Home / Fantasi / Tanah Makamku masih Basah, Mas / Jangan Berkeliaran saat Magrib

Share

Jangan Berkeliaran saat Magrib

Author: Wafa Farha
last update Last Updated: 2023-04-03 05:30:46

“Ustaz benar, bayinya masih hidup.” Dokter mengatakan sesuatu yang mengejutkan semua orang di rumah duka.

“Subhanallah.”

“Maasya Allah.”

“Alhamdulillah.”

Kalimat puji –pujian itu mengalir membuat isi ruangan kembali gaduh seperti sebelumnya. Mereka kembali berbisik –bisik.

“Alhamdulillah. Jarang sekali ada bayi yang dilahirkan dari mayit.” Ustaz Alif mengucap takjup. Wajah tampan pria itu berbinar karena senang. Bukan hanya aku yang menginginkan bayi kami selamat. Namun, semua orang yang ada di sana.

Dan aku, sebagai bapak dari bayi itu. Seketika lututku lemas. Satu demi satu kejadian tak masuk akal terjadi hari ini. Semua seperti mimpi buruk dan aku ingin lekas sadar darinya. Namun, sekeras apa pun mencoba ini adalah fakta yang harus kuhadapi.

“Benar, selama belasan tahun jadi obgyn, saya belum pernah bertemu kasus seperti ini. Ini semacam keajaiban.” Dokter itu menimpali, sembari bangkit dari posisinya dan mendekat ke pada kami. Ustaz Alif yang berada di sampingku lekas memegangi tubuh agar tidak limbung.

“Sepertinya, ibu bayinya sadar kalau dia akan jatuh dan sebisa mungkin melindungi perutnya. Dia terbanting ke sampig dengan posisi tangan di depan dan sikutnya lebih dulu mencapai aspal, itu kenapa kondisi sikutnya han ... cur.” Kata terakhir dokter sangat pelan. Pria itu seolah enggan menceritakannya. Dia pasti juga tahu apa yang keluarga Sarah rasakan setiap kali mendengar bagaimana kejadian itu diceritakan.

“Bagaimana bisa ibu hamil, hujan –hujan dan hari mulai gelap? Tapi naik motor sendiri.” Dokter berbisik pada ustaz Alif. Namun, karena berada tepat di sampingnya, aku pun mendengar. Mereka tampak sudah akrab.

“A ....” Ustaz Alif menggantungkan jawaban dan hanya kembali menoleh ke arahku dengan tatapan tak nyaman. Dokter lalu mengikuti arah tatapannya.

Orang yang sudah memberikan hasil pemeriksaannya itu kemudian menatapku lekat -lekat, seolah menatap dengan tatapan menyalahkan juga. Hal itu bukan hanya membuatku merasa bersalah, tapi juga malu. Sebagai lelaki, aku tak bisa menjaga dan bertanggung jawab atas keselamatan wanitanya.

“Nah, iya pamali magrib –magrib, harusnya di rumah saja.” Budenya Sarah yang tidak tahu sejak kapan datang menyahut ucapan dokter itu.

“Iya. Kenapa to Mbak kok dibiarkan pergi?” Bulek juga ikut menimpali. Dan pertanyaan itu diarahkan ke pada ibu Sarah.

Kontan saja, wanita tua yang telah melahirkan Sarah melirik tajam ke arahku. Ia seolah sedang mengayun belati dan menikamku dengan besarnya rasa bersalah. Aku harus tersiksa dan menderita karena kematian putrinya. Dia diam tak bersuara, tapi tak berhenti menyerangku.

Aku tak berani menatap ibu mertua terlalu lama, dan mengalihkan tatapan ke arah ustaz Alif yang mendapat pertanyaan dari dokter. Pria itu rupanya juga sedang menatapku dan ibu mertua secara bergantian.

“Mohon tenang ya, Ibu –ibu, tidak ada gunanya mempertanyakannya. Apa lagi menyalahkan yang hidup. Ini sudah takdir. Begitulah cara Mbak Sarah meninggal.” Lagi, Ustaz Alif menolongku.

Pria itu kemudian menghadap ke arah dokter.

“Jadi, bagaimana, Dok?” tanya ustaz Alif mengalihkan perhatian dokter kenalannya itu. Aku terus berhutang budi pada pria itu. Dia pria sempurna dan baik, kalau saja suami Sarah sepertinya, mungkin dia masih hidup sekarang.

Dokter itu manggut –manggut. Tak berkomentar setelahnya. “Karena kita harus mengeluarkan bayinya, saya harus membawa jenazah ke rumah sakit dan melakukan OR.”

“Bagaimana Mas Affan?” Ustaz Alif menanyakan pendapatku.

Aku tak langsung menjawab. Dan menoleh ke arah Bapak dan ibu mertua. Walau tanggung jawab Sarah sepenuhnya berada di tanganku sejak ia menikah, tetap saja dua orang tuanya ingin hal terbaik untuk putrinya itu.

Namun, karena mereka tak lekas menjawab, aku pun memberanikan diri memberi keputusan lebih dulu.

