Home / Fantasi / Tanah Makamku masih Basah, Mas / Gerakan di Perut Almarhumah

Share

Gerakan di Perut Almarhumah

Author: Wafa Farha
last update Huling Na-update: 2023-04-03 05:29:58

Lalu siapa yang datang ke rumah membangunkanku? Apa dia ingin berpamitan?

Memikirkannya, kepalaku kontan celingukan. Barang kali, Sarah kembali muncul seperti saat di rumah dan mengejutkan semua orang yang ada di sini. Kupegangi tengkuk, bulu kuduk jadi merinding membayangkan arwah Sarah berada di sini. Ya Tuhan, kenapa pikiranku jahat begini pada istriku sendiri? Dia seorang wanita yang baik.

Apa aku perlu bertanya ke pada ustaz Alif mengenai kemunculan Sarah di rumah tadi? Mana magrib –magrib. Mungkin saja, dia jadi arwah penasaran karena meninggal dalam kecelakaan dan membawa kemarahan ke padaku tadi?

“Itu yang terjadi sepengetahuan saya. Ustaz atau Mas Affan bisa melihat CCTV di depan ruko kami untuk memastikan.” Pak Joko menyambung ceritanya, dan itu membuyarkan lamunanku tentang Sarah.

“Kalau begitu, Bapak sangat lama beberes toko? Lalu kenapa tak izinkan saja Sarah menitipkan motornya?” protesku pada keputusan Pak Joko. Kalau saja dia menyeberang dengan jalan kaki, mungkin masih bisa menghindari truk dengan mundur. Ya Tuhan, aku merasa ingin melampiaskan sakit hati ini pada seseorang.

“Mas, saya nggak bilang gak izinkan. Saya bilang silakan, kalau mau taruh tapi saya akan pulang dan gak bisa bantu jaga motornya.” Pak Joko tak terima disalahkan.

“Tapi, Bapak juga masih bersiap pergi, belum juga pergi. Memintanya menitip ke warung Indah? Ah, Bapak ini.” Aku mengucap dengan nada kesal. Aku merasa berhak marah. Nyawa istriku melayang karena ucapannya.

Tentu saja dia tak mau menitip ke toko Indah, karena ingin menghindari dekat dengannya. Entahlah, kenapa pikiran Sarah terlalu kekanakan. Dia pikir jika dekat dengan Indah, dia jadi punya kesempatan mendekatiku.

“Ehm, Mas Affan. Pak Joko. Tolong tenang. Tidak ada gunanya berdebat mencari salah siapa. Mbak Sarah meninggal karena sudah waktunya meninggal.” Ustaz Alif menengahi kami. “Saya mengerti perasaan Mas. Bukan Mas saja yang menderita begini.”

Aku menghela napas panjang. Ingat bagaimana istri pria itu meninggal belum setahun setelah melahirkan anak ke tiga mereka. Ucapannya membuatku mirip orang bodoh. Kenapa tiba –tiba aku merasa konyol, di kampung ini jadi banyak duda janda yang pasangan mereka meninggal? Seolah musibahku sekarang tidak ada apa –apanya. Padahal, aku merasa sudah tidak berharga lagi. Aku seperti mayat hidup dan tak menginginkan apa pun selain Sarah dan anakku kembali hidup.

“Ehm, berapa usia janin almarhum?” tanya ustaz lagi.

“Tujuh bulan jalan delapan, harusnya bulan depan dia melahirkan Ustaz.” Menjawab itu, hatiku kembali sakit. Sangat sakit hingga mataku juga kembali terasa perih. Aku ingin berteriak dan menangis.

Kenapa harus sekarang Tuhan mengambil Sarah. Andai, diberi waktu sebulan lagi, mungkin anak kami bisa hidup.

“Sekarang baru jam 6.30 Mas. Apa sudah ada Dokter yang datang ke mari?” tanya Ustaz Alif.

“Dokter? Untuk apa, Ustaz?” tanya mertua yang sudah ikut bergabung dalam obrolan.

Ustaz Alif mempertanyakan sesuatu yang aneh. Untuk apa juga kami memanggil dokter? Sedang nyawa Sarah sudah tidak tertolong. Jadi tak ada gunanya melakukan itu.

