Share

Kematian di Rumah Mertua

“Mas, Mas, bangun Mas.” Sarah menggoyang tubuhku perlahan.

Saking lelahnya, suara riak hujan berbenturan dengan genteng, tak mampu membangunkanku dari tidur. Aku mengerjap, melihat ke arah jendela, rupanya hari sudah gelap.

“Kamu sudah pulang? Lelap sekali aku tidur, Sarah. Aku sangat lelah, maaf, ya,” ucapku padanya.

Namun, saat mata ini sudah membuka sempurna, aku terkejut. Gamis yang Sarah kenakan basah kuyup dan dipenuhi lumpur.

“Loh, kamu kenapa seperti ini? Jatuh, ya?” tanyaku khawatir. Apa lagi dia sedang mengandung anakku.

Sarah tersenyum miris. “Nggak papa, Mas. Tadi cuma kecipratan orang lewat. Oya, Mas. Cepat ke rumah Bapak. Tadi kayaknya ada yang kecelakaan dan meninggal.” Suaranya bergetar. Dia pasti takut juga terkejut sekaligus.

“Kecelakaan? Meninggal? Siapa?”

“Sudah. Mas ke sana saja, lihat duluan. Aku mau membersihkan badan ini!” ucap Sarah bergerak ke arah kamar mandi di belakang.

Aku masih bingung. Dan merasa aneh sekaligus. Bukannya dia bilang akan beli martabak, kenapa tidak bawa martabak. Lalu pintu depan tadi kukunci, kenapa Sarah bisa masuk?

Kugelengkan kepala menepis pikiran tidak –tidak itu. Sekarang bukan saatnya berpikir yang aneh –aneh. Dia pasti akan menjelaskannya nanti.

Tanpa mau mikir panjang lagi, kuraih jaket yang sempat kulepas tadi dan pergi ke rumah mertua. Melihat siapa yang kecelakaan dan meninggal. Apa Bapak? Tidak mungkin. Beliau bahkan sudah berhenti naik motor karena katanya matanya gak lihat jalan. Apa Tomy adik iparku kebut –kebutan? Bisa jadi. Anak SMA itu lagi labil –labilnya. Aku dan Sarah saja angkat tangan.

Ya, hanya Tomy yang ada dalam pikiranku sekarang. Saat membuka pintu, motor yang tadi dipakai Sarah tidak ada. Loh, ditinggal di mana motornya.

Lagi –lagi, aku merasa bukan itu yang penting. Aku pun bergegas. Menerjang hujan dengan berlari. Toh, rumah mertua tidak terlalu jauh, hanya sekitar 800 meter dari rumah yang kami tempati. Ini tentang meninggalnya seseorang yang tak lain adalah keluarga Sarah yang juga adalah keluargaku.

Jujur, aku tak membedakan antara keluarganya dan keluargaku. Aku memperlakukan mereka sama.

Sampai di sana, benar saja sudah ada beberapa orang yang terlihat. Langkahku sempat terhenti saat melihat motorku terparkir di halaman rumah mertua dengan kondisi ringsak.

Apa yang terjadi? Apa Tomy tadi meminjam motor ke Sarah karena motornya kenapa –napa? Pantas saja motor itu tidak ada di rumah. Dengan kondisi rusak parah begitu, jelas saja yang mengalami kecelakaan tak akan bisa selamat.

Namun, apa pentingnya sedih karena motor itu? Aku bisa membelinya lagi nanti, walau mungkin dengan cara harus meminjam uang dulu atau menyicilnya. Hal yang menyedihkan adalah pengemudi motor meninggal. Tak ada yang bisa menggantikan posisinya apa lagi menghidupkannya kembali.

“Ya Allah, kepalanya sampai pecah.”

“Ya, gimana enggak, dia tabrakan sama truk dan terseret jauh di aspal.”

“Iya, mana jalanan licin. Gak bisa menghindar, ya. Qodarullah.”

“Hem, sepertinya tergelincir dan oleng. Truk gak bisa rem cepat.”

“Jadi dia jalan sendiri?”

Suara –suara sayup itu terdengar. Aku bisa membayangkan betapa mengerikan yang terjadi. Mata ini bahkan ikut memanas ketika bayangan demi bayangan saat nyawa Tomy terenggut. Pasti sangat menyakitkan.