“Ya, Dok. Tolong selamatkan anak kami.” Aku menyahut cepat. Sedikit lebih bersemangat dari sebelumnya, seolah memiliki satu harapan selagi harapan lain sudah hilang.

“Tunggu!” Bapak mertua berdiri di depan mayat Sarah, seolah menahan keinginan kami. “Bukannya berpikir dulu, malah buru –buru memutuskan,” tegur Bapak.

“Ya?” Aku menatap pria itu dengan tatapan tak mengerti. Apa yang salah?

“Dokter itu bisa saja salah. Mana ada bayi dalam perut orang mati bisa hidup?” bantah Bapak Sarah. “Bagaimana kalau ternyata perutnya sudah diedel –edel dan bayinya sudah mati?” Mata pria itu memerah.

Dia pasti sedang membayangkan putri yang raganya sudah kaku dengan kondisi yang mengenaskan, tapi masih juga dibelah perutnya. Sebagai bapak, aku paham posisi mertua. Aku saja yang bahkan anak kami belum lahir, memiliki perasaan yang dalam padanya, apa lagi Bapak mertua yang sudah merawat Sarah lebih dari 20 tahun. Ini pasti menyakitkan.

“Ehm, mohon maaf, Pak. Saya mungkin bukan malaikat apa lagi Tuhan yang menentukan hidup dan mati seseorang. Namun, setidaknya saya bisa mencoba menolong jika memang bayinya masih hidup.” Dokter itu berusaha menjelaskan ke pada pria kolot yang berusaha menghalanginya.

“Jika?” Suara Bapak mertua menekan. Dia terlihat tak rela melepaskan Sarah. Padahal, di dalam rahimnya juga masih ada cucunya. Apa lagi tak ada jaminan bayi itu akan selamat.

“Pak. Apa yang Bapak lakukan? Saya yakin kalau Sarah pasti juga ingin anaknya selamat. Bapak bisa dengar tadi kata Dokter kalau dia berusaha sekuat tenaga melindungi perutnya.” Aku merasa kesal dengan sikap pria itu.

Ini bukan hanya tentang Sarah, tapi juga nyawa anak kami. Namun, pria itu masih juga kolot. Sulit memang berdiskusi dengan orang tua, apa lagi jika mereka tidak pernah mengenyam pendidikan. Sial, ini menyita waktu. Bagaimana kalau kami terlambat menolong bayi di perut Sarah yang kata dokter masih hidup?

Ya Tuhan, aku tidak mau menyesal lagi!

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Terimakasih Sarah

    Nadhira baru saja memasukkan seloyang puding cokelat karamel ke dalam lemari pendingin makanan, ketika ada dua tangan yang menyusup masuk dari belakang tubuhnya dan merangkul dirinya dengan mesra."Eh...! Astaghfirullah!"Tubuh Nadhira sedikit menjingkat karena terkejut. Aroma asam bercampur manis, juga embusan napas yang lembut, yang mengenai pipinya, tak lagi membuat Nadhira terkejut. Dia tahu siapa yang memeluknya dari belakang."Kaget, ya?" tanya lembut Alif yang kemudian mencium sayang pipi Nadhira. "Maaf ya, Sayang"Semburat samar merah muda, muncul di kedua pipi Nadhira. Setiap kali hanya berdua saja, Alif selalu bisa berlaku sangat mesra sekaligus sangat romantis. Rangkulan dan sapaan 'Sayang' adalah diantaranya, dan itu masih selalu membuat jantung Nadhira berdebar-debar manis."Iya, gak apa-apa. Ayah haus?" tanya Nadhira sembari menoleh. Semburat merah muda di pipi semakin menetap karena itu membuat jarak tipis antara wajah Nahira dan wajah Alif.Bibir bawah Alif sedik

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Dikabulkan Permintaan Jingga

    “Kalau begitu, papa akan bicara serius dengan bunda dan panda.” Affan mengusap punggung Jingga.“Ish, kok panda, sih!” protes Jingga yang tak mau suami dari bundanya dipanggil panda.“Ha ha ha.” Kontan semua orang yang ada di atas panggung resepsi itu tertawa. Jingga tampak menggemaskan saat marah untuk hal sepele begitu. Dia sangat serius dan polos, padahal papanya hanya bercanda.“Jangan panda, dong. Tapi … Ayah. Jadi Ayah dan Bunda!” serunya kemudian penuh semangat menjelaskan kepada banyak orang dewasa yang memperhatikan tingkahnya.Affan mengacak kerudung yang dikenakan Jingga. Gadis kecil itu jadi mau berhijab seperti bundanya setelah mendengar nasehat dari Alif tempo hari.“Hai Jingga, kalau Adek Jingga yang cantik ingin tetap cantik di akhirat nanti … harus pakai jilbab dan kerudung.” Kata Alif kala itu.“Kok jilbab dan kerudung? Kan jilbab dan kerudung itu sama, Ustaz?” protesnya dengan kepala terteleng memikirkan ucapan Alif yang dia pikir salah bicara.“Oh … kalau jilbab it

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Ekstra Part : Kasih Sayang Affan