“Kita tidak tahu kondisi bayi dalam perutnya. Siapa tahu masih hidup, Pak.” Ustaz Alif mengatakan sesuatu yang mengejutkan.

Bayi kami masih hidup? Apa itu mungkin?

“Benarkah?” Aku dan Bapak mertua saling pandang. Terlihat raut ragu di wajah tuanya.

Karena ucapan ustaz Alif, kakiku pun seketika bergerak masuk kembali untuk mendekati jenazah istriku. Saat menjauh, sayup terdengar suara ustaz muda itu bicara, yang tampaknya dengan seseorang di ujung telepon.

“Assalamu alaikum, Dok. Apa ada waktu sekarang?”

“Oh sedang bertugas? Apa tidak bisa datang? Ada pasien darurat di sini. Seorang ibu hamil tua baru saja kecelakaan. Saya pikir, mungkin saja bayi dalam perutnya masih selamat.”

Suara obrolan itu akhirnya tak terdengar karena posisiku sudah berada di dalam rumah. Langkah ini terayun semakin dekat. Sampai di tempat kusibak kain penutup di tubuh Sarah.

“Apa yang kamu lakukan, Fan?” tanya ibu mertua. Suara wanita itu terdengar serak dan tak suka.

Aku tak memedulikannya dan memegangi perut Sarah yang terbalut gamis berlumur darah. Tanganku kembali gemetar saat mengusap perut yang buncit itu. Benar ada pergerakan di sana. Meski sangat lemah.

“Apa yang kamu lakukan sekarang?” tanya ibu mertua. Bisa terlihat jelas nyala kebencian di ke dua matanya untukku. Seolah –olah akulah yang membunuh Sarah, dan dia tak mengizinkanku mendekatinya. Entah, apa yang selama ini Sarah curhatkan tentangku ke pada ibu mertua.

“Bu, lihatlah! Perut Sarah bergerak!” Aku berseru, menceritakan penemuanku yang mengejutkan.

Terima kasih Tuhan, Engkau masih memberiku kesempatan menjada darah dagingku dengan memberinya hidup. Kurapal banyak syukur dalam hati.

“Heh.” Wanita paruh baya itu tersenyum miring. Dia tampaknya tak percaya dan mungkin berpikir aku sudah gila.

Namun, berbeda dengan Tomy, adik iparku sekaligus putra bungsu dari keluarga Wahono. Pemuda itu lekas mendekat dan berjongkok di sampingku untuk membuktikannya.

“Tom, apa yang kamu lakukan? Cepat tutup mayat kakakmu! Kamu tega memperlihatkan tubuhnya pada semua orang?!” Ibu kembali mengucap protes.

Namun, berbeda sepertiku yang terus terpengaruh oleh ucapan mertuaku, tampaknya Tomy sangat tenang. Tak peduli pada ucapan ibunya dan terus bergerak memeriksa perut kakaknya yang sudah wafat.

“Ahm, Mas. Ini Dokter Budi. Obgyn dari rumah sakit Harapan di dekat gang kita.” Ustaz Alif menjelaskan keberadaan pria yang mengenakan kemeja dibalut jaket kulit itu. Penampilannya tidak mirip dengan dokter pada umumnya karena memakai pakaian berwarna putih. Mungkin itu juga alasan ustaz Alif mengatakannya.

Syukurlah. Dia datang di waktu yang tepat.

Tak berapa lama setelahnya, seorang dokter datang dengan membawa tas lumayan besar meski tak sebesar koper. Isinya pasti alat –alat medis untuk memeriksa. Aku dan Tomy lekas menyingkir. Membiarkan dokter itu bekerja.

Ibu yang sedari tadi mengira aku hanya membual seperti orang gila, kini diam saja. Kehadiran dokter itu sudah cukup menjelaskan bahwa aku tak asal bicara, dan melakukan hal –hal tak waras karena belum ikhlas melepas Sarah.

“Maaf, permisi. Saya harus memeriksa bayi dalam perutnya.” Dokter itu mengucap dengan sopannya.

