Share

Jangan Berkeliaran saat Magrib

“Ustaz benar, bayinya masih hidup.” Dokter mengatakan sesuatu yang mengejutkan semua orang di rumah duka.

“Subhanallah.”

“Maasya Allah.”

“Alhamdulillah.”

Kalimat puji –pujian itu mengalir membuat isi ruangan kembali gaduh seperti sebelumnya. Mereka kembali berbisik –bisik.

“Alhamdulillah. Jarang sekali ada bayi yang dilahirkan dari mayit.” Ustaz Alif mengucap takjup. Wajah tampan pria itu berbinar karena senang. Bukan hanya aku yang menginginkan bayi kami selamat. Namun, semua orang yang ada di sana.

Dan aku, sebagai bapak dari bayi itu. Seketika lututku lemas. Satu demi satu kejadian tak masuk akal terjadi hari ini. Semua seperti mimpi buruk dan aku ingin lekas sadar darinya. Namun, sekeras apa pun mencoba ini adalah fakta yang harus kuhadapi.

“Benar, selama belasan tahun jadi obgyn, saya belum pernah bertemu kasus seperti ini. Ini semacam keajaiban.” Dokter itu menimpali, sembari bangkit dari posisinya dan mendekat ke pada kami. Ustaz Alif yang berada di sampingku lekas memegangi tubuh agar tidak limbung.

“Sepertinya, ibu bayinya sadar kalau dia akan jatuh dan sebisa mungkin melindungi perutnya. Dia terbanting ke sampig dengan posisi tangan di depan dan sikutnya lebih dulu mencapai aspal, itu kenapa kondisi sikutnya han ... cur.” Kata terakhir dokter sangat pelan. Pria itu seolah enggan menceritakannya. Dia pasti juga tahu apa yang keluarga Sarah rasakan setiap kali mendengar bagaimana kejadian itu diceritakan.

“Bagaimana bisa ibu hamil, hujan –hujan dan hari mulai gelap? Tapi naik motor sendiri.” Dokter berbisik pada ustaz Alif. Namun, karena berada tepat di sampingnya, aku pun mendengar. Mereka tampak sudah akrab.

“A ....” Ustaz Alif menggantungkan jawaban dan hanya kembali menoleh ke arahku dengan tatapan tak nyaman. Dokter lalu mengikuti arah tatapannya.

Orang yang sudah memberikan hasil pemeriksaannya itu kemudian menatapku lekat -lekat, seolah menatap dengan tatapan menyalahkan juga. Hal itu bukan hanya membuatku merasa bersalah, tapi juga malu. Sebagai lelaki, aku tak bisa menjaga dan bertanggung jawab atas keselamatan wanitanya.

“Nah, iya pamali magrib –magrib, harusnya di rumah saja.” Budenya Sarah yang tidak tahu sejak kapan datang menyahut ucapan dokter itu.

“Iya. Kenapa to Mbak kok dibiarkan pergi?” Bulek juga ikut menimpali. Dan pertanyaan itu diarahkan ke pada ibu Sarah.

Kontan saja, wanita tua yang telah melahirkan Sarah melirik tajam ke arahku. Ia seolah sedang mengayun belati dan menikamku dengan besarnya rasa bersalah. Aku harus tersiksa dan menderita karena kematian putrinya. Dia diam tak bersuara, tapi tak berhenti menyerangku.

Aku tak berani menatap ibu mertua terlalu lama, dan mengalihkan tatapan ke arah ustaz Alif yang mendapat pertanyaan dari dokter. Pria itu rupanya juga sedang menatapku dan ibu mertua secara bergantian.

“Mohon tenang ya, Ibu –ibu, tidak ada gunanya mempertanyakannya. Apa lagi menyalahkan yang hidup. Ini sudah takdir. Begitulah cara Mbak Sarah meninggal.” Lagi, Ustaz Alif menolongku.

Pria itu kemudian menghadap ke arah dokter.

“Jadi, bagaimana, Dok?” tanya ustaz Alif mengalihkan perhatian dokter kenalannya itu. Aku terus berhutang budi pada pria itu. Dia pria sempurna dan baik, kalau saja suami Sarah sepertinya, mungkin dia masih hidup sekarang.

Dokter itu manggut –manggut. Tak berkomentar setelahnya. “Karena kita harus mengeluarkan bayinya, saya harus membawa jenazah ke rumah sakit dan melakukan OR.”

“Bagaimana Mas Affan?” Ustaz Alif menanyakan pendapatku.

Aku tak langsung menjawab. Dan menoleh ke arah Bapak dan ibu mertua. Walau tanggung jawab Sarah sepenuhnya berada di tanganku sejak ia menikah, tetap saja dua orang tuanya ingin hal terbaik untuk putrinya itu.

Namun, karena mereka tak lekas menjawab, aku pun memberanikan diri memberi keputusan lebih dulu.

“Ya, Dok. Tolong selamatkan anak kami.” Aku menyahut cepat. Sedikit lebih bersemangat dari sebelumnya, seolah memiliki satu harapan selagi harapan lain sudah hilang.

“Tunggu!” Bapak mertua berdiri di depan mayat Sarah, seolah menahan keinginan kami. “Bukannya berpikir dulu, malah buru –buru memutuskan,” tegur Bapak.

“Ya?” Aku menatap pria itu dengan tatapan tak mengerti. Apa yang salah?

“Dokter itu bisa saja salah. Mana ada bayi dalam perut orang mati bisa hidup?” bantah Bapak Sarah. “Bagaimana kalau ternyata perutnya sudah diedel –edel dan bayinya sudah mati?” Mata pria itu memerah.

Dia pasti sedang membayangkan putri yang raganya sudah kaku dengan kondisi yang mengenaskan, tapi masih juga dibelah perutnya. Sebagai bapak, aku paham posisi mertua. Aku saja yang bahkan anak kami belum lahir, memiliki perasaan yang dalam padanya, apa lagi Bapak mertua yang sudah merawat Sarah lebih dari 20 tahun. Ini pasti menyakitkan.

“Ehm, mohon maaf, Pak. Saya mungkin bukan malaikat apa lagi Tuhan yang menentukan hidup dan mati seseorang. Namun, setidaknya saya bisa mencoba menolong jika memang bayinya masih hidup.” Dokter itu berusaha menjelaskan ke pada pria kolot yang berusaha menghalanginya.

“Jika?” Suara Bapak mertua menekan. Dia terlihat tak rela melepaskan Sarah. Padahal, di dalam rahimnya juga masih ada cucunya. Apa lagi tak ada jaminan bayi itu akan selamat.

“Pak. Apa yang Bapak lakukan? Saya yakin kalau Sarah pasti juga ingin anaknya selamat. Bapak bisa dengar tadi kata Dokter kalau dia berusaha sekuat tenaga melindungi perutnya.” Aku merasa kesal dengan sikap pria itu.

Ini bukan hanya tentang Sarah, tapi juga nyawa anak kami. Namun, pria itu masih juga kolot. Sulit memang berdiskusi dengan orang tua, apa lagi jika mereka tidak pernah mengenyam pendidikan. Sial, ini menyita waktu. Bagaimana kalau kami terlambat menolong bayi di perut Sarah yang kata dokter masih hidup?

Ya Tuhan, aku tidak mau menyesal lagi!

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status