, kabut mulai terbelah, memperlihatkan sebuah gerbang raksasa dari batu karang yang berdiri kokoh menghadap ke arah laut lepas. Gerbang itu tidak terlihat dari mata manusia biasa—ia hanya akan muncul bagi mereka yang diundang oleh penguasa Laut Kidul. Ki Harjo menundukkan kepala dengan hormat. Reza pun mengikuti gerakannya. Wanita itu hanya tersenyum samar. “Namaku Nyi Sekar Kencono, salah satu penjaga istana Laut Kidul,” ucapnya dengan suara yang tenang namun penuh kuasa. “Sebelum kau dipertemukan dengan Ratu kami, kau harus melewati penyucian jiwa. Tak semua yang datang bisa pulang membawa tubuh dan pikirannya utuh.” Tanpa menunggu jawaban, Nyi Sekar Kencono melangkah pelan menuju gerbang. Gerakan kakinya seolah tidak menyentuh pasir, mengambang. Reza menoleh pada Ki Harjo, yang mengangguk pelan. “Lanjutkan, Nak. Kau sudah sampai di