Share

Alasan Sarah Menemuiku

Harusnya dia bisa selamat, tapi kalau bapak Sarah ngotot begini, aku bisa apa? Apa tetap kubawa saja meski pria tua itu menentang? Toh, Sarah adalah tanggung jawab suaminya, dan ada anak dalam perutnya yang juga jadi tanggung jawabku sepenuhnya. Aku tak mau menyesal.

Ustaz Alif bergerak mendekat dan merangkul Bapak mertua. Pria itu tampaknya memang tak bisa diam saja melihat sesuatu yang tak beres di depannya.

“Pak. Setidaknya kita punya harapan. Saya sering membahas kasus seperti dalam fiqih bab mengurus jenazah. Kita justru akan berdosa jika membiarkan bayi tak bersalah dalam perut Mbak Sarah dikubur hidup –hidup, padahal bisa berupaya menyelamatkannya.” Ustaz Alif menjelaskan dengan lemah lembut. Entah, terbuat dari apa pria tersebut hingga memiliki sikap semanis itu?

Bapak terdiam. Tampaknya dia mulai goyah dengan ucapan masuk akal ustaz yang berada di sampingnya.

Suasana dalam ruangan itu kembali tegang karena ulah Bapak mertua yang keras kepala. Pantas saja kalau Sarah punya watak yang juga keras, ternyata nurun dari Bapaknya.

“Pak, bagaimana? Kita tidak punya banyak waktu.” Dokter mengingatkan.

“Pak, tolong!” Aku jadi tak sabar lagi.

“Pak.” Ustaz Alif meminta pria itu dengan lembut.

“Pak.” Suara ibu mertua juga terdengar. Wanita rupanya juga mendekat ke pada sang suami. “Kita sudah kehilangan putri kita. Setidaknya biarkan dokter berusaha menyelamatkan cucu kita.”

Aku tak menyangka wanita yang kupikir sama kolotnya dengan Bapak itu berada di pihakku sekarang. Semoga saja, pria itu luluh dari banyaknya pengertian orang –orang dekatnya dan bahkan dokter yang ahli dalam masalah ini.

Bapak dan ibu mertua saling tatap dalam. Namun, pria itu tetap juga bergeming dan membuat semua orang semakin resah.

“Pak!” Tomy sampai mengguncang bahu pria tua itu.

Detik –detik terus berlalu. Bapak masih juga bergeming. Kuhela napas berat karenanya. Kesabaran itu benar –benar habis. Aku harus bicara padanya sebelum semuanya terlambat. Kudekati pria paruh baya itu dan menarik lengannya menjauh.

Awalnya Bapak menatap tak suka padaku. Namun, saat aku bilang, “Pak, ini hal yang tak bisa kusampaikan di depan orang lain.”

Bapak mengerutkan keningnya, lalu bergerak begitu saja mengikutiku ke arah kamar. Aku lihat sekilas, orang –orang menatap bingung ke arah kami. Dari sebagian mereka, pasti ada yang gemes karena kami terlalu lama mengulur waktu.

Sampai di kamar, aku pun mulai bicara pada pria itu.

“Pak. Tadi ... saya tertidur dari sekitar jam lima. Harinya semakin dingin karena hujan yang lebat membuat saya meringkuk nyaman. Saya sangat lelap Pak.”

“Apa maksudmu, Fan. Jangan bertele –tele,” tegur Bapak.

“Saya tidak akan sampai di sini dalam waktu cepat, kalau tidak ada seseorang yang membangunkan.”

“Ya, bapak sudah menduga. Bapak kecewa, Fan. Itu kenapa bapak minta Tomy datang.” Pria itu mengucap lelah.

“Ehm, Pak. Maaf. Aku tadi, belum sempat jemput Mas Affan. Dia sudah kelihatan pas ke luar dari gang kecil, jadi aku balik dan duduk di samping Bapak." Suara Tomy kontan membuat kami menoleh.

