Share

Gerakan di Perut Almarhumah

Lalu siapa yang datang ke rumah membangunkanku? Apa dia ingin berpamitan?

Memikirkannya, kepalaku kontan celingukan. Barang kali, Sarah kembali muncul seperti saat di rumah dan mengejutkan semua orang yang ada di sini. Kupegangi tengkuk, bulu kuduk jadi merinding membayangkan arwah Sarah berada di sini. Ya Tuhan, kenapa pikiranku jahat begini pada istriku sendiri? Dia seorang wanita yang baik.

Apa aku perlu bertanya ke pada ustaz Alif mengenai kemunculan Sarah di rumah tadi? Mana magrib –magrib. Mungkin saja, dia jadi arwah penasaran karena meninggal dalam kecelakaan dan membawa kemarahan ke padaku tadi?

“Itu yang terjadi sepengetahuan saya. Ustaz atau Mas Affan bisa melihat CCTV di depan ruko kami untuk memastikan.” Pak Joko menyambung ceritanya, dan itu membuyarkan lamunanku tentang Sarah.

“Kalau begitu, Bapak sangat lama beberes toko? Lalu kenapa tak izinkan saja Sarah menitipkan motornya?” protesku pada keputusan Pak Joko. Kalau saja dia menyeberang dengan jalan kaki, mungkin masih bisa menghindari truk dengan mundur. Ya Tuhan, aku merasa ingin melampiaskan sakit hati ini pada seseorang.

“Mas, saya nggak bilang gak izinkan. Saya bilang silakan, kalau mau taruh tapi saya akan pulang dan gak bisa bantu jaga motornya.” Pak Joko tak terima disalahkan.

“Tapi, Bapak juga masih bersiap pergi, belum juga pergi. Memintanya menitip ke warung Indah? Ah, Bapak ini.” Aku mengucap dengan nada kesal. Aku merasa berhak marah. Nyawa istriku melayang karena ucapannya.

Tentu saja dia tak mau menitip ke toko Indah, karena ingin menghindari dekat dengannya. Entahlah, kenapa pikiran Sarah terlalu kekanakan. Dia pikir jika dekat dengan Indah, dia jadi punya kesempatan mendekatiku.

“Ehm, Mas Affan. Pak Joko. Tolong tenang. Tidak ada gunanya berdebat mencari salah siapa. Mbak Sarah meninggal karena sudah waktunya meninggal.” Ustaz Alif menengahi kami. “Saya mengerti perasaan Mas. Bukan Mas saja yang menderita begini.”

Aku menghela napas panjang. Ingat bagaimana istri pria itu meninggal belum setahun setelah melahirkan anak ke tiga mereka. Ucapannya membuatku mirip orang bodoh. Kenapa tiba –tiba aku merasa konyol, di kampung ini jadi banyak duda janda yang pasangan mereka meninggal? Seolah musibahku sekarang tidak ada apa –apanya. Padahal, aku merasa sudah tidak berharga lagi. Aku seperti mayat hidup dan tak menginginkan apa pun selain Sarah dan anakku kembali hidup.

“Ehm, berapa usia janin almarhum?” tanya ustaz lagi.

“Tujuh bulan jalan delapan, harusnya bulan depan dia melahirkan Ustaz.” Menjawab itu, hatiku kembali sakit. Sangat sakit hingga mataku juga kembali terasa perih. Aku ingin berteriak dan menangis.

Kenapa harus sekarang Tuhan mengambil Sarah. Andai, diberi waktu sebulan lagi, mungkin anak kami bisa hidup.

“Sekarang baru jam 6.30 Mas. Apa sudah ada Dokter yang datang ke mari?” tanya Ustaz Alif.

“Dokter? Untuk apa, Ustaz?” tanya mertua yang sudah ikut bergabung dalam obrolan.

Ustaz Alif mempertanyakan sesuatu yang aneh. Untuk apa juga kami memanggil dokter? Sedang nyawa Sarah sudah tidak tertolong. Jadi tak ada gunanya melakukan itu.

“Kita tidak tahu kondisi bayi dalam perutnya. Siapa tahu masih hidup, Pak.” Ustaz Alif mengatakan sesuatu yang mengejutkan.

Bayi kami masih hidup? Apa itu mungkin?

“Benarkah?” Aku dan Bapak mertua saling pandang. Terlihat raut ragu di wajah tuanya.