Semakin dekat langkahku ke arah rumah, semakin bisa kulihat wajah –wajah sedih orang yang berada di sana. Semua orang tampak murung, terutama Bapak. Dia pasti sangat terpukul.

Aku pun lantas pertama kali mendekati pria itu dan ingin menguatkannya. Mengatakan bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati, meski ini bukan hal mudah menerima hal itu, sebab Tomy adalah anak laki –laki yang di pundaknya telah diletakkan harapan besar keluarga.

Namun, lagi –lagi, begitu telah dekat dan terlihat orang yang berada dalam ruangan, aku dikejutkan dengan sosok Tomy yang berada di samping Bapak.

“To –tomy?”

Lalu siapa mayat yang terbujur kaku di tengaj ruangan itu? Ibu mertuaku? Benarkah? Tapi sejak kapan wanita tua itu bisa naik motor?

“Mas Affan yang sabar, ya,” ucap seorang pria yang baru datang dan langsung menepuk bahuku perlahan.

Aku? Kenapa aku? Bukan Bapak atau Tomy yang diminta bersabar lebih dulu.

“Kamu ini bagai mana, sih, Fan? Kenapa kamu biarkan dia naik motor sendiri?” Lirih, Bapak mertua mengucap menyalahkanku.

“Kalau Mas Affan sibuk, harusnya bisa manggil aku.” Tomy menimpali.

Hei, ada apa, sih ini? Kenapa jadi aku?

Kutolehkan kepala ke arah sekujur tubuh yang tertutupi itu dan memperhatikannya agak lama. Mataku melebar. Setelah dilihat –lihat, mayatnya besar. Seperti orang yang mengandung. Apa mungkin?

Tanpa komando, aku pun bergerak mendekati jenazah itu dan membuka penutup untuk melihat wajahnya.

“Sa –sarah?” gagapku terkejut.

Ya Tuhan, runtuh sudah duniaku. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

______

“Yang sabar, ya, Mas.” Suara lembut seorang wanita terdengar.

Namun, aku tak menoleh sekali pun. Dan tak ingin menoleh. Setidaknya aku harus memperlihatkan ke pada Sarah bahwa selama ini memang tak ada apa –apa di antara kami.

Dari bayangan di ekor mata saja, aku sudah tahu siapa wanita itu. Indah. Seorang janda muda yang menjadi tetangga kami selama ini. Wanita yang sering kali, membuat Sarah marah di masa hidupnya tanpa alasan yang jelas karena cemburu. Ah, kalau ingat itu, aku jadi membenci janda kembang yang juga ditinggal mati suaminya dua tahun lalu dan tak salah apa –apa. Dia diam saja tapi sudah menyakiti hati ibu dari anakku.

Kini, perhatianku hanya ke pada Sarah. Wanita yang terbujur kaku di hadapan.

“Sarah?” Mata ini mengembun hingga pemandangan kabur. Karenanya kuusap kasar bulir bening itu agar bisa melihat dengan jelas dan memberinya salam terakhir. Tangan bergetera saat memberanikan diri menyentuhnya.

Perih, Tuhan! Bukan hanya mata yang perih, hatiku berkali lipat lebih perih. Tubuh Sarah telah dingin. Luka –luka di tubuhnya, membuat tak bisa beredip bahkan jika itu hanya sesaat. Darahnya juga belum sepenuhnya kering. Hatiku benar –benar sakit. Pemandangan yang kemudian menyadarkan betapa bodohnya Affan sebagai seorang suami.

“Sarah, maafkan aku. Mas menyesal Sarah. Tolong bangun! Aku janji menuruti semua kemauan kamu!” Kupegangi tubuh itu, dan memeluknya berkali –kali. Berharap ada keajaiban yang membuatnya kembali.

Aku pasti akan gila jika dia benar –benar pergi. Kami menunggu kehadiran anak kami sudah lebih dari lima tahun. Banyak sekali kesulitan yang Sarah alami karenanya. Bagaimana ia harus menutup telingat setiap kali sindiran –sindiran tak enak dialamatkan ke padanya sebagai istri mandul.

“Sarah. Bangun ... kamu bilang akan bertahan untuk anak kita apa pun yang terjadi. Sarah!” Aku berteriak karena muak tak juga ada jawaban.