Entah, sejak kapan dia ada di sana. Pemuda kepo –an itu pasti tadi langsung mengikuti kami. Padahal, kubilang ini tak bisa dibicarakan di depan orang lain.

“Hiss, kamu ....” Bapak mendesis kesal melihat kehadiran pemuda itu.

Aku awalnya keberatan dan ingin mengusirnya. Namun, dia juga toh adik kandung Sarah. Bukankah itu tak masalah. Dia juga berhak tahu nasib saudarinya.

“Ehm, Pak. Tepat sekali. Bukan Tomy yang membangunkan saya dan meminta datang ke mari. Tapi ... Sarah.” Di akhir kalimat aku mengucap sangat pelan.

“Apa?!” Bapak dan Tomy terkejut.

“Kamu kalau bicara hati –hati, Fan! Apa maksudmu? Sarah tidak mungkin jadi arwah penasaran.” Bapak malah marah.

“Mas, beneran, Mbak Sarah datang ke rumah Mas?” Tomy memegangi tengkuknya dengan raut wajah ketakutan. Aku baru saja sadar hawa di ruangan ini lebih dingin. Atau perasaanku sendiri saja, karena membahas kedatangan Sarah ke rumah.

“Demi Allah.” Aku sampai harus bersumpah untuk menepis keraguan dua pria yang sedang bicara denganku.

“Jadi apa intinya?” Bapak mertua ingin memperjelas apa maksudku mengatakan ini. Ya Tuhan, sebenarnya ini menghabiskan banyak waktu, tapi mau bagaimana lagi, dari pada harus berkelahi dengan orang tua Sarah dan membawanya paksa. Semoga saja tidak terlambat.

“Pak. Maksud saya, pasti Sarah ingin segera saya melihat jasadnya, dan juga menyelamatkan anak dalam kandungannya. Dia tahu bahwa wakttu kita tak banyak. Bapak lihat bagaimana dokter tadi bilang kalau Sarah ingin anaknya selamat.” Ya Tuhan, waktuku semakin habis.

“Maaf, sekarang saya sudah berusaha membujuk dan bahkan terpaksa menceritakan ini. Saya akan membawa jenazahnya ke rumah sakit. Ini pemberitahuan, Pak. Saya tidak akan meminta izin Bapak lagi,” tegasku meninggalkan pria tua yang masih juga membeku itu. Ke luar dan menemui dokter agar lekas membawa Sarah ke rumah sakit. Sementara itu, Tomy mengikutiku. Baguslah, ada banyak hal yang ingin kutanyakan ke padanya.

Sampai di luar, ustaz Alif menghambur ke arahku. Dia penasaran tampaknya dengan hasil negosiasi yang kami lakukan. Aku berharap, pria tua di dalam kamar tadi tidak ikut ke luar dan mencegah seperti sebelumnya. Biarkan saja dia membeku di sana.

“Bagaimana Mas?” tanya ustaz muda itu.

“Kita bawa sekarang Ustaz.”

“Alhamdulillah!” ucapnya sembari berjalan cepat ke arah dokter dan asistennya. “Dok, kita bawa sekarang.”

“Baik.” Dokter menyahut. Ia kemudian memberi perintah cepat pada asistennya untuk membantu. “Kita naikkan ambulan. Kami membawanya tadi dari rumah sakit.”

Syukurlah. Mereka sudah bisa membaca segala kemungkinan.

“Tolong dibantu!” pinta ustaz Alif pada beberapa pemuda yang ada di luar.

“Ya, kita harus hati –hati,” ucap dokter yang kemudian membalut luka –luka Sarah yang belum sepenuhnya kering. Sedang aku, meski tak tega tetap membantu membopong tubuhnya ke atas tanda. “Syukurlah, masih ada detak jantung bayinya. Hanya saja semakin lemah. Kita tidak punya waktu! Cepat!”

Bersambung.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status