Kami mengangguk dan memberinya wewenang. Pria yang kutaksir usianya sekitar 35 tahun itu berjongkok di samping jenazah istriku. Lalu diikuti satu asisten yang tadi datang bersamanya. Mereka sangat cekatan.

Aku, ibu dan bapak mertua, Tomy, ustaz Alif dan beberapa orang yang ada di ruangan itu menatap pekerjaan mereka dengan tegang. Ruangan yang tadi dipenuhi suara bisik –bisik dan lantunan ayat –ayat doa, kini senyap. Jantungku berdebar lebih kencang, menunggu hasil pemeriksaan dokter itu.

Ya, Tuhan. Aku yakin anakku masih hidup. Jika kali ini Engkau memberiku kesempatan. Aku janji, akan menjaganya melebihi nyawaku sendiri.

Bersambung ....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Terimakasih Sarah

    Nadhira baru saja memasukkan seloyang puding cokelat karamel ke dalam lemari pendingin makanan, ketika ada dua tangan yang menyusup masuk dari belakang tubuhnya dan merangkul dirinya dengan mesra."Eh...! Astaghfirullah!"Tubuh Nadhira sedikit menjingkat karena terkejut. Aroma asam bercampur manis, juga embusan napas yang lembut, yang mengenai pipinya, tak lagi membuat Nadhira terkejut. Dia tahu siapa yang memeluknya dari belakang."Kaget, ya?" tanya lembut Alif yang kemudian mencium sayang pipi Nadhira. "Maaf ya, Sayang"Semburat samar merah muda, muncul di kedua pipi Nadhira. Setiap kali hanya berdua saja, Alif selalu bisa berlaku sangat mesra sekaligus sangat romantis. Rangkulan dan sapaan 'Sayang' adalah diantaranya, dan itu masih selalu membuat jantung Nadhira berdebar-debar manis."Iya, gak apa-apa. Ayah haus?" tanya Nadhira sembari menoleh. Semburat merah muda di pipi semakin menetap karena itu membuat jarak tipis antara wajah Nahira dan wajah Alif.Bibir bawah Alif sedik

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Dikabulkan Permintaan Jingga

    “Kalau begitu, papa akan bicara serius dengan bunda dan panda.” Affan mengusap punggung Jingga.“Ish, kok panda, sih!” protes Jingga yang tak mau suami dari bundanya dipanggil panda.“Ha ha ha.” Kontan semua orang yang ada di atas panggung resepsi itu tertawa. Jingga tampak menggemaskan saat marah untuk hal sepele begitu. Dia sangat serius dan polos, padahal papanya hanya bercanda.“Jangan panda, dong. Tapi … Ayah. Jadi Ayah dan Bunda!” serunya kemudian penuh semangat menjelaskan kepada banyak orang dewasa yang memperhatikan tingkahnya.Affan mengacak kerudung yang dikenakan Jingga. Gadis kecil itu jadi mau berhijab seperti bundanya setelah mendengar nasehat dari Alif tempo hari.“Hai Jingga, kalau Adek Jingga yang cantik ingin tetap cantik di akhirat nanti … harus pakai jilbab dan kerudung.” Kata Alif kala itu.“Kok jilbab dan kerudung? Kan jilbab dan kerudung itu sama, Ustaz?” protesnya dengan kepala terteleng memikirkan ucapan Alif yang dia pikir salah bicara.“Oh … kalau jilbab it

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Ekstra Part : Kasih Sayang Affan

    Rencananya pernikahan Alif dan Dhira digelar secara sederhana saja. Namun, pihak Affan yang juga ayah kandung Jingga tak bisa membiarkan itu terjadi. Lelaki kaya raya itu merasa bertanggung jawab, setelah pengorbanan dan perjuangan yang Alif lakukan untuk menemukan Jingga. Gadis kecil yang nyasar di desa Jingga. Rupanya ... anak Siti meninggal di hari kelahiran sekaligus kematian ibunya. Di kampung Jingga. Dan yang Pak Joko bawa pulang dengan sang istri di bangunan itu adalah putri yang dibuang orang tak bertanggung jawab. Masih menjadi misteri, siapa yang hari itu membawa keluar putri Affan. Padahal, bayi yang lahir dari tubuh Sarah yang sudah meninggal itu sudah dibawa pulang ke rumah kakek neneknya. Rumah yang sangat aman penjagaan dan dipenuhi banyak petugas. Alif sendiri, sempat mencurigai ada orang dalam keluarga Affan pelakunya. Namun, ia enggan mengatakan itu karena tak punya bukti. "Ehm, Papa, apa boleh setelah ini saya tinggal dengan Bunda?" tanya Jingga kepada Affan yang