Namun, pada akhirnya aku harus benar –benar menyerah. Dia sudah pergi. Dan tak akan pernah kembali. Kini, aku hanya bisa tergugu di samping mayat Sarah.

“Ampuni aku Sarah. Harusnya aku yang mati, bukan kamu, bukan anak kita,” tangisku pecah. Belum pernah aku menangis begini, apa lagi di depan Sarah. Dan sekarang, ia bisa melihat tangis suaminya saat kami sudah berbeda duni.

Tuhan, andai waktu bisa diputar. Aku akan memperbaiki segalanya.

Tak berapa lama, Ibu mertua muncul dari arah belakang menyingkap gorden yang dipasang di setiap pintu di rumah ini. Wanita itu mengejutkanku dengan teriakan histeris.

“Kenapa kamu membiarkan dia pergi sendiri Affan! Kenapa kamu biarkan? Harusnya kamu mencegah!” Ibu Sarah mencengkram kerah seragam kurir yang masih kukenakan.

Aku salah. Aku pikir, Sarah ini sudah hamil tujuh bulan. Dan ngidamnya hanya dibuat –buat saja, makanya kucoba bernegosiasi dengan menunda hingga lelahku hilang. Tapi siapa sangka, wanita yang kucintai segenap hati itu sangat keras kepala dan bahkan nekad pergi sendiri.

“Bu, sudah, Bu. Malu.” Tomy mendekati ibunya dan berusaha menenangkan wanita tua itu.

“Kakakmu pergi, Tom. Dengan cucu ibu. Ini pasti cuma mimpi kan, Tom!” Ibu mertua masih juga meratap sambil berteriak dan menangis. Aku tahu rasa sakit yang dirasakan wanita itu.

“Mas, tolong ke luar sebentar. Ada pengurus alkah yang ingin bicara.” Seseorang sudah duduk di belakang, dan membisikiku.

Kulepas tangan Sarah yang sikunya hancur dan jari –jarinya telah dingin dengan terpaksa. Meninggalkan segala kegaduhan dalam ruangan utama rumah duka itu dan mengikuti Pak Malih ke luar menemui pengurus alkah. Setiap kali ada yang meninggal, mereka yang paling banyak mengurus jenazahnya di kampung kami.

Sarah sudah pergi. Dan aku harus rasional agar bisa mengurus jenazahnya dan dia pun pergi dengan tenang. Sepahit dan seberat apa pun keluarga mayit harus ikhlas jika tak ingin menjadi beban bagi si mayit.

“Assalamu alaikum Mas Affan.” Ustaz Alif menyalamiku dengan raut tegang saat aku datang.

“Waalaikum salam.” Suaraku parau dan nyaris tak terdengar.

Pria yang bertanggung jawab sebagai penasihat dalam kepengurusan jenazah itu kemudian menyalamiku dan menguatkan. “Yang sabar ya, Mas. Insya Allah Mbak Sarah sudah syahid.”

Aku memang pernah mendengar, bahwa meninggalnya wanita hamil adalah syahid di jalan Allah. Itu artinya, dia akan bahagia di sisi Tuhan sekarang. Lalu, jika itu benar kenapa aku akan menangis?

“O ya, meninggalnya jam berapa ini? Dan kalau boleh tahu seperti apa kronologinya.” tanya Ustaz Alif lagi. Kini tatapannya beralih ke Pak Joko. Mungkinkah dia yang membawa Sarah ke mari?

“Ehm, tadi pas saya akan ke luar dari ruko, Mbak Sarah bilang mau nitip motor. Tapi, saya bilang akan pulang dan menutup toko, saya pikir karena hujannya makin deras gak ada yang beli lagi dan minta beliau ke toko Mbak Indah. Tapi nggak tahu kenapa, malah langsung nyeberang. Saya juga lihat waktu Mbak Sarah balik nyebrang Ustaz, karena saya baru selesai merapikan dagangan dan mengunci toko. Dan tiba-tiba ada truk besar dari arah utara. Itu sekitar jam enam.” Pak Joko bercerita. Dan aku harus mendengarnya dengan mata terpejam serta hati yang hancur.

Jam enam? Bukankah Sarah pulang sudah lewat dari jam itu? Aku ingat begitu bangun, langsung melihat ke luar jendela dan jam dinding yang menunjukkan angka 18.10. Lalu siapa yang datang ke rumah membangunkanku? Apa dia ingin berpamitan?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status