    Rencananya pernikahan Alif dan Dhira digelar secara sederhana saja. Namun, pihak Affan yang juga ayah kandung Jingga tak bisa membiarkan itu terjadi. Lelaki kaya raya itu merasa bertanggung jawab, setelah pengorbanan dan perjuangan yang Alif lakukan untuk menemukan Jingga. Gadis kecil yang nyasar di desa Jingga. Rupanya ... anak Siti meninggal di hari kelahiran sekaligus kematian ibunya. Di kampung Jingga. Dan yang Pak Joko bawa pulang dengan sang istri di bangunan itu adalah putri yang dibuang orang tak bertanggung jawab. Masih menjadi misteri, siapa yang hari itu membawa keluar putri Affan. Padahal, bayi yang lahir dari tubuh Sarah yang sudah meninggal itu sudah dibawa pulang ke rumah kakek neneknya. Rumah yang sangat aman penjagaan dan dipenuhi banyak petugas. Alif sendiri, sempat mencurigai ada orang dalam keluarga Affan pelakunya. Namun, ia enggan mengatakan itu karena tak punya bukti. "Ehm, Papa, apa boleh setelah ini saya tinggal dengan Bunda?" tanya Jingga kepada Affan yang

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Ending

    Alif berusaha menelponnya beberapa kali menggunakan ponsel seorang polisi yang dipinjamkan ke padanya, Dhira tak menjawab hingga pemberitahuan operator bahwa nomornya tidak aktif.Alif menghela napas pelan, berharap calonnya baik-baik saja. Kebisingan di kantor polisi membuatnya sedikit pun tak lagi terbersit tentang Dhira, bagaimana reaksinya? Bagaimana dia pulang? Entahlah.“Sudahlah, yang penting adalah kamu tidak mencoba membuat alibi untuk kabur dan menipu polisi. Pikirkan nasibmu sendiri!” tandas polisi sembari menengadahkan tangan, meminta ponselnya kembali. Lagi pula dia tahu bahwa orang yang dipanggil di seberang sana tidak juga menjawab.Alif pasrah. Diserahkan kembali ponsel milik polisi dan kini fokus ke pada diri sendiri. Lagi pula tak ada gunanya bersi keras menghubungi gadis itu jika nomornya saja tidak aktif. Ustaz muda itu lantas mengarahkan tatapan ke beberapa polisi siaga di sekitarnya, berharap semua berjalan baik, Zara selamat, Fadli ditangkap, kebusukan kepsek da

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Terus Memikirkan Dhira

    "Tapi, ini teman saya sudah menemukan lokasi siswi kami yang diculik kepsek." Alif berusaha meyakinkan polisi. Bahwa dia telah melakukan sesuatu yang seharusnya menjadi tugas polisi. Berharap ini pun tidak dipermasalahkan dan menjadi bahan baru untuk menyerangnya. Alif tahu betul bahwa jerat pasal kadang diada -adakan agar relevan menangkap seseorang. "Bagaimana?" Satu petugas mengalihkan pandangan ke arah petugas lain. Bermaksud untuk meminta pendapat, apakah mereka harus pergi mengikuti ucapan pria yang mereka pikir sebagai tersangka tersebut atau tidak. Sebab takut jika pada akhirnya ini hanya alibi saja. Polisi lain menghela napas panjang. Korban sudah banyak, tapi petugas masih saja dipermainkan oleh orang -orang itu. Tak satu pun dari mereka yang mau mengaku. Apalagi Alif yang jadi terduga utama, terus saja bisa mengalihkan tuduhan dengan hal lain. Ini membuat mereka frustasi.Sampai mereka berpikir mungkinkah benar, bahwa sebenarnya ada orang -orang di belakang mereka. Yang

  • Tanah Makamku masih Basah, Mas    Sikap Petugas Polisi

    Tiba-tiba saja, dari dalam tampak seorang wanita datang, yang juga akan bergabung bersama mereka. Berdiskusi, ah lebih tepatnya bedebat alot mengenai kasus di sekolah Jingga. Kepsek memicingkan mata, melihat sosok yang datang bersama Dhira. Ia tak menyangka jika gadis yang didambanya akan bersama gadis kecil misterius itu. Bukankah Jingga masih di rumah sakit? Dan bahkan sedang kritis. Bagaimana bisa ada di kantor polisi.“Jingga,” gumam kepsek nyaris tak terdengar. Dia bahkan sampai memerlukan pendonor agar bisa bertahan hidup sebab kekurangan banyak darah akibat peradarahan dari lukanya. “Ada apa?” Agus bertanya melihat ekspresi kepsek yang terlihat berubah. Pria itu tampak ketakutan. Tak memperdulikan pertanyaan Agus, kepsek Rayhan melanjutkan ucapannya dan bertanya, “Bagaimana dia bisa ada di sini?”Pria itu terlalu penasaran untuk mengabaikan keberadaan Jingga di sisi Dhira. Sesuatu yang berada di luar nalar. 'Sebentar, jangan-jangan .... Dia kembar. Tapi apa iya? Sejak dia be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status