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Ending

    Alif berusaha menelponnya beberapa kali menggunakan ponsel seorang polisi yang dipinjamkan ke padanya, Dhira tak menjawab hingga pemberitahuan operator bahwa nomornya tidak aktif.Alif menghela napas pelan, berharap calonnya baik-baik saja. Kebisingan di kantor polisi membuatnya sedikit pun tak lagi terbersit tentang Dhira, bagaimana reaksinya? Bagaimana dia pulang? Entahlah.“Sudahlah, yang penting adalah kamu tidak mencoba membuat alibi untuk kabur dan menipu polisi. Pikirkan nasibmu sendiri!” tandas polisi sembari menengadahkan tangan, meminta ponselnya kembali. Lagi pula dia tahu bahwa orang yang dipanggil di seberang sana tidak juga menjawab.Alif pasrah. Diserahkan kembali ponsel milik polisi dan kini fokus ke pada diri sendiri. Lagi pula tak ada gunanya bersi keras menghubungi gadis itu jika nomornya saja tidak aktif. Ustaz muda itu lantas mengarahkan tatapan ke beberapa polisi siaga di sekitarnya, berharap semua berjalan baik, Zara selamat, Fadli ditangkap, kebusukan kepsek da

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Terus Memikirkan Dhira

    "Tapi, ini teman saya sudah menemukan lokasi siswi kami yang diculik kepsek." Alif berusaha meyakinkan polisi. Bahwa dia telah melakukan sesuatu yang seharusnya menjadi tugas polisi. Berharap ini pun tidak dipermasalahkan dan menjadi bahan baru untuk menyerangnya. Alif tahu betul bahwa jerat pasal kadang diada -adakan agar relevan menangkap seseorang. "Bagaimana?" Satu petugas mengalihkan pandangan ke arah petugas lain. Bermaksud untuk meminta pendapat, apakah mereka harus pergi mengikuti ucapan pria yang mereka pikir sebagai tersangka tersebut atau tidak. Sebab takut jika pada akhirnya ini hanya alibi saja. Polisi lain menghela napas panjang. Korban sudah banyak, tapi petugas masih saja dipermainkan oleh orang -orang itu. Tak satu pun dari mereka yang mau mengaku. Apalagi Alif yang jadi terduga utama, terus saja bisa mengalihkan tuduhan dengan hal lain. Ini membuat mereka frustasi.Sampai mereka berpikir mungkinkah benar, bahwa sebenarnya ada orang -orang di belakang mereka. Yang

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Sikap Petugas Polisi

    Tiba-tiba saja, dari dalam tampak seorang wanita datang, yang juga akan bergabung bersama mereka. Berdiskusi, ah lebih tepatnya bedebat alot mengenai kasus di sekolah Jingga. Kepsek memicingkan mata, melihat sosok yang datang bersama Dhira. Ia tak menyangka jika gadis yang didambanya akan bersama gadis kecil misterius itu. Bukankah Jingga masih di rumah sakit? Dan bahkan sedang kritis. Bagaimana bisa ada di kantor polisi.“Jingga,” gumam kepsek nyaris tak terdengar. Dia bahkan sampai memerlukan pendonor agar bisa bertahan hidup sebab kekurangan banyak darah akibat peradarahan dari lukanya. “Ada apa?” Agus bertanya melihat ekspresi kepsek yang terlihat berubah. Pria itu tampak ketakutan. Tak memperdulikan pertanyaan Agus, kepsek Rayhan melanjutkan ucapannya dan bertanya, “Bagaimana dia bisa ada di sini?”Pria itu terlalu penasaran untuk mengabaikan keberadaan Jingga di sisi Dhira. Sesuatu yang berada di luar nalar. 'Sebentar, jangan-jangan .... Dia kembar. Tapi apa iya? Sejak dia be

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status