Karena ucapan ustaz Alif, kakiku pun seketika bergerak masuk kembali untuk mendekati jenazah istriku. Saat menjauh, sayup terdengar suara ustaz muda itu bicara, yang tampaknya dengan seseorang di ujung telepon.

“Assalamu alaikum, Dok. Apa ada waktu sekarang?”

“Oh sedang bertugas? Apa tidak bisa datang? Ada pasien darurat di sini. Seorang ibu hamil tua baru saja kecelakaan. Saya pikir, mungkin saja bayi dalam perutnya masih selamat.”

Suara obrolan itu akhirnya tak terdengar karena posisiku sudah berada di dalam rumah. Langkah ini terayun semakin dekat. Sampai di tempat kusibak kain penutup di tubuh Sarah.

“Apa yang kamu lakukan, Fan?” tanya ibu mertua. Suara wanita itu terdengar serak dan tak suka.

Aku tak memedulikannya dan memegangi perut Sarah yang terbalut gamis berlumur darah. Tanganku kembali gemetar saat mengusap perut yang buncit itu. Benar ada pergerakan di sana. Meski sangat lemah.

“Apa yang kamu lakukan sekarang?” tanya ibu mertua. Bisa terlihat jelas nyala kebencian di ke dua matanya untukku. Seolah –olah akulah yang membunuh Sarah, dan dia tak mengizinkanku mendekatinya. Entah, apa yang selama ini Sarah curhatkan tentangku ke pada ibu mertua.

“Bu, lihatlah! Perut Sarah bergerak!” Aku berseru, menceritakan penemuanku yang mengejutkan.

Terima kasih Tuhan, Engkau masih memberiku kesempatan menjada darah dagingku dengan memberinya hidup. Kurapal banyak syukur dalam hati.

“Heh.” Wanita paruh baya itu tersenyum miring. Dia tampaknya tak percaya dan mungkin berpikir aku sudah gila.

Namun, berbeda dengan Tomy, adik iparku sekaligus putra bungsu dari keluarga Wahono. Pemuda itu lekas mendekat dan berjongkok di sampingku untuk membuktikannya.

“Tom, apa yang kamu lakukan? Cepat tutup mayat kakakmu! Kamu tega memperlihatkan tubuhnya pada semua orang?!” Ibu kembali mengucap protes.

Namun, berbeda sepertiku yang terus terpengaruh oleh ucapan mertuaku, tampaknya Tomy sangat tenang. Tak peduli pada ucapan ibunya dan terus bergerak memeriksa perut kakaknya yang sudah wafat.

“Ahm, Mas. Ini Dokter Budi. Obgyn dari rumah sakit Harapan di dekat gang kita.” Ustaz Alif menjelaskan keberadaan pria yang mengenakan kemeja dibalut jaket kulit itu. Penampilannya tidak mirip dengan dokter pada umumnya karena memakai pakaian berwarna putih. Mungkin itu juga alasan ustaz Alif mengatakannya.

Syukurlah. Dia datang di waktu yang tepat.

Tak berapa lama setelahnya, seorang dokter datang dengan membawa tas lumayan besar meski tak sebesar koper. Isinya pasti alat –alat medis untuk memeriksa. Aku dan Tomy lekas menyingkir. Membiarkan dokter itu bekerja.

Ibu yang sedari tadi mengira aku hanya membual seperti orang gila, kini diam saja. Kehadiran dokter itu sudah cukup menjelaskan bahwa aku tak asal bicara, dan melakukan hal –hal tak waras karena belum ikhlas melepas Sarah.

“Maaf, permisi. Saya harus memeriksa bayi dalam perutnya.” Dokter itu mengucap dengan sopannya.

Kami mengangguk dan memberinya wewenang. Pria yang kutaksir usianya sekitar 35 tahun itu berjongkok di samping jenazah istriku. Lalu diikuti satu asisten yang tadi datang bersamanya. Mereka sangat cekatan.

Aku, ibu dan bapak mertua, Tomy, ustaz Alif dan beberapa orang yang ada di ruangan itu menatap pekerjaan mereka dengan tegang. Ruangan yang tadi dipenuhi suara bisik –bisik dan lantunan ayat –ayat doa, kini senyap. Jantungku berdebar lebih kencang, menunggu hasil pemeriksaan dokter itu.

Ya, Tuhan. Aku yakin anakku masih hidup. Jika kali ini Engkau memberiku kesempatan. Aku janji, akan menjaganya melebihi nyawaku sendiri.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status