Share

Aku Melihat Mbak Sarah, Mas

“Syukurlah, masih ada detak jantung bayinya. Hanya saja semakin lemah. Kita tidak punya waktu! Cepat!”

Begitu jenazah sudah memasuki ambulans, aku meminta ke pada Tomy agar menemani dokter, dan menceritakan segala sesuatu yang diketahui mengenai Sarah jika dokter itu bertanya.

“Tom, masuklah. Aku akan mempersiapkan keperluan bayi,” pintaku.

“Ya?” Tomy malah menatapku seperti orang bingung.

“Cepat masuk!” ulangku.

Tak langsung melakukan perintahku, dia malah celingukan. Melihat ke arah mayat Sarah, lalu ke arahku. Dia terus memegangi tengkuknya seolah ada sesuatu di sana.

Pemuda itu kemudian mendekatkan kepala dan berbisik. “Mas, aku ... takut,”

“Apa?” Mataku membeliak. Tak percaya sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia takut pada kakaknya sendiri. Mereka telah hidup bersama bertahun –tahun, bahkan lebih lama dari kebersamaanku dengan Sarah.

“Mas, kita tak punya waktu. Cari perlengkapan bayi di rumah sakit saja. Sudah ada toko yang menyediakan di sebelah apotik!” Asisten dokter mengatakannya. Ia rupanya bisa menangkap obrolanku dengan Tomy.

“Heh, Tom. Kamu benar –benar!” kesalku melotot pada adik iparku tersebut.

“Masuk saja, Mas!” perintah dokter yang masih terus sibuk dengan perut Sarah. Entah apa yang dilakukannya dengan menyuntikkan sesuatu di sana.

Mendengar perintah itu, aku pun mendorong tubuh Tomy ke arah mobil. Pemuda itu pun terpaksa masuk lebih dulu, dan aku menyusul kemudian. Benar saja, sepanjang jalan, Tomy terlihat sangat gelisah. Dia seperti seseorang yang khawatir, kalau –kalau mayat di depannya akan bangun dan jadi zombie yang memangsanya.

Dia tak waras gara –gara sering nonto film horor yang menurutku kadang kali tak masuk akal. Tahu begini, aku tak akan menceritakan peristiwa saat sosok Sarah membangunkanku tadi. Namun, kalau dipikir, jangankan Tomy, aku pun merinding jika ingat kejadiannya. Hanya saja, aku tak mau memperlihatkannya ke pada orang lain.

Entah, itu benar –benar Sarah yang ingin memberiku isyarat atau hantu lain yang ingin mengganggu, aku tak mau orang berpikir, Sarah menjadi arwah gentayangan dan meneror warga. Itu menyakitkan untukku.

“Tom, apa polisi tidak datang?” tanyaku yang membuat pemuda itu terhenyak.

“Ya?” Tomy melotot menatapku seperti sedang terkejut.

“Poisi? Tidak ada yang datang?” Pikirku harusnya mereka mengurus kecelakaan di jalan besar. Dan mengamankan sopirnya.

“Ah, nggak ada Mas.” Tomy menyahut.

“Mungkin belum.” Dokter ikut bicara. “Tunggu saja! Oya, apa saat masih hidup, ibu bayi ini ada keluhan? Hipertensi, anemia atau ....”

“Dia tidak memiliki riwayat penyakit, Dok.” Aku menepis itu. Kupikir, melihat kondisinya yang sangat sehat, dia dan bayi kami akan lahir dengan selamat. Siapa yang sangka. Semua ini terjadi.

“Terakhir HB nya juga bagus kata bidan.” Aku menceritakannya. Sarah sangat sehat. Dia bahkan tidak mengalami mual –mual hebat seperti kebanyakan wanita hamil. Hanya sedikit mual, dan bisa makan apa pun. Malah seingatku, makannya lebih lahap dari biasa.

“Bagus.”

Tiba –tiba saja aku ingat saat –saat bersamanya. Aku sampai geleng –geleng melihatnya sangat bernafsu untuk makan.

“Ya Allah, Sarah. Apa kamu akan menghabiskan semua itu. Bukannya belum sejam kita makan malam,” ucapku yang melihat wanita itu akan menghabiskan siomay yang dikubelikan saat pulang kerja.

“Kan ada bayi di perutku, Mas. Dia yang kelaparan terus. He he.” Wanita itu nyengir, selagi mulutnya penuh makanan.

Tiba –tiba saja, sopir berhenti mendadak diikuti bunyi klakson. “Wei! Hati –hati menyeberang!”

Senyum dan wajah ceria Sarah yang tergambar dalam ingatan seketika hilang. Aku seketika menengok ke depan. Mataku menyipit melihat se –sosok perempuan yang memakai gamis dengan warna samar karena sorot lampu ambulans yang terang. Wanita itu tak menoleh sedikit pun bergerak ke sisi jalan dan hilang di balik gedung –gedung yang gelap.

Tak lama, hanya dalam hitungan detik, aku kembali menoleh ke depan, karena mendengar klakson yang sangat nyaring, sebuah mobil tronton datang dari arah utara. Mataku melebar sempurna dengan jantung berdegup kencang, nyaris saja kami tertabrak tronton kalau saja, sopir itu terlambat mengerem.

Kami syok!

Tak perlu bertanya ada apa, kami semua sudah cukup syok nyaris terlindas tronton kalau saja sopir itu tak berhenti.

________

Kami semua menunggu Sarah di depan ruang operasi. Hanya aku, Tomy dan Bapak. Sedang Ibu Sarah katanya akan menyusul kemudian, sebab menyiapkan sesuatu. Sebagai tuan rumah yang terus kedatangan tamu, ibu mertua tak bisa begitu saja pergi. Setidaknya, ia harus memasrahkan urusan rumah ke pada keluarganya yang sudah datang.

Sementara aku duduk di kursi membungkuk, menumpu kepala di ke dua tangan yang berdiri di atas lutut. Posisi ini yang sering kulakukan, ketika aku sudah pasrah akan segala hal yang terjadi, tapi juga tak bisa tenang dan gelisah.

Ya, siapa pun orangnya, jika kehilangan istrinya dan menunggu hasil apakah anaknya akan selamat di meja operasi, pasti juga merasakan hal sama sepertiku. Tomy saja bahkan juga tampak frustasi mondar –mandir.

"Tom, berhenti mondar -mandir di depanku! Kamu membuatku tambah stress!" hardikku pada pemuda itu.

Tomy lalu duduk di sampingku dengan cepat. "Mas, antarin ke toilet. Aku kebelet," bisiknya.

"Kamu gila!" Mataku melotot ke arahnya. Sedetik pun aku tak mau meninggalkan ruangan ini.

“Mas, aku tadi melihat Mbak Sarah!” Suara Tomy bergetar.

"Hah?" Aku menoleh, menyorot dengan tatapan terkejut ke arahnya.

Bersambung .....

Kak, cek grup, kalo username Kaka yang ter-SS dapat novel cetak. Sudah dua hari belum ada yang japri kirim alamat. 😁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status